by leefe_

K O H E S I

26 April 2018 in Vitamins Blog

 

 

 

 

 

 

 

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

________________________

Sinopsis

‘Gadis aneh, apa yang kau lakukan hari ini? Kau sibuk mengupil atau menggosok bak mandi?’

Demikian pesan yang Satria kirimkan sebagai pemanis di pagi hari. Ia menanti dengan sabar balasan pesan dating-nya sembari meremas pena.

Drrtt drrtt drrrttt

Sebuah panggilan masuk baru saja menyambangi ponselnya. Satria berdeham kemudian mulai menekan tombol hijau di layar datarnya.

“Lo kira gue babu hah? Ngupil ap–“

“Kamu, dear. Inget perjanjiannya, dilarang pake lo-gue.” Ia memotong ucapan sang lawan bicara.

“Oke, kamu. Aku lupa sama perjanjiannya. Makasih, udah ngingetin.”

“Ya, cepet lanjut lagi marah-marahnya.”

“Kamu kira aku babu hah? Enak aja gosok bak mandi! Ngupil? Astaga! Bang Sat-ria ketahuan banget kebiasaannya satu itu. Situ kali yang hobi ngupil.”

“Fella, ngupil is sunnah. Kalo manusia nggak ngupil, penuh dong itu lubang hidung. Aku ‘kan lagi ngingetin kamu udah ngupil belum. Siapa tahu lupa,”

“Jijik Bang Sat-ria,”

Stop call me like that. Nggak usah pake Bang kalau tujuannya ngejek.”

“Gimana dong? Aku enakan pake Bang. Bang Sat-ria.”

“Dasar cewek rese! Ababil!”

Tut

Satria menutup teleponnya sembarang. Gagal sudah niatannya untuk mencoba bermanis-manis ria dengan gadis itu. Sampai gajah beranak buaya sekalipun, mimpi saja ia melakukannya!

_._._._._

Raffaztyano Satria W. Dia terbiasa menyingkat nama belakangnya sendiri demi kepentingan penyelamatan harga diri. Editor super nyinyir yang hobi memberi komentar nylekit bin sadis. Di usianya yang mau menginjak kepala tiga, track record-nya berpacaran masih fitri alias bulat telur alias kosong melompong.

Nah, apa jadinya kalau suatu saat dia harus membelokkan nyinyiran pedas ala cabe man andalan miliknya menjadi rayuan manis penuh godaan?

_______________________

Want more? You can meet me in Wattpad : @leefe_16 :)

Thank you~

by leefe_

FLUORESCENCE – Part 1 | Dua Kutub Hati

19 Desember 2017 in Vitamins Blog

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

______________________

Ekspresi manusia adalah misteri. Di balik senyum, tersimpan luka. Di balik tawa, tersimpan derita. Di balik ketenangan, tersimpan ribuan kerisauan

Fluorescence
______________________

Summer, New York, USA

Suasana pagi di kota Manhattan terlihat mulai padat. Jalan-jalan mulai dipenuhi berbagai transportasi darat. Tampaknya orang-orang mulai bergerak untuk mencari peruntungan di pagi hari yang cerah.

Gadis itu menunduk, menatap sepasang sepatu kumelnya yang tak pernah ia cuci selama hampir tiga minggu ini. Kotor, penuh lumpur, dan… bau!

“Idiot, apa yang kau lakukan di sini?” tanya sebuah suara yang di sahuti tawa oleh yang lain.

“Kau tidak tahu Ley, si idiot ini pasti sedang meratapi nilai matematikanya yang mengenaskan.” timpal seseorang yang semakin membuat orang-orang di sekitar mereka tergelak.

Livia masih mempertahankan posisinya.

“Bukan, dia mungkin sedang meratapi sepatu bututnya yang tak bermerek itu hahahaha.”

Kedua tangannya yang berada di balik kain rok seragamnya, mengepal kuat-kuat. Namun, ekspresinya masih tetap sama, datar dan terlampau lurus.

“Atau mungkin dia sedang mengisi otaknya dengan angin agar tak kosong hahahaha.”

Secara perlahan, gadis itu mendongak. Menatap satu persatu sosok yang mengatainya tanpa henti dengan raut tanpa ekspresi.

“Thomas Alva Edison penemu bola lampu. Memiliki hak paten terhadap 1093 penemuan penting di dunia.” ucapnya tenang, masih dengan menatap mereka saksama.

Ketiga gadis yang ada di hadapannya menahan tawa.

“Kau sedang apa, idiot? Menghapal mantra, eh?”

Livia menarik napas panjang.

“Penemu Electrographic Vote-Recorder, Pneumatic Stencil Pen, Magnetic Ore Separator, Alkaline Battery For Electric Cars, Beton Rumah, dan lain-lain. Ia menemukan banyak hal yang amat berguna bagi manusia di masa sekarang.”

Jeda sejenak. Ia sama sekali tak memedulikan gadis yang ada di hadapannya sudah tenggelam dalam tawanya. Menertawakan ucapan Livia yang tak ubahnya seperti dengungan lebah.

“Ia melakukan banyak hal untuk semua orang. Hidupnya memiliki kegunaan besar di hidup orang lain. Tapi…”

Livia mulai mengambil ancang-ancang.

“Ia tidak bermulut besar dan suka berkoar-koar apalagi menghina sepertimu.”

Selepas mengatakan itu, Livia beranjak pergi. Ia mengayunkan kakinya secara cepat, mengisi kesempatan yang tersedia selagi para gadis itu tengah melongo tak percaya.

Ia tersenyum tipis.

Mari berhitung.

One

Two

Th-

“ALEEVEA! KAU MENGATAIKU? SIALAN KAU IDIOT! HEI KEMBALI KAU KEMARI. AKAN KUJAMBAK SARANG HANTU DI KEPALAMU. KEMBALI KAU. KEMBALIIIIIIIII.”

“Meledak.”
Livia bergumam pelan, menyuarakan ekspektasinya yang baru saja terlampaui.

Suara-suara umpatan itu tak lagi terdengar ketika ia berbelok menuju sebuah ruangan. Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalamnya dan meletakkan tas ransel yang selalu ia bawa untuk menuntut ilmu di salah satu kursi lantas terdiam, seperti biasa. Menganggap segala hal di sekitarnya tak ubahnya angin lalu.

Lima menit

Tujuh menit

Sembilan menit

Sebelas menit

Waktu berjalan lambat, namun Livia memilih mempertahankan posisinya yang tak bergerak sedikitpun di tempat duduknya.

Ia masih terlalu sibuk menatap jari-jemari tangannya yang tampak kusam dan tak terawat dengan pandangan menerawang.

“Sampai kapan?” gumamnya pelan.

“Sampai kapan harus bertahan?”

_._._._._

To Be Continue

 

by leefe_

FLUORESCENCE

19 Desember 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

FLUORESCENCE | Sinopsis 

 

What do you think about her?

Semua orang mengenalnya sebagai si katrok, kudet tingkat tujuh, si cuek dari negara astral, atau bahkan stupid tak berkesudahan.

Pendiam adalah ciri khasnya. Ia tak ubahnya si idiot yang berpenampilan layaknya kutu buku. Membosankan adalah nama tengahnya, sedangkan cupu adalah julukan sehari-harinya.

Namun, ketika kaleng takdir itu mengarah padanya, apa yang bisa ia lakukan?

Kehidupan tenangnya tak lagi sama. Saat satu persatu puzzle kehidupan tentangnya mulai terkuak, akankah title itu tetap bertahan dalam dirinya?

Ia diam, bukan berarti ia tak peduli.

Ia tak pernah meminta, bukan berarti ia menerima segalanya.

Dan lagi…

Apa yang orang-orang ketahui tentang pecahan hatinya?

Ini cerita tentangnya. Tentang Livia yang selalu mencoba tak apa sekalipun dunia menggempurnya. Tentang dirinya yang harus menghadapi kaleng takdir yang mengarah padanya dan merubah seluruh tatanan hidupnya.

‘Dia’ + ‘Dia’ = ‘Mereka’

by leefe_

Heliosentris – Part 15

13 Oktober 2017 in Vitamins Blog

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 15 – Apa Itu ‘Dekati’?

 

Hari kedua setelah eyang pergi.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku dengan susah payah. Walaupun rasanya enggan untuk membuka mata dan melanjutkan hidup, namun tetap saja harus kupaksakan agar hidupku tidak benar-benar berakhir seperti keinginanku. Keinginan gila, lebih tepatnya. Rasanya setelah eyang pergi, sebagian kewarasanku hilang entah kemana mengikuti semangatku yang juga tersapu angin.

Dengan tertatih, kakiku melangkah menuju kamar mandi. Melakoni ritual pagiku seperti hari sebelum kemarin. Setidaknya, kuharap air dingin bisa mengembalikan kesadaranku dari keinginan menyesatkan. Aku tidak ingin mati dan berkubang di neraka karena terlalu larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

_._._._

Sekolah masih dalam keadaan sepi seperti biasa. Udara masih terlampau dingin hingga membuat hidungku serasa membeku. Memang selain waktu yang masih terlalu pagi, sekolahku terletak di daerah yang cukup asri di tengah kota metropolitan ini.

Bukan arti yang sebenarnya. Asri yang kumaksud adalah banyak tanaman-tanaman menjulang tinggi dan berumur sekitar puluhan tahun yang tersebar di dalam area sekolah sehingga mampu menghasilkan oksigen yang jauh dari polusi. Begitupun dengan udara panas yang biasanya dijumpai di ibukota, sekolah ini memiliki hawa yang berbeda dari ibukota. Tidak panas, tidak berpolusi.

Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya sangat sejuk. Setidaknya, udara sejuk ini kuharap bisa membantu meringankan pikiranku sejenak. Itulah alasanku datang di pagi buta seperti ini. Ingin menenangkan diri dengan keadaan sekolah yang masih sepi. Mataku melirik sekilas ke arah pos satpam yang berada tak jauh dari posisiku. Seperti biasa, Pak Rahmat mungkin masih di rumahnya dan hanya datang kemari untuk membukakan pintu gerbang karena tahu dengan kebiasaanku yang selalu datang ke sekolah saat pagi buta.

Jarak rumahnya memang tak jauh dari sekolah. Bahkan bisa dikatakan, rumahnya berada tepat di belakang sekolah sehingga memudahkan beliau dalam menjalankan tugasnya.

Puas memandang, kakiku melangkah perlahan menuju kelas yang menjadi tujuanku. Apalagi kalau bukan kelasku. Kemarin aku tidak masuk, sehingga mungkin di daftar absensi tertulis keterangan alpa karena tidak ada yang tahu apa yang terjadi di hidupku kemarin-kemarin. Aku tersenyum tipis. Maklum saja, karena pada kenyataannya sejak berada di sekolah ini aku begitu tertutup. Tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang menjadi teman seperjuanganku di sekolah. Mengapa?

Bisa dikatakan, aku terlalu berburuk sangka. Entahlah, tapi kurasa tak ada yang mau berteman denganku karena pribadiku yang amat tertutup atau mungkin mendekati idiot?

Ya mungkin saja, mengingat betapa seringnya Zara dan kawan-kawannya mem-bully-ku hanya karena wajahku yang dinilai terlalu bodoh dan memuakkan bagi mereka.

Aku menerimanya, meskipun dengan hati yang berdarah-darah. Siapapun tak akan mau hidup tanpa teman, tanpa ada orang yang mau mempedulikan, tanpa ada kasih sayang dari… Orang tua. Yah, siapa yang mau menjadi sepertiku? Aku pun tidak. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai seorang Gladys Anindya. Aku tak pernah meminta siapa yang harus menjadi ibuku, siapa yang harus menjadi ayahku atau bagaimana takdirku. Aku sama sekali tak pernah meminta.

“Eh, lo udah masuk Dis?”

Aku menoleh terkejut ketika mendengar suara itu terdengar menggema di ruangan yang kujajaki.

Aku sedikit memiringkan kepalaku, merasa heran.

Di pagi buta seperti ini, sudah ada sudah ada siswa rajin yang berangkat?

Oh.

Aku mengerjap. Harusnya, aku tahu siapa yang melakoni kegilaan yang sama sepertiku. Karena seperti sebelumnya, aku juga pernah memergokinya berada di sekolah di waktu yang sama seperti waktu biasa aku berada disini.

“Udah, Kak.”

Aku mengangguk pelan ke arahnya seraya mencoba menarik kedua sudut bibirku untuk membentuk seulas senyum. Namun pada dasarnya aku tidak bisa berpura-pura, hal seperti itu tidak bisa kulakukan dengan mudah. Gagal. Semuanya hanya sia-sia. Aku sama sekali tidak memiliki bakat dalam seni peran.

“Udah baikan? Eh, kemarin lo sakit ‘kan? Gue kemarin ke kelas lo, tapi kata Yudha ketua kelas lo, lo nggak masuk. Tanpa keterangan lagi. Ya, nggak mungkin ‘kan kalo lo sengaja nggak masuk. Jadi gue asumsiin aja lo sakit. Terus gue bilang itu ke temen-temen lo kalo lo sakit dan suratnya nyusul.”
Seperti biasa, Kak Evan menyahut panjang lebar. Mengeluarkan segala hal yang ada di pikirannya dalam satu tarikan napas. Setidaknya, hal itu cukup menghiburku.

Aku terkekeh pelan, merasa lucu dengan ekspresinya yang berganti-ganti saat menuturkan kalimat tadi.

Kak Evan memang selalu jujur dengan ekspresinya.

“Iya, makasih.” ucapku sembari mengulas senyum hangat. Merasa berterima kasih dengan jasanya yang membuat daftar absensiku tidak ternoda oleh status alpa.

“Oh iya. Lo masih bimbingan sama Varel ‘kan? Ah kemarin Pak Ahmad nitip pesen, katanya dia mau ngetes lo hari Jumat. Ngukur kemampuan lo katanya sekaligus ngecek. Buat sementara waktu, beliau juga bakal gantiin Varel. Varel ‘kan udah nggak masuk dua hari ini. Nggak tau kenapa tuh bocah, gue juga nggak tau persis.”

Kali ini, perkataan Kak Evan cukup membuatku terdiam. Dari seluruh kalimatnya, hanya satu yang tersangkut di kepalaku.

Kak Varel nggak masuk? Dua hari? Berarti semenjak aku nggak masuk dia juga nggak masuk? Tumben sekali. Tapi, hal lain yang patut kusyukuri adalah itu artinya aku bebas dari kekejamannya untuk sementara waktu.

“Hoi, lo seneng banget ya kayaknya waktu tau Varel nggak masuk?”

Aku mendongak menatapnya dengan senyum yang tak mampu kututupi.

“Seenggaknya, aku bisa lepas dari hukuman Kak Varel sementara. Bukan berarti aku seneng sama keabsenan dia. Cuma… Yah kakak tau sendiri gimana tingkahnya waktu pura-pura jadi guru. Err… Serem.” jawabku mencoba memberi alasan kali ini.

“Hahahahaha… Serem? Hahahahaha… Baru kali ini ada yang berani ngatain dia serem.”

Di luar dugaan, justru respon yang kuterima darinya adalah tawa renyah.

Aku mengernyit bingung. Bukannya Kak Varel itu sahabat dekat Kak Evan ya? Kok dia tertawa saat aku mengatai Kak Varel? Wah, apa jangan-jangan Kak Evan hanya sahabat abal-abal ya?

“Oke. Stop. Perut gue bisa kram kalo kebanyakan ketawa. Lo lucu banget sih, Dis.”

Oh. Tapi, sayangnya aku tidak merasa.

“Ehem sebenernya Varel itu nggak senyebelin yang lo lihat. Itu cuma cover-nya aja. Gue sahabat dia semenjak masih ileran, gue tau gimana dia. Dia itu nggak kayak apa yang lo lihat.”

Aku mengerutkan keningku semakin dalam. Merasa tak percaya dengan apa yang kudengar baru saja.

Tidak seperti apa yang kulihat? Benarkah? Aku sangsi.

Kak Evan menghela napas.

“Jujur, gue juga nggak tau gimana keadaan keluarganya. Dia cukup open kalo temenan sama gue tapi nggak kalo soal urusan keluarga yang udah bentuk dia jadi kayak gini. But, aslinya sikapnya itu humble, jahil, konyol, bahkan tengil kalo sama gue kok. Beda jauh sama cover dia yang kelihatan kejam, judes, galak, dan ehem serem.” tuturnya lagi dengan memberikan penekanan di akhir kalimatnya.

Aku mengangguk pelan. Cuma cover ternyata? Tidak kusangka.

“Deketin aja dia. Pasti kalo Varel udah ngerasa nyaman sama lo, dia bakal ngelepas semua cover busuknya dan lo…” Ia menujuk tepat wajahku dengan jarinya.

“Bakal nganggep kalo Varel nggak seburuk yang lo pikirin.”

Hah? Apa harus begitu ya?
Aku mengerjap, berpikir dalam mencerna semua ucapan Kak Evan beberapa detik yang lalu.

Dekati? Dalam artian seperti apa? Bukankah definisi dekati itu banyak? Lalu, dekati seperti apa yang Kak Evan maksud?

“Eh, tapi jangan terlalu deket sih Dis. Gue masih belum siap harus saingan sama sahabat gue sendiri hahahahaha…” ujarnya lagi disertai dengan tawa renyah di akhirnya.

Saingan? Kenapa harus saingan?

_._._._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Part 14

5 Oktober 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

_________________________

Part 14 – Kejutan atau ‘Kejutan’?

_________________________

 

Happy Reading~

Sorry for typo
_._._._._

Aku memasukkan buku-buku yang berserakan di atas meja dengan hati-hati. Menatanya serapi mungkin, sesuai urutan sebelum mengeluarkannya.

Selesai.

“Lo pulang naik apa?”

Aku menatap sekilas sosok laki-laki yang tanpa kusadari masih berdiri di daun pintu. Menunggu entah apa hingga belum beranjak dari sana.

“Sepeda.”

Aku menjawab ringan. Seperti tidak biasa saja. Kemarin-kemarin, ia kemana?

“Sepeda? Gila.”

Sontak, aku mengerutkan keningku begitu mendengar ucapan bernada sinis yang keluar dari mulutnya. Apa maksudnya itu?

Aku masih waras, belum terindikasi gila. Bahkan hanya sekedar gejala. Normal. Masih amat sangat normal.

Tapi,

Apa peduliku?

Aku mengangkat bahu acuh.

Biarlah, kalau aku menyahut itu sama saja dengan merasa. Aku ‘kan tidak gila. Ya sudah, tidak usah merasa adalah pilihan terbaik.

Dengan santai, aku melenggang melewatinya. Namun, sebelum tubuhku sepenuhnya melewati pintu tanganku tiba-tiba dicekal.

“Kalo ada badut atau parahnya lagi beruang, gue nggak bakal tanggung jawab. Terlebih, kalo besok nama lo ada di koran jangan pernah libatin gue.”
Usai mengatakannya, ia berlalu. Melangkah cepat meninggalkanku yang terpaku dengan ucapannya.

Tanpa bisa dikendalikan, mulutku menganga lebar.

A-a-apa? Badut? Beruang? Koran?

_._._._._

‘Kan.

Apa yang perlu dikhawatirkan dari pulang sekolah menaiki sepeda? Petang pula. Tidak ada badut ataupun beruang seperti apa kata Kak Varel.

Dasar pembohong.

Dia berniat menakutiku atau bagaimana?

Aku mendengus. Beruntung, aku tidak mengkeret takut hanya karena ucapan kosongnya.

Santai, Dis. Pembohong dan penindas memang terkadang tak memiliki batas bukan? Ucapan pembohong yang digunakan untuk mengelabui orang lain memang terkadang bisa mengguncang hebat mental seseorang. Itu sama saja dengan penindasan terselubung. Jangan harap aku akan termakan perkataan orang yang bahkan kuyakini adalah pembohong ulung. Sudah terlihat dari bagaimana ia menepati janji.

Mulur dari waktu yang ditetapkan sebelumnya. Bukannya itu tanda-tanda pembohong? Untuk hal kecil saja, dia tidak bisa menepati. Apalagi janji yang mengikat?

Rasanya mimpi.

Aku mengarahkan tangan kananku untuk membuka pagar rumah.

Sepi. Gelap.

Apa eyang belum pulang ya?

“Eyang… Adis wangsul.

Tidak seperti biasanya, eyang yang selalu tak pernah absen menjawab seruanku kali ini benar-benar keheningan yang menjawabnya.

Aneh.

“Eyang…”

Aku memanggil sekali lagi seraya melepas kedua sepatuku dan menanggalkannya di depan pintu.

Dengan cepat, kedua kakiku melangkah memasuki rumah dan menyisir ruangan secara cepat.

“Ey- ya Tuhan!”

Aku nyaris pingsan saat menemukan tubuh renta yang tengah kucari-cari justru sedang berbaring di atas lantai kamar mandi. Tubuhku bergetar hebat saat menyadari kemungkinan bahwa eyang terpeleset hingga tak sadarkan diri.

Tenang, Dis. Tenang.

Aku mencoba menenangkan diri. Menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya, mencoba menenangkan gemuruh yang mulai mengguncang dada.

Dengan tangan gemetar, jari-jariku terarah pada leher sampingnya. Memastikan jika sesuatu di sana masih berdenyut dengan semestinya.

Mengapa?

Karena aku nyaris pingsan tatkala dada itu tak lagi bergerak naik turun. Itulah yang membuatku mengambil opsi demikian.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Empat detik

Lima detik

Enam detik

Tujuh detik

Tubuhku lemas seketika saat berkali-kali tanganku menjelajah namun denyutan itu tak bisa kutemui dimanapun.

“Eyang, bangun. Adis udah pulang. Eyang, Adis lapar. Eyang bangun.”

Aku bergumam lirih sembari menahan tangis yang ingin meledak sebentar lagi.

Tidak. Jangan. Jangan sekarang. Jangan sekarang, Ya Tuhan. Kumohon…

“EYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAANG…….”

_._._._._

Mimpi.

Aku mencubit pipi atau lenganku berulang kali. Mencoba mengelak jika yang kualami sekarang adalah kenyataan. Bagaimana mungkin, jika pagi tadi rasanya hidupku masih baik-baik saja, berjalan normal seperti biasa. Dengan eyang yang tersenyum lembut saat melihatku keluar kamar untuk sarapan pagi, membantu menata kue-kue manis yang siap dijual untuk pengisi perut esok hari, tapi sekarang…

Aku menggeleng.

Seberapa besar pun rasa tak terima, namun saat mataku menatap bendera kuning yang berkibar di pagar depan, dengungan orang-orang yang membacakan doa, dan sosok tubuh renta yang terbaring kaku di hadapanku rasanya membuatku lemas seketika.

Ini kenyataan, meskipun terasa mimpi.

Kuusap buliran air yang sempat lolos dari pelupuk mataku. Entahlah. Rasanya benar-benar tak terdefinisi saat ini. Yang jelas, semuanya terasa menyesakkan. Terlebih di dadaku, rasa-rasanya seperti terlalu banyak makan tanpa minum hingga tersangkut di perjalanan ke lambung. Tak mau bergerak dan membuatku kesulitan bernapas. Yang bisa kulakukan sekarang, hanyalah meneguk ludah lalu berusaha sebisa mungkin menarik napas lewat mulut agar tetap bisa mencukupi kebutuhan oksigen supaya tak jatuh pingsan lagi seperti sebelumnya.

“Eyang…” Bibirku bergetar hebat saat memanggilnya.

Kuat Dis, kamu harus kuat.

“Selamat jalan.”

Air mataku menitik lagi. Kali ini, aku tak mencoba menghapusnya. Membiarkannya keluar bersama kesedihanku. Mungkin untuk saat ini, aku membiarkan diriku menangis meratapi kepergian sosoknya. Hanya saat ini dan tidak di saat-saat yang lain.

“Saatnya dibawa. Ayo, Dis. Mau ikut iringi ‘kan?”

Aku mengangguk seraya mengulas senyum terpaksa dengan air mata yang masih mengalir tanpa henti. Tak kuasa untuk menjawab apapun di saat bibirku bergetar hebat seperti sekarang.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi, eyang benar-benar akan dikebumikan. Tenggelam di dalam tanah basah tanpa aku bisa melihatnya untuk puluhan masa yang ku punya. Tak bisa melihat raut hangatnya, tak bisa merasai dekapannya ketika aku kedinginan, tak bisa menceritakan keseharianku padanya sebelum tidur, dan tak bisa… Menyentuhnya.

Aku menggigit bibirku kencang. Rasanya semakin sesak untuk bernapas ketika membayangkan jika esok hari, aku tak bisa lagi bersamanya. Ucapan eyang saat itu pun terasa bualan di telingaku sekarang.

Kalau seseorang meninggal, itu jangan ditangisi.

Kenapa eyang?

Karena meninggal itu nama lain dari kehidupan baru. Orang yang meninggal dunia, bukannya orang itu bakal melepas semua beban dunia? Ndak bakal ngerasain sakit lagi seperti di dunia fana. Jadi, jangan ditangisi. Orang mau lepas beban dunia kok ditangisi.

Tapi nangis ‘kan nggak bisa ditahan eyang? Kalau Adis sedih, ya mesti Adis nangis.

Nangis itu boleh. Tapi ndak lama-lama. Mung wektu kuwi tok. Selepas itu, ya balik lagi ke kehidupan sebelumnya. Nerusake urip.

Aku tersenyum pedih. Nyatanya, ucapan eyang tidak mudah untuk kulakukan. Entahlah, apa setelah ini aku masih sanggup meneruskan kehidupanku. Aku tidak tahu dan tidak bisa menebaknya.

_._._._._._

Notes :

· Wangsul = Pulang
· Mung = Hanya
· Kuwi = Itu
· Nerusake = Melanjutkan
· Urip = Hidup

by leefe_

Heliosentris – Part 13

3 Oktober 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

_________________________

Part 13 – Hukum Utama Hidrostatik

_________________________

 

Aku melangkah tergesa menuju perpustakaan. Bel baru saja berbunyi sekitar dua menit yang lalu, itulah mengapa aku panik. Bisa-bisa orang itu pergi terlebih dahulu kalau sampai ia tiba di perpustakaan sebelum aku.

Gawat! Tidak boleh terjadi.

Brakk

Aku membuka pintu ruangan dengan kasar. Tidak sengaja sebenarnya, tapi apalah mau dikata saat kepanikan lebih dominan dibanding ketenangan. Mataku menyusuri seluruh sudut ruangan yang terlihat sepi.

Sepertinya ini terjadi lagi.

Aku menghela napas. Sebenarnya siapa yang membuat kesepakatan sih? Yang taat siapa dan yang terlambat siapa?

Aku merengut. Dasar makhluk tidak konsisten!

Dengan lesu, kakiku melangkah mendekat pada kursi yang ada di sudut ruangan. Dekat dengan rak buku non fiksi. Menelungkupkan kepala di atas meja, mencoba menenangkan diri.

Baru dua kali, tapi sudah terlambat. Menyebalkan. Aku bahkan harus terburu-buru menyelesaikan tugas piket. Menyapu dengan tergesa-gesa hingga tersedak akibat debu-debu yang kusapu dengan terburu-buru hanya demi tepat waktu dan memenuhi janji.

Tapi apa? Kak Varel bahkan sama sekali belum memunculkan batang hidungnya di tempat ini.

Aku menegakkan posisiku. Ingkar janji dan tidak bisa dipercaya.

Mataku melirik sekilas pada deretan buku-buku yang tertata rapi di sebelah kananku.

Sangat menggoda untuk dibaca. Ah, daripada menunggu tanpa guna lebih baik berkencan sebentar dengan kertas-kertas ilmu ini. Lebih bermanfaat dibanding melamun layaknya orang bodoh.

Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada sebuah buku tebal bersampul cokelat yang berada pada tumpukan paling atas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Benar, aku lupa jika harus mencari definisi kata-kata yang dilontarkan Kak Evan pagi tadi.

Kira-kira apa ya?

Dengan penuh kehati-hatian, aku mulai membuka buku itu. Menyusuri satu persatu kata berawalan abjad ‘T’

Aha! Ini dia.

Menarik.

Definisinya adalah

1. menghela (supaya dekat, maju, ke atas, ke luar, dan sebagainya): anak perempuan itu ~ tangan kawannya;

Yang pertama, jelas bukan. Aku menggeleng, lantas lanjut membaca pada definisi kedua.

2. membawa (mengambil dan sebagainya) ke luar; mengeluarkan dan sebagainya:

Hah?

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Apa hubungannya?

3. menyenangkan (menggirangkan, menyukakan hati karena indahnya, cantiknya, bagusnya dan sebagainya);
Eh?

Aku mengerjap. Cantik? Bagus?

4. membangkitkan rasa kasih (sayang, suka, ingin, dan sebagainya);

Enggh? Apalagi ini?

5. mempengaruhi atau membangkitkan hasrat untuk memperhatikan (mengindahkan dan sebagainya)

Pukk

Aku menutup buku dengan gerakan kilat. Mengapa semua definisinya sangat tidak nyambung ya?

Aku mengerjap.

Apa akunya yang ndak mudeng?

Tukk

“Ya Tuhan!”

Aku berdiri seketika saat sebuah pulpen yang mendarat tepat di hadapanku. Entah bagaimana dan mengapa pulpen itu tiba-tiba sampai kemari.

“Nggak usah drama. Cepet balik ke tempat duduk biasa!”

Suara ketus itu membuatku menoleh seketika. Aku membelalak kaget saat melihat makhluk emmhh.. Kak Varel yang entah datang dari negeri antah berantah mana ada di hadapanku. Maksudku dengan penampilan semacam ini. Rambut basah seolah baru keluar dari kamar mandi, baju yang lusuh bahkan lengan sebelah kirinya tampak koyak. Belum lagi dengan sepatunya yang dengan ajaib telah berganti menjadi sandal jepit berwarna biru dan lagi, astaga rambutnya yang tak jauh beda dengan sarang lebah. Mencuat kesana kemari seolah tak menyentuh sisir selama milyaran abad, lengket.

Euh, jorok sekali.

“Napa? Terpesona?”

Apa? Ter ter ter.. apa?

Mimpi!

Aku mendengus.

“Nunggu lebaran singa dulu Kak baru aku tersepona.” Sahutku acuh lantas mulai menarik kursi yang berada di tengah ruangan. Tepat di hadapan Kak Varel.

“Terpesona dodol!”
Ia menyahut jengkel. Aku menggendikan bahu tak peduli. Ah masa bodohlah dengan tersepona, terpesona, tersopena. Apa pentingnya untukku.

“Awas kalo lo nggak mudeng sama materi kali ini. Gue jadiin lo perkedel.” Aku mematung mendengar ancamannya.

Per-perkedel?

Apa bisa ya?

Aku menerawang.

Setahuku kan perkedel terbuat dari kentang? Apa bisa dimodifikasi dari daging manusia?

Aku mengangguk pelan. Apa enak ya?

“Udah. Buka buku lo. Kita belajar soal fluida statis. Cepet!”

Dengan bergegas, aku membuka buku tebal yang berada pada barisan terdepan di dalam tasku. Kuangsurkan buku itu ke arahnya. Lelaki itu menerimanya dengan jengkel.

Hee? Kenapa Kak Varel yang marah? Bukankah ini terbalik? Aku yang menunggunya, tapi kenapa ia yang tak terima?

Aku mengusap tengkukku pelan.

Dasar laki-laki sensitif!

_._._._._._._

“Paham?”

Aku mengangguk pelan saat ia selesai menjelaskan materi. Kalau soal seperti ini sih gampang. Sewaktu SMP juga pernah diajarkan. Aku juga masih mengingatnya, jadi tidak masalah untuk memahaminya kembali.

“Nah, untuk rumus gue yakin lo udah paham. Sekarang hukum-hukumnya. Sebutin bunyi hukum Utama Hidrostatik!” tanyanya dengan mata menajam layaknya elang. Eh, bukan elang sih sebenarnya. Mana ada elang bermata sipit. Bisa-bisa nanti menabrak awan kalau penglihatannya terbatas.

Dengan pasrah, aku menggeleng pelan. Benar-benar tidak tahu. Kalau rumus mungkin aku hapal. Tapi tidak dengan hukumnya.

Ia tampak membuang napas sejenak. Mungkin menahan kekesalan atau juga geram karena aku yang terus saja menyindir keterlambatannya. Tapi kan, aku hanya berani bicara fakta. Tidak bermaksud menyindir atau apa.

Sreetttt

Dengan tiba-tiba, ia menarik tanganku. Secara refleks, aku berdiri menghadap ke arahnya. Ia mencengkeram kedua bahuku kuat.

“Lo dan gue ibaratin partikel.”

Deg deg deg

“Perpustakaan ini ibaratin bidang datar.”

Deg deg deg deg

“Cengkeraman gue, ibaratin tekanan.”

Glek

Weleh, jantungmu Dis. Jumpalitan ra nggenah.

“Semua partikel yang terletak pada suatu bidang datar di dalam zat cair yang sejenis memiliki tekanan yang sama.”

Ucapnya seraya menggerakkan kedua tangannya aktif. Secara bergantian menunjuk dirinya dan aku saat berucap semua partikel. Lalu mengacungkan jarinya ke atas saat berucap bidang datar, dan kembali mencengkram kedua bahuku saat berucap tekanan yang sama.

Ini…

Luar biasa.

Semua partikel yang terletak pada suatu bidang datar di dalam zat cair yang sejenis memiliki tekanan yang sama.

Dengan cepat, aku bisa menghafalnya tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Kak Varel, benar-benar berbakat menjadi guru.

“Paham?” ulangnya yang segera kuangguki dengan antusias. Amat sangat paham.

“Oke. Kita balik lagi ke buku.”

Dengan cepat, ia melepas kedua tangannya dari bahuku kemudian berjalan kembali ke kursinya. Meninggalkanku yang mematung menatap salah satu bahuku yang terasa hangat.

Kenapa rasanya beda ya?

“Woi cepetan. Ntar nggak selesai-selesai!” teriakan itu mengaburkan semua pemikiranku.

Dengan tergesa, aku menarik kembali kursi yang sempat kududuki beberapa menit yang lalu. Memerhatikan jemari tangannya yang tengah menari di atas sebuah kertas.

“Kerjain soal ini. Dua menit.”

O-ke. Sepertinya mode ketusnya telah kembali, jadi sebelum ia menjelma menjadi singa galak lebih baik aku cepat mengerjakan perintahnya.

Akan sangat berbahaya kalau itu terjadi. Pasti nanti aku disuruh push up lagi. Menyebalkan

_._._._._

To Be Continue~

Notes :

· Ra Nggenah = Tidak Jelas

by leefe_

Heliosentris – Part 12

24 September 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

_____________________

Part 12 – Prasangka

____________________

 

17.27

Bagus! Untuk kesekian kalinya, aku pulang terlambat. Menjelang Maghrib pula.

Aku mengayuh sepedaku hati-hati. Merapalkan bermacam-macam doa dalam hati seraya menatap jalanan yang mulai diterangi lampu-lampu yang berbaris di kanan kiri jalan.

Beruntung, kali ini aku memilih jalan yang ‘benar-benar’ jalan. Bukan jalan pintas seperti kemarin. Meskipun mungkin akan memakan waktu lama untuk bisa sampai rumah, namun setidaknya aku bisa melakukan perjalanan pulang tanpa mengkeret ketakutan atau waspada setiap waktu.

“Gladys! Gladys! Woiiii….”

Hee? Aku berhenti mengayuh. Siapa itu barusan?

“Hoi!”

Aku tersentak kaget ketika salah satu bahuku di tepuk dari belakang.

Tidak cukup keras memang, namun cukup untuk membuat orang lari tunggang langgang karena terkejut. Bayangkan saja. Menjelang Maghrib. Sendirian. Keadaan jalan yang sepi pejalan kaki. Hanya ada orang-orang berjualan di sepanjang jalan. Ramai kendaraan. Siapa yang bisa menebak jika penjahat memilih mangsa di saat seperti ini? Tidak ada.

“Hoi! Gue panggilin dari tadi.”

O-oh. Kak Evan ternyata. Syukurlah.

“He’em.”

Aku mengangguk singkat. Enggan membalas panjang lebar. Hari ini sudah cukup melelahkan. Bertemu dengan makhluk sejenis lelaki ini, sifat yang sama menyebalkan pula, dan ya Tuhan. Luar biasa jahil.

“Lo mau pulang ya?”
tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan malas. Eyang pernah mengatakan jika sedang menghadapi siapapun, harus berlaku grapyak.

Tapi,

Untuk kali ini sepertinya aku harus melanggarnya. Aku benar-benar sedang ingin sendiri dan tentunya istirahat yang panjang untuk memulihkan tenagaku yang nyaris hilang setelah cukup berpusing-pusing ria hari ini.

“Yok. Gue anterin.”

“Eh?”

Apa?

“Yok. Turun dari sepeda lo. Kita jalan bareng sampe ke rumah lo. Udah deketkan?”

Aku terhenyak. Mengerjap sesaat lantas menunduk. Berfikir.

Mengantar? Dalam buku panduan psikolog yang pernah kubaca, jika seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta, ia pasti akan melakukan hal-hal di luar logika.

Hubungannya?

Aku meringis.

Laki-laki sangat tidak suka dengan hal-hal yang rumit. Meskipun jalan kaki sama sekali bukanlah hal yang rumit, tapi menilik kembali sifat laki-laki yang tak suka hal-hal berbau repot, aku sangsi.

Apa Kak Evan menyukaiku ya?

Aku menggeleng kencang.

Mana mungkin. Jangan mimpi, Dis.

Tapi,

Bagaimana jika ada salah seorang siswa yang memergoki kami berjalan bersama, lalu besoknya kami menjadi bahan pembicaraan khalayak siswa.

Aku mengusap tengkukku canggung. Apalagi, Kak Evan cukup terkenal. Akan menjadi malapetaka untuknya jika ia ketahuan dekat dengan sosok siswi yang selalu menjadi bahan bully Zara Cs.

“Alah lo kebanyakan mikir. Udah. Ayo.”

Tanpa diduga, ia menarik tanganku untuk turun dari sepeda lalu beralih menuntun sepeda bututku. Menggantikan tugasku, sebelumnya.

“Jangan kebanyakan mikir. Ini nggak bakal jadi serumit trigonometri. Tenang aja~” Ujarnya santai sembari mengulas senyum.

Aku menatapnya canggung. Merasa tak enak dan memikirkan nasibku ke depannya jika sampai eyang tahu kejadian ini.

Yo wes lah

Siap-siap saja diinterogasi, Dis.

_._._._._

Kanca, Eyang.”

Aku menunduk gugup ketika melihat orang tua itu tengah menatapku menyelidik. Satu-satunya orang tua yang paling kuhormati di dunia ini. Ia yang sudah merawatku, ia yang sudah bersusah payah menampungku saat bahkan orang tuaku tak mau repot-repot mengurusiku.

Eyang menghela nafas.

“Nduk, eyang ra nyuwun apa-apa. Mung nyuwun, kowe dadi wong sukses. Aja neko-neko nalika sekolah. Wis kuwi tok.”

°Nduk, eyang ra nyuwun apa-apa. Mung nyuwun, kowe dadi wong sukses. Aja neko-neko nalika sekolah. Wis kuwi tok.
=> Nak, eyang nggak minta apa-apa. Hanya minta, kamu jadi orang sukses. Jangan aneh-aneh sewaktu sekolah. Sudah itu saja.

Aku menengadah. Menatap wajah senja yang selalu menjadi lentera hidupku. Betapa aku menyayanginya, namun tak bisa berucap apa-apa untuk menunjukkan rasa sayangku padanya. Tuhan, aku tahu jika Engkau lebih tahu bagaimana posisi hatiku. Tanpa kata, aku benar-benar mencintainya dengan hatiku.

Nggih, Eyang.”

°Nggih
=> Iya

“Yo wes. Adus dhisik nganah, terus maem. Wis, aja kewengen.”

Aku kembali mengangguk patuh. Menurut seperti biasa.

°Yo wes. Adus dhisik nganah, terus maem. Wis, aja kewengen.
=> Ya sudah. Mandi dulu sana, terus makan. Sudah, jangan terlalu malam.

Tunduk padanya adalah kewajiban dalam hidupku. Bukan. Ini bukan tentang dia, orang satu-satunya yang kupunya di setiap helaan nafasku. Tapi ini lebih kepada menuruti perintah ilahi dan meletakkan posisinya setara dengan raja. Ya, kata eyang perintah orang tua wajib dihormati dan dituruti. Prioritasnya bahkan lebih tinggi dari raja. Orang tua berada di atasnya. Itu yang selalu eyang ingatkan padaku.

Meskipun aku hanya memilikinya di dunia ini, tapi aku bangga. Tak pernah merasa iri dengan anak-anak lain yang bahkan memiliki dua orang yang bertitle sebagai orang tua. Karena bagiku, eyang lebih dari sekedar orang tua. Dia bisa menjadi apa saja yang kubutuhkan. Teman, sahabat, ibu, bahkan sosok ayah. Dia memang luar biasa.

_._._._._._

Rabu pagi.

Aku mengawali hari dengan menimba air dari sumur di pagi buta selepas membuka mata. Dengan langkah enggan, setengah malas, setengah mengantuk, kupaksa kakiku berjalan ke arah sumur. Mengisi bak-bak air yang kosong hingga penuh lantas setelahnya mulai berjongkok untuk berkutat pada setumpuk pakaian kotor.

Apalagi, tentu saja mencucinya.

Aku tak memiliki mesin cuci yang bisa dimanfaatkan untuk meringankan pekerjaan semacam ini. Lagipula, terlalu bergantung pada peralatan elektronik itu hanya akan menimbulkan rasa malas atau bisa dikatakan terlalu memanjakan tubuh sehingga hal sepele yang seharusnya bisa dilakukan sendiri, malah digantikan oleh mesin. Itu kata eyang, bukan kataku. Tapi, aku selalu menganggap jika apa yang dikatakan eyang adalah kebenaran. Semuanya dan aku selalu mempercayainya.

Nduk, wis nganah. Siap-siap sekolah.”

°Nduk, wis nganah. Siap-siap sekolah.
=> Nak, sudah sana. Siap-siap sekolah.

Aku mendongak begitu perintah itu terdengar. Sekolah? Tapi bagaimana dengan…

“Eyang yang cuci. Wis nganah. Siap-siap sekolah. Cepet nggih?”

Aku mengangguk. Baiklah lagipula aku akan terlambat jika terus mencuci. Err… Jam 6 itu bisa dikatakan terlambat bukan?

Ya, bagiku.

_._._._._._

“Dis. Hoi!”

“Eh, dalem?” Aku menyahut refleks begitu seseorang menyerukan namaku. Siapa yang pagi-pagi mencariku?

“Ciyee anak rajin. Gerbang baru dibuka, lo udah masuk aja. Keren banget!”

Aku menatapnya sekilas.

Oh, Kak Evan.

Aku cukup merasa heran saat melihatnya yang sudah berada di sekolah sepagi ini. Maksudku, dia laki-laki kan? Tapi kenapa dia begitu rajin, tak seperti lelaki kebanyakan. Bahkan banyak dari mereka yang mustahil untuk bisa bangun pagi-pagi buta tanpa alarm yang berfungsi optimal. Itulah yang membuatku cukup terkejut saat melihat sosoknya.

“Ah. Udara pagi selalu seger ya? Gue suka.”

Ia mulai menyejajarkan langkahnya denganku. Berjalan pelan dengan sesekali menengok ke kanan kiri. Tersenyum kecil entah apa maksudnya.

“Gue baru rajin berangkat pagi tiga hari ini. Dan gue suka sama kebiasaan baru gue. Udara pagi amazing. Belum lagi sama tetesan embun yang bikin sejuk mata. Great! Gue jatuh cinta sama ini semua.”

Oh. Lalu? Memangnya itu penting untukku?

“Dan ditambah lo, gue tambah tertarik buat terus berangkat pagi.”

Lalu? Kenapa memangnya kalau karena-

Tunggu! Dia bilang apa?

“Karena aku?”

Aku menatapnya penuh tanya. Heeh, kenapa karena aku?

Aneh sekali.

Ia mengulum senyum sesaat dan sebelum aku bisa menghindar, wajahnya tiba-tiba sudah berada di sisi kepalaku. Berbisik.

“Karena lo sama kayak rumus matematika. Menarik, buat dipecahin. Menarik, buat dicari apa ujungnya. Menarik, buat dituangin ke buku gue.”

Aku ternganga.

Me-me-menarik?

Dan lagi, apa-apaan dengan posisinya yang masih berada di sisi kepalaku?

“Mesum!”

Aku memekik kencang seraya menjauh sejauh mungkin. Ya Tuhan, apa itu barusan?

Aku bergidik ngeri. Merasai leherku yang terasa meremang untuk beberapa saat. Kenapa rasanya hampir sama ya saat melihat hal-hal aneh di malam hari ya? Menyeramkan.

Kak Evan terkekeh pelan menatapku yang terus-menerus mengusap leherku.

Hee? Kenapa ia tertawa?

“Lo menarik. Udah itu aja alesannya.”

Aku kembali dibuat terperangah oleh kata-katanya. Setengah bingung, setengah tak mengerti, setengah penasaran.

Menarik? Apa maksudnya?

Sepertinya aku harus mencari definisi menarik nanti di perpustakaan. Ya, harus.

_._._._._

To Be Continue~

Notes :

· Grapyak = ramah
· Kanca = teman

by leefe_

Heliosentris – Part 11

20 September 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 11 – Paket Hukuman

 

Teng Teng Teng

Aku memasukkan buku-buku yang berserakan di atas meja secara sembarang begitu mendengar bel berbunyi nyaring. Sebuah kebiasaan yang tak pernah kulakukan, karena aku adalah pecinta kerapian. Namun untuk kali ini, aku harus meruntuhkan prinsip yang telah kupegang selama bertahun-tahun hanya karena sebuah ancaman yang bahkan terasa main-main di telingaku. Tapi memang pada dasarnya, didikan eyang yang membuatku untuk tak pernah mengabaikan perkataan setiap manusia.

Terlebih perkataan seorang lelaki, karena satu-satunya hal yang bisa dipegang dari seorang lelaki adalah ucapannya. Itu adalah segelintir nasihat eyang yang masih kuingat dengan jelas.

“Permisi Bu.”

Aku menganggukkan kepala singkat pada seorang wanita yang bertugas sebagai penjaga perpustakaan sesaat setelah memasuki ruang perpustakaan. Suhu ruangan yang dingin langsung terasa begitu langkahku menjelajah lebih dalam. Pandangan mataku mengedar ke seluruh ruangan, mencari sesosok objek yang membuatku berlari kesetanan untuk mencapai tempat ini.

Tepat pukul 13.00

Tapi, dimana kakak kelasku itu?

Tanpa sadar, aku menghela nafas panjang. Dasar lelaki tidak konsisten! Dia sendiri yang membuat peraturan, tetapi kenapa dia sen-

“Kita mulai.”

Aku menatap sinis lelaki yang dengan santai melenggang di hadapanku dan menarik kursi dengan wajah tanpa dosa.

Apa dia ini memang tak mempunyai emosi lain selain raut datarnya yang ingin sekali kusiram dengan segelas air hangat ya? Setidaknya kupikir air hangat itu akan menular pada ekspresi wajahnya yang selalu tanpa emosi, seperti menjadi lebih hangat mungkin?

“Udah. Gue tau kalo gue telat. Cepetan, mulai bimbingannya. Mana bukunya?” tanyanya dengan nada datar andalannya, namun kali ini ekspresinya sedikit enggan.

Dengan kesabaran yang tak banyak tersisa, aku mengangsurkan sebuah buku tebal ke arahnya yang langsung disambut cepat. Jari-jarinya yang lentik itu, mulai membolak-balik lembaran-lembaran kertas berjilid tebal itu dengan seksama. Aku mengamati ekspresi wajahnya yang kali ini terlihat berbeda dari biasanya.

Eh, tunggu! Kenapa sedari tadi aku selalu menilai ekspresinya?

Plak Plak

Tanpa sadar, aku menepuk-nepuk pipiku pelan.

Gladys… Gladys… Kamu kesambet apa, ta?

Ya ampun, ya ampun.

Aku mengecek suhu tubuhku sekilas demi memastikan kepalaku masih berada dalam orientasi kesadaran.

Normal.

Tapi… Ini memang aku yang aneh atau Kak Varel yang sedang aneh hari ini sehingga aku memerhatikannya secara detail?

Tukk

“Eh?”

Aku mengerjapkan mata spontan saat sebuah pensil singgah di dahiku untuk sesaat. Pandanganku beralih menatap sepasang onyx yang tampak dingin melihatku.

“Kalo lo mau gila, jangan sekarang. Gue nggak punya stok obat waras.”

Aku menganga seketika mendengar ucapan atau lelucon garing yang tengah coba ia lontarkan padaku. Ah dibanding dengan lelucon, itu lebih pantas disebut sebagai ejekan.

Ha? Dan apa katanya? Gila?

“Eh.. Ma-maaf Kak.”

Sebenarnya bukan kata-kata itu yang ingin kuutarakan!

Aku mengepalkan tanganku erat. Kesal, tentu saja.

Entah mengapa sanggahan tak terima yang sudah kususun rapi di kepalaku menghilang begitu saja saat aku menatap matanya.

Seperti sihir. Tatapannya memang mematikan.

Terlebih mata gelap itu begitu terlihat… Dalam.

Aku menghela nafas lagi, untuk kesekian kali.

Ya sudahlah, apa dayaku untuk melawannya?

“Kita akan belajar bab hukum gravitasi. Lo udah tau kan apa itu gravitasi?” Tanyanya langsung yang membuatku refleks menganggukkan kepala.

“Tau.”

“Kalo hukumnya?”

Kali ini, aku meringis mendengar pertanyaannya.

Yang benar saja, aku baru berada di kelas sebelas dalam hitungan hari. Tentu saja, tetek bengek mengenai pembelajaran belum kuterima sepenuhnya. Terlebih fisika yang membuatku selalu sukses memutar otak.

Aku menggeleng pasrah.

Kulihat, Kak Varel menghela nafas panjang. Ia membuang pandangannya ke arah samping.

“Dengerin gue. Lo cukup ngapalin apa yang gue omongin. Bunyi hukum gravitasi yaitu setiap dua benda di alam ini yang saling tarik dengan gaya yang besarnya sebanding dengan massa setiap benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.”

Aku terperangah mendengar ucapannya yang lebih terdengar seperti suara lebah yang melintas. Cepat sekali.

“Kak, jangan kecepetan. Aku nggak paham.” protesku yang hanya ditanggapi acuh olehnya.

Ia memejamkan mata sekilas.

“Sebenernya, Pak Ahmad salah milih atau apa? Masa ngapalin aja nggak bisa.” gerutunya pelan yang membuatku langsung tersinggung.

“Kak! Kata eyang, kalo mau berbagi ilmu itu yang ikhlas. Jangan setengah-setengah! Dan lagi, aku juga nggak pernah berminat mendaftarkan diri untuk ikut lomba ini. Lagipula, kapasitas otak tiap manusia beda-beda, kakak bisa nggak sih hargain itu?” semprotku kesal.

Apa Kak Varel benar-benar tak tau cara menghargai orang lain ya? Sayang sekali kalau begitu, Tuhan sudah memberinya wajah yang bisa dikatakan rupawan jika dilihat dari mata manusia.

Tetapi, bila menilik dari ucapan dan gaya bicaranya yang seenaknya itu akan membuat orang-orang berpikir dua kali untuk memuji parasnya yang tak sesuai dengan sikapnya. Sangat disayangkan.

“Oke. Gue lupa kalo otak lo cuma pentium dua.”

Nah. Baru saja aku mengomentari sikapnya, mulutnya kembali berulah. Memang dia ini sa-

“Dengerin gue baik-baik. Gue nggak bakal ngulangin ini dua kali. Catet baik-baik di otak pentium dua lo, cara gampang ngapalin hukum gravitasi.”

Jeda sesaat, ia menarik nafas dalam sejenak.

“Ibaratin gue sama lo terlibat suatu hubungan. Oke, anggep kita pacaran.”

Aku menatapnya aneh seolah ia baru saja mengatakan jika mammoth kembali hidup.

Aneh, sangat aneh. Yang benar saja, memang siapa yang mau menjadi pacarnya?

Meskipun eyang selalu mengatakan jika jodohku mungkin adalah orang yang kukenal atau orang yang kukira tak akan pernah masuk dalam kriteria idamanku, tapi… Ayolah. Kak Varel benar-benar sudah kucoret tebal dari daftar kriteria pendamping hidupku. Jadi, bermimpi saja. Semoga malaikat yang mendengar ucapannya, tak mengamininya. Jangan sampai.

“Hubungan pacaran sama dengan komitmen yang butuh ketetapan hati. Komitmen, gue ibaratin G. Lo gue ibaratin massa satu, gue sebagai massa dua. Kita saling cinta sama-sama besar, itu ibaratin sama gaya tarik menarik. Tapi kalo kita masih dalam tahap pacaran, pasti kita masih punya jarak satu sama lain. Jadi, rumus ngitung gaya gravitasi itu F sama dengan G dikali massa satu kali massa dua dibagi jarak kuadrat. Mudeng?”

Aku mengerjap begitu ia mengakhiri penjelasannya. Luar biasa! Bagaimana mungkin hukum gravitasi bisa dibuat sedemikian rupa olehnya?

Hanya perlu mengingat komitmen, aku, dia, dan jarak yang terbentang.

Luar biasa. Amat sangat menakjubkan.

“Mudeng!” sahutku penuh semangat.

Jika cara menghafal seperti ini, aku pasti akan bisa menghafal apapun dalam waktu singkat. Kak Varel benar-benar jenius!

So, kita masuk ke bagian perhitungannya. Yang perlu diinget banget disini itu komitmen atau G. G sendiri punya arti tetapan gravitasi umum yaitu enam koma enam tujuh pangkat negatif sebelas. Inget itu baik-baik! Oke, gue bakal kasih lo lima soal dan lo!”

Ia menunjuk wajahku secara tiba-tiba yang membuatku tersentak mundur. Kedua matanya memicing tajam.

“Harus kerjain bener-bener, karena gue berlakuin hukuman untuk tiap jawaban salah!”

Glekk

Aku meneguk ludah kasar lantas meringis. Sepertinya ucapanku mengenai betapa luar biasanya Kak Varel harus kuganti menjadi betapa berbisanya Kak Varel. Ya ampun.

Aku mengangguk sekilas.

“Iya.”

Entah aku yang bodoh atau Kak Varel yang tak mau repot-repot menjelaskan lebih lanjut hingga langsung memberikan soal sepaket dengan hukuman yang menunggu.

Nyatanya, aku tak bisa mengeluarkan protes sama sekali saat ia mengatakan apapun dan hal ini merupakan hal yang paling menyebalkan karena setiap kali menatap matanya, pikiranku menciut lalu semua ideku akan buyar.

Menyebalkan.

Sebenarnya, dia ini manusia atau alien sampai bisa membuatku mengkeret tak mampu melawan? Atau mungkin makhluk jadi-jadian?

_._._._

Aku meringis untuk kedua kali saat dengan mudahnya, lelaki itu mengatakan ‘salah’ yang berarti aku harus menerima hukuman. Ah, apa aku sudah mengatakan apa hukumannya?

Hukumannya sederhana memang. Tapi, tidak menjadi sederhana saat Kak Varel yang melakukannya.

“Nah, kalo yang pertama hukuman lo gue jitak yang kedua gue ganti.”

Nah, kan.

Aku menatapnya sebal.

Skotjump sepuluh kali, cepet!”

Aku mendengus kesal lalu mulai mengambil posisi untuk melakukan hukuman atau lebih pantas disebut siksaan itu.

Satu…

Aku tidak suka olahraga!

Dua…

Kak Varel kenapa menyebalkan sekali

Tiga…

Dasar laki-laki kejam!

Empat…

Pasti tidak ada yang mau dengannya!

Lima…

Kakiku sakit

Enam…

Ini menyebalkan!

Tujuh…

Aku tidak tahan lagi!

Delapan…

Lelah

Sembilan…

Ya Tuhan

Sepuluh

Eyaaaaang!

Aku menjatuhkan tubuhku ke atas lantai begitu mengakhiri sesi hukuman yang melelahkan. Aah, bagaimana bisa lelaki itu memperlakukan perempuan seperti ini? Skotjump? Yang benar saja…

“Capek?” tanyanya tanpa melihat ke arahku. Ia tampak asyik membuka buku tebal yang ada di tangannya.

Lelaki ini, cuek sekali. Kata eyang, kalau laki-laki yang tidak mau peduli dengan perempuan atau istilahnya cuek, berarti dia tidak peka! Dan aku sama sekali tidak mau mendapat jodoh orang yang tidak peka! Hiiiiii jangan sampai, jangan sampai.

“Udah sini duduk. Kita lanjutin lagi belajarnya. Gue anggep lo udah paham sama hukum gravitasi. Sekarang, kita masuk ke kinematika gerak.”

Dan dimulailah penderitaanku yang lain. O alah, Adis… Adis… Kamu terlalu banyak memiliki dosa sepertinya sampai-sampai mendapat pembimbing seperti ini. Sudah cuek, judes, kejam, tak peka, menyebalkan pula.

Elek pisan!

_._._._

To Be Continue~

Notes :

· Elek = Jelek
· Pisan = Sekali

by leefe_

Heliosentris – Part 10

17 September 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 10 – Spesies Langka

 

‘Ada batas tipis antara sebuah harapan dan serangkai mimpi. Hanya bagaimana seseorang melihatnya dan menganggapnya sebagai apa. Namun terkadang, banyak orang tak memahami jika harapan mereka hanyalah sebuah mimpi.’

_._._._._

Brakk

Aku terlonjak kaget saat sebuah buku tiba-tiba dibanting kasar tepat di hadapanku.

Ya ampun, apa lagi sekarang?

Baru saja aku menikmati buku ensiklopedi terbaru beberapa menit yang lalu, datang lagi pengganggu.

Aku mendongak dan memilih bersitatap dengan sepasang iris hitam yang tengah memandangku tanpa emosi.

“Kak Varel?”

Tanpa sadar aku menggumam menyebutkan nama sosok laki-laki yang tidak tahu toto kromo ini.

“Lo yang namanya Gladys Anindya.” tanyanya dengan suara khas miliknya. Datar, tanpa emosi.

Ah sebenarnya pertanyaannya lebih cocok disebut sebagai pernyataan bukan pertanyaan. Dari nada suaranya saja, tidak terdengar jika lelaki yang ada di hadapanku ini tengah bertanya. Terlebih lagi menilik dari ucapannya yang sedatar jalan tol Cipali itu.

“Iya.”

Memangnya kenapa?

Sebenarnya, itu adalah pertanyaan yang ingin kulontarkan, namun kuurungkan melihat ekspresinya yang tampak selalu gelap saat berada di sekitarku.

Kata eyang, kalau orang yang selalu berwajah masam saat bertemu pandang dengan orang lain, itu tandanya orang itu tak mau menyapa. Pangus, menurut istilah orang Jawa.

“Bimbingan mulai Rabu besok sepulang sekolah. Di tempat ini. Ngerti?” tegasnya yang membuatku mengedipkan mata refleks karena terkejut.

Apa katanya tadi? Bimbingan? Ternyata Pak Ahmad sudah berhasil membujuknya ya? Sepertinya iya, karena lelaki ini mau repot-repot menghampiriku di perpustakaan.

Aku mengangguk cepat. Enggan berkomentar lebih lanjut. Sudah bagus ia mau membantuku, jadi jangan neko-neko. Cukup menerima dan menurut saja.

“Jangan telat. Telat lima belas detik, gue pulang.” Peringatnya yang membuatku langsung melongo.

Apa kakak kelas satu ini belum tahu ya dimana kelasku? Kelasku ja-

“Awas kalo sampe telat!”

Lantas setelahnya ia berlalu pergi begitu saja. Meninggalkanku yang bersiap membuka mulut untuk menyanggah ucapannya.

Aku menggeleng pelan.

Kelasku berada di lantai dua sedangkan perpustakaan berada di lantai enam. Lalu, bagaimana aku bisa sampai dalam waktu lima belas detik begitu kelas usai? Belum lagi dengan tugas piket kelas yang siap menawarkan hukuman jika tidak dilaksanakan.

Aku mengerjap.

Adis… Adis… Ini benar-benar bukan sekedar ujian yang berat. Tapi lebih pantas disebut malapetaka.

Eyang, piye niki?

_._._._._

Satu…

Dua…

Tiga…

Empat…

Lima…

En-

Sreeett

Aku terkejut saat seseorang menarik tas ransel yang kugendong di punggungku secara tiba-tiba. Aku menoleh kesal, bersiap akan menyemprot siapa saja yang menggangguku di waktu yang tidak tepat seperti sekarang.

“Gue minta maaf.”

Lelaki ini entah kerasukan apa, mencegatku dan mengatakan ‘maaf’?

Huss.. Adis.. Ra olih matur kaya kuwi.

Note :
°Huss.. Adis.. Ra olih matur kaya kuwi
=> Huss… Adis.. Tidak boleh berbicara seperti itu

Aku kembali teringat ucapan eyang yang menasihatiku panjang lebar karena sempat bergumam hal yang tidak baik. Benar, eyang bisa marah jika sampai tahu aku mendoakan hal yang buruk pada orang lain. Eh, apa berbicara di dalam hati juga termasuk mendoakan?

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Sepertinya iya, karena semua permohonan yang sempat kuucapkan hanya di dalam hati selama ini benar-benar terwujud. Termasuk keinginan bertemu orang itu.

Aku meringis. Benar, Tuhan kan sel-

“Dis…”

“Eh iya..” Aku kembali menatap wajah lelaki yang tengah memandangku penuh tanya. Ah, pasti dia sempat melihat kegilaanku yang- eh lagi-lagi aku mengatakan hal yang tidak-tidak. Gladys masih waras.. Gladys masih waras eyang.

“Lo….” Ia kembali bersuara yang membuatku langsung tersadar sepenuhnya.

“Ma-“

“Hahahahaha….”

Ia terbahak sembari memegang kedua lututnya. Menertawakanku.

Wajahku langsung terasa panas saat tahu jika objek yang tengah ia jadikan bahan tertawaan tak lain dan tak bukan adalah aku sendiri.

Ya ampun eyaang.. lingsem!

“Udah! Nggak ada yang lucu.”

Aku mencoba menginterupsi tawanya yang semakin menjadi melihat wajahku yang mungkin sudah berubah warna.

Sabar.. Sabar…

“Hahaha lo tuh ya… Gilaaa lucu banget tau nggak sih hahaha.”

Aku merengut saat kedua tangannya yang semula berada di kedua lutut beralih menarik pipiku pelan. Tidak sakit memang, tapi ini namanya penodaan kesucian.

Dengan cepat kuhempaskan tangannya kasar dan bergerak menjauhinya, mencari jarak aman tentunya. Mengamankan pipiku dari sasaran tangannya.

Saru! Pipi Adis masih suci. Kata eyang pipi Adis masih suci jadi nggak boleh disentuh sama yang bukan muhrim. Tapi… Tapi gara-gara Kakak pipi Adis sekarang.. Se-sekarang udah-“

“Hahahaha…”

Dan tawanya meledak lagi sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. Aku yang tengah mengelus-elus pipiku lantas memicingkan mata kesal seketika. Kalau saja eyang tidak pernah melarangku untuk berteriak, pasti sudah kulakukan sekarang.

Hih, kenapa Kak Evan menyebalkan sekali sih?

“Udah lah. Adis mau pulang.”

Aku berbalik seraya menghentakkan kaki kuat-kuat untuk melampiaskan kekesalanku. Namun belum sempat berbalik, sebuah lengan lagi-lagi menahanku.

“Apa!”

“Oke oke.. Gue minta maaf buat yang tadi. Tapi ehem serius lo lucu tahu nggak. Iya iya, nggak lucu nggak lucu kok. Damai damai.”

Aku mendelik kesal saat kata ‘lucu’ terlontar kembali dari mulutnya.

Dua kali!

Aku bersiap mengangkat sebelah kakiku untuk menendangnya, namun urung seketika saat ia tersenyum lebar dengan kedua jarinya teracung di hadapanku. Untung saja…

“Damai oke? Gini.”

Ia memegang kedua bahuku pelan. Tatapannya berubah menajam tak seperti sedetik yang lalu.

“Gue minta maaf sama omongan gue yang kemarin. Gue sadar kalo gue nggak berhak ngehakimi lo kayak gitu. Gue minta maaf, oke?”

Aku mengernyit. Maaf untuk perkataan yang mana?

“Gue emang nggak tahu gimana kehidupan lo, tapi kemarin gue bertingkah seolah-olah tahu gimana kehidupan lo. Gue minta maaf untuk itu.”

Ooh, ternyata perkataan yang itu.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Ya sudahlah, toh aku juga tidak pernah menganggap perkataannya serius.

Dia.. Memang belum mengerti. Jadi aku harus memahaminya.

Seperti semua orang yang kutemui. Mereka hanya menilai kehidupanku dari permukaan, tapi tak pernah benar-benar menyelaminya. Selama ini, aku membiarkan mereka berkomentar dari apa yang mereka lihat tanpa menyanggahnya. Mereka hanya belum mengerti, jadi aku yang harus mengerti.

“Nggak apa-apa.”

Aku tersenyum singkat, memaklumi. Ya sudahlah, toh aku juga tidak mau memperpanjang hal seperti ini.

“Bener lo udah maafin gue?” tanyanya sekali lagi. Aku menghela nafas pelan.

“Iya.”

Yes! Yes! Berhasil! Berhasil!”

Aku menganga menyaksikan tingkah abnormalnya yang tanpa kusangka-sangka terlihat.

O alah, Kak Evan ini kenapa?

Ia berjingkrak-jingkrak sembari mengangkat kepalan tangannya ke atas. Belum lagi dengan-

“Uhuuuuu akhirnya dia maafin gue. Yes! Yes! Yes!

Ha?

Aku mengerjap.

Hebat! Satu manusia langka kembali ditemukan. Ini pasti akan jadi bahan penelitian yang luar biasa jika aku mengambilnya sebagai objek. Keren!

Spesies manusia langka dengan kelebihan emosi dalam waktu singkat. Hebat! Ini pasti akan semakin mematahkan teori evolusi milik Charles Darwin. Luar biasa! Kak Evan benar-benar luar biasa.

_._._._

To Be Continue~

Note :

· Toto kromo = Tata Krama/Etika
· Pangus = Judes
· Neko-neko = Aneh
· Lingsem = Malu
· Saru = Tidak pantas, tidak baik

by leefe_

Heliosentris – Part 9

16 September 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 9 – Bencana atau Anugrah?

 

‘Terkadang ada beberapa sisi yang tak bisa orang lain pahami tentang seseorang. Ia diam, bukan berarti ia bodoh. Ia acuh, bukan berarti ia mengabaikan. Ia tak pernah meminta, bukan berarti ia menerima segalanya.’

_._._._

Aku mengaduk-aduk bekal yang belum sempat menyentuh lidahku asal. Pikiranku menerawang entah kemana.

Hanya manusia egois yang mau hidup sendiri.

Memang apa yang dia mengerti tentang definisi egois.

Aku? Egois?

Dari sisi mana ia menilaiku seperti itu.

Lo nggak pernah biarin seseorang berteman dalam sebuah hubungan pertemanan yang murni maka lo nggak pernah bisa dapet kesempatan untuk mendapat teman.

Ha! Yang benar saja. Tahu apa lelaki itu tentang kehidupanku sebelum ini?

Dia hanya tahu tentang diriku di titik ini, apa dia tahu bagaimana perjuanganku untuk bisa tetap bernafas hingga tetap berjalan di titik yang bisa ia lihat seperti sekarang?

Aku pernah. Kesempatan itu tentu saja aku pernah memberikannya. Hanya saja, seseorang itu menghianatiku dengan begitu menyakitkan. Apa yang bisa kukatakan tentang itu?

Aku menyandarkan tubuhku lemas pada kursi. Menghela nafas sejenak, lantas mengedarkan pandangan ke setiap sudut kelas yang tengah kutempati.

Apa mereka semua peduli tentangku?

Aku tersenyum kecil. Bahkan mungkin mereka tak pernah menyadari kehadiranku, melirikku saja pun tidak lantas apa semua ini salahku yang tidak mau memberikan kesempatan?

Gladys.. Gladys..

Tuk

Aku tersentak. Pandanganku sepenuhnya beralih pada sebuah pulpen yang bertengger secara tiba-tiba tak jauh dari kotak bekalku.

“Lo dipanggil Pak Ahmad ke ruangannya.”

Aku mendongak. Tatapanku bertemu dengan manik mata sekelam malam yang tengah menatapku tanpa ekspresi yang berarti.

Dia…

“Sekarang!” tegasnya sekali lagi yang membuatku refleks mengedipkan mata.

Segera setelahnya, aku membereskan kotak bekalku yang belum sempat kusentuh sama sekali dan beranjak mengikuti langkah panjangnya.

“Sana masuk. Nggak perlu gue temenin kan? Udahlah bilangin ke Pak Ahmad kalo tugas gue udah selesai.”

Lalu, tanpa menunggu balasan dariku, lelaki itu berlalu begitu saja.

Aku melongo.

Apa itu tadi? Hanya seperti itu?

Dasar lelaki jutek. Mengapa di dunia ini ada lelaki seperti itu ya?

Aku menggeleng miris. Benar-benar laki-laki yang langka.

Tok tok tok

“Masuk.”

Sebuah seruan dari dalam ruangan membuatku langsung membuka pintu kayu yang ada di hadapanku.

“Ah Gladys. Silahkan duduk.”

Nggih- eh maksud saya iya Pak.”

“Begini, dua bulan lagi akan ada Olimpiade Sains Nasional. Sekolah kita diminta untuk mengirimkan beberapa perwakilan. Hampir semua bidang Bapak sudah memilihkan perwakilannya. Nah Kamu, Bapak pilih untuk mewakili bidang Fisika. Bagaimana?” terang Pak Ahmad yang membuatku mengerutkan kening.

Aku? Kenapa harus aku?

“Kenapa harus saya, Pak? Saya nggak terlalu mahir dalam Fisika.” ujarku mencoba beralasan.

Siapapun tentunya tak akan pernah mau bila diserahi tanggung jawab besar seperti ini. Apalagi ini menyangkut nama baik sekolah. Aku tak yakin pada kemampuanku untuk mengharumkan nama sekolah ini. Bukan, lebih tepatnya aku takut akan mengecewakan pihak sekolah jikalau aku tak berhasil.

Pak Ahmad menghela nafas.

“Saya sudah melihat nilai-nilai kamu. Dan semua nilai-nilai kamu dalam bidang itu mendekati sempurna. Apa yang kamu ragukan tentang itu?”

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Tak tahu harus mengelak seperti apa lagi.

Buntu. Rasanya tak ada alasan lagi untuk berkata tidak, apalagi kemampuanku dalam hal berbohong dan mengarang alasan hanyalah 1% dari 100%. Ya, aku tak berbakat menjadi seorang aktris profesional kurasa.

“Ya sudah Pak. Saya akan berusaha semampu saya.” ujarku pasrah. Aku meringis, mulai sekarang aku harus lebih pandai membagi waktu sepertinya.

“Baik, mulai besok Kamu mulai bimbingan. Nah, kebetulan karena tahun lalu perwakilan sekolah kita menyabet medali emas di Georgia, kamu akan dibantu oleh Nak Varelino. Dia yang akan membimbing kamu.”

Degg

Apa? Jadi lelaki dingin itu yang akan membimbingku?

Apa aku tidak salah dengar?

“Varelino, Pak?” tanyaku sekali lagi mencoba meyakinkan pendengaranku.

Pak Ahmad mengangguk.

“Iya Varelino Dhafian Arnellius, senior Kamu.”

Aku mendesah pelan.

Oalah Gladys.. Gladys.. Mimpi apa kamu semalam sampai pagi ini mendapat kabar buruk seperti ini?

Selama dua bulan harus berdekatan dengan makhluk Tuhan yang satu itu?

Ya ampun… Ampuni dosaku, Tuhan.

“Baik Pak. Saya permisi dulu.”

Dengan sopan, aku pamit undur diri. Membuka pintu pelan sembari berpikir ke sana kemari.

Dua bulan, Dis. Hanya dua bulan.

Ya, dua bulan yang menegangkan. Jadi, selamat tinggal untuk kedamaian Gladys Anindya.

_._._._

Aku menatap ragu sesosok lelaki yang tengah memejamkan matanya di rooftop gedung ini.

Dia, terlihat damai dan aku sungkan untuk mengganggu kedamaiannya. Tapi…

Kalau aku tak segera membicarakan hal ini, itu sama saja dengan aku mengabaikan amanah dari Pak Ahmad. Kata eyang, kalau seseorang yang tidak dapat mengemban amanah dengan baik orang itu tidak akan bisa masuk ke surga dan justru dicap sebagai orang munafik.

Hiiiii jangan sampai itu terjadi padaku. Ya Tuhan, Adis masih mau masuk surga.

“Ehem K-Kak.” ucapku terbata. Aku meremas jari-jemariku gugup. Ya ampun, kenapa rasanya seperti tengah menghadapi soal ulangan matematika tingkat tinggi ya? Gugup sekali.

Kak Varel bergeming. Ia tak bergerak sedikitpun bahkan hanya untuk membuka kedua matanya.

Eh? Apa dia tidur?

“Kak Varel…” panggilku sekali lagi yang hanya dibalas keheningan. Aku menghela nafas. Ternyata, memang tidur. Setelah kuperhatikan agak lama, nafasnya memang teratur. Terbukti dari dadanya yang naik turun secara konstan. Salah satu tanda-tanda seseorang terlelap, menurut buku ensiklopedi tentang kesehatan yang pernah kubaca.

Aku mengusap kepalaku bingung. Apa aku harus membangunkannya?

“Kak Varel… Bangun.”

Pelan, aku mulai mengguncang tubuh tingginya yang tengah berbaring menatap langit biru dengan mata terpejam.

“Kak Varel…”

Nihil. Tetap tak ada sahutan. Baiklah, kalau tadi adalah guncangan super lembut maka sekarang adalah guncangan hard.

“Kak Varel…” panggilku sekali lagi. Ya ampun, dia tetap nyenyak dalam tidurnya meski sudah kuguncang kuat-kuat. Baiklah, jangan salahkan aku kalau sudah mulai kesal seperti ini.

“KAK VAREEEEEEEEEEELL GEMPA! GEMPA! BANGUN! GEMPA!!” pekikku nyaring tepat di telinganya disertai dengan guncangan super kuat pada tubuh tingginya.

Sontak sepasang iris onyx itu langsung memperlihatkan wujudnya. Tubuhnya menegang lalu sedetik kemudian ia bangkit berdiri dan memegangi kepalanya entah untuk apa.

“GEMPA! GEMPA! MAMA GEMPA! GEMPA GEMPAAAAA..”

Aku terkikik geli mendengar teriakannya yang seperti singa kebakaran jenggot. Mengapa singa? Lihat saja rambutnya yang masih acak-acakan karena tertiup angin dan tak berbentuk itu. Belum lagi dengan lari-lari kecil yang dilakukannya akibat panik itu benar-benar menggelikan.

Aku tertawa menyaksikan kepanikannya akibat ucapanku barusan.

Perlahan namun pasti, ia mulai menghentikan teriakan paniknya ketika mendapati tawaku yang sedikit keras hingga mengeluarkan sedikit air mata di sudut mataku.

Ia mendelik tajam.

“Lo ngerjain gue?” desisnya penuh peringatan. Aku langsung mengatupkan bibirku yang sempat tak sopan menertawakannya.

Aku menggeleng.

Nggak. Kan emang gempa beneran tadi Kak. Di mimpi Kakak, kan emang gempa.” Jawabku tak mengerti.

Benarkan? Tadi dia yang berteriak kesetanan sewaktu terbangun dari tidur lelapnya. Memegangi kepala dan berlari-lari kecil di tempat.

Menggelikan! Reaksinya sungguh tidak terduga. Dan lagi, salah siapa dia begitu sulit untuk kubangunkan. Alternatif lain, ya kugunakan cara seperti barusan. Ternyata ampuh juga.

Lelaki itu mendengus geram.

“Heh gue teriak gempa juga gara-gara lo. Lo ngapain teriak-teriak di telinga antik gue hah?”

Apa? Telinga antik? Pfffttt

Aku menahan tawaku yang ingin meledak seketika mendengar kalimat konyolnya. Ya ampun eyang, ternyata masih ada lelaki yang bisa narsis di depan cucumu ini. Kemana urat malunya sebenarnya.

Ia semakin mendelik garang menatapku.

Oke, oke. Aku benar-benar menahan tawaku yang sempat tak tertahankan dan beralih melipat bibirku ke dalam. Melihat delikannya tentu saja aku menyadari pertanda tak bagus kalau aku masih meneruskan kegiatanku untuk tertawa.

Aku berdeham.

“Maaf kalau begitu. Adis nggak sengaja. Kakak susah dibangunkan jadi Adis membangunkan kakak dengan cara seperti itu. Begini Kak.”

Aku menarik nafas sejenak sebelum memberi penjelasan akan inti percakapan.

“Aku disuruh Pak Ahmad supaya mewakili sekolah untuk Olimpiade Sains Nasional bidang Fisika. Nah, karena kakak juara umum tahun kemarin Pak Ahmad bilang supaya aku dibimbing sama kakak.”
Aku menggigit bibirku cemas melihat raut wajahnya yang sinis dan seolah tak peduli begitu kentara usai aku mengatakan maksudku.

Lelaki itu mengangguk sekilas sebelum berkata,

“Gue sibuk.”

Ha? Sibuk? Memangnya sibuk apa? Setahuku ujian dan bimbingan materi kelas XII masih cukup lama. Yang jelas bukan tahun ini tentunya.

“Udahlah. Lo cari yang lain aja. Gue si-buk.” tekannya sekali lagi seraya mulai memposisikan dirinya untuk kembali berbaring dan mulai memejamkan matanya.

“Kak Varel. Ayolah, aku nggak mau diajar sama orang lain. Eh, sebenarnya aku juga kurang tahu sih siapa yang jago fisika di sekolah ini selain Kakak. Lagipula kakak sudah pernah menyabet medali emas tingkat Internasional, yayaya mau ya?” bujukku yang hanya dianggap angin lalu olehnya.

Ia mengibaskan tangannya, menyuruhku secara tak langsung agar tak mengganggunya. Aku merengut.

Baiklah, biarkan Pak Ahmad saja yang membujuk laki-laki keras kepala ini. Toh, hasilnya akan tetap sama seberapa giatpun aku membujuknya ditilik dari ekspresinya yang acuh dan masa bodoh menanggapi ucapanku.

“Maaf kalau mengganggu. Saya permisi.” ujarku menyerah. Benar, Pak Ahmad saja nanti yang akan membujuknya. Aku hanya perlu menikmati hasil dan perjuangan yang akan kulakukan setelah ini.

Gladys.. Sabar oke? Ini baru awal…

_._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Part 8

15 September 2017 in Vitamins Blog

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 8 – Definisi Egois

 

Aku menghela nafas pelan saat menatap pantulan diriku di cermin.

Mengerikan sekali. Seperti bukan Gladys yang biasanya. Kantung mataku hitam dan mataku terlihat bengkak. Belum lagi dengan wajahku yang nampak pucat. Pasti Eyang akan menanyaiku macam-macam kalau melihatku keluar kamar.

Nduk, sampun napa dereng?”

Note :
°Nduk, sampun napa dereng?
=> Nak, sudah atau belum?

Sampun, Eyang.”

Note :

°Sampun, Eyang.
=> Sudah, Eyang.

Dengan lesu, aku melangkah keluar kamar. Menunduk adalah satu-satunya cara paling efektif untuk saat ini. Aku tak mau eyang melihatku yang baru saja menangis semalaman.

Ayuh~”

Note :

°Ayuh.
=> Ayo.

Syukurlah. Eyang ternyata tidak menelitiku kali ini sehingga aku bisa menyembunyikan keadaanku.

Gladys yang malang…

_._._._

Tuk tuk tuk

Bunyi sepatu yang bersentuhan dengan lantai terdengar menggema di sepanjang koridor yang kulewati. Suasana masih amat sepi seperti biasanya.
Aku mengucek sebelah mataku yang terasa berat pagi ini. Andai saja aku tau jika efek akibat menangis semalaman adalah seperti ini, maka aku akan lebih memilih menangis beberapa jam saja sehingga efeknya mungkin tidak akan semengerikan ini.

Gladys… Gladys…

Penyesalan kan memang selalu datang terlambat. Jadi buat apa kamu menyesal dan mengeluh setelah semuanya terjadi.

Aku menghela nafas.

Ya sudahlah. Menangis semalaman juga tidak ada buruknya. Setidaknya aku bisa sedikit mengurangi rasa rindu pada orang itu.

“Gladysssss…. Oh my God! Ternyata bener, kalo lo emang murid kerajinan!”

He? Kerajinan?

Aku mendongak mencari tau siapa yang barangkali tengah mengajakku bercakap.

Dia… Lagi!

Ya Allah, bisa tidak hilangkan lelaki itu sebentar dari sekolah ini.

Aku mendesah pelan.

Kenapa harus sekarang?

“Ya.” Sahutku acuh. Kembali kulanjutkan langkahku yang sempat tertunda. Terserahlah apa yang mau lelaki itu katakan. Aku benar-benar tak ingin mendengarkannya sekarang.

“Eh tungguin. Ih lo kok sekarang suka kabur-kaburan. Gue kan ngga maksud jahat.” Tanpa kuduga, ia mensejajarkan langkahnya denganku.

Yah, terserahlah. Memangnya apa pedulinya?

Wait!” Ia mencekal pundakku erat, memaksaku untuk berhadapan langsung dengan sosoknya. Ia menunduk.

“Lo… Habis nangis?”

Eh?

Aku tertegun sejenak lantas melepaskan cekalan tangannya. Membalik tubuhku paksa dan sedikit berlari meninggalkannya.

Awalnya, kupikir ia tak akan mengejarku. Namun semua dugaan itu hilang saat suara langkah kaki yang tergesa terdengar semakin dekat denganku.

“Tunggu!”

Sreeett

“APA SIH?” bentakku kasar begitu ia menarik lenganku paksa untuk berhenti berlari. Ia tampak terengah-engah, terlihat dari nafasnya yang berhembus satu dua.

Aku menatapnya datar tanpa emosi.

“Sebaiknya Anda tau batasan Anda dimana. Saya tidak suka seseorang mengomentari ataupun mencoba mencari tau bagaimana hidup saya.”

Ia membelalak mendengarkan perkataanku. Terlihat terkejut.

Bukankah aku sudah memberikan batas keras sejak awal bertemu dengannya? Seharusnya ia memahami itu.

Mungkin setelah ini, ia akan berhenti mengusikku. Itu yang aku inginkan sebenarnya.

“G-gue nggak ada niatan apapun. Gue cuma peng-“

“Terserah. Jangan ganggu saya.”

Dengan itu, aku menampis cekalan tangannya. Melangkah kembali menuju kelas dan merenungkan kembali apa yang telah terjadi.

Maaf. Maaf. Aku hanya ingin semua orang berada di batasnya masing-masing.

Batas yang sudah kutetapkan dan tak mungkin bisa ditembus oleh siapapun, mungkin.

_._._._

“Gladys…”

Aku menatap datar lelaki yang tengah berdiri di hadapanku.

Dia…

Apa perlakuanku tadi masih kurang jelas? Aku ingin semua orang yang tak penting dalam hidupku menjauhiku. Itu saja. Tidak ada yang lain.

“Apa?”

Evan duduk tepat di sebelahku. Ia melipat kedua kaki panjangnya dan berbaring menatap langit berawan. Suasana pagi yang hening ini sedikit banyak membuatku tak nyaman.

Bukan.

Bukan tentang kedamaian, tapi ini tentang lelaki yang ada di sebelahku. Aku mulai tak nyaman dengannya.

“Kenapa lo nyuruh gue menjauh?”

Kan? Sudah kutebak sebelumnya. Aku benar-benar tak ingin menjawabnya sekarang.

Pikiranku masih buntu dan hanya terpaku pada kenyataan Mama telah bahagia di luar sana, melupakanku.

Lalu, dimana Papa?

Itu pertanyaan yang selalu aku ajukan pada Eyang. Namun, yang kutahu mereka membuangku. Memang dalih awal adalah menitipkanku pada Eyang. Tapi, setelah itu….

Kemana mereka?

Apa yang mereka lakukan saat aku menangis diejek oleh bocah-bocah itu?

Kemana mereka saat aku mengeluh dengan biaya hidup yang luar biasa mahal?

Kemana mereka saat aku bahkan kebingungan untuk menjawab siapa orang tuaku? Aku-

“Dis…”

“Uh, ya.” Aku mengerjap. Ternyata aku melamun.

“Kenapa lo ngejauhin gue?”

Aku menghela nafas perlahan. Memang apa salahnya?

“Aku hanya bersikap biasa. Kita baru berkenal ah bukan. Kita bahkan belum berkenalan secara resmi. Kamu bukan siapa-siapaku. Aku hanya tidak ingin orang asing ikut campur dalam urusanku.”
Aku menjawab jujur. Pikiranku menerawang jauh.

Sebelum ini, tak ada yang benar-benar mempedulikanku. Bahkan hingga aku duduk di bangku kelas sebelaspun, sama sekali tak ada teman yang singgah menjadi sahabatku. Mungkin mereka terlalu jijik denganku atau dengan sifatku yang selalu acuh. Namun aku merasa nyaman dengan itu semua.
Jadi, kupikir semuanya akan tetap sama hingga akhirnya.

Tak ada teman yang akan mempedulikanku, tak ada orang yang akan mengerti dengan kehidupanku, dan semua orang tetap berada di batasnya. Itu keinginanku.

Pikiranku buyar seketika saat sebuah tangan terjulur tepat di hadapanku. Aku menoleh, beralih menatap sepasang onyx yang ada di hadapanku bingung.

“Kita emang belum kenalan resmi kan? Oke kalo gitu kenalin, gue Evando Kalvian Collins. Si bungsu keluarga Collins. Jago matematika, pecinta olahraga. Gue mau jadi temen lo.”

Deg

Teman?

Aku terperangah menatap uluran tangannya.

Ini….

“Ih, jangan dianggurin dong Dis! Jabat tangan gue.”

Eh? Memangnya harus balas menjabat tangannya? Tidak ada kewajiban tentang hal itu bukan? Lagipula, siapa juga yang mau berkawan dengan anak dekil sepertiku.

Dia belum melihat segalanya tentangku. Tentang sifat burukku atau tentang perangaiku yang jauh dari kata manis. Pastinya semua ini hanya semu belaka.

Dia… Belum mengerti aku yang sebenarnya.

“Aku nggak mau punya teman.” ucapku datar. Ia membelalak, tampak terkejut dengan balasanku yang tak terduga. Uluran tangannya, kembali ia tarik ke posisi semula.

“Kenapa?”

Aku memalingkan wajah. Enggan menatap matanya yang mungkin akan tahu jika air mata mulai berkumpul di sudut mataku.

“Karena nggak ada yang benar-benar peduli padaku.”

Usai mengucapkan itu, aku bangkit dari posisiku. Berjalan meninggalkan sosoknya yang tengah terdiam menatapku.

“KARENA LO NGGAK PERNAH BERUSAHA PEDULI SAMA MEREKA!”
Aku menghentikan langkah seketika. Dia mengatakan apa? Peduli?

Aku tersenyum sinis.

Tahu apa dia tentang peduli?

“Ya. Aku tak pernah peduli pada mereka termasuk Anda. Apa Anda puas?”

Sreeett

“Dengerin gue Dis. Dengerin gue!”

Lagi-lagi, aku dibuat terkejut dengan tingkahnya yang membalik tubuhku paksa. Namun, yang lebih membuat kadar keterkejutanku meningkat adalah rahangnya yang telah mengetat seolah menahan emosi.

Ya, aku mengetahuinya dari buku psikologi yang sempat kubaca di perpustakaan. Tanda-tanda seseorang sedang menahan emosi tingkat tinggi salah satunya adalah rahang yang secara refleks mengetat.

Jadi, apa lelaki ini sekarang tengah emosi padaku? Tapi… Emosi apa?

Marahkah?

“Gue cuma mau jadi temen lo. Gue pengin ngelindungin lo. Gue pengin selalu jadi tameng terdepan dari luka lo. Gue… Pengin ngertiin lo! Apa itu salah?”

Aku terhenyak. Bukan. Bukan dia yang salah. Dalam hal ini, kesalahan semuanya terletak padaku. Ya, aku.

Aku yang tak mau berurusan dengan orang lain karena semuanya hanya palsu. Komitmen pertemanan bagiku mustahil. Tak ada teman yang benar-benar ‘teman’.

“Lo nggak pernah kasih mereka kesempatan, maka selamanya itu yang bakal mereka dapet. Lo nggak pernah biarin seseorang berteman dalam sebuah hubungan pertemanan yang murni maka lo nggak pernah bisa dapet kesempatan untuk mendapat teman. Lo tau nggak gimana pandangan gue tentang hal itu?”

Aku tetap diam, sama sekali tak berniat untuk membalas ucapannya.

“Hanya manusia egois yang mau hidup sendiri. Lo punya luka. Oke, gue tau semua orang punya luka termasuk lo. Tapi, Dis apa mereka ngejauhin orang-orang yang ada di sekeliling mereka sekalipun mereka punya luka? Jawabannya NGGAK!”

Aku mengerjap refleks mendengar bentakannya di akhir kalimat.

“Cuma lo! Cuma lo yang menjauh dan nggak ngebiarin orang masuk ke zona nyaman lo. Cuma lo manusia egois yang nggak mau orang tau gimana keadaan lo! Itu kenapa lo selalu di bully sama Zara dan antek-anteknya. Karena lo nggak mau keluar dari zona nyaman lo. Lo harusnya bisa belajar dari itu semua. Tapi…”

Ia menggeleng pelan.

“Lo tetep berkubang sama dunia lo. Lo nggak ber-“

“Lalu apa peduli kamu?” potongku setengah mati menahan geram. Dia mengataiku egois, tapi apa yang dia tahu tentang definisi egois?

“Dengarkan aku baik-baik! Aku hidup dalam duniaku dan aku nyaman dengan itu. Kamu hanya bisa berkata tapi apa kamu tahu bagaimana sulitnya merealisasikan apa yang kamu ucapkan? Jadi diam saja dan jangan berkomentar mengenai saya. Anda bukan siapa-siapa!”

Dengan langkah bergetar, aku berbalik. Kali ini, bukan hanya berjalan biasa namun berlari kencang. Menjauhi tempat dan sosok laki-laki yang dengan seenak jidat mengataiku macam-macam.

Tch! Tahu apa dia tentangku?

_._._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Evando’s Habit

15 September 2017 in Vitamins Blog

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…

 

 

Evando’s Habit

 

“Nananana….”

Evan bersenandung pelan sepanjang perjalanannya ke cafe tempat ia membuat janji dengan teman-temannya. Sesekali ia tersenyum-senyum sambil menatap jalanan Kota Bandung yang tampak cukup padat di malam minggu ini.

Ciiitt

Ia memarkirkan sepeda motor kesayangannya di salah satu sudut tempat parkir yang tersedia. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam cafe. Sepasang onyx miliknya mulai menjelajah ke segala penjuru ruangan.

“Van. Siniiiiii….”

Salah seorang temannya berteriak memberi kode keberadaan mereka.

Dengan senyum khas andalannya, ia mulai melangkah mendekati sebuah meja panjang yang penuh dengan makanan ataupun camilan di atasnya.

“Ah lo telat, Van.”

Sang pemilik nama hanya tersenyum singkat. Ia memilih duduk di kursi yang terletak paling ujung.

Sorry. Gue abis nemenin sepupu beli kado.” Sebelah tangannya mulai melepas jaket kulit berwarna cokelat yang membungkus tubuh tegapnya lantas meletakkannya pada sandaran kursi.

Diam-diam matanya mulai menelisik satu per satu teman-temannya yang datang hari ini. Sebuah perkumpulan rutin yang selalu Evan cs adakan setiap dua bulan sekali. Evan merupakan pemrakarsa berdirinya perkumpulan itu. Mulanya, hanya terdapat Varel, Fian, Chandra, Rouffiq, dan dirinya saja. Namun dikarenakan sifat Evan yang terlalu ramah, semakin banyak teman-temannya yang ikut dalam perkumpulan itu seiring berjalannya waktu. Evan tak mau menyebutnya sebagai geng atau klik karena tujuan mereka berkumpul atau nongkrong hanya sekedar untuk melepas penat, berbagi kabar, ataupun bermain untuk menghilangkan kebosanan.

“Cie elah… Bilang aja lo habis buntutin korban baru lo hari ini jadi telat.” celetuk salah satu kawannya. Evan mendelik. Siapa lagi kali ini yang-

Oh tentu saja. Siapa lagi kalau bukan si kutu kupret Varelino Dhafian Arnellius. Manusia paling menyebalkan sepanjang masa ia hidup di dunia.

Sontak, orang-orang yang ada di tempat itu riuh seketika. Mereka sukses menjadikan Evando sebagai bahan bully-an kali ini.

“Cieee cieeee yang dapat mangsa baru ni yee… Bang, bagi-bagi dong ama kita-kita. Jangan ditelan bulat-bulat sendirian. Keselek ntar!”

“Asiiiikkk… PJ buat gue mana? Oi Van, lo laris amat. Gue aja yang ganteng-ganteng begini, masih belum taken.

“Huuuuu itu sih lo yang kurang laku dodol. Ganteng dari Arab!!!”

“Hahaha antara gak laku ama jomblo berkualitas emang keliatan timpang banget.”

“Iya bener..”

Evan menyumpal telinganya dengan headset, sepenuhnya tak mau peduli dengan segala olokan mereka. Ia mencomot kerupuk udang yang tersedia di atas meja di hadapannya.

Krauk krauk

Memang kerupuk udang selalu menjadi camilan favoritnya.

“Van… Kapan-kapan kenalin ke kita-kita dong. Lo kan gak pernah bawa cewe. Nggak kata sebelah gue nih, genit.”

“Heh, maksud lo siapa Nyi Endit?”

“Iya bener tuh. Gonta-ganti cewe keseringan ntar lo kena karma loh Di!”

“Bodo.”

“Dasar centil.”

“Centil buat cewek bego!”

“Lo kan-“

“Udahlah. Cepetan makan. Ntar diserobot si Zaki tuh.” Ujar Evan mencoba menginterupsi percakapan ngalor-ngidul mereka. Sontak semuanya kompak menoleh pada sang tersangka.

“ZAKIIIIIIIIIIIIII ITU JATAH GUE!” seru mereka bersamaan.

Yeah, semua baru tersadar rupanya kalau lelaki bertubuh gempal di seberang meja mulai menghabiskan jatah makanan mereka.

Evan memutar bola matanya jengah. Selalu, seperti ini. Lalu, apa kabar dengan keadaan sebelum ia datang ke tempat ini? Bagaimana kalau Evan datang terlambat? Habislah sudah makanan yang ada di meja besar ini oleh lelaki satu itu.

by leefe_

Heliosentris – Part 7

15 September 2017 in Vitamins Blog

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 7 – Mengerti

 

Aku menekan keyboard yang ada di hadapanku kasar. Rasanya kesal sekali semenjak tadi susah payah menulis, namun hanya dengan satu tindakan ceroboh aku harus mengulang segalanya lagi dari awal.

Mengesalkan! Belum lagi dengan ide yang ada di kepalaku sudah mengabur namun aku harus cepat menyelesaikannya karena deadline pengumpulan adalah lusa.

Tik tik tik

Bunyi suara keyboard yang ditekan dengan sekuat tenaga terdengar menggema di dalam ruang perpustakaan ini.

Sudut mataku menangkap ah tidak. Sudah tidak ada lagi siswa di tempat ini. Artinya hanya ada aku sendiri dan penjaga perpustakaan disini.

Ya ampun, kenapa belum selesai juga sih? Kupikir sebelum kejadian naas yang kualami, ideku mengalir deras. Tidak seperti ini.

Lambat, bahkan aku bingung apa yang harus ku ketik sekarang.

“Ngetik kok kaya siput…”

Ng?

Apa? Siput?

Siapa tadi yang baru saja berbicara?

Aku menoleh.

Ya Tuhan , eyaaaang….

Kenapa cucumu harus bertemu dengan kawanan makhluk menyebalkan ini sekarang?

Astaghfirullah, sabar Dis.. Kamu hanya sedang kesal saja. Jangan lampiaskan ke dia, oke.

Aku menghela nafas panjang mencoba meredam semua kekesalan yang tiba-tiba saja muncul. Jangan sampai, aku tersulut karena ucapan lelaki ini. Dengan acuh, aku berbalik. Menghadap monitor lantas melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.

Satu detik…

Apa dia sudah pergi?

Dua detik…

Tapi kenapa seperti ada yang memata-mataiku ya?

Tiga detik…

Rasanya mustahil kalau dia masih disini

Emp-

“Cerita, eh?”

Kan. Dia belum pergi ternyata. Jari-jemariku berhenti bergerak. Semangat untuk mengetik ulang surut seketika. Aku menunduk.

Memang apa pedulinya?

“Ada banyak ejaan yang kurang tepat. Lo anak IPA kan? Harusnya lo tau kalo preposisi itu dipisah sama nama tempat.”

Ha?

Aku melongo sejenak.

Memangnya iya?

Fokus mataku beralih sepenuhnya pada rentetan kalimat yang ada di hadapanku.

Preposisi…

Preposisi…

Ah, ini dia. Benar, rupanya aku kurang teliti. Ternyata dia pintar juga.

“Oh, makas-“

Baru saja ingin mengucapkan terima kasih tapi…

Kemana dia? Aku menoleh sempurna ke belakang.

Nihil.

Tidak ada di sudut manapun. Lelaki itu benar-benar menghilang layaknya hantu. Aku menggeleng pelan.

Dasar lelaki aneh. Mimpi apa aku tadi malam hingga harus bertemu dengan lelaki-lelaki aneh yang luar biasa unik. Sepertinya, aku yang kurang banyak berzikir sehingga bertemu dengan banyak kesialan hari ini. Benar. Kalau seperti itu, aku harus segera menyelesaikan ini dan cepat pulang ke rumah untuk sholat taubat.

_._._

Aku menuntun sepedaku sepanjang jalan pulang menuju rumah. Rasanya menyebalkan sekali bila hal ini terjadi padaku.

Mataku menatap ban depan sepedaku yang kempes. Mengapa ban sepeda saja tak mau mengerti keadaanku?

Aku menggeleng pelan.

Entah ini memang takdir atau kesialan, tapi aku benar-benar bingung bagaimana caraku pulang hari ini. Jika aku terus memaksakan diri untuk menuntun sepeda hingga ke rumah, sudah pasti setelah adzan Isya’ aku baru sampai di rumah.

Tapi…

Aku merogoh saku rokku. Kosong. Tidak ada yang disana.

Gladys… Gladys…

Apa yang kamu harapkan? Memangnya selama ini kamu pernah membawa uang? Sudah beruntung kamu bisa makan di rumah, sekolah tanpa mengeluarkan biaya, bertemu dengan banyak teman, mau kurang bersyukur apalagi kamu?

Aku menghela nafas panjang. Meskipun eyang tak pernah memberikanku yang saku, setidaknya aku harus bersyukur dan berterima kasih padanya. Aku tak boleh menuntutnya terlalu banyak. Sudah beruntung kalau ia tak membuangku seperti apa yang dilakukan mereka. Ia yang membesarkanku sampai aku bisa berjalan seperti sekarang.

Deg

Mataku membelalak menatap sebuah pemandangan menyakitkan yang berada tak jauh dari tempatku berada.

Ya Tuhan, kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok atau sepuluh tahun yang akan datang? Mengapa harus hari ini?

Dadaku terasa amat sesak. Sosok yang kurindukan, sosok yang selalu kutanyakan keberadaannya pada mereka, sosok yang membuatku hidup seperti saat ini. Bagaimana mungkin…

Air mataku mengalir turun begitu saja.

Ya Tuhan, rasanya sakit sekali.

Mereka tertawa lepas saat sang gadis kecil itu berceloteh panjang. Lalu, wanita yang berada di sisinya mengelus lembut surai hitamnya.

Satu hal yang bisa kusimpulkan.

Dia… Bahagia.

Itu yang kulihat.

Aku mengusap pipiku yang terasa basah.

Syukurlah kalau ia bahagia setidaknya aku bisa bernafas dengan lebih lega sekarang. Meskipun aku benar-benar ingin bertanya apa alasannya membuangku.

Aku kembali melanjutkan langkah kakiku yang sempat terhenti karena menatap pemandangan di seberang jalan. Sesekali sebelah tanganku mengusap air mataku yang mengalir.

Rasanya memang sesak sekali. Tapi syukurlah, aku bisa mengobati kerinduan yang membludak di rongga dadaku dengan melihat kembali sosoknya setelah sekian lama.

Walaupun dengan begitu, aku tau bagaimana rasanya dilupakan oleh orang yang kusayangi hanya dengan melihat bagaimana ia tertawa.

Aku tersenyum kecil.

Terimakasih Engkau sudah mengabulkan satu dari sekian ratus doaku.

Aku bahagia, sekalipun dadaku terasa sakit dengan melihatnya.

Aku menatap lalu lalang kendaraan yang bergerak tanpa henti. Di jalan ini, aku kembali bertemu dengannya. Menyaksikannya bahagia.

Tuhan…. Sampaikan padanya jika aku mencintainya. Sangat mencintainya.

Mama… Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu.

_._._._

“Nduk, napa ta iki? Deneng nangis?”

Sesuai dugaan, Eyang menginterogasiku setelah aku membuka pagar rumah. Ia menatapku khawatir.

Note :
°Nduk, napa ta iki? Deneng nangis?
=> Nak, kenapa ini? Kok nangis?

Aku menggeleng singkat dengan air mata yang terus mengalir keluar.

“Mboten napa-napa, Eyang. Wau teng margi, Adis ningali tiyang kecelakaan.”

Ya Tuhan, ampuni dosaku karena sudah berbohong pada orang yang sudah merawatku ini. Tapi, aku benar-benar tak mau melihatnya ikut bersedih hanya karena mendengar kejujuranku.

Note :
°Mboten napa-napa, Eyang. Wau teng margi, Adis ningali tiyang kecelakaan.
=> Nggak kenapa-napa, Eyang. Tadi di jalan, Adis lihat orang kecelakaan.

Ia menatapku curiga namun berakhir mengangguk percaya, seperti biasanya.

“Yo wes, aja nangis maneh. Adus nganah. Cah ayu kaya ngene durung adus, ra ilok.”
Ia mengelus rambutku pelan. Kebiasaan yang selalu ia lakukan untuk menenangkanku yang tengah menangis.

Note :
°Yo wes, aja nangis maneh. Adus nganah. Cah ayu kaya ngene durung adus, ra ilok.
=> Ya sudah, jangan nangis lagi. Mandi sana. Anak cantik seperti ini belum mandi, tidak baik.

Aku menggigit bibirku kencang, mencoba menahan isakkan yang sebentar lagi akan meledak.

“Nggih. Matur nuwun, Eyang.”

Note :
°Nggih. Matur nuwun, Eyang.
=> Ya. Terima kasih, Eyang.

Usai mengucapkan itu, aku tergesa melangkah ke kamar. Melepas segala atribut dan meletakkan tasku di kasur sebelum beranjak ke sumur untuk mandi.

Eyang, Adis kangen sama Mama tapi ndak bisa meluk mama.

Aku menutup mulutku erat. Menangis terisak-isak dalam keremangan cahaya malam. Merindukan sesuatu yang tak mungkin untuk kurindukan.

Bagaimanapun, aku sadar akan posisiku. Dimana tempatku berada yang seharusnya dan apa yang patut kucapai. Aku amat sadar itu.

Mama…

Papa…

Mereka mungkin orang yang membuatku bernafas di dunia ini. Namun aku juga mengerti jika kehadiranku sama sekali tak diharapkan oleh keduanya. Itu yang semua orang teriakkan padaku semenjak aku masihlah seorang balita yang hanya mengerti susu dan teddy bear kesayanganku.

_._._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Evando’s Side

15 September 2017 in Vitamins Blog

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Evando’s Side

 

Di waktu yang sama, di tempat lain…

“Bener-bener unik.”

Lelaki itu menggeleng pelan lantas tersenyum kecil. Kedua kakinya tetap melangkah ke depan sementara pikirannya terbang entah kemana.

“Gue-“

“Van!”

“Astogeh!”

Ia melompat mundur begitu suara itu mengisi indera pendengarannya secara tiba-tiba. Kedua tangannya secara refleks bergerak menutupi telinganya rapat.

Dan…

Dia lagi…

Oh, apakah ia harus melempar sepatunya untuk oknum satu ini?

“Napa lo senyum-senyum gaje? Otak lo nggak korslet kan, Van?” tanya seorang lelaki yang menjadi sumber perusak moodnya pagi ini. Evan memutar bola matanya jengah.

Andai saja, ia bisa mengubur laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya ini di kaki Himalaya, ia pasti sudah melakukannya sejak mereka masih mengenyot dot dan menggunakan popok. Tapi jika ia melakukan hal yang ada di imajinasinya sekarang, sudah bisa dipastikan kalau nama Evando Kalvian Collins pasti benar-benar tercatat di salah satu batu nisan atau paling ringan, hanya tercatat di buku administrasi rumah sakit dengan keterangan patah tulang, koma, atau bahkan kritis.

Oke, terlalu lebay memang. Tapi, itu memang benar. Sahabat se-generasinya itu benar-benar mengerikan di kala marah. Semua orang pasti akan langsung meminta lenyap seketika dari dunia jika sampai seorang Varelino murka.

“Kepo lo, Rel! Nggak tau apa gue lagi seneng?!”

Ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Di belakangnya, Varel hanya tertawa menanggapi ucapan penuh kekesalan dari sohibnya. Kedua kakinya secara otomatis mengikuti setiap langkah lelaki di sampingnya sedangkan sebelah lengannya merangkul bahu sahabatnya itu.

“Ya elah… Gitu aja sewot. Woles bro! Secara baru dapet gebetan baru gitu?”

Evan mendelik. Kan, apa dia bilang barusan. Sahabatnya itu terkadang menjelma menjadi seorang cenayang, seperti ini. Entah mendapat bisikan gaib mana, ia bisa tau tentang hal itu. Atau…

“Rel, lo nggak bisa baca pikiran orang kan?” Pemikiran itu entah muncul dari mana tapi terasa benar untuk siapa saja yang tengah berada di posisinya. Bayangkan saja, tidak ada hal yang tidak diketahui Varel tentang dirinya. Mulai dari celana dalam, boxer yang tengah ia pakai (dari yang berwarna kuning hingga hitam, Varel pasti selalu bisa menebaknya dengan benar), suasana hatinya (seperti sekarang), bahkan terkadang isi lamunannya.

Ia bergidik.

Mengerikan sekali kalau sampai si menyebalkan ini juga tau kapan Evan berencana membuang gas metana. Secara, ehem ia kan memang selalu melakukan hal itu dimanapun ia mau dan sering tak mengaku. Mau ditaruh dimana wajahnya nanti kalau ia ketahuan. Apalagi, si Varel ini tak bisa menyimpan rahasia. Mulut ember, istilahnya.

Oke, sepertinya ia harus jauh-jauh dari Varel mulai sekarang.

“Van…”
Masa bodoh dengan predikat sahabat masa kecilnya, tapi kalau hal seperti ini ia harus benar-benar menyelamatkan hidupnya.

“Ev…”
Mimpi apa ia bisa bersahabat dengan Varel.

“Evan…”
Kalau dipikir-pikir, kenapa ia bodoh sekali ya mau berkawan dengan manusia satu itu. Sudah tidak ada bagus-bagusnya, em-

“EVAAAAAAANNNN!!!!”

“MAMAAAAAAAAAA…” Mereka menyahut bersamaan. Evan nyaris terjengkang ke belakang saat dengan kurang ajarnya, manusia usil satu itu berteriak tepat di depan wajahnya.

Bayangkan!

Wajahnya.

Kalau sampai orang lain melihat mereka, pasti ia akan disangka manusia setengah-setengah.

Hiiiiii…

Big no! Hanya Varel yang kurang waras dan mungkin sedikit menyimpang. Ia tak mau ikut terseret-seret.

“BWAHAHAHAHAHA….” Dan yeah. Menyebalkan dan tak tau aturan seperti biasa.

Evan mendengus.

Tertawakan saja sepuasnya sampai mengeluarkan air mata. Ia ikhlas. Ikhlas…

Brakk

Hening…

“BWAHAHAHAHAHA DASAR ANAK MAMA HAHAHAHAHA…”

Grrr…

Bolehkah ia membungkus makhluk Tuhan satu ini dan melemparnya ke Samudra Arktik?

To Be Continue

by leefe_

Heliosentris – Part 6

11 September 2017 in Vitamins Blog

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…


Loading…

 

 

Part 6 – PMS atau ‘PMS’?

Dorr

“HUAAAAAAAAAAAA….” Aku melemparkan bolpoin hitam yang tengah kupegang begitu saja. Jantungku berdetak liar di dalam rongga dadaku.

Astaga! Siapa yang berani mengu-

Dia lagi!

“Hai…” sapanya dengan nada ceria dalam suaranya. Aku mendengus. Menyebalkan sekali harus bertemu dengan makhluk Tuhan yang satu ini. Kupikir setelah kejadian kemarin-kemarin, dia akan bosan menggangguku dan menghilang begitu saja seperti yang lainnya. Mendekatiku hanya karena penasaran lalu membullyku setelah tau bagaimana sifatku dan latar belakang yang kumiliki.

Aku mendengus. Kembali memfokuskan konsentrasiku pada buku biologi untuk jam pertama nanti.

“Idih… Judes amat, Mbak! Lagi PMS ya?”

Aku mendelik. Apa? PMS?

“Enak saja. Aku masih bersih. Masih suci, belum pernah memiliki teman laki-laki apalagi pacar. Jadi, tidak mungkin terkena penyakit menular seksual!!!” sahutku berapi-api. Nyaris meledak sebenarnya. Terlebih keinginan terbesarku saat ini adalah menimpuk kepalanya dengan menggunakan buku yang tengah kupegang lantas mengusirnya jauh-jauh agar ia tak mengusikku lagi.

“He? Pacar? Penyakit? Maksudnya?”

Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. Apa maksudnya? Apa ia sedang berpura-pura idiot mendadak sekarang?

Aku mengepalkan sebelah tanganku kesal. Merasa di permainkan, tentu saja.

“Kamu yang bilang kalau aku punya penyakit menular kan? Sembarangan! Aku tid-

Wait! Wait! You mean that I said if you-

“Nggak usah sok inggris!” potongku cepat. Laki-laki ini tidak menghargai bangsanya sendiri, sampai harus berbicara dengan menggunakan bahasa inggris dalam percakapan sederhana seperti ini. Bahasa Indonesia saja dia masih belum bisa menggunakannya dengan baik dan benar, sudah beralih menggunakan bahasa inggris yang bukan merupakan bahasa aslinya. Keterlaluan sekali.

“Okey. Siapa yang bilang kalo gue lagi ngomong tentang penyakit menular, dodol? Ah lo polos apa bego sih sampe hal begituan aja gak tau!”

Ia berdecak.

Wow! Dia benar-benar nekat mencari mati denganku rupanya.

Sabar… Sabar… Sabar Gladys…

Aku menghela nafas panjang sebelum bersua.

“Sepertinya kamu memang anggota Palang Merah palsu ya? Dimana-mana, PMS itu kepanjangan dari Penyakit Menular Seksual. Itu kan maksud kamu!”

Plakk

“Aduh..”

Aku mengelus-elus keningku yang baru saja ditepuk keras oleh tangannya. Sakit sekali.. Tidak taukah ia kalau kekuatan lelaki dan perempuan itu berbanding terbalik? Aku yang bukan siapa-siapanya saja sudah mendapatkan ‘salam’ dari tangannya. Bagaimana jika itu istrinya? Aku tak bisa membayangkannya. Terlalu mengerikan pastinya.

“Bukan itu maksud gue… PMS itu kepanjangan dari Premenstrual Syndrome. ngerti?”

Ooh Premenstrual Syndrome… Kukira Penyakit Menular Seksual. Ternyata ada juga nama lainnya.

“Ya Ampun, Gladys Anindya. Lo sebenernya dari abad berapa sih? Mama lo bukan Pithecantropus Erectus kan?” Aku mendelik. Enak saja, mamaku disamakan dengan manusia purba. Mem-

Mama?

Aku tersenyum getir saat satu kata penuh arti itu melintas di benakku. Wanita yang menjadi ibuku sangat cantik. Meskipun dia hanyalah wanita desa yang salah pergaulan ketika merantau ke kota. Bertemu dengan Papa dan…

Aku menggeleng.

Untuk apa mengingat hal-hal menyakitkan itu lagi. Mereka bahkan entah berada di dunia sebelah mana dan tentunya tak akan mungkin mau repot-repot mengingat anak yang sudah mereka anggap pembawa… sial?

“Hoi!”

Aku terlonjak. Kenapa lelaki ini menyebalkan sekali sih?

“Sudahlah. Aku mau belajar lagi. Kakak ke kelas sana. Sebentar lagi pasti murid-murid datang. Aku nggak mau digosipin sama Kakak. Kakak kurang tampan, menyebalkan pula.”

Ia mendelik. Aku melengos tak peduli. Masa bodoh lah. Hanya membuang waktu berhargaku untuk berkencan saja.

Oh, bukuku sayang. Maaf ya untuk yang tadi…

“Heiiiii… Dis! Gladys! Gue ini cowok terganteng se-SMA, paling pinter, rajin menabung, cinta alam, cinta keluarga, dan sayang sama pacar! Gladys! GLADYSSSSSSSS……”

Memangnya apa peduliku?

Ya, tertampan se-SMA mungkin. Tapi jika dilihat dari rooftop dengan sedotan pasti orang baru akan menyebutnya tampan. Apa dia tak pernah bercermin? Lihat saja pipinya yang memiliki banyak kawah. Belum lagi dengan rambutnya yang seperti baru saja tersetrum arus listrik bertegangan tinggi. Berantakan dan entah bisa dijabarkan dengan model apa.

Dasar manusia tak tau introspeksi! Hanya bisa menyombongkan diri dan melihat dirinya seolah lebih baik dari kaum yang lebih kecil darinya. Padahal ia tak memiliki apa-apa yang bisa diakuinya sebagai hak milik di dunia ini. Semuanya hanya titipan Tuhan. Bukan mutlak miliknya.

_._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Part 5

11 September 2017 in Vitamins Blog

 

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 5 – Pelindung

 

Aku tak pernah tau jika pulang sekolah usai Maghrib adalah ide yang benar-benar buruk.

Pandangan mencemooh dari orang-orang yang kulewati juga membuatku tak nyaman. Belum lagi dengan beberapa halaman gelap tanpa penerangan yang membuatku sedikit bergidik kalau-kalau ada makhluk abstrak yang memilih menyapaku di jalanan yang agak sepi ini.

Salahku juga sebenarnya karena di antara puluhan jalan yang sekiranya ramai, aku justru memilih jalan pintas yang agak sepi dan menyeramkan. Lelah, aku berhenti mengayuh sepeda dan berganti menuntun sepedaku. Kusempatkan untuk melirik pergelangan tangan kiriku.

Baru pukul 18.23.

Ini sih nekat namanya jika aku meneruskan perjalananku. Eyang pernah mengatakan bila adzan adalah waktunya manusia untuk berhenti sejenak dari segala aktivitasnya, terlebih adzan maghrib. Belum lagi sehabis maghrib, bagi orang-orang yang bisa melihat ‘sesuatu’ seperti eyang akan terlihat lebih banyak makhluk-makhluk yang berkeliaran ketika malam. Itu membuatku selalu was-was bila ingin keluar rumah saat malam.

Aku menghentikan langkahku ketika sampai di depan sebuah mushola. Memarkirkan sepedaku di tempat yang telah tersedia, lalu melepas sepatu dan beranjak untuk mengambil wudhu. Lebih baik beristirahat sebentar untuk menunaikan kewajibanku daripada nanti terlambat. Lagipula, Eyang juga pasti akan marah kalau tau cucunya ini mangkir dari kewajibannya.

_._._

“Ya Allah, Nduk. Pulang malam lagi?”

Eyang menghadangku begitu aku membuka pagar rumah. Aku menyandarkan sepedaku di salah satu batang pohon, lalu berlari kecil untuk menyalami eyang. Ia terlihat marah saat mendapati kondisiku yang lagi-lagi pulang dengan baju yang kotor. Aku meringis. Pasti untuk beberapa jam ke depan, aku benar-benar akan berakhir dengan berdiri kaku mendengarkan ceramah live-nya. Habis sudah waktu tenangku.

“Pokoknya, Eyang ndak mau tau. Kamu jelasin sejelas-jelasnya atau kamu Eyang hukum.”

Kan? Eyang pasti akan mengeluarkan ancamannya. Apalagi ia su-

Tunggu!

Aku menegang.

H-hu-hukuman?

Aku bergidik. Ini lebih mengerikan daripada melihat hantu sekalipun karena hukuman yang akan diberikan eyang benar-benar hukuman dan aku sama sekali tak bisa tahan dengan segala hal bertajuk hukuman dari eyang. Ini buruk! Benar-benar buruk.

“I-iya Eyang..” balasku lalu memilih menundukkan kepalaku. Tamatlah riwayatku.

_._._

Braakk

“BU IRA! KELUAR! BU IRAAA!”

Aku terlonjak kaget dari kegiatanku mengupas kacang tanah yang banyaknya bukan main, bangkit dari posisiku lalu sedikit berlari keluar mencoba mencari tau siapa tamu tak diundang yang dengan seenaknya berbuat keributan di rumah eyang.

Kulihat eyang baru saja keluar dari kamar dan menghadap tamu tak diundang itu.

Ya Tuhan…

Apa-apaan ini?

Aku menatap nanar beberapa -ah tidak lebih tepatnya banyak kue-kue yang dibuang dengan sengaja di hadapanku dan… Eyang!

Astaga, eyang pasti sedih melihat banyaknya makanan yang dihambur-hamburkan seperti ini. Apalagi kue-kue itu adalah buatan eyang.

“INI YANG NAMANYA KUE HAH? INI YANG NAMANYA KUE! ANAK SAYA MAKAN KUE YANG DIBELI DARI BU IRA DAN BERAKHIR KERACUNAN DI RUMAH SAKIT! POKOKNYA SAYA NGGAK MAU TAU. IBU HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAU KALAU TIDAK, SAYA AKAN SERET IBU KE POLISI!” teriak wanita paruh baya yang ada di hadapanku dan eyang.

Apa? Keracunan?

Sinting! Main tuduh seenaknya. Menyalahkan eyang lagi, benar-benar cari mati.

“Maaf, Bu. Tapi apa benar ini membeli kue dari saya? Sejauh ini para pembeli kue saya tidak mengeluh apa-“

“MAU MANGKIR? IBU TIDAK LIHAT KUE-KUE YANG SAYA LEMPAR? INI BUKTINYA! INI BUKTINYA!”

Ia menendang-nendang makanan yang tercecer di lantai itu kasar. Aku menutup mulutku, terkejut.

Seumur hidupku, eyang tak pernah memperlihatkan perilaku membuang-buang makanan walau sebutir nasi sekalipun. Lalu ini! Astaga, tidak beretika sekali kelakuannya.

Eyang hanya terdiam. Ia menatap makanan yang ada di dekat kakinya.

“Bisa saja Ibu membelinya dari orang lain lalu melemparkan semua kesalahan pada Eyang saya? Apa buktinya kalau ibu membeli kue-kue ini dari Eyang saya?” ujarku mengambil alih pembicaraan. Walaupun geram setengah mati, namun aku akan tetap mengutamakan tata krama dengan berkata sopan dan lembut. Tidak seperti orang yang ada di hadapanku!

“Kamu menuduh saya berbohong? DASAR KELUARGA KURANG AJAR! MEM-“

“Kurang ajar heh?” potongku cepat begitu mendengar kalimat makiannya. Ini soal memaki, jelas tak akan berakhir baik jika aku tetap mempertahankan unggah-ungguhku. Masa bodoh jika eyang akan menambah hukumanku. Dia menghina keluargaku!

“KAM-“

“Siapa yang kurang ajar? Saya rasa terbalik. Ibu yang dat-“

“BER-“

“DIAM!”

Ya Tuhan, maafkan aku karena membentak hamba-Mu. Tapi dia memang sudah kelewatan.

Ia membelalak. Sudut mataku menangkap hal yang sama terjadi pada eyang. Mereka sama-sama terkejut mendengar bentakanku.

“Perlu saya definisikan apa arti kurang ajar? Kurang ajar itu perilaku seseorang yang menerobos masuk ke rumah seseorang tanpa izin lalu membuat keributan. Kurang ajar itu sikap seseorang yang membuang-buang makanan dan menendangnya kasar. Kurang ajar itu perilaku seseorang yang berteriak-teriak marah tanpa alasan yang jelas dan pasti. Bag-

“Saya tidak boh-“

“SAYA BILANG DIAM!” bentakku sekali lagi. Aku benar-benar marah sekarang!

“Saya memang melihat makanan yang dibuang di hadapan saya. Tapi, yang saya lihat hanya makanan ini. Hanya makanan! Bukan sebuah bukti!” tandasku di akhiri dengan senyuman sinis.

Wanita itu tertegun.

Aku memilih melanjutkan.

“Dan, nyonya yang terhormat. Saya bisa membalikkan tuduhan tanpa bukti Anda dan bagaimana jika saya yang membuat laporan atas pencemaran nama baik ah mengganggu ketenangan orang lain sebagai tambahannya. Maka saya jamin, Anda akan tidur di lantai dingin di balik jeruji besi lebih dari 1 bulan.”

Bagus! Aku sepertinya harus bertepuk tangan untuk keberanianku yang satu ini.

“Ini memang baru ancaman namun jika Anda masih bersikeras untuk melanjutkan perdebatan maka saya jamin, Anda akan benar-benar mengalami semua yang saya katakan. Jadi, tolong…”

Aku menunjuk pintu yang telah terbuka lebar.

“Pintu keluar ada di belakang Anda.”

Ia menatapku tak percaya. Aku balik menatapnya datar tanpa ekspresi. Sepenuhnya berharap ia akan pergi secepatnya dari hadapanku sebelum aku mengamuk lebih hebat lagi.

Tanpa aba-aba, ia berbalik. Menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan getaran pada kaca yang berada di sebelahnya. Aku mengerjapkan mataku perlahan.

Aku benar-benar melakukannya. Yeah, aku benar-benar membentak orang! Akhirnya…. Aku tau bagaiman-

Eyang!

Nduk…

Eyang menatapku penuh peringatan. Matilah aku…

“Eyang ndak pernah ngajarin kamu begitu.” Ah, alamat tak baik jika eyang sudah berkata begitu.

Aku menunduk pasrah.

Ngapunten, Eyang.”

Note :
°Ngapunten => Maaf

_._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Part 4

10 September 2017 in Vitamins Blog

23 votes, average: 1.00 out of 1 (23 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…

 

 

Part 4 – Mereka, Lagi

 

Braakk

“Selesein tugas gue! Cepet!”

Aku menatap malas seorang gadis ah tidak. Aku lebih suka menyebutnya nenek sihir, sebenarnya. Ia mengangsurkan sebuah buku ke hadapanku yang tengah menyantap bekal.

Aku mengernyit. Menatapnya tajam, tak merasa takut sedikitpun.

“Memangnya aku dibayar berapa menjadi pembantumu?” ujarku sinis. Ia melotot. Aku bahkan tetap merasa tenang saat ia mulai mengambil ancang-ancang untuk memakiku seperti biasanya.

“LO BILANG APA? Heh, udik! Lo berani sama gue? Girls! Kayaknya ada yang perlu diberi pelajaran mendadak sekarang.” teriaknya marah. Aku menghela nafas panjang.

Lihat saja, apa yang akan dilakukannya selama beberapa menit ke depan.

Sedetik kemudian, salah seorang dari pengikutnya mulai mendekatiku. Ia menyeretku kasar keluar kelas yang diikuti oleh seluruh anggota gengnya.

Bukk

“Aakhh…”

Aku meringis saat mereka melemparku ke sudut ruangan yang berdebu. Ruangan tak terpakai yang masih dalam tahap renovasi, sepertinya menjadi pilihan mereka untuk menyiksaku kali ini. Tak buruk sebenarnya. Karena ruangan ini tak begitu gelap seperti kemarin. Lagipula ruangan ini juga luas meskipun sangat sangat kotor. Aku bersyukur untuk hal itu.

“Lo mau pelajaran apa hah? Cewek sok pinter!”

Ia bersedekap. Kedua matanya berkilat puas. Aku bangkit dari posisiku. Menepuk-nepuk rok-ku yang mungkin terkena debu.

“Lebih baik sok pintar, itu artinya aku benar-benar pintar. Daripada sok bodoh, itu artinya memang bodoh sungguhan.” tanggapku santai di sela-sela kegiatanku membersihkan rok-ku dari debu.

Aku sedikit meringis sakit saat ia menarik rambutku secara tiba-tiba. Sakit sekali rasanya. Meski sering merasakannya, tetap saja aku tak bisa akrab dengan rasa sakitnya. Seperti rambutku akan terlepas dari permukaan kepalaku.

“Lo berani ngelunjak hah?” bisiknya di telingaku. Aku mengalihkan tatapanku. Mencoba memberanikan diri menatap sepasang iris cokelat yang menatapku penuh amarah.

“Kita mulai pelajarannya sekarang. Lihat, sampe mana si udik ini bisa ngelawan. Let’s go!” ucapnya memberi aba-aba.

Aku mendesah pasrah. Siksaan di mulai.. Lelah sekali rasanya bila harus menjalani hari-hari semacam ini selama satu tahun lagi. Ya Tuhan, bolehkah aku meminta sesosok pelindung dalam kehidupanku. Setidaknya sosok yang akan melindungiku dari rasa sakit. Aku benar-benar tidak tahan dengan ini semua.

_._._

“Van… Bisa nggak sih kita tinggalin dia aja? Udah sore ini. Lo nggak takut kemaleman apa?”

“Woi! Kalo kita ninggalin dia gitu aja, harga diri gue yang bakal turun bego! Kan Bu Santi yang nyuruh gue buat jagain dia sampe sadar. Ah gimana sih lo, Rel.”

“Tau ah. Bodo amat, emang gue peduli.”

“Ish! Nggak setia kawan banget lo sama gue.”

Aku mencoba membuka kelopak mataku yang terasa berat. Telingaku sempat berdengung sesaat sebelum mendengar percakapan itu.

Ruangan ini lagi…

Putih dimana-mana, membuatku dapat mengenali tempat dimana aku sekarang. Dimana lagi kalau bukan ruang UKS. Ternyata aku benar-benar berakhir di tempat ini. Lagi.

Entah mengapa. Biasanya, aku hanya akan berakhir dengan pulang terlambat karena lemas, tak mampu mengayuh sepedaku.Tetapi, beberapa hari ini aku justru berakhir di ruangan serba putih ini. Menyebalkan.

“Syukur deh lo udah sadar. Gimana keadaan lo?” tanya sebuah suara dari arah kanan tempatku berbaring. Aku menoleh. Dia lagi dan dia.

Dari sekian puluh peluang yang ada, mengapa harus mereka lagi yang menjumpaiku dalam keadaan semacam ini? Sepertinya sekolah ini kekurangan petugas medis sampai harus mereka lagi yang menungguiku.

“Minum.” ucapku pelan. Benar. Tenggorokanku terasa luar biasa kering. Efek dari tak menelan apapun semenjak pagi kecuali menelan ludahku sendiri.

Lelaki itu mengangsurkan segelas air putih dengan sebelumnya membantuku bersandar di kepala ranjang terlebih dahulu.

Ah segar sekali.

“Van. Pulang yuk.”

Aku menoleh. Benar, dia lagi. Seperti kemarin, ia bersandar pada pintu dan mengamati kami berdua dengan tatapan sinisnya.

“Yuk. Eh, Gladys. Lo mau pulang juga kan? Gue anterin apa lo pulang sendiri?”

Lelaki yang berada di samping ranjang tempatku berbaring, bertanya. Raut wajahnya sedikit was-was saat menatapku.

Kenapa dia?

Aku bertanya-tanya, ada apa dengan ekspresinya? Takutkah dia denganku?

Lucu sekali.

“Eitss… Santai. Gue niat baek kok. Jangan gigit, oke?” ujarnya tanpa kuduga. Aku menganga.

Apa? Gigit?

Pfftt…

Aku menahan tawaku yang ingin menyembur keluar. Rupanya lelaki ini sedikit trauma dengan kejadian kemarin.

“Siapa yang mau gigit kamu? Maaf untuk yang kemarin. Aku benar-benar nggak berniat. Tadi pagi aku juga udah bilang ‘kan.”

Ekspresinya kembali seperti sebelumnya. Tenang dan bibirnya menyunggingkan senyum ramah.

“Gue terima maaf lo. Udah yuk, pulang. Keburu Pak Danu nutup gerbangnya. Lagian, bahaya ntar kalo beruang di pintu ngamuk.” Candanya yang membuatku tersenyum kecil. Dia lelaki paling ramah yang pernah kukenal. Yah satu-satunya lebih tepatnya setelah almarhumah kakek.

Aku beringsut dari posisiku dan mengambil tas yang entah sejak kapan berada di ujung ranjang, lantas beranjak keluar ruangan.

Hari benar-benar sudah gelap ketika aku berada di parkiran. Terbukti dari langit yang sudah menghitam dan lampu-lampu yang berada di setiap kelas yang menyala. Suasana sekolah juga sudah benar-benar sepi. Beruntung, ada dua lelaki di hadapanku sehingga membuat sedikit banyak ketakutanku berkurang. Aku mengambil sepedaku dan bersiap mengayuhnya, sebelum seruan itu menghentikanku sepenuhnya.

“Heii, lo mau pulang bareng gue?”

Aku mendongak mencari-cari sumber suara yang mungkin saja tengah mengajakku bercakap.

Terlihat seorang lelaki yang memakai jaket kulit berwarna hitam tengah menstarter motor besarnya. Ia menatapku dengan jenis tatapan yang kukenali belakangan ini.

“Lo baru sadar dari pingsan dan lo mau naik itu?”

Ia menunjuk sepeda bututku saat mengucapkan kata ‘itu’. Aku menunduk. Memangnya kenapa?

“Iya.” balasku setengah bingung. Kenapa memangnya?

“Hadeh.. Lo mau besok gue di damprat sama Bu Santi ya? Udahlah. Pulang bareng gue aja. Taruh sepeda lo disini, aman kok. Yuk pulang.” sahutnya setengah memaksa. Enak saja! Kalau sepedaku dititipkan, lalu bagaimana besok aku berangkat? Jalan kaki? Tidak mungkin naik bus atau angkutan umum karena jadwal berangkatku yang terlalu pagi. Belum lagi jika Eyang menanyaiku macam-macam. Bisa marah ia kalau sampai tau keadaanku yang mengenaskan ketika di sekolah.

Cepat-cepat aku menggeleng. Jelas menolak ajakannya yang sama sekali tak menguntungkan.

“Ih, lo keras kepala banget ya. Kayak si Var-“

Brumm Brumm

Ucapannya sontak terhenti ketika sebuah sepeda motor melintas di hadapan kami yang berseberangan.

“Vareeeeeeeeellllll! Tungguin gueeeeee!!!!” teriak lelaki itu keras. Ia segera memakai helmnya dan bersiap pergi.

“Ya udahlah kalo lo mau pulang sendiri. Pokoknya gue nggak tanggung jawab kalo lo kenapa-napa ntar. Byeee…

Dengan itu, ia meninggalkanku sendiri di parkiran yang sepi. Aku menatap sosoknya yang mulai menghilang di ujung jalan menuju gerbang. Menghela nafas panjang lantas menggeleng kecil.

“Aku udah biasa kok. Nggak bakal terjadi apa-apa. Tuhan pasti ngelindungin hamba-Nya.” gumamku pelan. Dengan santai, kembali kulanjutkan kegiatanku semula. Mengayuh sepeda sekuat tenaga, meninggalkan sekolah yang sudah benar-benar sepi.

_._._._

To Be Continue~

 

by leefe_

Heliosentris – Part 3

10 September 2017 in Vitamins Blog

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 



Loading…

 

Part 3 – Lelaki Kemarin

 

Menjadi sepertiku sangatlah tidak enak. Dibenci orang-orang yang ada di sekelilingku, dicaci, di bully, dikambinghitamkan, bahkan dipandang sebelah mata. Tak ada yang mau berteman denganku. Bahkan untuk sekedar menatapku, mereka tak akan sudi.

Aku hanyalah gadis desa miskin yang mencoba meninggalkan masa laluku dengan pergi ke kota bersama nenekku. Menempati sebuah rumah lama peninggalan keluarganya dulu.

Namun aku sadar jika dimanapun dan sampai kapanpun, title miskin tetaplah akan kusandang hingga ke ujung dunia sekalipun.

Aku sadar. Bahkan amat sadar akan kondisiku yang serba kekurangan. Dengan eyang yang mencoba mencari nafkah dengan cara berjualan kue di pasar dan aku yang hanya mengandalkan beasiswa dari sekolah untuk bisa memperoleh ilmu dan mengejar mimpiku.

Aku tak berharap macam-macam. Impianku hanyalah ingin membuat seulas senyum di wajah senja orang yang begitu kucintai. Seseorang yang tak kenal lelah demi diriku yang bahkan tak bisa memberikan apa-apa selain beban untuknya. Aku ingin membuatnya bangga karena kesuksesanku nanti.

Nduk, makan dulu.”
teriaknya dari arah dapur. Aku menutup buku catatan yang sempat kubaca lantas bergegas menuju sosoknya berada.

Aku tersenyum kecil menatap sepiring nasi yang sudah tersaji di hadapanku.

Beruntung, hari ini aku bisa makan enak. Meski bagi sebagian orang, tempe dan kerupuk merupakan lauk yang membosankan. Tapi tidak denganku. Bagiku, ini sudah terlalu mewah. Eyang pasti bekerja keras untuk dua piring nasi yang ada di hadapanku.

Piye sekolahmu?”

Kami mulai berbincang ringan di sela-sela kegiatan rutin yang kami lakukan.

Aku mengangguk. Tak mampu bersuara saat mulutku terisi penuh dengan makanan.

Sae, Yang.” ucapku setelah menelan semua makanan yang menyinggahi mulutku. Ia mengangguk.

Note :
°Sae => Baik

Sosoknya memang tak banyak bicara. Eyang lebih suka memberikan tindakan daripada sebuah kata-kata. Namun karakternya itulah yang membuatku nyaman bersamanya. Berasal dari sebuah desa terpencil di Jawa, membuatnya tetap memegang teguh nilai-nilai adat istiadat serta norma-norma ketat yang berlaku di desaku dulu. Kesopanan adalah hal yang utama. Tak peduli pada anak maupun keluarga, solah bawa benar-benar harus diperhatikan. Itulah mengapa aku lebih sering bercakap-cakap dengannya menggunakan bahasa daerah. Lewih ngajeni, kata orang Jawa.

“Wau Adis angsal 100 wekdal ulangan matematika. Teng Pak Guru Adis dipunutus supados mucal kanca-kanca.” Celotehku panjang lebar. Seperti biasa, eyang hanya mengangguk-angguk.

Note :
°Wau Adis angsal 100 wekdal ulangan matematika. Teng Pak Guru Adis dipunutus supados mucal kanca-kanca.
=> Tadi Adis dapat 100 waktu ulangan matematika. Oleh Pak Guru Adis diperintah supaya mengajari teman-teman.

Namun meski begitu, sorot matanya yang terlihat bangga benar-benar tak dapat disembunyikan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Dadaku terasa penuh hanya karena sorot matanya itu.

“Pinter ya.”

Ia memujiku. Aku hanya tersenyum lebar menanggapi pujiannya. Terlalu senang.

Matur nuwun, Eyang.”

_._._._

Untuk kesekian kalinya, aku mencoba menaikkan tasku yang terasa amat berat pagi ini.

Tentu saja berat. Hari ini merupakan hari terpanjang dari yang panjang yang akan ku lalui dalam satu minggu ini. Sebentar lagi, sampai di sekolah. Kukayuh sepeda tuaku lebih kencang untuk mempersingkat waktu. Rasanya benar-benar tak tahan dengan beban di punggungku.

Ciiittt

Bunyi ban sepeda bergesekan dengan rem terdengar menggema di pelataran parkir. Aku mengatur nafasku sejenak sebelum turun dari sepedaku dan berlari menuju kelas.

Keadaan sekolah masih tampak sepi. Tidak. Lebih tepatnya, amat sepi. Hanya ada seorang penjaga sekolah yang tengah mengangkuti sampah yang berada di tempat sampah masing-masing kelas. Sebuah pemandangan yang biasa kujumpai setiap kali menginjakkan kaki di sekolah.

Aku terbiasa menjadi orang yang pertama kali datang ke sekolah. Tak jarang, gerbang sekolahpun masih tertutup saat aku sampai.

Terlalu rajin?

Tidak begitu sebenarnya. Eyang harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali agar seluruh dagangannya terjual. Otomatis hanya aku sendiri yang berada di rumah.

Untuk menghindari hal-hal yang tak di inginkan, eyang menyuruhku untuk berangkat sekolah lebih pagi. Tepatnya, bersamaan dengan waktu beliau pergi.

“Hoi!”
Aku menghentikan langkahku saat seruan itu menyambangi pendengaranku.

Puk

Aku menoleh secara spontan saat bahuku di tepuk oleh sebuah tangan.

Seorang laki-laki, tinggi, dan ia… Tersenyum?

“Lo yang kemarin kan?” Tanyanya. Aku menyipitkan kedua mataku, mencoba mengenali siapa sosok lelaki yang ada di hadapanku.

Dan…

Astaga! Dia kan yang kemarin…

“Aduh, Kak. Maaf. Maaf. Kemarin aku nggak sengaja. Sumpah itu refleks. Aku nggak niat buat gigit Kakak beneran.” Aku menyatukan kedua telapak tanganku erat.

Benar-benar tak disangka jika sosok lelaki kemarin ini mendatangiku. Entah dimana aku harus membuang wajahku nanti. Memalukan. Apa kata eyang kalau sampai tau kelakuan cucunya ini?

Lelaki itu terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahuku pelan. Bahkan perlakuannya, membuatku menelan ludah susah payah. Sedikit merasa curiga sekaligus malu luar biasa.

“Lo unik ya? Buas lagi.” ujarnya di sela-sela tawa.

Aku mengernyit.

Hee? Unik? Buas?

Kalau unik, aku bisa terima. Tapi buas? Enak saja! Memangnya aku kerabat beruang apa, sampai dijuluki buas?

“Memang kamu siapa ngatain aku buas? Sopan sekali Anda!” desisku setengah mengejek. Kemarin dia menarik tanganku seenaknya, sekarang mengataiku seenaknya lagi. Memang lelaki kota kurang ajar.

“Woah~ santai Dek. Sensitif amat. Just kidding okey?” balasnya santai. Ia menyelipkan sebelah tangannya ke saku celana. Bibirnya masih menyunggingkan senyum lebar.

Ah, apa peduliku? Mengurusi orang sepertinya hanya akan membuang waktu. Dengan acuh, aku berbalik melanjutkan langkahku menuju kelas. Sedikit berlari karena ingin segera meletakkan tasku di bangku kelas.

“Heiii… Tunggu!”

Masa bodoh. Memangnya apa urusanku dengannya?

_._._

To Be Continue~

Note :

– Solah bawa = etika
– Lewih ngajeni = lebih menghormati

by leefe_

Heliosentris – Part 2

10 September 2017 in Vitamins Blog

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 



Loading…

Part 2 – Malaikat Penyelamat

 

“Hahaha… Gadis dungu.. Rasain akibatnya. Sok pinter sih lo!”

Suara itu, tak pernah beranjak dari ingatanku, membuatku tersiksa.

“Nggak, aku takut gelap. Jangan tinggalin aku.”

Gelap. Aku takut gelap. Perlahan, nafasku mulai tersengal hebat. Seluruh oksigen yang ada diruangan itu seolah enggan menghampiri indera penciumanku.

“Mama.. Tolong Adis..” Mataku terasa semakin berat. Kemudian, semuanya terasa berputar disertai dengan telinga yang berdengung hebat. Yang kuingat terakhir kali hanyalah bayangan keremangan ruangan sempit nan pengap.

_._._

“Hoi Van. Mau sampe kapan sih kita nungguin orang tidur?”

Pe’a, dia pingsan dodol bukan tidur. Gimana sih, kan lo yang anak regu inti Palang Merah. Gitu aja nggak ngerti.”

“Ah elah, sama aja keless..”

“Sama dari Hongkong. Ketauan anggota gadungan kan lo!”

“Enak aja! Gue mena-“

“Nghh…”

Aku menggeliat pelan. Kepalaku terasa amat berat bahkan untuk sekedar membuka mata termasuk pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan sekarang.

Mataku mengerjap perlahan mencoba menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk ke pupil mataku.

Mulanya terlihat samar, sebelum semuanya terlihat jelas. Benar-benar terlihat jelas.

“Heh, lo lama amat pingsannya. Ah udah sadar kan, Van balik yuk.” Aku memicingkan kedua mataku, menatap sesosok oh bukan. Lebih tepatnya dua sosok laki-laki yang mengenakan blazer identitas sekolah sama sepertiku.

Tunggu!

Apa yang terjadi?

“Tega bener lo, Rel. Ini udah sore, anterin dulu kek. Main pulang aja.” sahut lelaki lain yang masih duduk di samping ranjang tempatku berbaring.

Eh, berbaring?

“AKU KENAPA?” pekikku kaget saat menyadari kondisiku sepenuhnya. Dengan tergesa, aku memaksakan tubuhku untuk duduk. Hell! Apa yang terjadi? Kayaknya tadi aku masih baik-baik aja deh.

Lelaki yang masih berada di ambang pintu itu mendesis sinis. Wajahnya benar-benar terlihat tak bersahabat. Sayang sekali, wajah tampan itu tak dipergunakan dengan baik untuk menebar pesona. Eh?

“Lo pingsan tadi. Kita nemuin lo di kelas A. Dan karena kebetulan gue sama Varelino ini termasuk anggota Palang Merah, ya udah sih lo kita bawa ke sini.” Terang lelaki yang duduk di hadapanku. Tangannya menunjuk sesosok lelaki yang masih mengamati kami dalam diam dengan pandangan sinis.

Aku menghela nafas. Tentu saja aku pingsan. Bagaimana tidak, kalau si Zara dan antek-anteknya itu mengunciku di kelas setelah mengerjaiku habis-habisan. Belum lagi dengan keadaan kelas yang gelap tanpa cahaya. Sesuatu yang paling kubenci setengah mati dan membuatku hampir mati kehabisan nafas karena terlalu sesak.

“Oh, makasih udah nolongin.” ucapku yang di akhiri dengan seulas senyum.

“Ah kelamaan lo. Balik ayok, Van. Bisa geger sekampung Mommy nggak nemuin gue di rumah. Cepetan ah.”

Lelaki yang entah tak kutau namanya itu melengos begitu saja. Ia mengambil tas sekolahnya yang berada di atas meja lantas berjalan keluar ruangan.

“Hoi, Rel. Tunggu napa sih? Dasar anak Mommy! Eh, lo… Pulang naik apa?” teriaknya ke arah lelaki yang memiliki nama ‘Rel’.

Aku mengernyit.

Dan.. Apa dia sedang bertanya padaku?

“Kamu nanya sama aku?” tanyaku bodoh.

Dasar Gladys bodoh! Ya iya lah. Emang siapa lagi kalo bukan kamu? Lantai?

“Ish! Emang siapa lagi makhluk disini kalo bukan lo. Ah udahlah, gue anter. Ayok.”

Ia menyeretku turun dari ranjang dan segera melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Aku meronta-ronta tak terima. Jelas saja tak terima! Memang dia siapa bisa menyeretku seenaknya. Dasar tidak berperi-keperempuanan!

“Ih lepas. Aku bisa jalan sendiri. Lepas. Lepaaaaassss…”

Kesal, karena diabaikan kugigit lengannya kencang dan berlari menjauh. Meninggalkan sosok lelaki kurang ajar yang tengah menjerit kesakitan di belakangku.

Masa bodoh! Dia memang sudah menolongku, tapi tak harus memperlakukanku seenaknya bukan? Rasakan! Siapa suruh menyeretku seperti kambing?

Dan… Astaga! Jam berapa sekarang?

_._._

Matahari telah benar-benar kembali ke peraduannya saat aku membuka pintu rumah. Hari ini benar-benar melelahkan. Seluruh tubuhku kotor akibat kejadian yang menimpaku beberapa jam yang lalu. Di siram dengan menggunakan seember penuh tanah lalu dikunci di dalam kelas. Hebat sekali! Namun, ini bukanlah yang pertama atau kedua kali. Bahkan hari ini terasa lebih ringan dibanding hari-hariku sebelumnya. Beruntung kali ini aku tak ditenggelamkan ke kolam seperti beberapa waktu yang lalu.

“Eyang…”

Hanya satu nama itu yang bisa kujumpai seusai pulang sekolah. Sosok yang telah merawatku sejak…

Entahlah aku pun tak bisa mengingat dengan benar, kapan tepatnya aku bersama dengannya.

“Sini…” sahut sebuah suara dari kejauhan. Sepertinya dari arah dapur. Dengan sedikit berlari, aku menghampiri sosoknya. Rupanya, eyang sedang memasak. Syukurlah, lagipula perutku benar-benar sudah terasa lapar semenjak siang tadi.

Nduk, sampun wangsul?” tanyanya lembut. Ia berbalik. Mengamati seluruh tubuhku yang mungkin terlihat sangat kotor. Kedua matanya sedikit melotot saat mendapati kondisiku.

Note :
°Nduk, sampun wangsul?
=> Sudah pulang?

“Masya Allah.. Piye toh niki. Kowe tes napa teng sekolah?

Ia berjalan memutari tubuhku. Aku tersenyum lebar, mencoba menegaskan jika aku tak apa-apa.

Note :
°Piye toh niki. Kowe tes napa teng sekolah?
=> Bagaimana ini? Kamu habis ngapain di sekolah?

“Niki Mbah. Eum… niku wonten tugas teng taman sekolah. Nggih Adis dipunutus supados mundut siti ingkang kathah. Namung kirang ati-ati dados dhawah.”

Ya Tuhan, maafkan aku. Kumohon, biarkan kali ini saja aku berbohong. Aku benar-benar tak ingin eyang khawatir.

Note :
°Niki Yang. Eum niku… wonten tugas teng taman sekolah. Nggih Adis dipunutus supados mundhut siti ingkang kathah. Namung kirang ati-ati dados dhawah.
=> Ini Eyang. Eum itu… Ada tugas di taman sekolah. Ya Adis disuruh supaya mengambil tanah yang banyak. Tapi kurang hati-hati jadi jatuh

Ia hanya mengangguk pelan lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Aku mendesah lega. Syukurlah eyang percaya.

Dengan lesu, aku melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus mencuci pakaianku yang sudah tak layak dipandang.

Hari yang berat. Entah sampai kapan aku bisa menghadapi hari-hari semacam ini. Ya Tuhan, aku hanya memiliki Engkau sebagai kekuatanku.

_._._

To Be Continue~

by leefe_

Heliosentris – Part 1

10 September 2017 in Vitamins Blog

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 



Loading…

 

Part 1 – Luka Yang Tak Akan Pernah Mengering

 

Cilacap, 21 September 2010
15.00 WIB

Aku masih diam di tempatku saat kedua orang itu masih saling berteriak di hadapanku tanpa menghiraukan keadaan di sekitar mereka. Tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang tengah mereka ributkan kali ini.

Ya, lagi. Ini bukanlah pertama kalinya kedua orang itu saling berteriak di hadapanku. Dan ini juga bukan kedua kalinya aku duduk diam di posisiku layaknya penonton, menyaksikan drama perdebatan berujung menyedihkan seperti ini.

“Gara-gara kamu aku hidup seperti ini! Dasar pembawa sial!”

Aku mengernyit. Bahkan aku tak paham apa itu pembawa sial. Pembawa sial? Apa itu?

“Diam! Kamu pikir kamu siapa mengataiku seperti itu hah? Kamu penyebab semua ini. Kamuuuu!”

Plaakkk

Aku terlonjak kaget saat tangan lelaki paruh baya yang begitu kukenal mendarat tepat di tangan wanita yang kusayangi.

“Papa!” seruku nyaring seraya mulai melangkah mendekat. Mereka masih diam dengan mata yang saling menatap tajam satu sama lain. Aku menolehkan pandanganku pada salah satu dari kedua aktor di hadapanku.

“Mama nggak papa?” tanyaku pelan. Kedua tangan mungilku menggoyang-goyang pelan tubuh wanita yang selalu kupanggil dengan sebutan mama.

Aku khawatir dengan pipinya yang tampak berwarna merah mengerikan.

“Kita cerai.”

Kali ini, papa bersuara.

Ng? Cerai? Apa itu sejenis makanan?

Fine. Kita cerai.” sahut mama, lagi-lagi menirukan ucapan papa sebelumnya. Lagi-lagi cerai. Apa itu?

Tanpa aba-aba Papa berbalik melangkah pergi, meninggalkan mama yang mulai menitikkan air mata. Tubuhnya merosot hingga sejajar dengan posisiku yang tengah berdiri.

Aku mengerjapkan mataku.

“Mama…” panggilku sembari memegang bahunya pelan. Namun tanpa kuduga, ia menepis lenganku yang semula berada di bahunya. Ia menatapku tajam.

“SEMUA GARA-GARA KAMU! GARA-GARA KAMU AKU SEPERTI INI. KALAU SAJA KAMU TIDAK LAHIR, KALAU SAJA KAMU NGGAK PERNAH ADA, AKU UDAH BAHAGIA. SEMUA INI GARA-GARA KAMU!”

Ia berteriak keras. Aku tetap diam di posisiku.

Jadi, semuanya karena aku?

“DIAM! DASAR PEMBAWA SIAL!”

Lagi, kata-kata itu yang menyambangi indera pendengaranku. Apa itu pembawa sial?

“Mama…” seruku tak mengerti. Aku semakin menautkan jari-jemariku ketakutan. Apa yang bisa ku mengerti sekarang? Pembawa sial, cerai, lalu? Bagaimanapun juga aku hanyalah gadis kecil berusia empat tahun yang hanya mengerti susu dan boneka teddy bear.

“KAMU! MULAI SEKARANG ENYAHLAH DARI HADAPANKU! AKU MEMBENCIMU. AKU MEMBENCIMUUUU….”

Satu hal yang kupahami. Saat seseorang mengatakan benci, maka orang itu tak menyukai orang yang dibencinya, seperti yang kulihat di film.

Mama… Membenciku?

Belum sempat aku merengek, ia berjalan tergesa ke arah pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Meninggalkanku sendirian yang mulai terisak pelan dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.

“Mama… Jangan benci Adis. Jangan tinggalin Adis…”

_._._

Bandung, 4 Juli 2024

“Rasain lo hahahaha…”

Aku memeluk kedua lututku erat. Tubuhku bergetar karena tangis lirih yang coba ku tahan semenjak satu jam yang lalu. Kugigit bibirku kencang ketika suara-suara itu kembali bergema.

“Hahaha… Gadis dungu.. Rasain akibatnya. Sok pinter sih lo!”

Suara itu, tak pernah beranjak dari ingatanku, membuatku tersiksa.

“Nggak, aku takut gelap. Jangan tinggalin aku.”

Gelap. Aku takut gelap. Perlahan, nafasku mulai tersengal hebat. Seluruh oksigen yang ada diruangan itu seolah enggan menghampiri indera penciumanku.

“Mama.. Tolong Adis..” Mataku terasa semakin berat. Kemudian, semuanya terasa berputar disertai dengan telinga yang berdengung hebat. Yang kuingat terakhir kali hanyalah bayangan keremangan ruangan sempit nan pengap.

_._._

To Be Continue~

DayNight
DayNight