Vitamins Blog

Heliosentris – Part 10

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 10 – Spesies Langka

 

‘Ada batas tipis antara sebuah harapan dan serangkai mimpi. Hanya bagaimana seseorang melihatnya dan menganggapnya sebagai apa. Namun terkadang, banyak orang tak memahami jika harapan mereka hanyalah sebuah mimpi.’

_._._._._

Brakk

Aku terlonjak kaget saat sebuah buku tiba-tiba dibanting kasar tepat di hadapanku.

Ya ampun, apa lagi sekarang?

Baru saja aku menikmati buku ensiklopedi terbaru beberapa menit yang lalu, datang lagi pengganggu.

Aku mendongak dan memilih bersitatap dengan sepasang iris hitam yang tengah memandangku tanpa emosi.

“Kak Varel?”

Tanpa sadar aku menggumam menyebutkan nama sosok laki-laki yang tidak tahu toto kromo ini.

“Lo yang namanya Gladys Anindya.” tanyanya dengan suara khas miliknya. Datar, tanpa emosi.

Ah sebenarnya pertanyaannya lebih cocok disebut sebagai pernyataan bukan pertanyaan. Dari nada suaranya saja, tidak terdengar jika lelaki yang ada di hadapanku ini tengah bertanya. Terlebih lagi menilik dari ucapannya yang sedatar jalan tol Cipali itu.

“Iya.”

Memangnya kenapa?

Sebenarnya, itu adalah pertanyaan yang ingin kulontarkan, namun kuurungkan melihat ekspresinya yang tampak selalu gelap saat berada di sekitarku.

Kata eyang, kalau orang yang selalu berwajah masam saat bertemu pandang dengan orang lain, itu tandanya orang itu tak mau menyapa. Pangus, menurut istilah orang Jawa.

“Bimbingan mulai Rabu besok sepulang sekolah. Di tempat ini. Ngerti?” tegasnya yang membuatku mengedipkan mata refleks karena terkejut.

Apa katanya tadi? Bimbingan? Ternyata Pak Ahmad sudah berhasil membujuknya ya? Sepertinya iya, karena lelaki ini mau repot-repot menghampiriku di perpustakaan.

Aku mengangguk cepat. Enggan berkomentar lebih lanjut. Sudah bagus ia mau membantuku, jadi jangan neko-neko. Cukup menerima dan menurut saja.

“Jangan telat. Telat lima belas detik, gue pulang.” Peringatnya yang membuatku langsung melongo.

Apa kakak kelas satu ini belum tahu ya dimana kelasku? Kelasku ja-

“Awas kalo sampe telat!”

Lantas setelahnya ia berlalu pergi begitu saja. Meninggalkanku yang bersiap membuka mulut untuk menyanggah ucapannya.

Aku menggeleng pelan.

Kelasku berada di lantai dua sedangkan perpustakaan berada di lantai enam. Lalu, bagaimana aku bisa sampai dalam waktu lima belas detik begitu kelas usai? Belum lagi dengan tugas piket kelas yang siap menawarkan hukuman jika tidak dilaksanakan.

Aku mengerjap.

Adis… Adis… Ini benar-benar bukan sekedar ujian yang berat. Tapi lebih pantas disebut malapetaka.

Eyang, piye niki?

_._._._._

Satu…

Dua…

Tiga…

Empat…

Lima…

En-

Sreeett

Aku terkejut saat seseorang menarik tas ransel yang kugendong di punggungku secara tiba-tiba. Aku menoleh kesal, bersiap akan menyemprot siapa saja yang menggangguku di waktu yang tidak tepat seperti sekarang.

“Gue minta maaf.”

Lelaki ini entah kerasukan apa, mencegatku dan mengatakan ‘maaf’?

Huss.. Adis.. Ra olih matur kaya kuwi.

Note :
°Huss.. Adis.. Ra olih matur kaya kuwi
=> Huss… Adis.. Tidak boleh berbicara seperti itu

Aku kembali teringat ucapan eyang yang menasihatiku panjang lebar karena sempat bergumam hal yang tidak baik. Benar, eyang bisa marah jika sampai tahu aku mendoakan hal yang buruk pada orang lain. Eh, apa berbicara di dalam hati juga termasuk mendoakan?

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Sepertinya iya, karena semua permohonan yang sempat kuucapkan hanya di dalam hati selama ini benar-benar terwujud. Termasuk keinginan bertemu orang itu.

Aku meringis. Benar, Tuhan kan sel-

“Dis…”

“Eh iya..” Aku kembali menatap wajah lelaki yang tengah memandangku penuh tanya. Ah, pasti dia sempat melihat kegilaanku yang- eh lagi-lagi aku mengatakan hal yang tidak-tidak. Gladys masih waras.. Gladys masih waras eyang.

“Lo….” Ia kembali bersuara yang membuatku langsung tersadar sepenuhnya.

“Ma-“

“Hahahahaha….”

Ia terbahak sembari memegang kedua lututnya. Menertawakanku.

Wajahku langsung terasa panas saat tahu jika objek yang tengah ia jadikan bahan tertawaan tak lain dan tak bukan adalah aku sendiri.

Ya ampun eyaang.. lingsem!

“Udah! Nggak ada yang lucu.”

Aku mencoba menginterupsi tawanya yang semakin menjadi melihat wajahku yang mungkin sudah berubah warna.

Sabar.. Sabar…

“Hahaha lo tuh ya… Gilaaa lucu banget tau nggak sih hahaha.”

Aku merengut saat kedua tangannya yang semula berada di kedua lutut beralih menarik pipiku pelan. Tidak sakit memang, tapi ini namanya penodaan kesucian.

Dengan cepat kuhempaskan tangannya kasar dan bergerak menjauhinya, mencari jarak aman tentunya. Mengamankan pipiku dari sasaran tangannya.

Saru! Pipi Adis masih suci. Kata eyang pipi Adis masih suci jadi nggak boleh disentuh sama yang bukan muhrim. Tapi… Tapi gara-gara Kakak pipi Adis sekarang.. Se-sekarang udah-“

“Hahahaha…”

Dan tawanya meledak lagi sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. Aku yang tengah mengelus-elus pipiku lantas memicingkan mata kesal seketika. Kalau saja eyang tidak pernah melarangku untuk berteriak, pasti sudah kulakukan sekarang.

Hih, kenapa Kak Evan menyebalkan sekali sih?

“Udah lah. Adis mau pulang.”

Aku berbalik seraya menghentakkan kaki kuat-kuat untuk melampiaskan kekesalanku. Namun belum sempat berbalik, sebuah lengan lagi-lagi menahanku.

“Apa!”

“Oke oke.. Gue minta maaf buat yang tadi. Tapi ehem serius lo lucu tahu nggak. Iya iya, nggak lucu nggak lucu kok. Damai damai.”

Aku mendelik kesal saat kata ‘lucu’ terlontar kembali dari mulutnya.

Dua kali!

Aku bersiap mengangkat sebelah kakiku untuk menendangnya, namun urung seketika saat ia tersenyum lebar dengan kedua jarinya teracung di hadapanku. Untung saja…

“Damai oke? Gini.”

Ia memegang kedua bahuku pelan. Tatapannya berubah menajam tak seperti sedetik yang lalu.

“Gue minta maaf sama omongan gue yang kemarin. Gue sadar kalo gue nggak berhak ngehakimi lo kayak gitu. Gue minta maaf, oke?”

Aku mengernyit. Maaf untuk perkataan yang mana?

“Gue emang nggak tahu gimana kehidupan lo, tapi kemarin gue bertingkah seolah-olah tahu gimana kehidupan lo. Gue minta maaf untuk itu.”

Ooh, ternyata perkataan yang itu.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Ya sudahlah, toh aku juga tidak pernah menganggap perkataannya serius.

Dia.. Memang belum mengerti. Jadi aku harus memahaminya.

Seperti semua orang yang kutemui. Mereka hanya menilai kehidupanku dari permukaan, tapi tak pernah benar-benar menyelaminya. Selama ini, aku membiarkan mereka berkomentar dari apa yang mereka lihat tanpa menyanggahnya. Mereka hanya belum mengerti, jadi aku yang harus mengerti.

“Nggak apa-apa.”

Aku tersenyum singkat, memaklumi. Ya sudahlah, toh aku juga tidak mau memperpanjang hal seperti ini.

“Bener lo udah maafin gue?” tanyanya sekali lagi. Aku menghela nafas pelan.

“Iya.”

Yes! Yes! Berhasil! Berhasil!”

Aku menganga menyaksikan tingkah abnormalnya yang tanpa kusangka-sangka terlihat.

O alah, Kak Evan ini kenapa?

Ia berjingkrak-jingkrak sembari mengangkat kepalan tangannya ke atas. Belum lagi dengan-

“Uhuuuuu akhirnya dia maafin gue. Yes! Yes! Yes!

Ha?

Aku mengerjap.

Hebat! Satu manusia langka kembali ditemukan. Ini pasti akan jadi bahan penelitian yang luar biasa jika aku mengambilnya sebagai objek. Keren!

Spesies manusia langka dengan kelebihan emosi dalam waktu singkat. Hebat! Ini pasti akan semakin mematahkan teori evolusi milik Charles Darwin. Luar biasa! Kak Evan benar-benar luar biasa.

_._._._

To Be Continue~

Note :

· Toto kromo = Tata Krama/Etika
· Pangus = Judes
· Neko-neko = Aneh
· Lingsem = Malu
· Saru = Tidak pantas, tidak baik