Vitamins Blog

MERITOCRACY 15 : Bizu

Bookmark
Please login to bookmark Close

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Anna punya pengakuan.

Ia adalah sosok yang keras kepala. Apabila ia sudah membuat satu keputusan, tidak akan ada hal di dunia ini yang mampu menghalanginya. Kecuali kematian, gumamnya dalam hati. Dan apakah Anna sering menyesali sifat keras kepalanya? Tidak sering, namun tidak jarang pula. Salah satunya adalah saat ini.

Anna sungguh tak menyangka bahwa ia memang selemah ini. Ia tidak pernah selemah ini sebelumnya. Demi Halstead, ia bahkan pernah mengalahkan Randal yang memiliki tubuh dua kali lebih besar dari dirinya saat tubuhnya belum seperti sekarang. Posturnya saat ini lebih tegap dan tubuhnya penuh dengan otot-otot yang Anna butuhkan. Tetapi Anna tak pernah merasa selemah bayi seperti sekarang ini.

Anna demam. Lagi.

Di tengah-tengah perjalannya menuju pondok tempat tinggalnya. Ia dapat melihat kekhawatiran di wajah Greshwalt saat Rei membawa Anna menemui lelaki tua itu. Greshwalt akan mati berdiri jika melihat kondisi Anna yang saat ini menggelepar di kereta dagangnya. Rei Solas? Sahabatnya itu nyaris menjambak rambutnya sendiri saat Anna menjelaskan rencananya. Tak ada lagi rahasia. Karena Rei adalah orang yang paling memahami perasaannya selain Chero. Kemudian Chero? Anna bersumpah melihat mata kakaknya berkaca-kala kala ia menjelaskan bantuan apa yang ia butuhkan darinya. Chero dan hati lembutnya.

Rasanya seperti perpisahan.

Tidak. Itu hanya lanturan Anna. Ia sakit, sehingga pikirannya jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Namun, perasaan itu nyata sekali. Apalagi setelah dua hari yang lalu di mana Chero mencoba membuat Anna menelan obat yang justru dimuntahkan olehnya—beserta darah—yang Anna kira tak akan terjadi lagi. Anna yakin sekali ia melihat mata Chero kehilangan cahayanya saat kakaknya itu membersihkan ranjang Anna.

Anna menyesal sekali saat ini. Menyesal karena harus menjelaskan kondisinya kepada Valos hanya lewat sepenggal surat. Pagi ini ia mengirim Redwig bersamaan dengan surat yang ia tuliskan. Elang kesayangannya yang selama ini dijaga oleh Chero pun sepertinya memiliki insting yang kuat, ia terus menyentuhkan kepalanya pada jari Anna, seakan takut Anna tiba-tiba menghilang. Sayang sekali, mungkin Redwig adalah satu-satunya sahabat Anna sejak Anna kecil. Ia tidak berlebihan jika ia bilang terkadang Rei merasa cemburu dengan hubungan pertemanan Redwig dan Anna. Rei sangat kompetitif, termasuk dalam pertemanan.

“Kau yakin kau tak ingin singgah lebih dulu, Nak?” Pertanyaan Greshwalt menyadarkan Anna bahwa saat ini ia telah turun dari kereta. Anna bahkan tak tahu bagaimana ia bisa berdiri saat ini. Kepalanya sakit sekali, wajah Greshwalt di penglihatannya seperti ada dua. Menyadari Greshwalt menggunakan panggilan yang berbeda untuk Anna, lelaki tua itu pasti khawatir sekali.

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang.” Sergah Anna sopan. Ia ingin tersenyum, akan tetapi wajahnya seperti tak memiliki pemikiran yang serupa dengannya.

“Baiklah, aku bisa memanggil Dervo untuk mengantarmu pulang.” Greshwalt menawarkan dengan bijak.

“Sungguh, tidak perlu.” Anna kembali menolak. Merasa kehadirannya akan semakin mengkhawatirkan lelaki tua di hadapannya, Anna mulai berjalan pergi. “Terima kasih, Greshwalt. Aku berutang banyak padamu.” Ujarnya sambil menaikkan tudung jubahnya.

“Astaga, apa yang kau bicarakan. Tentu saja kau tidak berutang apa pun padaku.” Elak Greshwalt.

Anna tidak dapat mendengar kalimat yang selanjutnya Greshwalt ucapkan karena ia mencoba berfokus pada langkahnya yang sedikit terhuyung. Beruntung ia sudah dapat berjalan dengan normal. Butuh hampir satu minggu setelah acara mimbar umum untuk Anna mampu berjalan dengan normal. Ia bahkan sudah mampu berlari dan melakukan aktivitas yang cukup berat lainnya. Itulah mengapa Anna tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba bisa terserang demam lagi. Lebih tepatnya, demam yang yang sudah berlangsung sejak dua hari yang lalu.

Tidak ada yang ingin Anna lakukan saat ini selain menemui Eric. Tidak, tentu saja ia tidak merindukan Eric. Ia hanya takut Eric sudah pergi lebih dulu sebelum Anna berhasil kembali ke pondok. Karena Eric tidak berjanji apa pun pada Anna. Pria itu tidak berjanji menunggu Anna. Annalah yang berjanji untuk mengantarnya pulang saat Anna kembali dari Ibukota. Dan apabila Anna tidak kembali setelah hari-hari berlalu? Eric bisa saja pergi tanpa harus Anna temani.

Eric adalah seorang bangsawan, Demi Halstead. Seseorang di utara pasti mencarinya karena telah pergi begitu lama. Pria itu pada dasarnya menghilang. Karena dari apa yang Eric jelaskan, pria itu diserang, dan jika mayat yang Anna bakar di masa lampau adalah salah satu pengawal Eric seperti yang Anna kira, keluarga Eric pasti akan mencarinya bila tak ada salah satu pun dari mereka mengirimkan kabar setelah sekian lama.

Dan hal yang paling Anna takutkan adalah jika Eric benar-benar pergi tanpa Anna. Musim dingin akan segera tiba, dan Anna tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa tiba lebih dulu daripada rombongan yang akan membawa Zee ke utara.

Langkah Anna terus membawanya pada rute familier menuju pondoknya. Berarti Rei bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa Anna mampu mencapai pondoknya dengan mata tertutup. Karena Anna sangat yakin saat ini kelopak matanya hampir menyerah untuk tetap membuka. Anna dapat melihat bukaan hutan tak jauh di depannya. Kakinya terus bergerak hingga akhirnya ia dapat melihat wujud pondok yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Bangunan tersebut masih kokoh, Anna pikir Eric akan membuat masalah seperti membakar pondoknya hingga rata dengan tanah. Tetapi sepertinya semuanya baik-baik saja.

Atau sama sekali tidak.

Karena saat Anna berhasil membuka pintu, kondisi pondoknya rapi seperti tak pernah ditinggali dan Eric tak dapat ditemukan di mana pun.

***

Jangan berkeliaran di hutan pada malam hari.

Annalise tak pernah melarangnya melakukan apa pun dan Eric dengan bodohnya melanggar satu-satunya perintah yang Annalise berikan. Ia terlalu terhanyut dengan keramaian di desa hingga ia lupa waktu. Yah, sendirian di pondok bukan hal yang menyenangkan dan Eric masih tidak tahu kapan gadis penyelamatnya itu akan kembali.

Sudah lebih dari satu minggu Annalise meninggalkannya. Terkadang ia bimbang apakah ia harus tetap menunggu gadis itu atau pergi saja untuk kembali pulang. Akan tetapi, saat pikiran itu muncul, seberkas ingatan terkadang hadir. Tentang percakapan di api unggun, tentang Annalise yang berkenan mengantarnya pulang, dan tentang perdebatannya dengan perempuan cantik nan menyebalkan itu. Namun, ingatan tersebut samar. Akhir-akhir ini ia bahkan memiliki ingatan di mana ia mencumbu Annalise, bahkan dengan berani menyentuh—

Berhenti sampai sana, Eric menggelengkan kepala, mencoba fokus pada langkahnya. Ia tidak bisa percaya begitu saja pada ingatan di mana ia mabuk sebelumnya. Dan hal itu bisa saja hanyalah sebuah fantasi hasratnya pada seorang gadis yang ia temukan menarik—dan Annalise sungguh gadis yang menarik. Kakaknya pernah berkata, satu hal yang tidak bisa dipercayai di dunia ini adalah pikiran seorang remaja laki-laki. Dulu Eric mengira itu hanyalah ungkapan kosong dari seorang bedebah yang selalu menggoda wanita, ternyata kakaknya memang benar. Yah, sejak kapan orang itu pernah salah?

Di saat kakinya berhasil menapak pada bukaan hutan di mana pondok tempatnya bernaung berada, Eric tak terkejut melihat pondok itu ada dalam kondisi gelap gulita. Hal yang membuatnya terkejut adalah tepat pada saat ia melangkah masuk, tubuhnya seperti dilempari selimut tebal.

Tidak, seseorang baru saja memeluknya.

Annalise? Tangannya bergerak lebih cepat daripada otaknya untuk melingkupi tubuh yang mengukungnya. Berusaha untuk tak terlalu kentara, ia menghirup pelan aroma perempuan yang kini memeluknya. Madu dan matahari. Memang benar Annalise. Eric mengernyit ketika merasa ada yang salah, tubuh di dekapannya terasa sangat panas. Eric baru saja hendak melepaskan cengkeraman erat Annalise untuk memeriksa gadis itu kala ia mendengar suara serak yang keluar dari bibir yang dekat sekali dengan di telinganya. Tengkuknya meremang akibat merasakan napas hangat yang menerpa.

“Apa?” Ia mencoba kembali menanyakan apa yang Annalise katakan karena sulit sekali rasanya untuk tetap fokus saat napas gadis itu sangat dekat dengan area tubuhnya yang sensitif.

“Seharusnya aku menciummu kembali,”

Setelah beberapa saat Eric masih yakin bahwa ia salah mendengar, ia kembali dikejutkan dengan bibir hangat yang menyambar mulutnya. Panas, itulah hal pertama yang ia pikirkan kala napas Anna menyapu wajahnya. Jantungnya berdebar begitu kencang, ia tak heran jika Annalise bisa mendengarnya. Namun, tentu saja gadis itu tidak mendengarnya. Karena saat ini Annalise pasti mendengar apa yang Eric dengar. Helaan halus yang keluar dari mulut mereka kala mereka membuka bibir secara bersamaan. Bergerak bersama mencari sesuatu yang dapat meredakan sakit yang tanpa sadar ia rasakan sebelum akhirnya berhasil mendekap Annalise pada tubuhnya.

Itu berarti ingatannya bukan sekadar fantasi.

Sebelah tangannya terangkat untuk menangkup bagian belakang kepala Annalise di saat bersamaan dengan tangannya yang lain merangkul erat pinggang Annalise dari balik jubahnya. Dan Annalise membalasnya dengan rintihan. Oh, betapa inginnya ia mendengar suara itu dibanding cercaan yang sering kali keluar dari bibir yang kini ia rasakan. Jari-jari Anna mencengkeram erat bagian depan pakain dan juga rambut Eric. Meningkatkan keinginan Eric untuk menelusupkan jari-jarinya pada rambut panjang—Eric sontak menjauhkan bibirnya dari Annalise saat jari-jarinya tak menemukan apa yang ia harapkan. Napas terengah saling beradu, lalu Annalise mendesah pelan kala Eric menarik rambutnya dengan lembut.

“Apa yang telah terjadi?” Ujarnya serak. Butuh segala kekuatan baginya agar tidak menyambar bibir Annalise kembali. Bahkan masih ada sensasi menggeleyar di bibirnya seolah rasa bibir gadis di hadapannya enggan pergi begitu saja.

Eric bergerak menjauh untuk memberikan penerangan pada ruangan di mana mereka berada saat ini. Dan ketika pandangannya kembali berarah pada Annalise, matanya sontak membelalak. Gadis di depannya ini bukanlah gadis yang pergi meninggalkan dirinya berhari-hari yang lalu. Kini yang paling mencolok adalah hilangnya rambut panjang Annalise. Ia pikir ia hanya membayangkannya saja saat jari-jarinya menyisiri rambut gadis itu. Kulitnya terlihat lebih pucat, dan napasnya terdengar lebih cepat—yang ia yakini bukan hanya karena ciuman yang baru saja mereka lakukan. Ada sesuatu yang benar-benar salah di sini.

Ia baru saja hendak menghampiri Annalise kala gadis itu melepas jubah dan tuniknya. Meninggalkan kamisa tipis yang sungguh meninggalkan banyak bayangan dalam pikiran Eric. Ia berhasil menggenggam kedua tangan Annalise saat ia berkata, “Kau sakit, aku butuh kau untuk berbaring agar aku bisa merawatmu.”

“Tidak,”

“Tidak?” Eric menyahut pelan. “Lalu, apa yang kau inginkan?” Kakinya melangkah mundur mengikuti Annalise yang terus berjalan maju. Ia bertanya-tanya dari mana seorang gadis yang sedang sakit mendapatkan kekuatan untuk mendorongnya duduk di ranjang. Eric baru saja membuka mulut untuk kembali bicara kala Annalise bergerak ke atas pangkuannya. Ia spontan merangkul pinggang Annalise, mencegah perempuan itu terjatuh akibat tindakannya.

“Kau… aku hanya butuh kau.”

***

Ia masih di sini.

Eric masih di sini.

Anna dapat merasakannya pada jarinya yang meraba tubuh tegap Eric. Anna dapat merasakannya pada bibirnya yang mencecap bibir Eric. Anna dapat merasakannya pada wajahnya yang diterpa napas hangat Eric.

Beberapa saat yang lalu, Anna yakin ia nyaris pingsan karena ia menemukan pondoknya dalam keadaan rapi, semua berada pada tempatnya, namun tidak dengan Eric. Lalu, akhirnya ia hanya mampu berbaring di ranjang dan berkutat dengan pikirannya. Berpikir bahwa ia akan mati seperti ini. Sendirian. Tanpa menginjakkan kaki lagi di utara.

Namun, ternyata tidak. Eric masih di sini. Anna nyaris tak mampu membendung rasa lega kala melihat Eric melangkah masuk ke dalam pondok. Rasa lega yang kini tergantikan dengan frustasi akibat jari-jarinya yang sedari tadi tak mampu melepaskan kancing tunik pria di pelukannya. Ia nyaris membuat pakaian Eric kembali rusak saat pada akhirnya tangan pria itu mengambil alih niatnya. Kepalanya pusing dan ia yakin bukan hanya disebabkan oleh demamnya. Dan Anna tidak merasa keberatan akan hal itu. Ia menghela napas kala telapak tangannya berhasil menyentuh kulit Eric, kemudian erangan yang lelaki itu keluarkan? Anna tak akan berbohong jika ia berkata ia ingin terus mendengarnya.

Anna tahu tak seharusnya ia melakukan ini. Ia adalah seorang gadis bangsawan, terlepas dari gaya hidupnya yang bebas, Anna sama sekali belum pernah menyentuh pria sebagaimana ia menyentuh Eric saat ini. Anna belum pernah mencium pria—salah, Anna pernah mencium pria, namun jelas berbeda dengan sebagaimana ia mencium Eric saat ini. Anna terkesiap kala jari-jari Eric bermain dengan keliman pakaiannya. Di tengah kabut gairah mereka, Anna kembali bertanya-tanya, apakah mereka sungguh akan melakukannya? Mereka tidak seharusnya sampai ke posisi ini.

Yah, tetapi saat ini ia sekarat, bukan? Persetan dengan peraturan.

Berlandskan pemikiran tersebut, ia kembali menyambar bibir memar Eric dengan keras. Ia bahkan tak tahu siapa yang mengeluarkan dengkingan kala lidah dan gigi ikut saling beradu. Aku membutuhkannya, pikir Anna. Eric adalah satu-satunya orang yang paling Anna butuhkan saat ini. Ia bahkan tak berpikir panjang saat Eric menjauh sejenak untuk melepas kain terakhir pada tubuh bagian atas Anna. Mereka kembali saling meraih saat Anna berhasil menyingkirkan kamisa di tubuh Eric pula.

Erangan, desahan, dan helaan napas tak henti keluar dari sela-sela bibir yang beradu. Anna tak tahu apakah Eric pernah bersama perempuan sebelum ini. Seharusnya pernah. Di usianya yang sekarang ini, Eric mestinya sudah pernah merasakan seorang perempuan atau lebih. Rei bahkan melakukannya saat bedebah itu belum genap berusia enam belas. Karena rasanya sulit sekali untuk percaya bahwa yang Eric lakukan saat ini hanya berdasarkan naluri. Anna menangkup wajah Eric dengan kedua tangannya saat pria itu mencumbu dan memberikan tanda pada seluruh permukaan leher dan bahunya. Ia membawa wajah itu ke hadapannya. Entah apa yang Anna cari, sejenak ia ingin melihat wajahnya. Wajah yang entah mengapa seperti pernah ia lihat.

Ekspresi yang ditampilkan oleh Eric saat ini sungguh mampu membuat para gadis melemparkan tubuh mereka kepada pria di dekapan Anna ini. Yah, tidak mungkin Eric tak pernah tidur dengan seorang perempuan.

“Ada apa?” Tanya Eric.

Anna menunduk, kemudian menempelkan bibirnya pada bibir merah Eric yang terbuka. Matanya tetap berpaku pada iris safir di hadapannya sebelum akhirnya menggumam, “Bawa aku ke utara,”

Tidak ada reaksi dibalik mata indah tersebut. Seolah pernyataan Anna tidak mengejutkannya. Seakan-akan ia telah membuat keputusan bahkan sebelum Anna berkata apa pun padanya. Seolah…

“Aku akan membawamu ke mana pun kau mau,”

…Eric akan memberikan segalanya bahkan di saat Anna tak meminta.

***

Pagi ini Anna dibangunkan dengan kecupan di punggungnya. Demamnya hilang entah ke mana. Namun, Anna tidak akan terbodohi lagi. Tubuhnya konstan mengalami hal itu selama enam bulan terakhir. Ia akan sembuh total setelah sehari sebelumnya sakit parah, atau ia bisa tiba-tiba sakit setelah sehari sebelumnya ia bahkan mampu memanjat tebing tanpa terluka sedikit pun. Dan, betul sekali, Anna baru saja bangun dari tidurnya. Tidur yang ia lakukan di malam hari.

Dan inilah yang Anna dapatkan karena dengan bodohnya ia memancing pria muda yang mudah terangsang. Mereka sungguh melakukannya. Bukan melakukan itu. Tetapi, melakukan yang lain. Jadi, satu-satunya yang patut disalahkan bukanlah pemilik tangan yang saat ini menggerayanginya.

“Bisakah kau berhenti melakukan itu?” Ujar Anna malas. Anna tahu sikapnya ini kejam, tetapi ia sungguh ingin Eric berhenti menyentuhnya atau mereka tidak akan meninggalkan ranjang ini seharian.

Eric mengangkat kepalanya untuk melihat ekspresi Anna yang menatap datar langit-langit pondok. “Kau tidak menyukainya?”

Yah, itu masalahnya. Anna menyukainya. Itulah mengapa Eric harus dihentikan. Alih-alih menjawab, Anna justru menatap balik pria di sampingnya. “Apa sebelumnya kau pernah melakukannya?” Lugas Anna. Apakah ini hanya khayalan Anna atau wajah Eric memang tiba-tiba memerah?

“Apa kau harus selalu lugas dalam hal apa pun?” Balas Eric gugup.

“Jawab saja.”

“Aku serius, semalam saat kutanya apa yang kau inginkan, kau langsung menjawab kau…” Eric tercekat, “…Menginginkanku.”

“Aku memang menginginkanmu.” Jawab Anna singkat. Ia yakin dua detik selanjutnya mereka akan berdebat. Sesulit itu mereka berkomunikasi.

“Um…” Anna dapat melihat perasaan kalah di mata Eric. “Tidak, aku belum pernah melakukannya.”

Anna pikir ia tidak bisa lebih terkejut ketika mengetahui bahwa Eric berasal sari Voreia, namun ternyata ia salah. “Berhenti berbohong.”

“Kenapa aku harus berbohong?” Eric tersentak merasa tersinggung.

Kenapa? Karena itu sungguh sulit dipercaya. Wah, kini Anna benar-benar tak tahu harus merasa bersalah atau tidak. Anna sedikit meringsut saat merasakan sentuhan di pipinya.

“Kau tak lagi pucat,” gumam Eric.

Dan Anna benar-benar tak mampu menangkal sikap lembut Eric. Apalagi tatapan intensnya. Anna tidak berbohong ketika ia berkata ia lebih menyukai Eric yang hanya selalu menantapnya tanpa banyak bicara. Rasanya seperti Eric benar-benar mencoba untuk memahami Anna. Dan Anna suka sekali perasaan tersebut. Komentar Eric tersebut mendapat kecupan dari Anna sebagai balasannya. Dan tak henti sampai sana, mereka kembali bergulat entah untuk berapa lama. Saat Anna mengencangkan sabuknya, matahari sudah berada di atas kepala.

“Gaya rambut itu sangat cocok untukmu.” Ujar Eric di sela-sela kegiatannya mengasah pedang.

Ucapan tersebut membuat Anna reflek menyentuh rambutnya. Ia sedikit merasa tidak nyaman setelah sekian lama merawat rambut panjang.

“Aku tak peduli tentang tanggapan mengenai rambut perempuan. Kau tetap cantik sekalipun kau tak memilikinya.” Lanjut Eric.

Anna mendengus pelan. “Apa kau mengatakan itu hanya karena kita tidur bersama?” Godanya penuh canda.

“Apa? Tentu saja tidak. Aku selalu menganggapmu cantik.” Elak Eric sedikit terbata. “Apa aku pernah bilang bahwa kau perempuan tercantik yang pernah kulihat?” Sambungnya pelan.

Pertanyaan Eric melempar ingatan Anna pada malam di mana Eric pertama kali menciumnya. Malam sebelum Anna menghampiri sumber kekacauannya. Senyum kecil muncul di bibirnya kala mengingat hal itu. “Ya, kau pernah mengatakannya.”

Eric membatu seakan tak menyangka Anna menjawabnya seperti itu. “Benarkah?” Ucapnya setelah beberapa lama. Anna hanya mengangguk membenarkan.

Mereka berusaha untuk berlatih pedang, namun entah mengapa hasilnya mereka justru terlihat seperti pasangan kasmaran yang sedang saling melempar godaan. Namun, setelah dua kali berhasil menjatuhkan pedang di tangan Eric, mereka memutuskan untuk beristirahat. Luka di pundak Eric telah sembuh total, terima kasih atas obat yang ia dapatkan dengan harga tak murah. Anna menggunakan waktu istirahatnya untuk melempar pisau pada pepohonan yang menjadi targetnya. Di kala ia hampir melepar pedangnya pada target, suara Eric mencegahnya.

“Pedang itu sungguh bagus.” Ujar Eric sekembalinya ia ke tempat mereka berlatih.

“Tentu saja, itu salah satu dari empat senjata Lonsdaleite.” Anna mengedik tak acuh.

“Senjata Lons—apa?”

Kepala Anna menoleh dengan cepat mendengar respon Eric. “Kau bercanda. Kau tidak tahu Lonsdeleite?” Eric menggeleng. “Lalu, bagaimana dengan para ksatria Colondale?” Anna masih mendapat gelengan.

“Tidak seperti kakakku, aku bukan penggemar mitos dan legenda.” Eric tersenyum separuh menyesal.

“Kisah ksatria Colondale adalah sejarah asli.” Kukuh Anna merasa tersinggung dengan jawaban Eric.

Balasan tersebut hanya mendapat tawa dari Eric. Apakah Anna pernah bilang bahwa Eric adalah laki-laki tampan? Ia bersyukur Eric jarang menampilkan senyumnya. Lalu, bagaimana bisa Eric tidak pernah mendengar kisah tentang para ksatria Colondale? Namun, di detik yang sama Anna mengerang kesal dalam hati. Tentu saja, tidak banyak laki-laki di dunia ini yang gemar mendengarkan cerita tentang ksatria yang terdiri dari sekumpulan wanita.

Ksatria Colondale merupakan sekumpulan ksatria wanita pertama yang disinyalir melindungi Halstead sebelum para keluarga pendiri tiba. Sebelum Halstead diberi nama Hasltead. Terdiri dari empat wanita yang masing-masing melindungi empat wilayah di Halstead. Timur, selatan, barat, dan utara. Mereka memiliki senjata yang mitosnya ditempa oleh kekuatan Roh Agung yakni berupa keling, tombak, cambuk, dan pedang–yang saat ini menjadi kepunyaan Anna. Mitos lainnya mengatakan bahwa senjata-senjata tersebut terikat dengan kekuatan para Roh Agung, yang kemudian menyebabkan senjata-senjata tersebut tidak bisa dimiliki oleh siapa pun kecuali seseorang itu dianggap layak. Anna mendengus dalam hati, sekalipun ia sangat menyukai kisah ksatria Colondale, ia tetap tidak percaya bahwa Halstead adalah tanah ajaib. Anna yakin bahwa mereka yang tak dapat mengenali senjata-senjata Lonsdaleite adalah orang-orang bodoh yang tak memiliki kemampuan untuk melihat hal bagus, bukan karena adanya kekuatan misterius yang mengikat senjata-senjata tersebut.

“Perjalanan ke utara butuh waktu yang lama. Menurutmu sebaiknya kapan kita pergi?” Ujar Eric.

Mencoba mengembalikan fokusnya, Anna menjawab. “Lusa. Kita akan pergi lusa.”

“Secepat itu?” Ekspresi terkejut tak pelak muncul di wajah Eric. Anna hanya mengangguk mengiyakan.

“Ada apa?” Anna tertarik dengan alasan dibalik keterkejutan Eric. “Bukankah kau juga punya banyak hal yang harus dikerjakan di utara?” Di detik selanjutnya, Eric terlihat berpikir keras.

Apa pria itu sungguh mempertimbangkan untuk memilih menghabiskan waktu bersama Anna ketimbang kembali pada rutinitasnya? Anna mencoba menepis bunga harapan yang mencoba mekar di benaknya. Dan Anna seharusnya tak memunculkan harapan apa pun. Anna sudah berkata bahwa tak jarang ia merasa menyesal, bukan? Saat ini Anna benar-benar menyesal sudah bertanya. Karena Eric bukan hanya tak menjawab pertanyaannya.

Pria itu bahkan sama sekali tak menatapnya di sisa hari itu.

—————

©️MERITOCRACY, 2022

Thank u so much for readingsee u on next chaps!

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

4 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Weeew :backstab

  2. Anna aktif banget ya kalo lagi demam :bikinirijomblo :bikinirijomblo