Baca Parts Lainnya Klik Di sini
==========
Saat itu tepat musim semi, musim yang hangat, udara sejuk, embus angin yang menenangkan dengan kelopak bunga berguguran, juga suara lonceng yang menggema.
Lonceng-lonceng pernikahan.
Harusnya ini adalah hari bahagia, harusnya ini adalah musim penuh cinta.
Harusnya … aku membiarkannya saja dari awal.
Aku memperhatikan lagi dress yang aku kenakan, terusan selutut yang cantik. Aku juga mengenakan riasan tipis, rambutku kugerai dan menambah pesona cantik alamiku, aku juga mengenakan sepatu yang cantik yang dia berikan padaku.
Ya, dia. Aku tak datang sendirian, aku datang bersamanya.
“E-em.” Aku berdeham untuk menarik perhatiannya kepadaku.
Dia yang sebelumnya melamun akhirnya menoleh, matanya tajam menatapku.
“Oh, kau sudah selesai?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Iya. Maaf kalau aku lama.
“Apa maksudmu? Kau tidak lama. Ayo, sepertinya acaranya akan dimulai.”
“E-em,” gumamku pelan.
Dia berjalan mendahuluiku, aku mengekor di belakangnya. Lorong itu tak begitu terang, tetapi juga tak begitu gelap, lampu-lampu di sepanjang lorong jelas cukup untuk penerangan. Dari belakangnya, aku bisa melihat bahunya yang lebar, tubuhnya yang tinggi, kakinya yang jenjang, juga bagian belakang rambutnya yang mulai panjang, menyentuh kerah bajunya.
Aku mempercepat langkahku sedikit sampai kami hampir berjalan beriringan. Setelahnya, aku melirik dari ujung mataku, memandang diam-diam ke arahnya. Bisa aku lihat lekuk wajahnya, frame hitam yang membingkai kaca matanya, juga manik mata yang menyimpan kesedihan tersembunyi.
Dan kesedihan itu menular.
Aku tahu itu. Aku tahu.
Lonceng-lonceng berdentang memenuhi ruangan, dipenuhi orang-orang yang tampak rapi dengan pakaian terbaik pilihan dari yang bisa mereka kenakan.
“Kau tidak ingin melihat pengantinnya?” tanyaku memberanikan diri.
Dia tampak berpikir, tak lama sampai dia kemudian hanya menggeleng lemah. Bibirnya lalu tertarik ke atas dengan lengkungan getir, membentuk sebuah senyuman. Senyum kepedihan.
“Tidak, kita akan melihatnya juga saat mereka di altar nanti.”
Matanya meredup seolah menerawang, lalu kilat senyum itu seketika menghilang.
Harusnya aku tahu, harusnya aku mengerti. Tapi untuk kali ini aku egois.
“Ayolah, kita tidak akan bisa mengobrol dengan mereka kalau mereka sudah di altar. Ayolah sebentar saja,” Sebentar saja agar kau tahu bahwa gadis itu bahagia, dengan begitu kau akan mudah melupakannya.
Jahat. Aku benar-benar jahat. Ya, itu semua karena aku diam-diam membenci gadis itu. Dan karena aku mencintai lelaki ini.
Lelaki itu pasrah, seperti sapi yang digiring ke ruang pejagalan. Aku sendiri mempersiapkan senyumku saat dekat dengan ruang pengantin. Berusaha memberikan wajah ceria terbaikku, sandiwaraku yang paling hebat.
“Lihat, siapa yang berwajah tegang ini?” seruku, menyapa dalam tawa saat memasuki ruangan.
“Astaga, kalian datang. Dan lihat siapa yang datang berduaan di sini!”
Suara bersemangat lembut yang menyahuti itu membuat bukan hanya mataku, tetapi juga matanya terpaku ke arah sang pemilik suara.
Gadis itu terlihat cantik, wajahnya yang dirias dengan riasan natural membuatnya kecantikannya semakin menonjol. Dia memakai gaun berwarna putih tulang yang terlihat mengembang besar seperti gaun seorang putri ketika dia duduk.
Gaun yang indah dan gadis itu sangat cantik. Jauh lebih cantik dariku.
Aku mengerucutkan bibir pura-pura merajuk ke arahnya.
“Jadi kau ingin kami datang terpisah? Dia tidak akan datang tepat waktu jika bukan aku yang menyeretnya.”
Gadis itu tertawa.
“Pfft, kau sudah seperti ibunya.”
Aku mengangkat daguku, tersenyum lebar.
“Itulah sebabnya kalian harus patuh padaku,” kataku sambil berkacak pinggang.
“Baiklah, Bu. Maafkan aku.” Gadis itu membalas candaku, membuat wajah sedih yang dibuat-buat, tapi kemudian seringaian penuh tawa terukir di bibirnya.
Aku mendengus dan berpura-pura menggerutu.
“Lupakan. Aku menarik kata-kataku tadi. Rasanya aku jadi terdengar sudah tua dengan panggilanmu itu.”
“Hahaha.” Gadis itu terbahak keras, suaranya renyah memenuhi ruangan.
“Apa seorang pengantin tertawa seperti itu? Kau bahkan tidak cocok memakai gaun feminin semacam itu.”
Dia tiba-tiba berucap menyela candaan kami, membuatku langsung melirik padanya. Lelaki itu mengatakan kalimatnya dengan wajah yang tenang, tak terbaca.
“Oh, lihat siapa yang bicara di sini. Apa kau mengenalnya?” Gadis itu memutar bola matanya, setengah mengejek sebagai tanggapan.
“Kurasa tidak.” Aku ikut membantu sang pengantin, melawan lelaki itu berduaan.
“Cih.”
“Hahahaa.”
Rasanya aneh, benar-benar aneh, ketika suara tawa kami memenuhi ruangan kecil itu. Rasanya seperti kau ditarik pada masa-masa yang asing dalam ruang atmosfir tak dikenal. Semuanya asing, padahal kami dulu tidak pernah mempermasalahkannya.
Atau hanya aku yang merasakannya, karena sekarang aku diam-diam sudah tahu sejarah mereka.
“Aku rasa aku akan melihat pengantin prianya dulu dan menyapa. Apa kalian keberatan jika aku meninggalkan kalian sebentar?” tanyaku pelan, menatap dua wajah itu dengan tatapan ingin tahu.
“Tentu saja tidak, pergilah dan sapa dia, dia pasti sangat gugup di sana.” Gadis itu terkekeh, matanya bercahaya saat menyebut tentang pengantin prianya. Lalu, dia menambahkan dengan nada berhati-hati. “Lagi pula … ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya.” Sang pengantin menyahuti dengan riang tanpa beban, menatap ke arah dia yang tak membantah ataupun menolak.
“Itu bagus, teman lama memang harus saling berbincang sebelum upacara penting. Baiklah! Selamat berbincang-bincang.” Aku menganggukkan kepala dengan senyuman tipis, menyembunyikan getir.
Aku berbalik, untuk sejenak aku berusaha berjalan lambat-lambat, memberinya kesempatan.
Betapa inginnya aku supaya dia memanggilku, mengejarku dan mengikutiku pergi. Betapa inginnya aku supaya dia memilihku. Namun, itu tidak terjadi. Rupa-rupanya dia sudah menetapkan untuk tinggal di sana bersama gadis itu.
Aku memaksa diriku, mempercepat langkah meninggalkan mereka berdua dan keluar dari ruangan itu. Rasanya berat dan menyesakkan. Rasanya menyakitkan. Ketika aku berada di luar, aku menghentikan langkahku dan bersandar di dinding.
Pintu di sampingku tak sepenuhnya kututup jadi aku bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Sungguh rendah diriku. Namun, untuk kali ini saja, untuk kali ini saja, aku ingin mendengarkan pembicaraan mereka.
“Bagaimana kabarmu?” gadis itu memulai pembicaraan.
“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” Kali ini suara berat pria itu menjawab pertanyaan si gadis.
“Baguslah. Bagaimana hubungan kalian?”
“Ah? Untuk saat ini, kami hanyalah teman.”
Teman. Hanyalah teman.
Refleks, tanganku menyentuh dadaku dengan pedih mendengar kata sederhana yang menusuk jantungku.
“Kau tahu dia tidak merasa seperti itu padamu.”
Hening.
“Aku tahu. Aku tahu itu.”
“Lalu kenapa kau tidak—“
“Apa kau tidak merindukanku?” Dia menyela gadis itu seolah tak ingin mendengar nasihat lagi, suaranya mendesak perih.
Sementara itu aku masih berdiri di sini menahan sakit. Rasanya seperti dihantam sesuatu yang besar, rasanya kakiku seperti kehilangan kekuatan, perutku sakit seolah ada belati menusuk berkali-kali.
“Iya… aku merindukanmu–” Gadis itu menjawab
“Kalau begitu–“
“Dulu.” Gadis itu menyelesaikan ucapannya dengan nada dingin nan lembut.
Hening lagi.
“Dulu aku merindukanmu. Sebelum kamu menghilang lalu kembali dengannya sebagai orang terdekatmu, yang ternyata adalah sepupuku sendiri. Pada saat itu, aku juga sudah menyerah menantimu dan membuka hatiku untuk menerima orang lain.” Gadis itu berucap lagi dengan nada getir.
“Aku tahu. Maafkan aku.” Suaranya terdengar penuh penyesalan.
Helaan napas terdengar kemudian.
“Kau tahu.” Entah kenapa ada nada sinis di dalam suara gadis itu. “Ya, kau tahu. Aku yakin kau juga tahu kalau yang kau lakukan sekarang ini, menyakitinya.”
“Ya, aku tahu.” Pria itu menyahuti getir.
Deg!
Jantungku berdenyut kuat ketika tidak mendengar nada penyesalan di sana untukku.
Air mataku sukses membanjiri pipiku.
Harusnya aku tidak terkejut, harusnya aku sudah menyadarinya dari dulu. Dari pertemuan yang kukira pertemuan pertama kami bertiga, yang tiba-tiba berubah menjadi canggung saat ternyata itu bukanlah pertemuan pertama. Aku tahu…
“Kau jahat…”
“Karena aku mencintaimu.” Pria itu menyahuti cepat.
“Itu dulu, dan sekarang aku akan menikah.”
“Ya kau benar…” Hening sejenak. “Dan kau cocok dengan gaun itu. Sangat cantik,” tambahnya parau, mengoreksi ucapannya sebelumnya.
“Terima kasih.”
Hening lagi.
“Boleh aku memelukmu? Untuk terakhir kali.” Pria itu berucap dengan suara bergetar, memohon seolah hidupnya bergantung pada jawaban sang gadis.
Aku tak sanggup lagi mendengar.
Harusnya aku tahu, harusnya aku tidak egois dan memilih berpura-pura tak tahu.
Pemikiran itu membuatku berlari meninggalkan tempat itu, melangkah pergi untuk mencari tempat di mana aku bisa menangis sepuas-puasnya tanpa gangguan.
Ketika aku kembali setelah merapikan riasanku untuk menutupi mata sembabku, mereka tampak biasa, menjaga jarak dengan kaku seolah tak terjadi apa-apa.
Senyum itu terpatri di bibirnya. Meski mata itu menyimpan isyarat tersembunyi, aku tahu kemana ia menatap.
Lonceng-lonceng semakin menggema, orang-orang sudah berkumpul di aula, mereka duduk dengan khidmat sembari menunggu sang mempelai wanita. Kami sendiri duduk bersebelahan di jajaran bangku belakang, tidak ada yang bicara setelah kami keluar dari ruang pengantin.
Tidak ada. Sepatah kata pun, tidak ada.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku memulai pembicaraan.
Dia diam sejenak sebelum menjawab,
“Ya. Tentu saja.”
Pembohong.
Sesaat setelah itu pintu di belakang kami terbuka, menampakan iring-iringan pengantin wanita yang berbahagia. Gadis itu terlihat cantik dan rona bahagia jelas terpancar dari wajahnya, aku juga ingin dia melihatnya. Kerudung pengantin itu menutupi wajahnya namun semua orang pasti dapat melihat senyum manis dari bibir gadis itu, jelas menandakan kebahagiaannya. Ujung-ujung bibirku pun ikut terangkat terbawa aura magis dari nuansa pernikahan yang sakral dan mengharukan.
Lalu entah bagaimana suara-suara itu semakin jauh, semakin menghilang, dan seperti gerakan slow motion, semuanya terasa berhenti.
Saat itulah, aku terdorong untuk menoleh dan menatapnya. Aku melihat dia tengah menatap gadis itu dengan tatapan lekat seorang kekasih yang mendamba.
Aku tahu, harusnya aku sudah tahu itu….
Tuhan, aku mohon, buat ia melupakan gadis itu dan mencari kebahagiaannya sendiri … denganku.
Setelah itu suara-suara lonceng terdengar lagi, suara-suara musik pengiring, juga suara pendeta yang akan memulai memberkati mereka, meresmikan mereka sebagai pasangan suami-istri mulai membahana memenuhi ruangan.
Ketika aku melirik kembali dari ujung mataku, aku tahu dia masih menatap gadis itu. Matanya menyiratkan kesedihan, seolah dunianya telah lenyap, seolah tak ada hari esok untuknya, dan seolah hanya gadis itu yang memiliki hak untuk terpantul di bola mata mata beningnya.
Lalu tiba-tiba aku melihat senyum di bibirnya, sebuah senyum kepedihan, senyum untuk menertawakan dirinya sendiri. Aku pun ikut tersenyum masam dalam kesunyian, ikut menertawakan diriku sendiri.
Ini benar-benar lucu bukan?
Sepasang anak manusia dalam pesakitan.
“Ayo,” katanya.
“Kemana?”
“Pergi … kemana pun kau mau.”
“Kau tidak ingin memberi selamat kepada mereka?”
Hening. Dia kembali menoleh pada sepasang pengantin yang berbahagia itu, matanya sejenak menerawang kemudian teralihkan lagi pada kenyataan.
“Tidak, yang terpenting adalah doa, bukan ucapan selamat. Aku yakin mereka sudah bahagia sekarang.”
Aku menarik bibirku ke atas sedikit, lalu menganggukkan kepala.
“Kau benar. Ayo kita pergi.”
Aku tersentak tatkala tanganku digenggam oleh tangan dingin miliknya. Aku menatap jalinan jemari tangan kami, mulutku hampir saja terbuka namun suaraku segera tertahan di tenggorokan manakala aku masih melihat kilat muram di matanya.
Iris matanya masih saja memantulkan gadis itu, masih terpaku pada dunianya yang runtuh saat gadis itu termiliki oleh lelaki lain.
“Ayo.”
“Em.”
Aku mengekor di belakangnya dengan tangan kami yang masih bertautan, mengabaikan riuh keramaian di belakang kami. Aku juga hanya menatap dari jauh ketika acara pelemparan bunga dari sang pengantin wanita. Diam-diam aku berharap mendapatkan bunga dari sang pengantin.
Matahari musim semi mulai tinggi, semakin menampakkan cahayanya yang hangat. Tiba-tiba, aku merasa sesak, membuatku menengadahkan wajah. Di saat seperti itu pun, aku mengutuk mataku yang masih bisa menangkap muram di wajahnya.
Tidak, aku sudah tidak kuat lagi.
Hikss.
Loh … loh, kenapa aku menangis?”
Aku tahu, harusnya aku membiarkan mereka. Aku jahat, aku tahu itu.
“Kau tahu, dulu aku ingin menjadi bagian bahagia dari hari yang seperti ini. Musim semi yang hangat, di mana bebungaan mekar, dan aku mendengar lonceng-lonceng berdentang. Hari dimana aku berdiri di depan altar dan menunggu seseorang untuk datang kepadaku dari lorong berhias bunga.” Dia tiba-tiba berucap dengan suara menerawang, memecahkan keheningan di antara kami.
Aku juga ingin mendengar lonceng-lonceng berdentang bersahutan seperti suara Tinkerbell, aku ingin berjalan di altar dengan senyum seperti halnya berjalan di antara pohon-pohon sakura, dan merasakan lagi musim penuh kehangatan seperti halnya ketika aku makan kue penuh krim atau pai apel buatan sendiri. Dalam hatiku, aku menyanggah penuh kepedihan.
“…Aku pernah menyukainya,” tambahnya getir, membuat pengakuan tentang cinta lalu yang belum benar-benar berlalu.
Aku tahu itu.
“Sekarang, aku sangat ingin berdiri bersama orang itu seperti hari ini. Mengucapkan janji pernikahan sehidup semati di altar.”
Aku tahu!
Mataku sembab, aku tidak peduli. Suaraku hilang, aku tidak peduli. Kakiku gemetaran, aku tidak peduli. Angin menertawakanku pun aku tidak peduli dan dia menatapku dengan senyum penuh kasih, aku tetap tak peduli. Aku tak mau peduli lagi.
“Aku ingin orang itu bersamaku mulai sekarang. Karena dialah satu-satunya yang bertahan mencintaiku sepenuh hatinya.”
Angin musim semi berembus kencang di antara kami, membawa kelopak sakura yang gugur. Mataku masih basah dan buram, berkabut air mata sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Apa yang sedang dia lakukan?
Lelaki itu berdiri di depanku, dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Dia kemudian menyodorkannya padaku.
Bibirnya masih menyunggingkan senyum. Senyum itu tertarik melengkung semakin lebar, semakin nyata di mataku.
“Maafkan aku terlambat menyadari bahwa kau adalah orang yang paling mencintaiku selama ini. Aku ingin kau di sisiku … Menikahlah denganku.”
“Hah?”
Juni 22, 2016 (12:04).
-edited by @author7 Project Sairaakira
Aku benci laki2 itu, gak mikir bngt perasaan cewek yg skrng dia gandeng aku sih ngerasa cewek itu wajar2 aja dampingin si cowok soalnya kan dibiarkan dekat sma cowoknya sendiri jadi yaa wajar bersikap egois. Tapi si cowoknya emng gak punya rasa bersalah atau kasian kek msa gitu amat nyakitinnya. Klo aku jadi cewek itu gak akan mau nerima lamaran si cowok masa pas moment dia mau ngasi cincin masih smpt cerita pengen nikah sma wanita itu ohmygod jahat sejahatnya aku benci cowok kya gitu…gak ush hidup aja
emaaang cowom itu jahat, gk peka bgt!!! udah jelas2 anggepnya lain dri tmn biasa tapi ttp aja gk sadar. malah masih ngejer yang jelas2 udah mau sama orng lain -_- #yahcurhatdeh