Vitamins Blog

BEHIND

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Main Cast: Elena. Anthony.

==================================

Elena P.O.V

Dia tersenyum. Menghabiskan semua masakan yang kumasak dengan bahagia. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan dia menikmati semua hasil kerja kerasku. Dia senang menunjukkan kebanggaannya padaku. Dia selalu memuji-muji segala sesuatu yang kubuat walau aku sendiri tahu hasilnya tidak semua sempurna.

Aku menuangkan air putih dalam gelasnya.

“Terima kasih sayang.”

Aku tersenyum dan mengelap sudut bibirnya dengan jemariku. Dia langsung meraih dan mengusap punggung tanganku dengan lembut.

“Hangat,” ucapnya mencium punggung tanganku.

Aku menarik tanganku dari genggamannya dan mencubit pipinya.

“Habiskan makananmu jika tidak ingin terlambat.”

“Mereka bisa menungguku. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan istriku.”

“Ck. Jangan menyalahgunakan posisimu sayang.”

Aku mengingatkannya dengan memasang tampang serius dan dia hanya terkekeh menanggapiku. Dia memasukkan beberapa sendok terakhir ke dalam mulutnya, menegak air dan menyeka sisa-sisa air di bibirnya.

Dia bergerak. Berdiri dan mendekati kursiku.

Tangannya meraih daguku, membuatku mendongak kemudian mendaratkan bibirnya di keningku.

Tangannya menangkup wajahku. Jemarinya mengusap-ngusap lembut kedua sisi pipiku. Bibirnya selalu melengkung, tersenyum padaku dengan mata yang selalu memancarkan kekaguman.

“Aku mencintaimu,” bisiknya lembut.

Mengangguk dan menyembunyikan wajahku dengan menunduk, hanya itu yang bisa kulakukan.

Dia tidak menuntutku agar membalas perkataannya, yang dia lakukan hanya memelukku.

Sesak dalam dadaku.

Rasa sakit yang selalu membuatku ingin menangis.

Aku menahan airmataku membalas pelukannya.

“Aku akan pulang secepatnya. Maaf, kemarin harus meninggalkanmu hingga larut malam.”

Dia membelai punggungku.

“Tidak apa-apa. Aku mengerti jika dirimu sibuk.”

Dia mendorong tubuhku. Tangannya berada di kedua bahuku. “Aku memang beruntung memiliki istri sepertimu.”

Apa dia akan mengatakan hal itu jika tahu apa yang telah kulakukan dibelakangnya?

Apa tangan lembutnya yang selalu membelai pipiku akan berbalik menamparku jika tahu seberapa kejam hal yang telah kuperbuat dibelakangnya?

Apa akan ada kata maaf untukku darinya jika dia tahu?

“Aku tidak seistimewa itu, kau terlalu berlebihan.”

Aku mengelak tatapannya.

Matanya selalu melukiskan perasaannya yang sebenarnya. Hanya melihat matanya, siapa saja yang mengenalnya akan tahu jika dia berbohong atau bersungguh-sungguh.

Aku tidak sanggup.

Aku tidak bisa masuk dalam sorot matanya yang menenggelamkanku dengan kejujuran. Bagai noktah hitam dalam lingkaran hidupnya yang putih. Aku merasa kotor dan tidak layak.

“Ehem.”

Teguran kecil terdengar, membuyarkan lamunanku sejenak.

Anthony menegakkan tubuhnya. Membalas senyum seseorang di balik tubuhku.

“William…,” sahutnya.

Aku diam dalam dudukku.

“Selamat pagi Anthony.”

Anthony menyambut William dan meninggalkanku.

Kedua sahabat karib itu asik berbincang sedangkan aku tenggelam dalam pusaran keputusasaan.

Suamiku tidak tahu. Dia tidak pernah tahu jika aku istrinya dengan keji melakukan hal terlarang yang akan sangat menyakitinya.

Aku terhimpit.

Tak memiliki arah. Aku berjalan di tempat. Tidak ada satupun jalan yang bisa membawaku pada akhir yang bahagia.

“Baiklah kalau begitu, Aku pergi dulu. Lanjutkan bisnis kalian,” Anthony berujar mendekatiku. Sekali lagi dia mendekap dan mencium keningku. Dia membelai pipiku dan tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkanku dengan William. Meninggalkanku dan memberikanku kesempatan menambah rasa bersalah yang bertumpuk dalam relung hatiku.

**

Kami berciuman. Saling menempel. Menggeliat dengan tubuh yang penuh peluh.

Bibir William menyapu habis leherku dengan lidahnya. Dia meremas dadaku dengan gemas. Dan kakiku bertengger lemas dikedua bahunya. “Ah.. Ah.. Ouh.”

Aku mendesah pelan. Mencengkram ujung seprai ranjang dan menikmati William yang bergerak memasukan ereksinya ke dalam lubang kewanitaanku.

“Ugh, Elena, Akh~~”

“Yeah.. Ah..”

Aku meraih tengkuk William dan mendekatkan wajahnya. Aku melumat bibirnya. Suara desahan kami sedikit teredam. Kini hanya bunyi derit ranjang dan suara becek alat kelamin kami yang terdengar.

Aku terbuai.

Aku menutup mata.

Semua kenikmatan ini membuatku gila dan lupa segalanya.

**

Aku membereskan pakaianku. Rambutku hanya menggunakan jemari tangan saja sudah tampak cukup rapi.

Tak ada yang salah dengan make-up ku kecuali lipstik yang menghiasi sebelumnya telah memudar.

Aku terduduk di pinggiran ranjang.

Ada air mata yang jatuh begitu semua kegilaan yang kulakukan selesai. Rasa bersalah memenuhi hatiku.

Rasanya sesak.

Rasanya begitu menyakitkan.

Aku menaikkan kakiku. Menelungkupkannya. Menyembunyikan wajahku disana. Isakan kecilku terdengar. Aku kembali menangis.

Jika saja aku bisa mengontrolnya. Tak akan ada tangisan ini. Tak akan ada rasa bersalah.

Aku begitu kotor. Begitu tidak berperasaan, aku menyakiti banyak orang. Keluargaku dan orang yang mencintaiku.

Aku jahat. Sangat.

“Elena..”

Seruan William yang serak membuatku mendongak. Lekaki tampan itu segera duduk dan mendekatiku.

“Sshh.. Jangan menangis.”

“Aku…”

Bahkan menyelesaikan kalimatpun aku tidak bisa. Suaraku tercekat. Tenggorokanku mati rasa. Seluruh kalimat yang ingin kuperdengarkan pada William tertelan kembali dan menghilang. Aku bisu seketika.

Yang kulakukan hanya menangis.

William meraih tubuhku. Dia mendekapku dengan erat.

Please Elena. Jangan menangis.”

Aku tidak bisa. Aku tetap menangis. Bahkan ketika secara tak sengaja mataku mencuri pandang pada figura besar yang tertempel tepat didepan ranjang. Menampilkan sosokku dengan Anthony dalam pakaian pernikahan kami. Airmataku tumpah.

“William.”

Rasanya begitu sakit. Sangat sakit. Hatiku menjerit.

Aku mencintai William.

Aku mencintai sahabat suamiku.

**

Sudah berapa lama kegilaan ini berlangsung? Aku tidak mengingatnya.

Aku mengenal William sebelum mengenal Anthony.

Penyesalanku menjadi orang baik mengoyak-ngoyak hatiku. Seandainya saja. Seandainya ketika William menyatakan cinta padaku, aku menerimanya. Seandainya saja ketika Anthony melamarku aku tidak menerimanya.

Seandainya.

Semua seandainya.

“Elena.”

“Ya?”

“Apa kau berpikir William akan menyukai gaun ini jika aku memakainya?”

Aku melihat gaun yang adikku sodorkan. Pilihannya tidak buruk. Aku memberi anggukan setuju pada pilihannya dan dia menepuk tangan senang.

Dia jalan terpincang menaruh setelan jas tersebut di atas ranjangnya.

Aku melihat kakinya yang tak pernah kembali normal setelah kecelakaan 5 tahun lalu. Kecelakaan yang membuat adikku kehilangan rasa percaya dirinya, membuat adik manisku terpuruk dan hampir mengakhiri hidupnya.

“Laila.” Aku memanggilnya.

“Ya…”

Laila menyahut masih menata gaunnya agar tak kusut di atas ranjang.

“Jangan lupa gunakan lipstick merah yang kuberikan. William pasti semakin menyukainya.”

Kedua pipinya merona merah.

“Jangan menggodaku Elena…”

Tersipu-sipu malu. Aku baru bisa melihatnya lagi ketika Laila mulai menyukai William. Rasa percaya dirinya menghilang karena kakinya yang tidak bisa berjalan baik. Dia kehilangan warna hidupnya. Dia kehilangan senyumnya.

Bagaimanapun cara yang kulakukan beserta keluargaku untuk mengembalikan senyumnya tak ada yang membuahkan hasil. Tak ada satupun, sampai ketika dia mulai membuka diri saat bertemu dengan William. Salah satu pengusaha yang menjadi pelanggan butikku.

Pria yang juga mampu mencuri hatiku.

Pria yang membuaiku dengan senyum.

Pria yang menjeratku menjadi wanita egois.

Pria yang ternyata juga memiliki perasaan yang sama sepertiku.

Dia mencintaiku.

Perasaanku terbalas.

Tapi,

Bagaimana mungkin aku sanggup menerima perasaannya begitu tahu jika adik manisku menaruh harapan padanya.

Bagaimana mungkin aku tega merampas satu-satunya jalan agar Laila kecilku kembali tersenyum.

Aku rela untuk mengalah.

Aku bahkan menerima lamaran Anthony untuk melupakan perasaanku pada William.

Namun semuanya sia-sia.

Aku terjebak dalam permainan yang menyakitkan.

Akhirnya aku kalah pada rasa cinta. Rasa egois dan obsesiku untuk memilikinya.

“Aku tidak menggodamu. Aku hanya mengatakan apa yang kuketahui. Kemarilah Laila.”

Terpincang dan menunduk dengan wajah yang masih memerah dia datang menghampiriku. Laila duduk disisiku dan langsung memelukku menyembunyikan wajahnya dipundakku.

“Kau pasti tampak memesona Laila,” pujiku.

Laila semakin mengeratkan pelukannya pada pinggangku.

“Terima kasih Elena, Kau yang terbaik.”

Betapa aku ingin menampar diriku sendiri.

Betapa aku ingin menikam tubuhku.

Aku menahan airmataku.

Tenggorokanku tercekat. Aku dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangiku dan apa yang kulakukan untuk membalas mereka?

Pengkhianatan.

Aku tidak ingin dibenci Laila dan Anthony.

Tapi aku ingin memiliki William.

Hanya sebentar saja.

Hanya sampai hari dimana Laila dan William meresmikan pernikahan mereka.

Hanya sebatas itu keegoisan kejamku.

“Berbahagialah Laila. Seminggu lagi hari pertunanganmu.”

**

Aku mencium aroma masakan begitu langkah kakiku memasuki rumah. Kulepas wedgesku. Menaruh di rak dekat pintu. Aku langsung berlari kecil ke dapur.

Disana Anthony mengenakan apron hijauku tengah sibuk menata piring diatas meja.

Aku mendekatinya.

“Apa ada sesuatu yang terlewat olehku?” Tanyaku menyadarkan Anthony tentang kehadiranku.

“Kau sudah pulang?” Dia menepuk-nepuk apron di depan dadanya. “Tidak ada yang spesial sebenarnya. Aku hanya ingin menyenangkanmu. Aku merasa bersalah selalu meninggalkanmu karena pekerjaanku.”

“Kau tidak perlu memikirkan hal itu Anthony,” ucapku dengan nada pelan.

Kenapa dia begitu baik?

Aku akan jauh lebih bersyukur jika dia bisa bertindak kasar dan tidak berperasaan padaku. Jika dia seperti ini. Selalu seperti ini, aku sama sekali tidak memiliki alasan yang mampu memperkecil rasa bersalahku.

“Duduklah sayang. Aku membuatkan makanan kesukaanmu.”

Anthony menarik tubuhku. Dia mendudukkan diriku. Mengambil serbet, mengibasnya pelan dan menaruhnya diatas pahaku.

“Kenapa dengan tanganmu?”

Aku meraih tangannya. Beberapa jari teriris. Luka tersayat kecil. Terlihat masih baru.

“Er, Aku tidak begitu berhati-hati saat menggunakan pisau. Kau tahu? Aku lebih sering memegang pena. Jadi tanganku masih kaku un.-“

Aku membungkam mulutnya dengan bibirku.

“Aku mengerti. Terima kasih makan malamnya.”

Jemariku mengelus-ngelus pipinya.

Aku berharap. Sedikit saja. Walau sedikit, hatiku akan berdebar karena Anthony. Sedikit saja. Aku mohon.

“Kenapa kau menangis sayang?”

Aku menggeleng dan meregangkan otot pipiku untuk tersenyum.

Rasanya pipiku ngilu. Senyum di saat ingin menangis bukan hal yang tepat. Rasanya menjadi berkali lipat perihnya.

“Aku hanya terlalu bahagia karena dimanjakan olehmu.”

“Ck. Kau berlebihan sayang. Akulah manusia yang paling bahagia karena memilikimu.”

Ucapannya terdengar begitu tulus.

“Tolong,” aku berbisik amat pelan.

Jangan berbicara lagi.

Jangan membuatku merasa seperti wanita hina. Aku merasa sesak. Aku tidak bisa bernafas.

“Elena…”

Aku menangis.

“Maafkan aku,” aku terisak.

Baby. Kau membuatku takut. Ada yang sakit? Berhenti menangis.”

Yah, ada yang sakit.

Di sudut hati ini ada rasa sakit yang tak pernah pudar. Tak pernah hilang seberapa keras pun aku ingin menghapusnya.

Rasa sakit itu selalu ada. Dia tidak akan meninggalkanku sebelum semua kegilaan ini berakhir.

Sakit.

Rasanya sungguh sakit.

“Anthony… Anthony…”

Maaf.

**

“Akh… Akh…”

Wajahku tenggelam di antara kumpulan bantal.

Bagian tubuh bawahku disentuh kasar.

William memasukiku tanpa henti. Memberikan rasa nikmat yang tak ada habisnya. Pikiranku melayang.

Anthony.

Laila.

Disaat seperti ini aku tidak memedulikan mereka.

Aku terbang di dunia tertinggi hingga melupakan semuanya.

“William.. Ouhh…. Ah..”

“Elena…”

Harder baby.. Akh… Ssshh..”

Terakhir kali.

Ini yang terakhir.

Aku berjanji.

Demi Anthony.

Demi Laila.

Dan demi diriku sendiri.

**

Jika aku tidak bisa memilikimu. Maka tak ada yang berhak untuk memilikimu.Tak ada yang boleh mencintaimu.”

Jika aku tahu makna dari perkataan William saat aku memutuskan hubungan kami. Maka aku akan mempersiapkan diri merasakan aura benci dari adik yang selalu mengekoriku.

Laila duduk mengambil jarak sejauh mungkin dariku. Tangannya melingkar memeluk tubuhnya sendiri seakan dia sedang membuat tameng agar tak ada yang bisa menyakitinya.

“Lai.-“

“Jangan berbicara.”

Aku bungkam disudut sofa.

Cemas.

Takut.

“Aku tak menyangka. Aku tak tahu jika kau orang yang sekejam itu Elena.”

Laila menunjukkan wajahnya. Rona merah. Bias ceria. Aura bahagia sudah hilang tanpa bekas disekitarnya. Semua itu dikarenakan olehku. Orang terdekatnya. Tempat biasa dia mengadu.

Aku!

Aku yang menyakitinya.

“Aku tidak akan sesakit ini jika alasan William membatalkan semua rencana pertunangan dan pernikahan kami karena orang lain. Tidak akan seperih ini Elena.”

Airmataku mengalir melihat betapa sakitnya raut wajah Laila. Dia sulit bernafas. Sulit berbicara. Bibirnya sibuk menahan isak tangis. Matanya tak habis meneteskan airmata.

Pilu rintihannya menyayatku. Menusuk hatiku hingga berdarah.

Aku berlari mendekatinya.

“Jangan. Kumohon jangan mendekat.”

Bagai mantra. Perkataannya menahan pergerakan tubuhku.

“Lai.-“

“Pergi.”

Suaranya parau. Dia pasti telah menghabiskan waktu semalaman untuk menangis.

“Laila.”

“Kumohon. Pergilah. Rasanya begitu sakit melihatmu. Bayang-bayang wajah kalian yang saling bercumbu dibelakangku. Mungkin menertawakan kebodohanku. Aku tak bisa melihatmu seperti dulu. Kumohon pergi sekarang. Menghilanglah dari hidupku.”

Menghilang?

Apa dia menyuruhku untuk mati?

Cara menghilangkan diri yang paling sempurna adalah pergi ke sisi Tuhan yang menciptakan kami.

“Laila. Maaf.”

Percuma saja. Dia tidak mendengar.

Tak ada guna, semua sudah berantakan. Aku telah meruntuhkan sendiri kastil kepercayaan antara kami berdua

Niat awalku yang bertujuan membuat Laila bahagia menyerang balik dari sisi lainnya. Dia menderita. Dia terluka.

“Maaf.”

Aku menekuk kakiku. Berlutut dihadapannya. Wajahku pias menunduk.

“Maaf.”

“Pergi Elena. Aku tidak ingin melihatmu.”

Perkataannya menusuk. Bagaimana bisa dia begitu mudah mengatakan tak ingin melihatku jika kami tak pernah terpisah lama. Bola mataku selalu menanti untuk melihat senyum adikku dan begitu juga dengannya.

Apa dia begitu tersakiti?

Dia sudah tak sudi.

Posisiku kini hancur. Kehilangan kedudukkannya di dalam hati Laila.

“Pergi.”

**

PLAK

Aku menamparnya begitu masuk ke dalam mobil.

“Kenapa?” Aku menadah tangan dihadapannya. Entah bagaimana raut wajahku sekarang. Bersimbah air mata. Tubuh bergetar.

Menahan amarah.

Menahan rasa sesak yang kian membuncah.

Aku kehilangan udara disekitarku.

“Kenapa William?”

“Kau tahu jawabannya Elena. Kau tahu…”

Aku menangis keras.

Menyandarkan keningku pada dashboard mobil.

Aku mendekap tubuhku. Terasa dingin. Semakin membeku akibat hilangnya kehangatan yang sebelumnya melingkupiku.

“Aku juga sudah memberitahu Anthony.”

Tubuhku membeku.

Aku menegakkan badanku.

Tak ada suara yang berhasil tercuri dengar di antara kami dari bibirku.

Kelu.

Mati rasa.

“Aku memperlihatkan video kita saat bersama-sama. Saling mencintai. Saling mendekap. Saling mencumbu.”

Senyum yang terukir di bibir William terlihat begitu mengerikan. Dia mengucapkannya seakan hal itu adalah hal lumrah. Hal biasa yang tak akan berdampak buruk pada siapapun. Tak akan melukai siapapun.

Dia salah.

Senyum di wajahnya tak boleh ada. Ini salah.

Kami menyakiti orang-orang yang mencintai kami.

“Kau gila.”

Aku mendesah pelan. Menarik nafas berulang kali. Tanganku mencengkram ujung bajuku. Buku-buku tanganku memutih. Bibir bawahku lecet tergigit olehku begitu keras.

“KAU GILA.”

Aku meledak.

Aku menamparnya sekali lagi.

“Apa kau tahu seberapa dalam luka yang kita buat? Apa kau tahu William, mereka terluka.”

Aku menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti.

“Aku? Lalu bagaimana denganku? Aku juga terluka. Rasanya sangat sakit didalam sini. Apa kau tak merasakannya? Apa kau tak terluka? Aku melakukan semua yang kau inginkan. Menerima adikmu. Berpura-pura mencintainya. Bahkan saat kau memintaku menikahinya aku melakukannya. Semua ini. Semua yang kuperjuangkan apa tidak ada harganya bagimu? Kau memutuskan hubungan kita sepihak. Aku mencintaimu, bukan Laila!” William menaikkan nada suaranya, dia menarik nafas, “aku terluka. Apa kau tidak?”

Aku ingin berteriak menjawabnya, tapi yang kulakukan hanya kembali menangis keras.

Aku terluka.

Sangat dalam.

Aku terluka.

Melihat mereka yang mencintaiku terluka karenaku. William, Anthony dan Laila. Mereka semua terluka karena keegoisanku. Aku tidak boleh berada disisi mereka. Aku harus menghilang. Keberadaanku hanya menyiksa orang-orang di sekelilingku.

Aku harus pergi.

Tak ada gunanya aku berada disini.

Aku ingin membuka pintu mobil dan William segera menguncinya.

“Buka pintunya William.”

“Tidak.”

“William!!!”

“Aku tahu kau akan pergi menemui Anthony dan aku tidak mengijinkannya.”

“Aku perlu meminta maaf padanya,” seruku dengan gigi bergemeletuk menahan amarah dan isakan.

“Aku perlu meminta maaf William. Anthony tidak berhak untuk diperlakukan seperti ini. Tolong biarkan aku pergi.”

Pandangan William tetap mengarah kedepan. Dia tidak melihatku sedikitpun. Tangannya mencengkram kuat kemudi. Dia hanya diam dan kemudian menyalakan mesin mobil.

“William….”

“Aku tidak akan membiarkan siapapun memilikimu.”

“Wil…-“

Dia memasukkan gigi dan menekan pedal gas.

“Kita akan mati bersama Elena…”

William melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Tubuhku terdorong kebelakang akibat kuatnya tekanan dari udara yang dihasilkan dari kecepatan laju mobil.

Aku tidak takut mati.

Aku bahkan merasa kematian satu-satunya caraku untuk menebus dosa.

Niat baik yang kulakukan tidak ada artinya jika terselimuti dengan kebusukan. Ini hukumanku.

“Anthony…”

Tapi aku ingin bertemu dengannya.

Meminta maaf.

Aku ingin….

Deg.

Deg.

Aku mencengkram dadaku.

Debaran ini.

Aku melirik William. Dia memejamkan matanya.

Debaran ini…. milik siapa?

Pandanganku menghilang.

Semuanya menjadi gelap.

= =

= = =

Saat mataku terbuka.

Hal pertama kali yang kulihat adalah air mata Anthony. Pria itu menangis begitu dia sadar aku telah siuman.

Dia tidak memakiku.

Dia tidak menamparku.

Dia sama sekali tidak melakukan apapun selain menangis bahagia begitu tahu aku masih diberikan kesempatan untuk hidup.

Dia mengurusku.

Anthony selalu berada disisiku hingga aku kembali diijinkan keluar dari rumah sakit dan melakukan pemulihan dirumah.

Dia tidak pernah menyinggung hubunganku dengan William. Tentang perselingkuhanku, tentang kekejamanku. Dia hanya fokus pada kesehatanku.

Aku duduk dikursi roda. Melihat pesakitan menikmati sinar matahari di halaman belakang rumah sakit. Aku baru saja menjenguk William. Pria itu masih tertidur. Belum membuka mata. Luka yang dia peroleh lebih parah dariku. Membuat mata indahnya terpejam tanpa ada yang tahu kapan akan terbuka.

Aku merasa bersalah padanya.

Aku merasa bersalah pada semua orang yang telah kusakiti.

“Anthony.”

“Hm…”

Anthony pindah kesisi tubuhku. Sedari tadi dia hanya berada di belakang tubuhku, membantuku mendorong kursi roda dan diam begitu aku terhanyut dalam pemikiranku.

“Apa kau tidak membenciku?”

Angin berhembus pelan.

Anthony menarik nafas dan bergerak pelan berdiri didepanku. Dia mendongak menatap langit, memejamkan mata dan perlahan lututnya menekuk, dia bersimpuh didepanku. Tangannya berada diatas pahaku, ragu untuk meraih tanganku yang terkulai lemah.

Wajah tampannya tak terlihat karena dia menunduk.

“Kau mungkin berpikir aku gila jika mengatakannya.” Anthony membuka suara, dia mendongak mencari mataku dan mengunci tatapan kami. “Aku masih mencintaimu Elena. Aku mencintaimu. Aku tidak bisa membencimu.” Seperti biasanya, perkataan Anthony selalu terdengar jujur hingga membuat hatiku ngilu.

Setelah apa yang kuperbuat. Setelah luka yang kutorehkan.

Dia masih mencintaiku. Dia tidak bisa membenciku.

Apa yang kurang?

Kenapa aku begitu buta. Tak bisa melihat ketulusan cintanya yang besar padaku. Dia begitu sempurna. Tak ada cacat.

Kenapa aku memilih jalan yang akan melukaiku, jika berada disisinya akan membuatku jauh lebih bahagia?

Apa cinta benar-benar membutakan segalanya? Cinta membuatku kehilangan indra penglihatan tidak hanya raga tapi batinku juga.

“Seharusnya kau membenciku,” aku terisak pelan. “Seharusnya kau menamparku. Memakiku. Bahkan jika perlu kau membunuhku.”

“Elena…”

“Seharusnya kau membiarkanku mati. Tidak mengurusku. Kau salah Anthony. Kau salah. Kau harus mengusirku. Menendangku dari kehidupanmu.”

“Elena.”

Lengan kekarnya melingkari tubuhku. Jemari besarnya membelai punggungku.

Anthony begitu baik. Dia begitu sempurna hingga membuatku takut.

“Kau seharusnya membiarkanku mati Anthony.”

“Ssstt… Jika kau mati, lalu bagaimana denganku? Jika kau tidak berada di dunia ini, membayangkannya saja aku sudah ingin mati bersamamu,” Anthony mendesah pelan. “Aku tidak peduli jika hatimu tidak ditakdirkan untukku. Aku tidak peduli Elena. Kau berhak mencintai William. Aku sudah cukup bahagia mengetahui keberadaanmu. Cukup mencintaimu dari jauh. Aku tidak peduli jika aku memang tidak bisa meraihmu.”

“Anthony…”

“Aku mencintaimu Elena, tapi kau berhak untuk tidak mencintaiku. Aku ingin kau berbahagia, bukankah seperti itu arti dari mencintai seseorang?”

“Anthony…”

“Sshh, Jangan menangis lagi Elena.”

Aku semakin mendekap tubuhnya.

Hangat.

Kini aku baru menyadari jika kehangatan yang selalu melingkupiku berasal dari Anthony. Selama ini aku tidak sadar. Selama ini aku buta.

“Maaf. Maafkan aku Anthony.”

Aku terisak.

Aku meraung.

“Maaf…”

“Tidak apa-apa Elena. Aku mengerti. Aku akan membebaskanmu. Aku akan memberikanmu kebahagiaan. Aku akan mengembalikanmu di tempat seharusnya kau berada.”

Aku semakin menangis keras. Tersedak hingga membuat tenggorokanku sakit.

“Aku akan mengembalikanmu kesisi William. Aku berjanji.”

**

2 tahun kemudian.

Setelah sekian lama, akhirnya aku berada ditempat seharusnya kuberada.

Di sisi pria yang kucintai. Tidak ada beban. Tidak ada rasa sesak seperti sebelumnya. Kini cinta yang kumiliki tidak memberikan rasa sakit dan derita. Aku bebas. Aku bahagia.

Aku berjalan pelan menelusuri koridor rumah sakit.

“Laila.”

Aku memanggil adikku. Adik yang telah secara hebatnya mulai memaafkanku dan membiarkanku kembali berada disisinya.

Aku melihatnya tersenyum. Senyum yang tidak begitu lebar, tidak ada rona merah atau antusiasme melihatku. Aku kecewa, tapi aku tidak boleh begitu serakah. Ini pantas untukku. Setelah apa yang kuperbuat padanya, ini sudah lebih dari cukup.

Aku duduk di sampingnya.

“Apa belum selesai?” tanyaku dan dia mengangguk.

Aku menyenderkan punggungku dan memeluk perutku.

“Bagaimana kandunganmu?” Laila menyahut pelan tapi tetap menolak memandangku.

“Baik-baik saja. Anthony masih berbicara dengan dokter. Dia masih memiliki beberapa pertanyaan.”

“Oh…”

Lalu kami terdiam.

Tidak bisa seperti dulu. Tidak akan sama. Retakan itu meninggalkan bekas yang tak bisa hilang.

“Apa pemeriksaan William masih lama?”

Laila. Setelah mengetahui aku tidak bercerai dengan Anthony datang mengunjungi William. Dia menangis dan memakiku.

Seharusnya aku bercerai. Seharusnya aku mengambil kesempatan itu untuk memantapkan posisiku di sisi William. Aku tidak mencintai Anthony. Aku mencintai William, lalu kenapa aku masih berada disisi Anthony?

Laila merasa direndahkan olehku. Dia mencapku sebagai wanita serakah.

Tapi dia tidak tahu. Dia tidak mengerti sebelum aku menjelaskannya.

Detik terakhir aku mengira jika aku akan mati.

Anthony.

Hanya Anthony yang kupikirkan. Bagaimana hari pria itu jika aku meninggalkannya tanpa kata maaf? Bagaimana dia bisa memulihkan lukanya? Siapa yang mengurusnya?

Aku mulai mencintai Anthony. Hanya saja aku belum sadar, karena cinta itu begitu kecil terhalangi cintaku pada William.

Tuhan memang begitu baik pada orang kejam sepertiku. Dia memberikan petunjuk di detik akhir hidupku dan kemudian memberikan kesempatan untuk memperbaikinya.

Aku memilih Anthony.

Aku ingin berada disisinya.

Di sisinya adalah tempatku.

Laila marah, dia berhak marah dan aku menerima semua caciannya.

Butuh waktu yang panjang membuat dia kembali melihatku. Membuat dia mau berada dekat denganku. Sekarang dia berusaha, mengobati luka yang kubuat, membangun kembali hubungan kami.

Laila mencintai William.

Dia mencintai William sangat tulus. Dia rela menghilangkan rasa sakit hatinya membesuk William dan merawat William.

Laila tahu. Dia sangat tahu jika William tidak memiliki siapapun selain orang tua yang mengabaikannya.

Aku telah memilih Anthony, karena itu aku tidak berhak lagi muncul dihadapan William. Aku hanya akan menambah luka William.

Adikku benar-benar malaikat. Anthony dan dia adalah dua orang manusia yang tak kumengerti memiliki hati sepert apa.

Laila selalu berada disisi William. Menunggu William hingga terbangun.

Laila merawat William dengan kondisi fisiknya yang tak sempurna. Membuat William akhirnya sadar sepertiku. Sadar akan rasa cinta dan ketulusan seseorang yang peduli pada kami apapun kondisinya.

“Mungkin 15 menit lagi selesai.” Jawab Laila.

Aku mengangguk dan tetap duduk disampingnya. Jadwal pengecekan kehamilanku selalu bertepatan dengan jadwal pengecekan kondisi kesehatan William.

Kami selalu bertemu disini. Bertegur sapa beberapa kata.

Beberapa menit berselang William keluar dari ruangan, dia menghampiriku. Kami saling melempar senyum. Sudah tidak ada rasa diantara kami. Dia bahagia dengan Laila dan aku bahagia dengan Anthony.

Kami sudah menemukan tempat kami.

“Maaf membuatmu menunggu.” William meraih tangan Laila dan mencium punggung tangan Laila. Dia membuat adikku merona. Aku terkekeh pelan.

“Tidak apa-apa, ada Elena yang menemaniku.”

William melirikku dan mengucapkan terima kasih karena tidak membuat Lailanya kesepian.

Lailanya? Itu sangat terdengar manis ditelingaku.

“Apa Anthony masih lama? Setelah ini kami masih harus memeriksa undangan pernikahan.” William memandangku dengan rasa bersalah.

Aku berdecak, “aku tidak akan mati karena kalian meninggalkanku sendiri. Pergilah, Anthony pasti akan datang sebentar lagi.”

“Baiklah kalau begitu. Kami permisi Elena.”

Aku mengangguk dan melihat William melingkarkan lengannya di pinggang Laila. Adikku mencuri pandang melirikku dan kuberikan dia senyum terbaikku.

Dia masih belum sepenuhnya memaafkanku. Dia hanya mengangguk dan tidak membalas senyumku.

Aku mendesah.

“Tidak baik seorang ibu hamil mendesah Elena.”

Anthony menghampiriku. Dia mengulurkan tangan dan meraih tanganku. Dia membantuku berdiri dengan sangat hati-hati.

Selama masa kehamilanku, Anthony menjadi super protektif. Aku diperlakukannya seperti bayi yang belum bisa melakukan apapun.

“Apa pertanyaanmu sudah terjawab semua?”

Aku bertanya dan menyilangkan lenganku dipinggangnya, Anthony mendekap bahuku.

“Sudah.”

“Sebenarnya apa yang kau tanyakan?”

“Rahasia.”

Aku memutar bola mataku.

Anthony tersenyum lebar, kami berjalan pelan bersisian keluar rumah sakit dan menuju halaman parkir.

Aku menyandarkan wajahku di dada Anthony.

Rasanya begitu damai.

Manusia memang diciptakan selalu melihat ke depan, mereka selalu berusaha meraih apa yang ada didepan wajah mereka dan mengabaikan apa yang berada di belakang mereka.

Sesekali, cobalah untuk menengok ke belakang.

Disana, ada sebuah bahagia yang tidak pernah terpikirkan.

Disana, ada sebuah kedamaian yang menjanjikan kenyamanan.

Disana, ada sebuah cinta yang sebenarnya lebih berharga dari cinta yang berusaha diraih di depan.

Cobalah, berbalik dan lihat. Disana ada seseorang yang selalu menatap punggungmu, yang selalu menunggumu, yang selalu tulus mencintaimu, yang selalu menawarkan uluran tangan dan akan memberimu kebahagiaan.

Sama sepertiku.

Aku selalu melihat William di depanku yang tidak bisa kuraih dan mengabaikan Anthony di belakangku.

Aku begitu bodoh jika memikirkannya sekarang. Mengingatnya membuatku terkekeh pelan.

“Apa ada yang lucu?” Anthony menatapku, aku hanya mengelus pipinya dan menggeleng.

“Tidak ada.”

Kebahagiaan tidak selalu berada didepan mata, mereka terkadang berada dibelakang, menunggu dengan sabar, menanti tanpa berhenti, sampai suatu saat nanti ketika kau mau menoleh dan tersadar akan seruannya yang memanggilmu pelan.

Quote by : vienasoma

End.