Vitamins Blog

Story Of My Love 2: Under The Thousand Stars

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

Malam hari, tepatnya pada malam di hari Rabu ini tak seperti biasanya Nala kini berada di luar rumah. Keluar dari zona nyamannya.

Ia menghabiskan malamnya bersama sang saudara di sebuah pasar malam tak jauh dari rumahnya. Awalnya Nala enggan, namun rasa jenuh tak mau mundur menjauh dari dirinya. Jadi, kini ia bisa berada disini untuk mengusir rasa jenuh. Berhubung besok tanggal merah tak ada salahnya kan untuk sedikit mencari udara begitu pikir Nala.

“Bi, naik itu yuk!” Tunjuk Nala pada salah satu wahana yang berada di pasar malam tersebut.

“Gak mau ah, serem tau entar aku jantungan lagi” jawab saudara Nala yang bernama Bi itu.

“Yah, ko gitu sih? Gak seru dong kalo gak ngapa-ngapain” Nala terlihat kecewa. “Kalo gitu mending kita cari makan aja deh. Lumayan dari pada gak ngapa-ngapain”

Nala menarik saudarnya menuju stand makanan yang tersedia hampir di setiap penjuru. Ia bersama saudaranya memutuskan berkunjung kesebuah stand arumanis yang tak jauh dari mereka.

Gadis bersurai sebahu itu berhasil mendapatkan sebuah arumanis warna-warna yang begitu menggugah di tangannya. Ia tersenyum gembira.

“Bi, mau gak? Enak nih manis” Nala mencubit gulungan arumanisnya sedikit dan mencobanya.

Bi menggeleng “Nggak, makasih. Buat kamu aja.”

Selanjutnya Nala hanya diam melahap arumanisnya dengan tenang, hingga habis tak tersisa.

“Abis deh.” ujar Nala. “Selanjutnya kita kemana?”

“Ya, nggak kemana mana juga kita gini aja. Lagian aku gak ada uang”

Nala terkekeh “Jadi bener ini niat cari angin cuma nyari angin doang, angin gak bikin kenyang loh Bi”

“Abis ya harus gimana lagi” timpal Bi datar.

“Kalo aku ajak ke rumah hantu mau? Aku yang bayarin deh”

“Heh, mau ngajak aku mati ya? Nggak, nggak usah mending kita pulang aja. Anak kecil gak baik main malem-malem” Bi mendorong punggung Nala berniat membawanya pulang namun sepertinya Nala masih betah berada disini.

“Nggak mau. Ini kan masih jam 9, bentar lagi deh” protes Nala yang menarik balik Bi kembali ke tengah keramainan.

“Mending…”

Dor… Dor…

Warna-warni kembang api terlihat mewarnai hitamnya langit malam di kala itu. Nala dan Bi terperangah menengadah ke atas langit melupakan perdebatan mereka tadi.

Dor..

Nala terperanjat kaget hingga reflek memeluk lengan Bi.

“Masih aja kangetan”

“Biarin” sungut Nala. Sejenak sebelum Nala hendak kembali mengamati langit, tak sengaja ia melihat seseorang tersenyum padanya. Hanya selewat dan terjadi begitu cepat.

Dia…

“Mau kemana?” cegah Bi di saat Nala hendak pergi mengiku orang tadi.

“Eh, tadi itu beneran gak sih?” Nala bermonolog, tangannya mengusap tengkuknya bingung.

“Liat hantu ya? Dimana? Kalo gini buruan kita pulang!” Bi kembali menarik tangan Nala, namun berhasil gadis itu tepis.

“Bukan hantu, tapi aku liat dia senyum ke aku!”

“Dia? Siapa?” Bi terlihat mencuramkan alisnya.

“River, Bi. Aku liat River.” jawab Nala dengan gemas. Saking gemasnya ia tak sadar dirinya kini tengah meremas kuat tangan Bi.

“Baper, boleh. Ganas, jangan. Kamu tiap baper pasti ada korban” Nala tersenyum tak dosa. Karena ia tak berani menampik semua fakta yang di uraikan Bi.

“Terus si Rivernya mana sekarang?” Bi bertanya dengan kedua tangannya berada di dalam saku jaketnya.

Nala mencari ke kesekitar, namun apa yang ia cari tak ditemukan. Lantas ia menggeleng.

“Lah itu paling cuma hayalan kamu. Makanya jangan kebanyakan ngelamun, kesambet baru tau”

“Tapi kan aku emang liat dia, Bi” belanya sembari cermberut.

“Kata aku juga, mending kita pulang dari pada kamu ngelamun kek gini”  ajak Bi lagi.

Nala membisu. Ia kesal dengan usaha Bi yang terus mengajaknya pulang. Padahal Nala sama sekali tak berkeinginan untuk pulang, apalagi setelah melihat sosok River tadi.

“La, buruan kita balik”

“Ngg-”

Ting.

Suara ponsel Nala berbunyi. Nala pun mengeluarkan ponselnya yang sedari tadi diam dengan tenang di dalam sakunya, membaca pesan yang baru saja masuk.

River: Hai, Nala. Kamu gak salah liat ko, tadi itu aku. Aku tau kamu bingung hehe..

“Omigosh, Bi. Dia chatt gue” ucap Nala girang, lantas ia segera mengetik balasannya cepat.

Nala: Hai, Ver. Apa kabar? Tuh benerkan mata aku gak pernah salah, Bi aja yang meragukan ketajaman mata aku.

Ting. River membalasnya tak kalah cepat dari Nala.

River: Aku baik-baik aja, dan kelihatannya kamu juga baik-baik aja kan? Ya wajar, gimana gak ragu kalo kamu ngeliatnya aja cuma selewat kaya ngeliat hantu..

Nala: Yeah, i’m very well. Tapi faktanya penglihatan aku gak salah kan?

River: Iya, iya Nala menang..

Nala: Kamu sekarang dimana? Udah pulang?

“Woy, sadar! Jangan cekikikan gitu kek mak kunti aja kamu” protes Bi merasa merinding melihat Nala cekikan sembari menatap layar ponselnya.

“Diem ah..”

Nala: Belum. Aku masih di tempat tadi kamu liat aku. Kenapa gitu?

River: Bisa ketemu?

Nala: Yaudah kesini aja.

Usai itu Nala mengunci layar ponselnya menaruh kembali benda pipih berbentuk persegi panjang itu kedalam sakunya.

“Firasat aku buruk” celetuk Bi tiba-tiba.

Benar saja, tak lama setelah Bi mengatakan itu Nala menunjukkan wujudnya. Dia mendekat tanpa kata, hanya senyum yang terkesan kaku terlihat di wajahnya. Nala sangat mengerti bahwa lelaki bernama River itu termasuk lelaki dingin yang jarang tersenyum. Namun entah bagaimana River bisa dengan mudah tersenyum padanya.
Mereka saling terdiam menghadap satu sama lain. Sebelum akhirnya River terlebih dahulu mengulurkan tangannya pada Nala.

Nala menatapanya bingung.

“Salaman dong”

Yang terdengar di indra pendengaran Nala adalah suara lembut nan merdu milik River yang begitu menggetarkan hati. Cepat-cepat Nala menguasai diri, meraih tangan River membalas salamnya.

Setelahnya mereka kembali terdiam.

Aduh ko canggung banget sih batin Nala sedikit gelisah.

“Malah diem-dieman ini pada. Yaudah kalo gak ada yang mau di omongin, Nalanya aku bawa pulang ya, Ver” kata Bi memecah keheningan di antara mereka.

“Eh, jangan dulu kak.” pinta River dan Bi kembali menurutinya. Namun setelah di wanti-wanti beberapa saat tidak ada yang kunjung membuka suara dan itu membuat Bi kesal.

“La, ayo pulang!” Bi menarik Nala tiba-tiba, membawanya menjauh dari River.

“Nala, boleh aku anter?” River sedikit berteriak. Nala mengangguk.

Perlahan Bi melepaskan tangan Nala, membiarkan saudaranya itu berjalan dengan normal. Kemudian River mengambil alih dengan berjalan disisi Nala, merangkul Nala.

Jadi fungsi aku disini cuma sebagai obat nyamuk ringis Bi dalam hati.

Dengan berat ia membiarkan dua insan itu berjalan di depannya, mengorbankan dirinya yang sebagai jomlo melihat hal yang tentu menelangsakannya asalkan dua orang itu tidak bertindak di luar batas.

“Kamu kemana aja? Selama 2 tahun ini gak sekalipun kita ketemu. Kalo pun ketemu paling cuma gak sengaja liat, mana cepet banget lagi” keluh Nara.

“Aku ada. Kamunya aja yang gak sadar, aku itu sebenernya selalu ada di sekitar kamu” jelas River dengan suara lembutnya.

“Kenapa gak bilang-bilang, huh!” Nala sedikit menyikut River. “Kita ini aneh ya. Kita ini deket, tapi gak pernah ketemu. Kaya kita ini jauh banget…”

“Bulan depan aku pindah, La” ucap River tiba-tiba.

“Hah, pindah kemana?!” tanya Nala kaget.

“Ke Bandung atau ke Bogor mungkin. Kita liat aja nanti”

Nala mendesah berat “Ya ko gak jelas gitu sih? Ko tiba-tiba?”

“Gak tiba-tiba sih, cuma kamu aja yang baru tau”

Lagi-lagi Nala hanya di buat menghela nafas berat. “Yaudah kemapun kamu pergi jaga diri baik-baik. Inget pola hidup kamu itu ancur ya, jangan makin di bikin ancur lagi!”

“Iya, nggak ko Nala”

“Dan yang penting kamu jangan lupa sama kewajiban kamu, kalo kamu lupa sama Allah kamu bakal kehilangan arah..”

“Karena Allah juga yang menunjukkan arahku pada kamu” lanjut River.

Sontak Nala di buat malu sendiri. Bibirnya terasa sulit untuk terbuka, yang ia mampu hanya bisa menampakkan senyumnya yang tak bisa lagi untuk ditahan. Hingga keheningan pun kembali menyelimuti.

Aduh, ko deg degan ya di rangkul River pikir Nala yang semakin menambah pompa kinerja jantungnya.

“Ayah sama Mamah sehat? Adek kamu kemana ko gak ikut sama kamu?” tanya River.

“Hmm sehat ko sehat, mereka semua baik-baik aja. Adek, dia ada ko cuma lagi mager aja dia gak mau kemana-mana”

“Keluarga kamu apa kabar?” Nala berbalik tanya.

Dia terlihat sedikit ragu menjawabnya, meski akhirnya ia jawab juga. “Baik ko, cuma lost contact aja sama Papa”

“Eh, Ko-”

“Nala, aku anter sampe depan rumah ya!” interupsi Bi yang berhasil memotong ucapan Nala. A
Pandangan Nala ia arahkan kedepan, sudah tampak rumah Bi yang tak jauh lagi di depan mata.

“Boleh Bi”

Rumah Nala memang berada tak jauh dari rumah Bi, hanya perlu melewati beberapa rumah lagi untuk sampai ke rumahnya.

Bi masih dengan setia di belakang Nala sampai River memintanya berhenti tepat di depan rumah Nala.
Secara tiba-tiba River membawa Nala kedalam pelukannya. Nala terkejut.

Namun tak lama River melepas pelukannya. Mereka saling berpandangan, Nala dengan tatapan bingungnya dan River balas menatap Nala dengan tatapan yang sulit di uraikan.

River kembali membawa Nala ke dalam dekapannya. Merengkuh tubuh Nala dengan hati-hati seolah gadis itu sebuah sayap kupu-kupu yang mudah pecah. Namun kali ini Nala pun ikut membalas pelukan River.

“Nala, aku gak tau apa nanti kita bakal ketemu lagi. Tapi yang jelas aku tetep sayang kamu. Jaga diri baik-baik, jangan sering begadang ya. Itu gak baik buat kesehatan kamu” River mengucapkan pelan namun pasti. Seusai itu dia melepaskan pelukannya, memaut jarak antara dia dan Nala.

Nala terlihat tertunduk.

“Hei, kenapa?” tanya River seraya mengangkat wajah Nala dan terlihatlah manik hitam gadis itu yang berkaca-kaca.

“Gak usah terharu gitu. Itu udah jadi kewajiban aku buat ngingetin kamu” River tersenyum pada Nala.

Kemudian dengan tindakanya yang selalu tiba-tiba dan penuh kejutan River mencium kening Nala seraya berkata “I’m so in love with you, La”

Dan begitulah kisah mereka pada malam ini, di bawah hamparan bintang-bintang di langit yang menjadi saksi. Entah itu sebuah awal ataupun sebuah akhir. Tak pernah ada yang tau.

Namun yang jelas seberapa sedikit pun intensitas kamu bertemu dengannya, jika perasaan itu memang tulus untuknya maka rasa itu takan pernah habis termakan oleh waktu.