Vitamins Blog

Little Things Between You And Me ( Chapter 4)

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Previously on Little Things Between You And Me :

Inoki mulai menjalankan aksinya dan mulai menunjukkan kekuasaan keluarga Gouda.

“Hei, kau tidak mengabariku kalau akan datang.”

“Uhmm.. malam ini apakah aku boleh menginap disini?”

***

***

 Pernahkah kamu menjalani hidup mandiri sebagai anak kost ataupun anak asrama dan merasakan bagaimana harus berbagi kamar dengan seseorang?

Bagi seorang Uemura yang terbiasa hidup sendirian,  memiliki seorang roommate yang merangkap kekasihmu jelas membawa pengalaman tersendiri.

Apartemen Sanada yang biasanya sunyi senyap sepanjang hari, mulai menunjukkan perubahan sejak kedatangan Chie.

Sanada yang sensitif terhadap suara, terbangun ketika mendengar dentingan suara peralatan dapur. Dengan gerakan asal, pria itu meraih jam yang terpajang di nakas tempat tidurnya dan membuka sebelah mata melirik angka yang ditunjukkan oleh jam tersebut. ‘Masih jam 05.30 pagi’

Dengan mata merah dan wajah mengantuk berat, Sanada berjalan pelan menuju dapur dan disambut oleh senyum ceria Chie yang menyapanya dengan hangat, “Ohayou, Sanada-kun.”

Sanada hanya menjawab dengan gerutuan tidak jelas, “Baru jam berapa sekarang? Kau sudah membuat keributan pagi-pagi buta begini.”

Chie hanya tertawa kecil dan menjawab santai, “Aku belum terbiasa dengan susunan dapurmu, jadi masih perlu mencari-cari letak dari peralatan memasak yang kubutuhkan.”

“Ganti saja susunannya sesuai dengan kebutuhanmu,” ucap Sanada sekenanya dan berjalan menjauhi dapur kemudian merebahkan tubuhnya di sofa untuk melanjutkan tidur.

Chie dengan semangat melanjutkan acara memasak dan berangkat kerja setelah semua peralatan dibereskan. Tidak lupa membawa kue pemberian Sanada sebagai cemilan untuk coffee break nanti.

***

Sekitar jam 9 pagi saat coffee break di klinik, Chie baru saja ingin menyuapkan potongan cinamon roll yang dibelikan Sanada, menghentikan gerakannya karena merasa getaran dari ponsel yang ada di meja. Terlihat nama Sanada di layar ponsel tersebut.

“Chie, aku tidak menemukan bir kaleng yang kubeli kemarin. Kau simpan dimana?”

“Di laci kedua dari kiri, lemari paling bawah.”

“Kenapa susunannya jadi berbeda semua?”

“Loh, kan kau yang memintaku untuk menggantinya sesuai kebutuhanku?”

“Hah? Sejak kapan?”

“Tadi pagi sebelum kau tidur di sofa.”

Setelah itu, panggilan terputus.

Chie meletakkan ponsel dan kembali menyuapkan cinamon roll sambil berkomentar, “Kalau tahu bakal begini seharusnya kurekam saja ucapan dia tadi pagi.”

Sementara itu di apartemen, Sanada tampak berdiri sambil menggeleng pasrah melihat semua pintu lemari dan laci yang dibukanya barusan terisi oleh barang-barang yang diatur sesuai keinginan Chie.

Sanada memiliki kebiasaan untuk menaruh bir kaleng di atas meja pantry, tempat yang mudah dilihat dan dijangkau.

Sanada sudah berusaha mencari bir kaleng yang dimaksud selama 15 menit dan tidak menemukannya sampai akhirnya pria itu bertanya langsung pada Chie melalui ponsel.

Hanya dalam hitungan jam saja, dapur sang Uemura seakan-akan sudah tertancap panji perang Himura dan sepenuhnya menjadi daerah kekuasaan The Great Lady Chie.

Karena mulai merasa lapar, Sanada melangkah ke arah lemari pendingin dan mata Sanada tertuju pada benda asing yang menempel di pintu kulkas.

Selembar kertas berwarna kuning muda dengan tulisan tangan rapih meminta Sanada agar menghangatkan makanan yang sudah terbungkus plastic wrap sebagai bekal sarapan pagi dan makan siang sang Uemura.

Sanada tersenyum kecil setelah membaca memo dan membuka lemari pendingin yang dimaksud.

Di dalamnya, sudah tersedia beberapa porsi makanan yang semuanya merupakan makanan kesukaan Sanada. Sementara bahan makanan mentah dan bumbu masak tersusun rapih dan memenuhi bagian pintu.

Tanpa membuang waktu lagi, pria Uemura itu segera memanaskan salah satu makanan dan menikmatinya dengan lahap.

Kapan terakhir kali sang Uemura menikmati masakan rumahan? Sanada tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Mungkin membiarkan Chie menguasai dapurnya bukanlah hal buruk, asalkan dia bisa menikmati masakan enak setiap hari.

*****

Sepulang kerja, Chie harus menahan diri untuk tidak berteriak kaget karena melihat Sanada yang tampak santai sehabis mandi, bertelanjang dada dan berkeliling ruangan dengan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya.

“Ada apa?” tanya Sanada.

“Ah, tidak apa-apa.” jawab Chie gugup sambil mempercepat langkah untuk masuk dan mengunci pintu kamarnya.

Sanada menarik sudut bibirnya, tersenyum jahil melihat gadis Himura itu menghilang cepat di balik pintu dan tertawa dalam hati karena berhasil membuat Chie salah tingkah.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Chie sibuk berkutat di dapur sambil memasak beberapa jenis makanan yang nantinya bisa disimpan di lemari pendingin.

Sementara Sanada duduk di sofa sambil membaca majalah dan mencari berita terbaru di dunia bisnis.

Suasana hening namun tidak terasa mencekam, malah sebaliknya terasa hangat dan menyenangkan walaupun mereka berdua tidak bersuara.

Sanada memperhatikan diam-diam sosok Chie yang masih memunggunginya dari balik majalah , sejak kapan gadis yang memakai kacamata melorot itu berubah menjadi wanita berparas ayu dengan rambut panjang yang sedang dikuncir tinggi.

Sepasang bahu bulat dan lengan ramping nan elegan yang tidak disangka menyimpan tenaga besar dan mampu melindungi sang empunya.

Tubuh sintal yang kini berbalut pakaian santai, jelas menunjukkan postur tubuh yang tidak terlalu kurus ataupun gemuk, cukup berisi di bagian-bagian yang pantas membentuk lekuk menawan yang selama ini tersembunyi dalam seragam perawat yang longgar.

Dan sekarang sang Uemura yang berkesempatan melihat tubuh sintal itu di depan mata , tepat di ruang dapurnya walaupun belum memiliki akses untuk menyentuh keseluruhan asset di balik baju kaos dan celana pendek tersebut.

Baru memikirkan hal itu saja, insting primal Sanada mulai bereaksi dan pria itu berusaha terlihat tenang, bagaikan api dalam sekam.

Chie yang sedang sibuk memotong daging dan sayuran, larut dalam pikirannya sendiri, seakan tidak percaya kalau dia akan tinggal serumah dengan mantan kapten klub karate yang pernah menjadi musuhnya.

Sanada tetap terlihat tampan dalam baju kaos berwarna biru tua yang sedikit melar karena menjadi pakaian favorit, dan kini pria itu duduk di ruang tengah yang langsung menghadap ke arah dapur.

Pemuda angkuh yang kini berubah menjadi seorang pria, sahabat sekaligus kekasih sang gadis Himura memang memilki pesona yang tidak akan habis dijabarkan dengan kata-kata.

Rambut hitam cepak menantang gravitasi, sepasang alis tegas, garis rahang yang keras dan bentuk wajah yang seakan dipahat sempurna.

Jangan lupakan sepasang manik sekelam malam bersorot tajam nan misterius yang mampu menghipnotis para wanita.

Tidak jarang membuat mereka tersesat dalam labirin tidak berujung jika berharap terlalu banyak untuk bisa mendapatkan dan menguasai hati pria tersebut.

Chie menipiskan bibir, berharap hubungan mereka bisa berjalan lancar dan suasana damai yang mereka alami saat ini bukanlah honey moon phase* semata.

*****

Setelah menghabiskan makan malam bersama dan membereskan peralatan dapur, Chie bersantai di ruang tamu sambil menonton TV.

Sementara itu Sanada tampak berjalan dari arah pantry sambil membawa beberapa bir kaleng yang menjadi sumber pertanyaan tadi pagi.

“Sepertinya bir itu sudah menjadi bagian dari hidupmu.” ucap Chie sambil bercanda.

“Bisa dibilang begitu. Apalagi sekarang sudah musim gugur, aku terbiasa meminumnya untuk menghangatkan badan.”

Chie meraih kaleng tersebut dan sedikit terkejut ketika melihat kandungan alkohol yang tertera di badan kaleng, “Bagaimana kau tidak pernah terlihat mabuk sama sekali padahal kandungan alkoholnya cukup tinggi?”

“Hm, kalau sudah terbiasa nantinya tidak akan mabuk lagi.”

Tiba-tiba Sanada menyodorkan bir tersebut, terlihat menantang Chie.

“Tertarik untuk mencoba? Cicipi saja rasanya untuk sekedar menuntaskan rasa ingin tahumu.”

Tantangan yang tentu saja disambut oleh Chie dengan senang hati, apalagi besok adalah hari Minggu, hari dimana Chie bebas tugas.

Awalnya ada rasa asing sedikit pahit di lidah Chie yang terbiasa dengan makanan manis, gadis itu hampir saja tersedak dan membuat Sanada terkekeh. Namun pelan-pelan Chie terbuai dengan aroma wangi dan pelan-pelan mencecap rasa manis buah-buahan yang menjadi bahan dasar bir tersebut.

Chie mulai terlihat ceria dengan wajah merona merah setelah menghabiskan satu kaleng bir.

Sanada tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dan menggunakannya untuk bertanya mengenai pria yang mereka temui di depan apartemen Chie.

“Siapa pria berambut cokelat yang kau temui beberapa hari lalu?”

“Hik- Rambut cokelat? Hmmm…. ada Mr.Adams, Kyohei-sensei, Takeru-san, Ando-san…” Chie sedikit terhuyung ketika menghitung satu per satu dengan sebelah tangan

Jawaban tersebut tentu saja membuat Sanada terkena serangan jantung dadakan.

Raut wajah sang Uemura berubah, sepasang alis bertaut di kening, aura gelap menguar dari sekujur tubuhnya dan mulai meremas kaleng bir yang ada di tangan kanan. ‘Memangnya ada berapa pria yang pernah hadir dalam hidup Chie?’

Sanada tanpa sengaja membanting keras kaleng bir setengah remuk ke atas meja.

Sedikit membuat Chie tersentak namun malah mendelik pada Sanada dengan tatapan genit, “Ara… ada yang marah, kenapa? Tertarik untuk mengajakku kencan?”

“Memangnya kencan itu sangat penting? Buang-buang waktu saja.”

Chie berdecak layaknya tante-tante sambil menggerakkan telunjuk kanannya ke kiri dan ke kanan, “Tsk. Tsk. Tentu saja penting. itu cara orang-orang menikmati hidup. Kasihan sekali gadis yang jadi kekasihmu, ibarat kriminal yang harus terkurung dalam ruangan tertutup selama 24 jam, tidak pernah dibawa kemana-mana.”

Chie tertawa geli sambil terhuyung, sementara pria Uemura itu mati kutu, merasa ada palu besar yang mendadak menghantam ulu hatinya dan menatap sebal sang kekasih yang masih mengoceh seenak dengkul.

“Ah, lebih baik aku menerima tawaran Nawaki-kun untuk berkencan. Masa mudaku yang malang…” ucap Chie yang sudah hampir tidak sadar, sambil menyandarkan kepala di meja memasang wajah tanpa dosa.

“Tidak boleh!” ucap Sanada dengan frustasi, ‘Siapa lagi si Nawaki ini?’

“Kalau kau terus marah-marah, kau akan terlihat cepat tua,” sembur Chie yang tentu saja membuat Sanada bungkam dengan wajah cemberut

“Ah, wajahmu mengingatkanku pada Sanada-kun,” celetuk Chie tiba-tiba.

Sanada menatap tidak percaya pada Chie sebelum akhirnya menggeleng pasrah, meringis dalam batin ‘Tidak boleh membiarkan Chie tanpa pengawasan kalau sedang minum.’

“Sanada-kun selalu berwajah seperti itu pada siapapun, tidak ramah, pantang dibantah, tapi entah kenapa aku menyukainya. Selalu… menyukainya… sejak dulu,” ucap Chie sebelum kepalanya terkulai di atas meja.

Sebuah pengakuan jujur yang membuat Sanada tersenyum sendiri sebelum bergegas menghampiri Chie dan mengguncang lembut bahu gadis itu. “Hei, jangan tidur disini, nanti punggungmu akan sakit.”

Ketika Chie kembali mengangkat kepalanya dengan mata yang setengah terbuka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibir mungil tersebut,

“Malam ini kita tidur bersama. Dan aku tidak menerima penolakan,” ucap Chie sambil terkekeh.

Setelahnya Chie menyandarkan kepala di bahu Sanada dengan manja serta sepasang lengan yang memeluk erat tubuh pria itu.

Batin Sanada terpecah menjadi dua kubu, bisikan iblis  yang terus menyorakinya untuk mengambil kesempatan di depan mata. Sementara ada satu bisikan lagi yang terus mengingatkannya untuk menjaga kepercayaan dari Chie atau gadis itu akan kecewa.

Tangan Sanada bergerak mengikuti insting, menelusuri lekuk pinggang dan kemudian naik menuju ke dada. Suara desahan kecil penuh hasrat meluncur dari bibir mungil itu  mengikuti sentuhan sang pria.

Sebuah ide terbersit dalam pikiran Sanada, dia tidak akan mengambil kesempatan disaat sang kekasih tidak berdaya, tetapi dia juga ingin menunjukkan pada siapapun kalau gadis itu adalah miliknya.

*****

Chie terbangun dengan sakit kepala akibat hang over setelah minum semalaman.

Sanada yang sudah terlebih dahulu bangun segera menyodorkan air putih untuk menghilangkan efek alkohol.

Chie tidak mengerti makna senyuman Sanada yang lebih terlihat bagaikan seringai bangga.

Tiba-tiba terdengar suara bel apartemen pertanda kalau ada orang yang sedang menunggu di luar. Sanada dan Chie berpandangan, kebingungan sekaligus bertanya-tanya siapa kiranya tamu yang datang berkunjung.

Chie belum memberitahu siapapun bahwa ia telah pindah ke apartemen Sanada, sementara Sanada ​sendiri merasa tidak ada janji di hari Minggu.

Sambil menggerutu, Sanada menghampiri Intercom dan ​ matanya membeliak, terkejut ketika melihat siapa sosok yang menanti di balik pintu utama.

“O-Okasama, tunggu sebentar,” ucap Sanada yang terlihat panik.

​ Chie yang mendengar kata “Okasama” pun juga bersikap sama, kelabakan dan tanpa berpikir panjang masuk ke dalam kamar terdekat untuk mengambil baju yang lebih pantas.

Sayangnya Chie salah memasuki kamar Sanada sehingga harus menggunakan kemeja Sanada yang kepanjangan untuk menutupi tubuhnya. Dia mengerang, merutuki kecerobohan dirinya.

Saat akan merapihkan diri di depan cermin, mata Chie terbelalak menatap bayangannya di cermin dan nyaris memekik histeris namun terburu-buru menangkup mulut dengan kedua tangan.

*****

“Okasama.”

​ ​Itu adalah kalimat pertama yang Sanada lontarkan ketika sang ibu melangkah memasuki apartemennya.

“Kau kemana saja Sanada? Sama sekali tidak memberi kabar ke rumah.”

Sanada tampak tersengal dan agak gelagapan menjawab pertanyaan ibunya. Matanya melirik seisi ruangan mencari keberadaan Chie.

“A-aku… Aku agak sibuk.”

“Sibuk bagaimana? Aku tahu apa yang terjadi dengan usaha yang kau rintis.”

“…”

“Kau membuatku khawatir Sanada, aku mengira kau terkena depresi karena sama sekali tidak menerima kabar darimu. Tapi…”

Michiko sengaja menggantung kalimatnya sambil memandang Sanada dari atas sampai bawah. Tidak biasanya Sanada terlihat acak-acakan seperti ini.

Tidak ada tanda atau gejala depresi malah Sanada terlihat segar bugar dengan pipi dan telinga yang merona merah. Insting keibuan Michiko memberi sinyal kalau kondisi putra bungsunya yang seperti ini pasti ada hubungannya dengan wanita.

Melihat mata Michiko yang bergerak cepat menelusuri sekeliling ruang tamu kemudian kembali memandang intens pada putra tercinta, Sanada sedikit ngeri dan tanpa sadar menelan ludah.

“Ada yang ingin kau katakan, Sanada?”

Sanada terlihat ragu-ragu dan tidak berkutik dengan pertanyaan dari sang Ibu yang straight to the point.

“Atau Ibu perlu mencari tahu sendiri jawabannya?” Michiko bertanya dengan santai sambil beranjak meninggalkan sofa di ruang tamu menuju kamar tidur Sanada yang menjadi sumber kecurigaannya sejak tadi.

Dan… Tep! Tangan Sanada terulur menggenggam pergelangan tangan sang Ibu.

“Ada yang ingin kuperkenalkan kepada Okaasama.” Suara Sanada terdengar gugup dan pasrah.

*****

Sanada segera masuk ke kamar dan melihat Chie tiba-tiba menyerangnya, memukulkan sepasang lengan ke dada pria itu.

“Apa yang kau lakukan padaku?” desis Chie sambil mengatur volume suaranya agar tidak terdengar ke luar ruangan.

“Ah itu…” ucap Sanada , “kau sangat agresif kemarin malam,” sambil memperhatikan bercak-bercak merah di sekitar leher Chie.

Chie jelas tidak mengingat apapun dan sekarang ekspresinya antara ingin marah dan menahan tangis.

Sanada yang menyadari saat ini tidak tepat untuk bercanda lebih jauh, segera membujuk Chie, “Hei, hei, kita tidak melakukan apapun, hanya sekedar membuat kiss mark. Kau bisa memeriksakan diri ke klinik kalau kau tidak percaya.”

Ya. Jawaban yang cukup masuk akal dan bisa membuat Chie lebih tenang. Apalagi dia tidak merasakan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya, hanya sakit kepala.

“Saat ini ibuku sedang menunggu di luar, aku ingin kau bertemu dengannya atau dia sendiri yang akan memasuki ruangan ini.”

Manik Chie membulat, ada ketakutan terbersit disana. Tanpa sadar dia menggeleng lemah.

Dia tidak siap untuk bertemu siapapun. Tidak, dalam kondisi seperti ini. Apalagi saat ini Chie memakai pakaian Sanada dan keluar dari kamar pria itu, seakan meneguhkan kalau mereka berbagi ranjang selama ini.

Sanada memahami kekhawatiran Chie, segera membantu gadis itu merapihkan diri dan menggerai rambutnya untuk menutupi area leher, “Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapapun mempengaruhi hubungan kita.”

Chie pasrah dengan keadaan dan melangkah keluar kamar beriringan dengan Sanada sambil menggenggam erat tangan pria tersebut mencari secercah dukungan dan kekuatan.

*****

Michiko memandang kedua anak muda di hadapannya secara bergantian. Putra bungsunya terlihat kaku dan gugup sementara gadis di sebelahnya terlihat gemetar dan sesekali merapikan rambut panjang yang menutupi leher.

Sanada yang terlebih dulu membuka pembicaraan, “Okasama, ini Chie.”

“Uemura-sama.” sapa Chie dengan suara kecil. “A-aku akan menyiapkan minuman di dapur.”

Michiko hanya sedikit menganggukkan kepala, dengan seulas senyum penuh arti. Tentu saja mata elang Michiko melihat bercak di leher Chie, namun dia tidak ingin membuat Chie merasa malu.

“Apakah kau benar-benar menyukai perempuan itu?” tanya Michiko penuh selidik.

Sanada menelan ludah dan terlihat tidak nyaman, sang ibu sendiri juga seorang Uemura yang sulit ditebak isi pikirannya. Terlihat bagaikan air yang tenang di permukaan tetapi tidak diketahui apa yang tersimpan di dalam hatinya.

Apalagi, Chie keluar dari kamarnya dengan mengenakan baju Sanada, mau dijelaskan seperti apa, semua orang tidak akan percaya. Langkah terbaik saat ini adalah tidak menjelaskan apapun.

“Kalau kau hanya ingin bermain-main dengannya, lebih baik kau depak dia sekarang juga. Aku tidak pernah mendidikmu untuk menjadi penggoda wanita.”

Pernyataan Michiko terdengar bagaikan ultimatum dan memaksa Sanada untuk menjawab dengan jujur, “Aku menjalani hubungan serius dengannya. Dia satu-satunya orang yang memegang kunci duplikat apartemenku.”

Michiko tersenyum puas setelah mendengar jawaban si bungsu. Ketika seorang perempuan bisa mendapat akses ke apartemen putranya, berarti orang tersebut sangat spesial bagi Sanada

“Dalam hal bisnis, aku memang sudah bertekad untuk tidak ikut campur. Cobalah berpikir dari sudut pandang ayahmu.”

“Namun dalam hal hubungan pribadi, aku masih bisa melakukan negosiasi asalkan kau benar-benar serius.”

Sanada hanya memberikan anggukan kecil, lebih baik menjadikan sang ibu sebagai sekutu daripada musuh.

“Jadi, kapan kira-kira kalian akan memberiku seorang cucu?”

Sanada membatu dan tidak bisa menjawab apapun. Bagaimana menjelaskan kesalahpahaman ini pada sang ibu? Dan Sanada menyesali tindakan iseng yang dilakukannya pada Chie.

Ketika Chie kembali ke ruang tengah dan menyajikan minuman, suasana yang sebelumnya tegang segera mencair.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, Michiko berpamitan dan meninggalkan kediaman Sanada.

***

“Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi kemarin?”

Chie menggeleng, namun matanya menatap tajam Sanada meminta penjelasan.

Sanada memanfaatkan kesempatan ini untuk membalikkan keadaan, “Siapa Mr Adams, Kyohei, Takeru dan Ando?”

Wajah Chie memucat melihat Sanada yang sekarang menatapnya dengan tatapan menuduh.

“Ano… ada pasien VIP kami yang bernama Mr. Adams, tua bangka yang suka dengan gadis muda. Kyohei-sensei, dokter unit gawat darurat yang menjadi idola para suster karena sangat keren. Takeru-sensei, spesialis bedah tulang. Ando-san di bagian laboratorium…  ”

“Mereka hanya rekan kerja yang tidak terlalu dekat denganku,” ujar Chie dengan terburu-buru sebelum Sanada salah paham lebih lanjut.

“Oh, hanya rekan kerja yang tidak dekat. Lalu bagaimana dengan Nawaki yang mengajakmu kencan?”

Tiba-tiba Chie merasa ingin menghilang dari muka bumi sambil mengingatkan diri untuk tidak pernah mabuk lagi di depan Sanada.

“Aku tidak pernah menerima ajakannya.”

Memang benar Nawaki, calon dokter yang merupakan keponakan dari Kyohei-sensei, pernah mengajaknya kencan tapi Chie tidak menerima ajakan tersebut walaupun masih bersikap baik pada Nawaki.

“Kalau teringat caramu bercerita tentang Nawaki, aku benar-benar ingin membuatmu jadi milikku saat ini juga. Apalagi ibuku juga sudah mengira kita benar-benar melakukannya dan bertanya kapan kita bisa memberinya seorang cucu,” ucap Sanada dengan seringaian di wajah.

Chie yang ketakutan segera melarikan diri secepat mungkin ke kamar tidurnya, sementara Sanada tertawa keras di ruang tengah.

*****

Mansion Uemura, sore hari

Sepulang dari kunjungan atau tepatnya inspeksi dadakan ke apartemen Sanada, Michiko menikmati high tea time bersama suami tercinta, Masahito yang sedang membaca surat kabar bisnis di ruang keluarga Uemura.

“Kenapa kau tidak sedikit mengalah pada putramu? Bukankah Sanada sudah membuktikan kalau dia punya bakat bisnis sepertimu? Kau mendidiknya dengan keras.”

“Aku hanya mengalihkan fokusnya ke arah yang benar. Usia kita sudah tidak muda, Michiko. Uemura Group memerlukan penerus dan saat ini hanya Sanada yang masih berada di Jepang.”

Ah. Perkataan Masahito memang benar, usia mereka memang sudah tidak muda walaupun penampilan Michiko masih tidak kalah dari wanita berusia awal 40-an.

Mereka dikaruniai dua orang putra yang memiliki prestasi cemerlang.

Si sulung Kazuma, saat ini sedang berada di Eropa untuk menangani cabang perusahaan disana.

Sementara si bungsu Sanada masih berada di Jepang dan memilih untuk merintis bisnis yang terpisah dari sang ayah.

“Aku tidak akan berdebat denganmu dalam hal bisnis. Karena aku percaya kau mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kita.”

“Hn.”

Michiko mengalihkan topik pembicaraan.

“Ara, aku belum menceritakan kepadamu. Aku bertemu dengan teman wanita Sanada.”

Masahito tampak acuh tidak acuh menanggapi perkataan Michiko dan menjawab dengan ketus,

“Sanada terlalu muda untuk menentukan pasangan, dia masih perlu fokus ke dunia bisnis.”

Michiko menyesap teh dari cangkir dengan perlahan tanpa menggubris reaksi sang suami.

“Bagaimana kabar Kazuma-kun? Aku merindukannya.”

Masahito melirik istri tercinta dari ekor mata dan pelipisnya berkedut melihat ekspresi Michiko yang terlihat tenang saat mengucapkan kalimat terakhir.

“Memang benar usia kita tidak muda lagi, Masahito-kun. Kedua putramu sudah menjadi workaholic sesuai didikanmu dan tidak ada satupun dari mereka yang berniat memberikan cucu kepadaku. ”

Jleb!

Masahito merasa jantungnya ditembus panah tidak kasat mata.

Sementara Michiko tampak santai menuangkan teh dari poci dan kembali menyesap teh dengan anggun.

“Aku sudah memikirkannya. Kalau perempuan itu gagal menjadi menantuku, aku berniat mengunjungi Kazuma di Eropa dan tinggal disana selama tiga musim semi.”

Masahito merasa hawa dingin merasuki tulang belakang, membuat pria kaku itu sedikit gemetar, ya hanya sedikit, dan memaksanya menurunkan surat kabar yang dibaca sambil menatap tajam pada sang istri.

“Atau mungkin lima sampai sepuluh musim semi, aku belum memutuskannya.”

Michiko meletakkan cangkir pada tatakan, sedikit memberikan penekanan saat piring kecil bersentuhan dengan meja. Wanita itu kemudian berdiri dari kursi, dengan elegan mulai melangkah meninggalkan ruang keluarga Uemura.

Tepat sebelum Michiko menghilang dibalik pintu kokoh yang menjadi pemisah ruangan, sang suami memanggilnya dengan suara terbata, “Mi-Michiko, kau sedang bercanda kan?”

Michiko menoleh, hanya memberikan senyum manis nan misterius pada sang suami yang kini terpaku di tempatnya kemudian menghilang di balik pintu yang tertutup tanpa bantingan.

Deg!

Masahito tahu apa arti senyuman itu. Senyuman manis namun sarat makna.

Orang lain yang tidak mengenal istrinya mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah senyum lembut seorang istri kepada sang suami.

Atau senyuman malaikat yang hangat menyapa bumi dan memberikan kedamaian.

Tapi tidak bagi seorang Masahito.

Dia mengenali jenis senyuman Michiko, dan selalu berdoa kepada Kami-sama bahwa dia tidak akan pernah lagi menjadi pihak yang menerima senyuman manis, apalagi yang satu itu.

Tapi sekarang… Masahito bergidik ngeri.

Ini semakin memberinya pelajaran dan juga pengalaman, yang membuktikan bahwa jangan pernah mencoba bermain-main dengan Michiko yang sedang marah besar.

Sambil meraih ponselnya, Masahito membuat beberapa reminder untuk diri sendiri.

Pertama-tama, dia perlu memastikan pasokan aspirin selalu tersedia di mansion Uemura ataupun di kantor.

Selanjutnya, dia perlu menjadwal ulang medical check up menyeluruh dan memastikan jantungnya sehat untuk menerima badai tagihan kartu kredit yang akan berlomba-lomba meluncur ke meja kerjanya.

Sialan. Tabungannya akan terkuras habis setelah ini…

*****

Karena insiden yang mereka alami di pagi hari, Chie betah meringkuk dan mengunci diri di dalam kamar selama berjam-jam dan membuat Sanada merasa bersalah walaupun harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta maaf. Walaupun demikian, Sanadalah yang berinisiatif untuk berdamai dengan Chie.

Sambil mengetuk pintu dan berdehem pelan, “Chie, sore ini ada festival kembang api di sungai Sakuragawa-”

Sanada belum menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar sudah terbuka sedikit dan Chie tampak menyembunyikan diri di balik pintu, masih menatap Sanada dengan tatapan menyelidik.

“Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?”

“Aku hanya ingin berdamai denganmu, lagipula kau suka festival bukan?”

Chie masih meragukan pendengarannya, karena Sanada yang dia kenal adalah orang yang sangat anti dengan keramaian. Apakah ini sebuah ajakan untuk kencan?

Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Chie. Aku hanya mengajakmu jalan-jalan.” Ya, hanya jalan-jalan.

Setidaknya bagi Sanada yang arogan, kata kencan tidak termasuk dalam kamusnya sampai hari ini.

Chie tertawa kecil kemudian mengangguk, “Aku akan bersiap-siap.”

***

Perjalanan menuju stasiun terdekat dari sungai Sakuragawa membutuhkan waktu lebih kurang satu jam menggunakan kereta cepat. Kemudian perjalanan masih perlu dilanjutkan dengan menyusuri banyak stand yang berjejer rapi di sepanjang jalan yang terkenal ramai kalau sedang ada perayaan.

Sanada sedikit mengernyitkan dahi ketika harus berjalan sambil berdesakan dengan para pengunjung yang seakan tumpah ruah di tempat itu.

Inilah salah satu alasan kenapa si bungsu Uemura tersebut tidak suka dengan kegiatan berkencan, namun menyimpan hal tersebut dalam hati karena dialah yang mengajak Chie keluar malam ini.

Lain halnya dengan Chie yang tampak menikmati suasana keramaian. Ekspresi bahagia dan senyum lebar yang membuat sang dara terlihat cantik malam itu, jelas membuat manik hitam Uemura menatapnya tanpa bisa berpaling.

Chie menunjukkan sisi lain kehidupan manusia kepada Sanada kalau banyak hal menarik yang tidak harus dibeli dengan uang banyak. Yang dibutuhkan hanyalah meluangkan waktu dan menikmati suasana. Live in present time.

Untuk sejenak melepaskan semua atribut yang melekat pada diri seseorang dan menikmati suasana depan mata layaknya manusia bebas.

Chie menyusuri stand melihat pernak pernik, membeli sekotak takoyaki isi empat dan menyuapkan salah satunya pada Sanada yang terlihat tidak berminat namun tetap mengunyah cemilan tersebut.

Selanjutnya Chie membeli sate rebung bakar yang membuat Sanada mengernyitkan alis. “Aku tidak tahu kalau nona Himura suka menikmati jajanan pasar seperti ini. Bukankah semua makananmu harus dibungkus dengan plastic wrap?” ucap Sanada dengan nada menggoda.

Chie tergelak sebelum lanjut mengunyah, “Hanya untuk hari ini saja, Sanada-kun. Kita sedang di tengah festival, jadi lupakan semuanya dan nikmati saja apa yang ada.”

“Mau?” ucap Chie sambil menyodorkan sate rebung tersebut yang disambut dengan gelengan Sanada yang merasa kurang nyaman menunjukkan perhatian di tengah keramaian.

Sampai ketika Sanada mengenali sosok berambut kelabu dan mengenakan kacamata hitam yang sedang melempar dart di salah satu stand.

Sosok yang menjadi bayangan sang Uemura selama bertahun-tahun dan juga menjadi alasan kenapa Sanada malas berada di tempat umum atau keramaian.

Chie bisa merasakan tubuh Sanada menegang, dan menoleh untuk melihat apa gerangan yang membuat pria itu terpaku di tempat.

Sayangnya Chie tidak bisa melihat jelas dalam lautan manusia, namun ketika sang gadis melihat sekelebat rambut berwarna cokelat, pikirannya tertuju pada sosok Inoki, apakah mungkin Inoki mengikutinya di tempat ini?

Tanpa sadar Chie menarik pergelangan tangan Sanada dan keduanya mulai berjalan lebih cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Ketika Sanada melihat sosok tersebut bergerak mengikuti mereka, dia menoleh ke arah Chie dan Chie terlihat menganggukkan kepala seakan mereka saling bisa membaca pikiran satu sama lain.

Pasangan tersebut segera berlari melewati kerumunan dengan tangan yang saling bertaut.

Sementara beberapa orang di belakang mereka turut berlari melewati kerumunan.

Kenapa kali ini ada banyak orang yang mengikuti kami? Batin Sanada.

Tiba-tiba salah satu pengejar menerjang pengejar yang lain dan terjadi perkelahian di antara mereka. Namun kedua pasangan itu sudah berlari meninggalkan area itu menuju ke tempat yang lebih sepi di sekitar pinggiran sungai.

Keduanya duduk di area aman di tepi sungai setelah memastikan tempat mereka tidak gampang ditemukan oleh pejalan kaki.

“Sebenarnya kita melarikan diri dari apa?” tanya Chie dengan napas tersengal apalagi setelah menyadari tidak ada yang mengikuti mereka lagi.

“Entahlah. Kau yang tiba-tiba menarik tanganku.”

Chie hampir saja menyebutkan nama Inoki, tetapi mengurungkan niatnya. Chie merasa dilema, bagaimana menjelaskan kasusnya kepada Sanada sementara dia tidak ingin Sanada terlibat dalam masalahnya.

Sanada sedang larut dalam pikirannya sendiri, pandangan matanya menerawang menatap langit berwarna lembayung yang sebentar lagi akan menggelap dengan sempurna.

Pria Uemura itu bingung harus menjelaskan dari mana dan siapa pengejar yang sangat dikenalinya tersebut pada Chie.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari kejauhan, beberapa detik kemudian muncul ledakan dan cahaya berkilauan menyerupai rekahan kelopak bunga di angkasa.

Perayaan kembang api sudah dimulai dan dari arah jembatan terlihat puluhan kilatan cahaya melesat ke angkasa sebelum membentuk pola menakjubkan bagaikan lukisan indah di kanvas langit malam.

“Indahnya…” gumam Chie dengan sepasang mata yang terpaku menatap pola kembang api tanpa berkedip.

Sementara Sanada malah menatap refleksi cahaya indah tersebut dari manik hazel milik sang kekasih yang duduk di sampingnya, “Sangat cantik.”

Walaupun kencan mereka berdua termasuk gagal karena harus pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Keduanya tidak terlihat kecewa.

Di dalam kereta menuju Tokyo sepi karena hampir semua calon penumpang sedang mengikuti festival musim gugur. Pasangan kekasih tersebut duduk berdampingan, kepala Chie bersandar di bahu Sanada sambil memandang keluar jendela kereta yang masih menampilkan gemerlap cahaya kembang api yang sedang berlangsung.

Sanada juga menatap pemandangan di luar jendela kereta, berkutat dengan pikiran sendiri yang menebak-nebak siapa pengejar mereka tadi. Ada sebagian orang yang tidak dikenali Sanada dan siapa yang mereka incar sebenarnya?

*****

*Honey moon phase yang dimaksud Chie dalam chapter ini merujuk ke tahapan dalam sebuah hubungan ( phase of relationship / dating). Jika ada reader yang penasaran, bisa search google dengan menggunakan keyword tersebut.

9 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Nahh bru pengen nanya honeymoon phase itu apa ???
    Aq kok malah ngakak ya pas bca bagian ortu Sanada, aduhhhh suami takut istri euyy, lanjutkan mama mertua ehhh haha
    Nahh loh, ni dua2ny di kejar yak
    Aihhh Sanada mulai nakal yak, tp kerennn ttp pny kontrol diri eaaaa
    Sanadaaaa, aq padamuhhhhhhhh ‘lgi’
    Hahahaha
    Cuzz ke part berikutnya
    Semangat trs yak ka

  2. @farahzamani5 phase-phase itu berdasarkan penelitian sih, jadi dalam relationship itu ada siklusnya. Pas tahap awal pada hepi, semua indah dan berbunga-bunga (bisa berlangsung bulanan atau 1-2 tahun pertama). Tahap selanjutnya da mulai biasa, yang tadinya keliatan indah uda mulai terasa umum, nothing special dan bahkan bisa berakhir dengan kejenuhan dan mulai ngerasa kok rumput tetangga lebih ijo ya?

    kalo couple bisa ngelewatin siklus itu selama bertahun-tahun tanpa tergoda untuk berpisah, bisa dibilang uda ketemu soulmate atau true love tuh.

  3. Makin sukaaa sma cerita ini ada seriusnya ada jg lucunyaa
    Ayo Sanada cepat ngasi cucu untk mamanya hehe

    1. @lucyacia wah terima kasih. Stay tune ya. Chapternya ngga banyak kok, karena blom bakat bikin novel yang panjangnya belasan chapter hahaha

  4. ayo sanada jadi anak berbakti, kasih cucu buat ibumu…ini kayanya yang ngejar ada kawan dan ada lawan…

    1. hihihi analisa yang bagus @dekoceria stay tune for next episode. Si mami uda nagih tuh hehehe sampe ngancem si papi.

  5. Sanada ayokkk kasih cucu buat mama….
    makin kesini makin lucu ya, hihihi

    1. hehehe thanks… on progress tu nurutin permintaan si nyokap

  6. fitriartemisia menulis:

    Lucu banget siiih Sanada sama Chie iniiiiiiii hihi
    ibunya Sanada serem juga yak bhakkk bapaknya sampe takut ditinggal wkwkkwk
    bagus storynyaaaaa