Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 10

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 10 – Long Time No See

Siang itu di sekolah Michael dan Rafi tengah menunggu kedatangan orang-orang yang akan menjadi anggota tim basketnya untuk melawan Alvin. Rafi beberapa kali sempat menanyakan kepada Michael siapa gerangan yang Michael datangkan. Namun, tak satu kali pun Michael menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Michael juga sudah meminta izin kepada guru piket dan wakil kepala sekolah untuk meminjam lapangan sekolah untuk dipakai, alasannya sederhana, mengisi waktu luang setelah ujian. Hal itu langsung disetujui oleh semua pihak.

Lama menunggu di ruang tamu sekolah, mata Michael tidak sengaja terarah ke kelas Rani di lantai atas. Bertepatan dengan itu, Michael melihat Alvin tengah berjalan menghampiri Rani yang berada di depan kelasnya.

Kerutan dalam terlihat di dahi Michael bahwa ia tidak menyukai dengan sikap Alvin yang mendekati Rani dengan tatapan kotornya, menurut Michael. Sebenarnya Micheal tidak pernah memikirkan hal buruk tentang Alvin, namun saat Alvin mendatanginya dan memukulinya semua pemikiran baik itu langsung sirna dan mulailah pemikiran buruk tentang laki-laki itu berdatangan.

“Biasa aja kali liatinnya.” Komentar Rafi yang juga tengah memandangi sesuatu yang Michael lihat.

Michael melipat tangannya di dada, “Setelah gue liat sikap dia ke cewek kayak gitu. Semua pemikiran baik gue sirna tentang dia.”

“Makanya jangan nilai seseorang itu dari luarnya aja, liat dulu dalemnya kalau baik buat lo ya dijaga. Kayak gue.” Rafi menyombongkan dirinya sendiri sambil bergaya tidak jelas. Hal itu membuat Michael berdecak sebal.

Saat pandangan Michael tidak sengaja terarah ke gerbang sekolah, saat itu juga dua mobil pribadi tengah berlalu ke dalam parkiran sekolahnya. Michael pun menyadari bahwa orang yang ia tunggu sudah datang.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Michael berlalu meninggalkan Rafi sendiri.

“Mic, tungguin gue kali!” seru Rafi cepat mengejar Michael ke parkiran sekolah.

Setibanya di parkiran, langkah Rafi yang mengikuti Michael dari belakang terhenti, matanya terpaku ke arah depan.

“Mic.” Panggilnya lirih, membuat Michael ikut menghentikan langkahnya dan berbalik kepada Rafi.

“It… itu Rayn dari SMA Taruna, kan?” tanya Rafi mengecilkan suaranya seperti berbisik.

Michael tersenyum simpul melihat reaksi Rafi saat melihat teman-teman lamanya.

“Iya.”

“Yang kalau main basketnya itu keren banget, kan?” tanya Rafi, lagi.

Michael merapatkan kedua bibirnya menahan tawa mendengar setiap pertanyaan yang Rafi lontarkan.

“Iya.”

“Tim yang selalu lo sama gue tonton di turnamen, kan?”

“Iya, Raf.”

Pandangan Rafi yang tadinya terpaku kini beralih ke Michael. Dengan tatapan horor dan aneh Rafi menatap Michael.

“Gue nggak mimpi, kan?” tanyanya sambil memegangi kedua bahu Michael.

Kali ini Michael tidak bisa menahan tawanya, “Lo itu kayak cewek tau nggak, liat cowok segitunya.” Komentar Michael.

Raut wajah Rafi langsung berubah saat mendengar Michael mengatainya seperti perempuan, lalu tangannya dengan enteng memukul bahu Michael.

“Lo kan tau gue nge-fans banget sama mereka.” Omel Rafi memasang wajah sangar.

“Tau. Sengaja biar bikin lo bereaksi kayak tadi.” Dengan santainya Michael berlalu meninggalkan Rafi dan menghampiri teman-teman lamanya.

Kedatangan Michael langsung disambut oleh laki-laki yang disebut Rafi dengan nama Rayn. Keduanya berpelukan sesaat, sesekali saling menepuk pelan bahu masing-masing.

“Lama nggak ketemu, Mic.” Rayn melepas pelukannya pada Michael.

Keduanya saling berhadapan. Jika saja ada siswi-siswi yang melihat keduanya tengah bersama, mungkin jerit histeris yang akan terdengar. Mengingat pemandangan laki-laki tampan tengah berkumpul bersama.

“Ya, lama banget.” Balas Michael. “Ah, iya, ini sahabat gue, Rafi.” Kenal Michael kepada teman-temannya kepada Rafi.

Rafi mendengar namanya disebut langsung berdiri sejajar dengan Michael.

“Rayn.” Keduanya saling bersalaman ala laki-laki muda lainnya.

“Rafi.”

“Gue turut berduka sama kejadian bokap lo, Mic.” Rayn memasang wajah sedihnya.

Thanks, bro.” Balas Michael.

Roby maju ikut bergabung, “Setelah urusan ini selesai, bisalah kita ngumpul bentar, reunian.” Usul Roby merangkul pundak Rayn.

Michael mengangguk setuju.

Setelah itu mereka mulai merundingkan tentang bantuan yang Michael minta. Rafi yang memiliki riwayat dekat dengan siswa-siswi sekolahnya, membagi cerita tentang fakta tim basket sekolahnya kepada teman-teman Michael. Sebenarnya fakta-fakta itu lebih kepada Alvin dan Andre yang menjabat sebagai orang penting di tim basket itu.

“Emang alasan apa Alvin bisa nantangin lo kayak gini?” pertanyaan itu berasal dari Dika salah satu anggota tim basket Taruna.

Michael terdiam mendengar hal itu.

Rafi di samping Michael sesekali melirik sahabatnya itu, mencari tanda-tanda apakah laki-laki itu akan menjawab pertanyaan itu.

A girl.” Jawab Rafi tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Michael di sampingnya.

Semuanya mengangguk pelan, seolah mengerti kode yang diberikan oleh Rafi barusan. Sedangkan Rayn dan Roby tersenyum saja melihat Michael yang salah tingkah.

“Ok. Jadi, kapan pertandingannya dimulai?” tanya Rayn.

“Hari ini tepatnya sepulang sekolah.”

Rayn dan Roby sontak melirik jam tangan masing-masing, saat itu hari masih terlalu pagi dan jam pulang sekolah masih terlalu dini. Rafi dengan cepat menyarankan Rayn dan yang lainnya untuk menetap di sekolah mereka. Dan Michael pun menyetujuinya. Mereka pun berjalan memasuki gedung sekolah Karya Bangsa ditemani dengan lirik-lirikkan siswa-siswi di koridor.

Pada saat itu kelas dua belas yang tak lagi melakukan aktivitas belajar seperti biasanya, tengah ramai berkumpul di berbagai titik di sekolah. Sontak kehadiran Michael dan rombongan pun menjadi sorotan mereka. Para siswa laki-laki mulai berbisik-bisik, saat melihat kehadiran tim basket dari SMA Taruna. Masing-masing dari mereka mengingat-ingat apakah sekolah mereka tengah mengadakan lomba, seingat mereka tak ada satu lomba pun yang tengah diikuti sekolah.

Alvin masih bersama dengan Rani di depan kelas IPS2. Laki-laki itu masih berusaha melancarkan aksinya mendekati Rani. Namun, saat ia tengah membicarakan sesuatu kepada Rani, mata perempuan di hadapannya saat ini tidak lagi terarah kepadanya, walaupun kenyataannya sejak tadi Rani tidak memperdulikan keberadaan Alvin di dekatnya.

Melihat pandangan Rani yang tak juga berpaling, Alvin pun mengikuti arah pandang perempuan itu. Di bawah sana, sekelompok laki-laki tengah berjalan menyeberangi lapangan. Dalam sekali lirik Alvin langsung mengenali beberapa di antaranya, Michael dan Rafi berada di antara kelompok itu, lalu pandangannya melebar ke arah laki-laki yang merangkul Michael.

Kedua mata Alvin melebar melihat siapa yang berada di samping Michael. Rayn Leonard Putra, kapten tim basket SMA Taruna. Seketika Alvin berkeringat dingin melihat orang yang selama ini menjadi rivalnya di lapangan berada di sekolahnya. Kepalan tangannya sudah mengeras mencoba menahan segala emosi yang tengah ia tahan.

“Alvin, lo nggak pa-pa?” Rani melirik Alvin yang tiba-tiba diam tidak berucap.

Sebenarnya Rani ingin meninggalkan Alvin begitu saja. Namun saat melihat laki-laki itu terdiam secara tiba-tiba, hal itu membuatnya sedikit khawatir. Rani juga dapat merasakan aura Alvin yang berubah saat pandangan laki-laki itu terarah ke bawah sana, Rani dapat membaca tatapan itu tertuju kepada Michael yang tengah berlalu.

Dengan ragu, Rani mengangkat tangannya, mencoba mengembalikan fokus Alvin kepadanya.

Kagetnya, sebuah sentakkan keras melayang dari Alvin, laki-laki itu menepis tangan Rani dengan kuat.

Rani meringis kesakitan setelahnya.

“Oh no. Sorry, Ran. Gue nggak maksud.” Mata Alvin melebar, menyadari kelakuannya yang membuat Rani kesakitan.

“Gue nggak pa-pa. Tadi lo mau ngomongin apa?” ucap Rani sambil mengusap-usap tangannya yang kesakitan.

Alvin merasa bersalah setelah menepis tangan Rani tadinya, tadi itu di luar kesadarannya. Ia pun tidak sadar bahwa emosinya meluap begitu saja, saat melihat orang yang selama ini menjadi saingannya di lapangan.

Alvin menggaruk tengkuknya, “Nggak jadi, Ran. Sorry buat yang tadi, gue nggak sengaja.” Setelah mendapatkan anggukan dari Rani. Alvin pergi meninggalkan perempuan itu begitu saja.

Rani melihat punggung Alvin yang menjauh hanya berdesah tidak mengerti. “Aneh.”

“Baaa!” kaget sebuah suara, mengagetkan Rani.

“Kintan!” Rani mengelus dadanya.

“Ngapain? Melamun.” Tanya perempuan berkaca mata itu.

“Liat cogan.” Jawab Rani asal.

“Siapa?”

“Mmm… Tetangga.” Bohong Rani sambil melirik kelas IPS3.

Kintan mengerut dahi, tidak tau.

“Adik mantannya ketos. Nggak usah pura-pura amnesia, deh.” Rani sengaja menyindir seseorang yang Kintan sukai. Aldi namanya. Secara fisik, laki-laki itu tampan dengan mata tajam dan pembawaan yang pendiam. Namun, Rani tidak terlalu tertarik dengan laki-laki itu, ia hanya usil ingin mengerjai Kintan.

Kintan hanya tersipu malu, saat Rani memberikan kode dengan menyebut ‘adik mantan ketos’, tak ada satu pun yang mengetahui bahwa Kintan menyukai laki-laki itu selain Rani. Pernah sekali Rani tidak sengaja terucap tentang seseorang yang Kintan sukai kepada Ulan dan Masayu. Dengan lugunya Rani memberikan kode nama ‘tetangga sebelah’ dan Ulan pun mengira bahwa tetangga yang dimaksud adalah tetangga rumah Kintan. Rani dan Kintan pun yang menyadarinya hanya mengangguk-angguk saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Udah ah, masuk yuk.” Rani mengajak Kintan kembali masuk ke dalam kelas.

***

Michael membawa rombongannya berkumpul di kantin sekolah, hal itu membuat kantin yang awalnya sepi menjadi ramai dengan kedatangan mereka dan beberapa siswa-siswi yang mengikuti mereka dari belakang.

“Fio, itu Michael bareng Rayn kapten tim basket Taruna, kan?” tanya seorang siswi kepada Fio. Mereka sedari tadi sudah berada di kantin karena tidak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan.

Fio menoleh ke arah lain, tak berapa lama matanya langsung membulat mengikuti gerak-gerik rombongan yang baru saja memasuki kantin. Tanpa disadari tangannya sudah terangkat bersama ponselnya yang sudah siap mengabadikan moment langka di depannya.

“Wah… wah, breaking news, nih.” Komentar Fio tanpa memperdulikan pertanyaan siswi di sampingnya.

Kembali kepada Michael, sebenarnya ia tidak tau harus membawa teman-temannya kemana seraya menunggu waktu bel pulang sekolah nanti. Saran ke kantin pun adalah idenya Rafi. Untung saja ada Rafi pikir Michael, kalau tidak ada sahabatnya itu, mungkin ia akan membawa teman-temannya masuk ke dalam kelas.

“Lo semua mau pesen apa? Biar gue yang pesenin.” Tawar Rafi kepada yang lainnya.

“Kita bisa pesen sendiri, kok, Raf. Santai aja.” Ujar Rayn.

“Ok.”

Selang waktu menunggu jam pulang sekolah datang, mereka pun saling berbagi cerita, terutama Michael, Roby dan Rayn, mereka menceritakan saat-saat berada di bangku SMP tepatnya setelah Michael pindah. Mereka tidak memperdulikan bisik-bisik dari siswa-siswi yang ada di sekitaran kantin. Sampai-sampai suara seseorang yang berdeham pun tak mereka sadari.

Rafi menjadi orang pertama yang menyadari hal itu. Michael di sampingnya pun langsung mendongak dan menemukan Alvin dan Andre berdiri di belakang Rayn dan Roby.

“Apa maksud lo bawa-bawa mereka ke sini?” suara itu terdengar begitu dingin. Alvin sejak tadi sudah menahankan segala macam emosi dalam dirinya.

Dahi Michael mengerut, tidak mengerti. “Mereka berada di tim gue.” balas Michael tak kalah dingin.

“Oh, gue baru ngerti. Wajar sih, lo ngajakin mereka buat gabung, gue baru inget lo kan pernah mengalami patah tangan dan hal itu bikin lo nggak pernah main basket lagi.” Seolah dipanah oleh busur, rasa amarah Michael melonjak. Sungguh Michael menyesal karena pernah menceritakan sesuatu yang penting dalam hidupnya kepada laki-laki di hadapannya saat ini.

Michael juga lupa mengatakan kenyataan ini kepada teman-temannya, Rayn dan Roby hanya terdiam mendengar penuturan Alvin baru saja. Keduanya tidak ada yang membuka suara.

Merasa geram dengan sikap Alvin, Michael sudah bersiap untuk berdiri dan melabrak laki-laki itu, namun Rayn sudah terlebih dulu berdiri dan langsung menghadap Alvin yang berada tepat di belakangnya.

Rayn berkacak pinggang dengan santainya, “Ternyata bener apa yang selama ini gue nilai tentang lo. Untung aja, sepupu gue langsung mutusin lo, dengan alasan ‘mulutnya kayak cewek’.” Di kalimat terakhir, Rayn sengaja mengecilkan suaranya, setengah berbisik kepada Alvin tentang bagaimana sepupunya menilai Alvin.

Tangan Alvin sudah mengepal kuat, urat-urat di tangannya terlihat begitu kuat, ia menggenggam erat genggaman tangannya. Dan hal itu berhasil tertangkap di pandangan Michael.

Se-detik kemudian sebuah tangan melayang keras menghantam wajah tampan Rayn.

Alvin kali ini tidak dapat menahan emosinya, apalagi di hadapannya saat ini terdapat Rayn yang latar belakangnya adalah saingannya di lapangan.

Rayn tidak berniat membalas pukulan Alvin, malahan Roby yang berada di sampingnya sudah bersiap membalas pukulan Alvin kepadanya.

“Silakan! Pukul lagi. Gue pasang badan buat lo. Tapi gue nggak tanggung jawab kalau lo harus berhadapan sama kepala sekolah setelah ini.” Kata Roby lalu maju sedikit ke telinga Alvin. “terlalu banyak mata buat dijadiin saksi.” Bisiknya.

Tentu saja, kerumunan siswa-siswi yang tadinya berbisik-bisik tidak jauh dari tempat Michael dan yang lainnya berada, kini sudah membentuk lingkaran, seolah tengah menonton sebuah pertunjukan gratis dari laki-laki tampan yang tengah berkumpul.

“Berhenti!” suara Michael keras. Lalu menjadi penengah diantara Alvin dan Roby. Michael lalu menatap Alvin tajam, tidak takut dengan laki-laki di depannya. “Lo udah di luar batas, Al. Lo sendiri yang nawarin ke gue, dengan bermain sehat, sekarang apa yang lo lakuin?” suara Michael tajam.

Alvin berdecih, “Lo pikir gue nyerah. Nggak! Gue tunggu lo di lapangan.” Balas Alvin sambil berlalu dengan menumbur bahu Michael kasar.

Michael berbalik kepada Rayn. Belum sempat Michael menanyakan pertanyaannya, Rayn sudah terlebih dahulu menjawab.

“Gue nggak pa-pa. Udah lama gue kesel sama dia. Sekalian aja, selagi ada kesempatan.” Rayn tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.

Lalu mereka pun kembali berkumpul dan keramaian yang tadinya penuh, mulai memecahkan diri.

5 Komentar

  1. :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

    1. Hertina Rani menulis:

      kenapa patah hati?? :ragunih

  2. Gunakan kode sbb untuk menampilkan semua cerita hanya dari tulisan kamu, bisa ditulis disetiap akhir cerita

    [catlist author_posts="hertinarani" numberposts=-1 pagination=0]

    Jadi pembaca bisa dengan mudah cari part2 sebelumnya. Untuk part ini mimin sdh tambahkan, part lainnya tambahin sendiri ya.

  3. fitriartemisia menulis:

    Alvin ini emosian juga ya :LARIDEMIHIDUP
    main tonjok ajaaa

  4. Ditunggu kelanjutannyaa