Vitamins Blog

Laceration 2 (Beraninya kau!)

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Beraninya Kau

 

Beberapa jam kemudian, Vaya menemukan dirinya berdiri di depan cermin yang ada di toilet perempuan sekolah yang sepi. Tangannya bergerak membuka keran lantas membasuh wajahnya.

 

Menghela napas panjang, Vaya menatap pantulan wajahnya di cermin. Tadi saat bel tanda istirahat berbunyi, Vaya langsung berlari keluar. Mengabaikan Febi yang berteriak memanggil namanya. Dia masih terlalu kaget. Bahkan, dia tidak bisa fokus dengan penjelasan pak Irwan tentang entah apa itu selama dua jam tadi.

 

“Kenapa dia ada di sini?”

 

Hanya pertanyaan itu terus berputar dalam otaknya tanpa henti. Masih tidak menyangka akan kehadiran laki-laki itu. Sudah dua tahun. Dua tahun yang memiliki kata cukup tenang dalam kehidupan Vaya. Hidup yang jauh dari bayang-bayang masa lalu.

 

Vaya tidak pernah membayangkan akan bertemu sosok itu lagi. Dia selalu menanam kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah bertemu dengan laki-laki itu atau siapapun yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya lagi. Kehidupannya sudah mulai normal. Dan sekarang, laki-laki itu ada di sini. Satu kota, satu sekolah bahkan satu kelas dengannya. Kedatangan laki-laki itu hanya akan merusak semuanya.

 

Dengan kesal Vaya membuang napas lelah. Lengan kanannya bergerak menyentuh dadanya. Merasakan denyutan sakit dan sesak di sana.

 

Dia pikir rasa sakit itu sudah pergi dari dirinya. Dia pikir dia sudah sembuh. Dia pikir semuanya sudah baik-baik saja. Tapi ternyata dia salah. Rasa sakit itu masih ada dalam dirinya. Tersembunyi dan kini muncul kembali karena kehadiran laki-laki itu.

 

“Anggap saja kita tidak saling mengenal,”

 

Sekelebat bayangan masa lalu menghampiri Vaya membuatnya menutup mata dan mengepalkan kedua lengannya kuat-kuat.

 

Tidak saling mengenal.

 

Vaya tidak mengenal laki-laki itu dan laki-laki itu juga tidak mengenalnya. Mereka asing. Jadi, Vaya hanya harus bersikap seakan-akan dia tidak mengenal laki-laki itu.

 

“Bukan seakan-akan,” Vaya bergumam. Membuka matanya. “Tapi aku memang tidak mengenalnya,”

 

Kembali menghela napas. Vaya lantas keluar dari toilet. Berjalan melewati lorong-lorong sekolah yang cukup ramai. Tanpa terasa langkahnya terhenti ketika melirik kearah lapangan basket dan mendapati tim basket perempuan di sekolahnya sedang berlatih. Pemandangan itu mau tak mau membuat Vaya tanpa sadar mengingat kenangannya tentang olahraga itu.

Flashback

“Kenapa tidak masuk,” Asta menggerutu pelan. Matanya menatap nyalang bola basket yang sekarang menggelinding jauh ke tepi lapangan.

Dia berlari mendekati bola itu. Mengambilnya dengan kasar dan kembali berlari menuju tempat semula.

Dia memutar-mutar bola basket yang dia pegang. Menimbang-nimbang. Dia menarik napas. Mengangkat dua tangannya ke atas. Kembali melempar bola kali ini dengan begitu keras.

 

Asta menatap bola itu dengan penuh harap. Menunggu tiap detiknya dengan gelisah. Hampir saja bola itu masuk. Tapi sayangnya malah meleset mengenai tiang ring. Membuatnya memantul. Mata Asta membulat melihat bola itu menuju arahnya.

 

Dug

 

Tubuh Asta terjatuh. Tidak kuat menahan keseimbangan.

“Aduh sakit,” Asta memekik mengusap dahinya yang memerah terkena bola.

 

Suara tawa menggema dari pinggir lapangan. Asta menoleh dan cemberut ketika melihat sosok laki-laki tampan. Yang sedang tertawa terbahak-bahak di sana.

 

“Terus saja ketawa, kamu pasti sangat senang melihatku kesakitan,” Asta berujar ketus. Dia bangun dan menepuk-nepuk celana jins dan kaos hitamnya yang kotor.

 

“Dengan tinggi badan seukuran kamu ini ditambah cara kamu melempar bola basket tadi, sampai kapanpun kau tidak akan berhasil memasukan bola itu,” laki-laki itu berjalan mendekat sambil berkomentar.

 

“Aku tidak sependek itu, lagi pula bagian mana yang salah dari caraku melempar bola, dimana-mana yang namanya melempar yah seperti itu,” Asta membantah kesal.

 

Laki-laki itu kembali terkekeh. Dia merangkul bahu Asta dan menggiringnya duduk di kursi panjang yang ada di pinggir lapangan.

 

“Akui saja Ta, kamu memang tidak punya bakat dalam olahraga basket ataupun olahraga lainnya, lagian aku heran kenapa kamu begitu terobsesi ingin belajar basket,”

Asta menghela napas pelan. Laki-laki di sampingnya ini benar-benar tidak peka. diakan melakukan ini semua untuk laki-laki itu. Dia sadar. Sangat sadar. Dia tidak punya. kemampuan apapun dalam bidang olahraga. Jika melihat nilai akademisnya, orang akan berdecak kagum. Tapi jika melihat nilai praktik olahraganya maka orang akan langsung istigfar berkali-kali. Jangankan dapat nilai tinggi. Pas KKM aja dia udah syukur.

 

“Aku cuma pengen sebanding sama kamu, kamu itu pinter banget main basket, ganteng, populer di sekolah, sedangkan aku?” Asta menunjuk kearah dirinya.

 

“Aku cuma gadis kutu buku, kuper, jelek dan tidak punya bakat apapun,” lanjut Asta lemah.

 

“Siapa yang bilang kamu kuper, jelek dan tidak punya bakat?” Laki-laki itu bertanya dengan nada kesal. Merasa tidak senang mendengar penjelasan Asta.

 

“Kamu itu nggak kuper, walaupun kamu nggak terlalu cantik tapi kamu manis dan punya bentuk wajah baby face jadi enak di lihat. Kamu tahu? Orang dengan wajah manis itu lebih menarik dari pada orang cantik. masalah bakat, mereka aja yang nggak tahu bahwa kamu adalah pelukis terbaik yang pernah aku temui,”

 

Perasaan Asta menghangat. Dia tidak perduli laki-laki itu mengatakan itu semua hanya untuk menghiburnya. Yang pasti dia senang. Cukup dengan penerimaan dari laki-laki yang sekarang ada di sampingnya.

 

“Tentu saja aku adalah pelukis terbaik yang pernah kamu temui, selama hidupmu kau tidak pernah bertemu pelukis lain selain aku,” gerutu Vaya pura-pura jengkel.

 

Gerald terkekeh. Dia merangkul bahu Asta dengan lembut. “Tapi aku yakin kamu akan menjadi pelukis terkenal suatu hari nanti,” ujar Gerald tersenyum tipis.

 

“Jadi jangan merendah lagi, oke?” Laki-laki itu kembali bersuara.

 

Asta tersenyum lantas mengangguk dengan semangat. Mengiyakan permintaan laki-laki itu.

 

Kibasan tangan seseorang di depan wajahnya membuat Vaya tersentak kembali kedunia nyata. Dia mendapati Glen yang tengah menatapnya dengan gayanya yang khas.

 

“Ngelamun itu hobi kamu yah Vay?” tanya Glen dengan Satu halis terangkat.

 

Vaya menggeleng. “Kakak kok bisa ada di sini?” Vaya balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Glen.

 

“Dari tadi aku nyariin Kamu Vay, ke kelas tapi kata Febi kamu udah keluar nggak tau kemana, eh malah nongkrong tengah jalan gini,” Glen mengacak rambut Vaya pelan. “kalo ke tabrak terus jatoh gimana?”

 

Vaya merengut. “Ya kalo jatuh ke bawah kak, enggak mungkin ke atas,” jawabnya lantas melanjutkan langkahnya.

 

“Eh busyet, kamu ini di bilangin malah ngeselin,” gerutu Glen. “Kadang bingung juga, sebenernya aku yang terlalu bodoh apa kamu yang kepintaran sih?”

 

Vaya memutar bola matanya ke atas. Pura-pura berpikir. “Kayaknya kak Glen yang bodoh deh,” jawabnya kalem.

 

Glen menggelengkan kepalanya. Frustasi. “Cape ngomong sama kamu Vay,”

 

“Nggak cape kak, cape itu kalo suruh lomba marathon satu kilo meter atau kalo nggak disuruh ngerjain matematika, masha allah ada bola jatuh aja mesti di hitung panjang lintasannya, nggak ada kerjaan,”

 

Glen tertawa keras. “Ok deh kamu menang, sekarang kita ke kantin yuk!”

 

Vaya hendak menolak. Tapi mengingat jam istirahat masih cukup lama dan seseorang dari dunia sejarahnya yang sekarang satu kelas dengannya. Vaya memilih diam saat Glen menggiring langkahnya menuju kantin sekolah.

 

Laceration

 

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari tadi. Satu hari yang melelahkan untuk Vaya. Dia mencoba bersikap sewajar mungkin. Untungnya laki-laki itu duduk di bangku yang cukup jauh darinya. Jadi Vaya hanya perlu memfokuskan diri ke depan. Tanpa memikirkan apapun lagi tentang laki-laki itu. Meski itu bukanlah hal yang mudah.

 

Vaya duduk di halte bus yang ada di dekat sekolahnya. Febi harus mengikuti rapat OSIS untuk persiapan kemping. Glen sedang latihan basket. Jadi, Vaya memutuskan pulang sendiri menggunakan angkutan umum. Glen tentu saja melarangnya, mengatakan bahwa dia akan mengantar Vaya terlebih dahulu. Baru setelahnya latihan.

 

Tawaran buruk.

 

Tentu saja Vaya menolak. Dia harus berdebat panjang lebar dulu dengan Glen dan mendapatkan wejangan-wejangan yang tak kalah panjang lebar yang intinya harus berhati-hati. Glen akhirnya mengizinkannya pulang sendirian.

 

Glen memang protektif. Dia selalu bersikap berlebihan jika menyangkut Vaya. Dia juga selalu bersikap seakan-akan dia dan Vaya berpacaran. Katanya agar tidak ada laki-laki yang berani mendekati Vaya. Padahal, Vaya yakin tidak akan ada laki-laki yang mau mendekatinya. Di sekolahnya banyak gadis cantik berkeliaran. jadi, tidak mungkin mereka mengabaikan gadis gadis itu dan memilih Vaya. Gadis aneh yang biasa-biasa saja. Tapi, Vaya tidak keberatan. Dia senang Glen melakukan itu untuknya. Rasanya seperti dia menemukan sosok kakak dalam diri Glen.

 

“Eh-eh dia si anak baru, kan?”

 

“Iya, cakep yah?”

 

Bisikan-bisikan dari dua siswi perempuan yang juga tengah menunggu bis lewat membuat Vaya menoleh. Sedetik kemudian dia menyesali keputusannya saat matanya kembali melihat sosok yang tengah mereka bicarakan. Si siswa baru, alias Ardi.

 

Mencoba bersikap sebiasa mungkin, Vaya langsung melangkah menaiki bis yang berhenti tepat di depannya. Dia berusaha menyelinap diantara banyak orang lainnya yang menaiki bis itu.

 

Vaya mengedarkan pandangan. Mencari kursi kosong. Namun dia harus bersabar dengan realita ketika tidak menemukan kursi yang kosong. Artinya, dia harus berdiri dan berpuas diri berpegangan pada sandaran kursi penumpang.

 

Vaya mengalihkan pandangannya ke samping saat merasa ada seseorang yang berusaha masuk diantara sela-sela dia dan orang tua yang berdiri di sampingnya. Genggaman tangannya pada sandaran kursi semakin kencang ketika mendapati orang itu adalah Ardi. Dengan cepat dia bergeser ke depan. Memberi jarak. Vaya tidak tahu kenapa laki-laki bisa naik angkutan umum. Dia bukanlah tipe orang yang suka dengan tempat ramai seperti ini. Dulu, Vaya bahkan pernah merajuk hanya karena laki-laki itu tidak mau menemaninya naik bis. Lagipula, Vaya tahu betul bahwa keluarga laki-laki itu adalah orang berada. Jadi membelikan sebuah motor sport atau mobil BMW untuk kendaraan pulang pergi sekolah bukanlah hal yang mustahil.

 

“Oke Vaya, tenang, kalian hanya dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal,” dia kembali mensugesti hal yang sama dalam hati. Mencoba menormalkan sikapnya.

 

Vaya menghela napas lega ketika bis yang dia tumpangi berhenti di halte dekat rumahnya. Dengan segera dia turun setelah memberikan selembar uang lima ribuan pada kenek bis.

 

Setelah beberapa ratus meter berjalan. Vaya akhirnya sampai di depan rumahnya. Dia membuka tas, mengambil kunci rumah.

 

“Asta,”

 

Panggilan itu membuat gerakannya terhenti. Asta, panggilan itu adalah panggilan yang sudah lama tidak dia dengar. Dengan ragu dia menoleh. Mendapati Ardi yang saat ini tengah menatapnya. Dengan tatapan yang entah kenapa terlihat seperti penyesalan.

 

“Aku ingin bicara, please” kembali laki-laki itu bersuara. Putus asa.

 

Vaya terdiam sebentar, sebelum kemudian dia kembali mencari kunci dan hendak membuka pintu rumahnya. Mencoba mengacuhkan laki-laki itu.

 

Namun kejadian berikutnya membuat amarah Vaya tersulut. Dia menghempas kasar tangan Ardi yang memegang lengannya. Menahannya membuka pintu. Vaya berbalik lantas menatap nyalang padanya.

 

“Beraninya kau,” Ucap Vaya tajam.

 

Cerita ini gaje? Nggak bagus? Ngebosenin? ???

 

Maaf aja, aku itukan amatir. Maklum kalo tulisanku nggak sebagus para penulis senior yang ilmunya jauh diatasku. Tapi tetep aja berharap ada yang suka. ???

 

Maaf kalo berantakan, buat di ponsel soalnya. Susah ngedit ???

Salam hangat

Dilah Nafisah

 

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

15 Komentar

  1. Keren nih ceritanya

    1. dilahnafisah menulis:

      Thanks, syukur deh kalo ada yang suka ☺☺☺

  2. Uggg kayanya seru niih, lanjut thor

    1. dilahnafisah menulis:

      Seru nggak seru, diseru-seruin aja ???

      Thanks yah, insya allah kalo nggak sibuk kerja aku post hari selasa..

  3. Ardi minta balikan pasti .. ?

    1. dilahnafisah menulis:

      Balikan yah? ???emang mereka pernah pacaran? ???

  4. mardilestari menulis:

    Udah berani menulis aja itu sesuatu banget,semua kan perlu proses,penulis senior juga dulu pernah kok kayak kamu nih…jadi jangan patah semangat…
    di tunggu updateannya ya…

    1. dilahnafisah menulis:

      Makasih yah, aku usaha secepatnya.., ???

  5. fitriartemisia menulis:

    Vaya sebel banget kayaknya sama Ardi

    1. dilahnafisah menulis:

      Bukan sebel, kalo sebel kan kaya yang kadarnya masih rendah tapi itu tarapnya udah tinggi :)

  6. Ditunggu kelanjutannyaa

    1. dilahnafisah menulis:

      Udah aku lanjut ko, tapi di wattpad. Belum ada waktu pos di sini. Coba cek aja kalo punya akun nya.
      Jangan lupa votemen yah (berharap) :D

  7. farahzamani5 menulis:

    Asta itu panggilan Aldi ke Vaya yak, dan sepertinya Aldi ingin menjelaskan sesuatu, ada apa antara mereka berdua sampe Vaya sebel gtu sma Aldi emmm penasaran, cuzz ke part berikutnya
    Semangat trs yak

    1. dilahnafisah menulis:

      Iya. Ngejelasin sesuatu setelah melakukan kesalahan itu namanya pembelaan, kan? :D

      yang pastinya mereka tadinya pernah bersama-sama. Iya makasih dukungannya

  8. fitriartemisia menulis:

    ini asta/vaya kelas berapa deh? hehe kalo misal kelas 2 SMA, berarti kejadian masa lalunya pas kelas 2 SMP ya? #eh gitu bukan sih hehe