Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 3

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

69 votes, average: 1.00 out of 1 (69 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Makan siang itu cukup singkat karena Camy pamit untuk mengantarkan makanan para penjaga perbatasan. Pada awalnya Gize hendak mengantarkan Camy ke perbatasan namun langsung di tolak oleh Camy. “Aku tidak ingin mengganggu latihan kalian lebih lama,” canda gadis itu. Gize pun mau tidak mau membiarkan Camy pergi sendiri.

Dengan langkah yakin, Camy kembali memasuki hutan. Dia tadi sempat memandang ke arah jendela lantai dua namun siluet itu tidak ada. Entah orang itu sedang bersembunyi atau memang tidak ada disana. Yang pasti Camy yakin bahwa sosok itu akan selalu ada di rumah itu.

Camy kembali menyisir hutan. Berusaha menemukan jalan utama sehingga bisa melanjutkan perjalanannya ke perbatasan kota. Namun Camy menyadari jika dia kembali tidak mengenal jalanan yang dilaluinya. Suatu permikiran konyol kembali menghampiri pemikirannya. Jika dia tersesat kembali mungkin saja dirinya kembali ke rumah Ren dan Gize. Pemikrian itu memuat tersenyum geli.

Suara geraman terdengar dari arah kanannya. Jantung Camy terpompa dengan kecepatan maksimal saat melihat siluet tajam dari balik semak-semak. Kakinya semakin gemetar tatkala Camy mendapati taring-taring tajam yang mulai nampak. Seketika itu juga sosok itu menerjang Camy.

Camy berterima kasih pada refleksnya yang cukup sigap sehingga dia bisa berlari sebelum serigala itu menerkamnya. Camy terus berlari sambil sesekali menengok ke belakang. Serigala itu masih disana, berlari tepat di belakang Camy dengan mata berkilat tajam. Moncongnya yang sedikit terbuka menampilkan taring-taring tajam yang siap mengoyak Camy jika gadis itu menurunkan kecepatannya.

Camy berlari dan berlari. Jantungnya kian terpompa dengan kecepatan menggila. Kaki kecilnya semakin lelah tapi geraman dari belakang tubuhnya membuat Camy terus memaksakan kakinya untuk terus bergerak. Dalam hati dia berteriak meminta pertolongan. Dia sudah tidak sanggup lagi, napasnya tersengal, matanya mulai memburam karena dipenuhi air mata yang siap meluncur kapan saja.

Sosok hitam di ujung penglihatannya membuat Camy tanpa sadar berlari ke arah sosok itu. semakin dekat, semakin dekat, hanya tinggal beberapa langkah. “Tolong,” lirih Camy saat di depan sosok lelalki itu. Camy yang kelelahan langsung jatuh di pelukan sosok itu. dengan kesadaran yang dipaksakannya, Camy dapat mendengar hantaman keras dan suara rintihan dari serigala pengejarnya. Hanya itu yang diingat Camy sebelum akhirnya kegelapan merenggur kesadarannya.

***

Disaat Camy terbangun, dia menyadari bahwa di bersandar pada salah satu pohon yang cukup rindang. Saat mengingat memori terakhir yang dialaminya, gadis itu langsung degan sigap duduk dan meringis akibat kepalanya terbentur ranting yang rendah. Saat pandangan matanya bisa melihat dengan jelas, akhirnya dia menyadari jika ada siluet hitam yang tengah memandanginya.

Camy merona karena menyadari kejadian memalukannya barusan dilihat oleh siluet orang tersebut.

“Terima kasih.” Camy mengucapkannya tulus karena yakin orang itu yang telah membantunya dari kejaran serigala.

Tidak ada sahutan dari sosok itu. sosok itu hanya diam menatap Camy tanpa berkedip sekalipun, seakan terpaku kepada Camy seorang. Kemudian dia berlalu begitu saja.

“Tunggu!” sosok itu berhenti, berbalik untuk memandang lagi ke aah Camy. “Aku tau ini mungkin merepotkan tapi bisakah kau memberi tau jalan ke arah pos penjaga perbatasan.” Tidak ada sahutan kembali membuat Camy meringis karena merasa berbicara sendiri. “Kumohon,”

Sosok itu berjalan kembali menjauhi Camy, membuat gadis itu menunduk, menggerutu dan mengumpat tentang perlakuan lelaki yang menolongnya. “Ayo!”

Camy mengedipkan beberapa kali matanya, mecoba mencerna apa yang dikatakan sosok di depannya. Saat itulah dia mendapatkan kesadarannya. Ternyata sosok itu tidak setega yang dia pikirkan.

Camy pun bangkit dan menyusul sosok dengan pakaian sehitam langit malam itu.

Camy menghabis menit-menit kedepannya bersama sosok yang baru saja menolongnya. Beberapa kali Camy mencoba mengajak laki-laki itu berbicara, hanya untuk ramah tamah namun sepertinya laki-laki itu termasuk orang yang irit dalam bicara. Bahkan mungkin lebih tepatnya laki-laki itu mengacuhkan keberadaan Camy, membuat gadis itu jadi gemas sendiri.

Camy mendengus kesal. Ini mungkin pertama kalinya ada orang yang mengacuhkannya. Biasanya orang-orang akan langsung memperhatikannya karena pribadinya yang ceria. Lagi pula sifatnya yang mudah penasaran terkadang membuat orang gemas sendiri dan kesal sehingga sering juga Camy di usir dan dimarahi. Namun tentu saja sekarang ada satu orang yang menjadi pengecualian, sosok laki-laki disampingnya.

Camy melirik laki-laki di sampingnya. Laki-laki disampingnya bisa dibilang cukupp rupawan dengan warna rambut yang selaras dengan seragam yang dipakainya. Seakan laki-laki itu memang terlahir dengan seragam itu. tak bisa dipungkiri jika Camy sedikit menyukai sosok laki-laki disampingnya jikalau sifatnya tidak secuek itu. well, banyak suka. Terutama matanya yang berwarna coklat madu hampir keemasan itu.

“Sudah sampai,” Camy menatap ke arah tempat yang ditatap sosok laki-laki itu. tepat di sana terlihat bagunan kayu tinggi yang berfungsi sebagai tempat mengawasi perbatasan. Dari kejauhan terlihat ada beberapa orang yang berdiri di atas sana.

“Aku pergi.”

Eh.  Camy segera berbalik dan menahan lengan aki-laki itu. secara spontan mencoba menahan kepergian laki-laki itu.

Tidak ada tanggapan dari laki-laki itu namun Camy menyadari bahwa laki-laki itu menuntut pertanyaan karena Camy menahan kepergiannya. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.” Laki-laki itu mengangguk samar. “Jika boleh aku tau siapa namamu?”

Tidak ada jawaban. Laki-laki di depan Camy hanya menatapnya datar tanpa ada keinginan menjawab pertanyaan Camy, membuat Camy sedikit gemas, “Jadi siapa namamu?”

“As.” Laki-laki bernama As itu berlalu setelah mengucapkan namanya. Berjalan menjauhi Camy dan memasuki hutam kembali.

***

Seperti biasanya saat Camy mendatangi perbatasan, banyak orang membawa senjata hilir mudik, seakan siap untuk menghadapi serangan tiba-tiba. Keadaan yang mulai menggelap membuat beberapa di sudut tempat sangat gelap kecuali yang telah disinari oleh obor.

Kaki mungil Camy bergerak ke salah satu gubuk sederhana di bawah menara pengintai. Melangkah masuk dan disambut senyum lebar oleh pria berbadan tegap yang tengah duduk menulis sesuatu di mejanya. “Camy! Aku tak menyangka kau ada disini.”

Camu segera meletakkan keranjangnya dan memeluk Finner, salah satu keluarga jauhnya yang menjabat sebagai ketua regu penjaga perbatasan. Setiap harinya baik keluarganya atau keluarga Camy yang lain akan mengirimkan makanan untuk Finner mengingat pria itu sampai saat ini belum menikah juga.

“Aku dengar kau sempat menghilang di tengah hutan kemarin. Apa itu benar?” Camy tidak menjawab pertanyaan Finner. Gadis itu memilih untuk duduk di depan meja untuk mengistirahatkan kakinya. “Camy, ayo jawab!”

Camy menghela napas lelah. Entah sudah berapa orang yang menanyakan hal ini kepadanya. “Iya.” Dan setelah jawaban singkat itu, Camy tau akan ada pertanyaan lagi yang ditunjukkan padanya.

“Lalu bagaimana kamu bisa keluar lagi?”

Camy mengedikkan bahunya acuh. Dirinya sudah malas untuk menimpali pertanyaan itu. “Keberuntungan mungkin.” Jawaban singkat itu tentu membuat Finner mengernyitkan dahinya penasaran.

“Lalu kenapa hari ini kamu telat mengantarkan makanan? Apa kamu tersesat lagi d hutan?” Camy mengangguk dengan tak bersemangat. “Lalu bagaimana bisa kamu keluar dari sana?”

Pertanyaan Finner membuat pikiran gadis itu melayang pada sosok laki-laki yang membantunya barusan. “Aku dibantu oleh seseorang. Namanya As. Apa dia salah satu anggotamu?”

“Aku rasa, iya. Memangnya kenapa?”

“Kenapa aku tidak penah melihatnya sebelumnya?”

“Itu karena dia baru disini. Dia utusan baru yang dkirim oleh kerajaan. Aku dengar dia salah satu prajurit unggulan disana.” Finner sedikit heran sebenarnya karena Camy bertanya-tanya tentang salah satu prajuritnya. Mungkinkah, “Kenapa kamu penasaran sekali dengan As ini?”

Camy seketika gugup. Tidak menyangka bahwa Finner akan mencium gelagatnya yang sedikit penasaran. “Yah, aku  hanya penasaran dengan orang yang menolongku. Dia tadi sempat melawan seekor serigala yang mengejarku. Lagi pula dia lumayan tampan.” Camy merona saat tau dirinya tanpa sadar telah memuji laki-laki bernama As tersebut.

Finner tergelak tertawa di tempat duduknya mendengar Camy yang memuji salah satu prajuritnya. Bahkan dia sampai harus memegang perutnya yang sakit karena tertawa. “Kau serius mengatakan itu, Camy?”

“Memangnya kenapa? Wajar bukan kalau aku menyukainya. Semua orang pasti akan menyukai wajahnya yang tampan itu!” Camy menyahut ketus pertanyaan Finner yang seolah mengejeknya.

“Hahaha, aku tidak tau jika seleramu adalah pria yang lebih tua darimu. Perlu kau tau jika umur As itu hampir 30 tahun!”

“Apa!!” Camy tidak bisa  menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui umur As. Camy menggelengkan kepalanya tak percaya. Dia tadi sangat yakin jika laki-laki bernama As itu sebaya dengannya tapi ternyata umurnya sudah sepantaran Finner. Memang ternyata wajah bisa menipu, batin Camy lesu.

“Hahaha, sudahlah. Lupakan masalah ini.” Finner segera membuka kotak makanan yang dibawa Camy. Mengeluarkan makanan yang terlihat lezat itu sebelum akhirnya memakannya tanpa membaginya dengan Camy.

Camy memandang lekat Finner yang tengah makan. Anak dari pamannya ini termasuk orang yang menawan dengan rambut pirang gelap serta kulit kecoklatan. Sayangnya ketampanannya itu sedikit berkurang akibat luka melintang di pipi kirinya akibat perang yang dialaminya lima tahun silam.

Tunggu dulu.

“Finner, kau dulu juga ikut dalam perang besar itu, kan. Perang melawan Pangeran?”

Finner terdiam di tempatnya. Diletakkannya sendok yang di pegangnya tanpa ingin melanjutkan makannya. Tanpa sadar, tangan kirinya sudah meraih pipi kirinya yang masih membekas luka melintang akibat sayatan pedang. “Ya.”

Camy bisa mendengar suara gemetar dari jawaban Finner. Namun rasa penasarannya telah membutakannya. “Bisa kau ceritakan kejadiannya Finner?”

Finner menelan ludah yang terasa sulit dilakukan. Ia tau bahwa tangannya gemetar tapi ia juga tau bahwa dia harus menghadapi rasa traumanya itu. saat ini. “Itu adalah perang pertamaku di medan tempur. Aku tidak bisa mendiskripsikan apapun selain rasa takut, ngeri, juga menyeramkan. Kami pada saat itu percaya diri bisa memenangkan pertempuran itu karena dari kubu kerajaan memiliki lebih banyak prajurit tapi kenyataannya kami salah.”

Ada jeda sejenak diantara cerita itu. seakan yang diceritakan Finner saat ini hanyalah pembuka dari cerita sesungguhnya. “Kubu kami memang lebih banyak prajurit namun prajurit-prajurit ini adalah prajurit baru dan belum memiliki pengalaman bertempur sedangkan di kubu Pangeran, mereka adalah prajurit berpengalaman dengan keterampilan luar biasa. Dalam sekejap prajurit kerajaan yang masih baru dibantai habis-habisan. Aku masih beruntung dibanding dengan teman-temanku yang lain. Beberapa diantara mereka ada yang mati dan beberapa diantara mereka ada yang cacat.”

Camy merasakan tubuhnya gemetar. Hati kecilnya meringis membayangkan betapa mengerikannya apa yang dirasakan Finner. Mungkin hal ini jugalah yang membuat Gize serta Ren mengasingkan diri ke tengah hutan.

“Maaf karena mengungkit hal ini,” gumam Camy merasa menuntut Finner menceritakan hal yang tidak diinginkan. Mau tidak mau dia merutukki rasa penasarannya sehingga tidak peka dengan apa yang dirasakan oleh Finner.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Sudah seharusnya aku berbagi cerita ini dan menghadapi ketakutanku.” Finner mengenghembuskan napasnya. Pandnagannya menatap langit-langit pondok yang terbuat dari kayu. “Bila boleh jujur, aku juga merasa beruntung bisa ikut dalam perang tersebut.”

Camy mengernyitkan dahinya. “Beruntung?”

Finner menatap Camy dan mengangguk. “Selain menjadi pengalaman yang tidak terlupakan, aku juga bisa melihat keahlian Pengawal Pangeran. Mereka  adalah prajurit paling disegani di penjuru kerajaan, bukan karena kesetiannya pada kerajaan tapi juga keahlian bertarung mereka yang lebih unggul dibandingkan dengan prajurit yang lain.”

“Kau bilang pengawal Pangeran sangat setia pada kerajaan tapi kenapa mereka malah mendukung Pangeran yang memberontak kepada kerajaang?”

Finner menggeleng sebagai jawaban. “Yang aku tau, mereka sangat setia kepada Pangeran. Mereka sudah melindungi Pangeran bahkan saat Pangeran baru saja dilahirkan. Keduanya selalu menjaga Pangeran agar tidak ada satupun yang menyakiti Pangeran.”

Camy menatap ke arah Finner. Terlihat jelas bahwa pria di depannya itu mengagumi sosok pengawal pangeran yang diceritakannya itu. “Sepertinya kau mengagumi mereka, ya?”

“Siapa yang tidak kagum pada mereka. Keahlian mereka saja setara dengan seratus prajurit kerajaan yang berpengalaman. Saat mereka bertarung melindungi Pangeran, gerakan mereka laksana angin torpedo yang mengoyak sekitar. Dan seperti laksana pusat angin torpedo yang tenang, Sang Pangeran hanya akan berdiam di tengah mereka.”

Camy terkekeh, “Kau berlebihan.” Finner tidak menanggapi. Dia hanya ikut terkekeh kecil melihat Camy yang tidak percaya dengan ucapannya.

Keduanya terdiam saat salah satu prajurit berderap masuk ke dalam gubuk dengan napas terengah.

“Ada apa?” tanya Finner menyadari jika ada yang salah dengan kedatangan prajurit tersebut.

“Penagih upeti kerajaan sedang berada di kota dan mengacau disana.”

***

Sedikit yang diingat Camy setelah apa yang terjadi. Setelah mendengar kedatangan para penagih upeti, Camy segera berlari kembali ke kota. Dirinya menghiraukan panggilan Finner atau beberapa prajurit yang memang ditugaskan segera ke kota. Camy bahkan tidak mempedulikan  apakah jalan yang dilaluinya benar.

Saat memasuki batas kota, Camy tidak menurunkan kecepatannya. Langkah mungilnya segera berderap menuju rumah sekaligus restaurannya. Pikirannya kalut mengingat ibunya dan memori tentang kedatangan para prajurit penagih upeti itu. prajurit-prajurit itu selalu memakai jalan kekerasan untuk mendapatkan upeti yang diminta.

Semakin mendekati restaurannya, terlihat semakin banyak warga kota yang mengalami kekerasan oleh orang-orang berseragam itu. teriakan saling bersahutan terdengar oleh telinga Camy namun Camy menghiraukannya. Saat ini yang memenuhi pikirannya adalah ibunya.

“Ibu!” Camy segera merangkul ibunya yang tengah meringkuk di tanah. Camy menatap nyalang prajurit yang menendang ibunya sampai terjatuh. “Apa yang kau lakukan pada ibuku! Beraninya kalian memukul ibuku!”

Parjurit di depan Camy memasang wajah dinginnya. Rambutnya yang panjang terkucir sembarangan dengan mengesampingkan bajunya yang dipakai asal. Jika saja prajurit itu lebih bersih, rapi, tidak berbau aneh—yang mungkin percampuran antara bau alkohol dan bau badannya yang tidak mandi berhari-hari, prajurit ini pastilah masuk kategori lumayan. Minus sikapnya tentu saja.

“Itu karena ibumu tidak bisa membayar upeti! Bukankah sudah diperingatkan jika akhir bulan ini upeti sudah harus diberikan pada kami!”

Camy tetap menatap nyalang ke arah prajurit itu. “Kami bisa saja membayar upeti seperti biasanya jika saja tidak dinaikkan menjadi dua kalinya! Tidak mudah bagi kami mendapatkan uang yang banyak di kota kecil yang sedikit pengunjung ini!”

Parjurit itu menampilkan senyum mengejek yang mampu merendahkan Camy. “Kau bisa mencari uang selain dari menjual makanan tidak bermutu di restaurant kecilmu ini, misalnya…” parjurit itu memindai tubuh Camy dari kepala hingga kaki, berulang-ulang. “Menjual tubuhmu. Kau bisa mendapatkan uang banyak dari itu.

“Kau!” Camy berderap maju dan menampar prajurit itu. detik selanjutnya, Camy tersungkur di tanah dengan pipi membiru dan luka di lengannya kembali terbuka. Prajurit itu balik menampar Camy dengan kekuatan penuh yang tidak ditahannya.

“Camy!” pekikan ibunya diiringi oleh geraman Finner yang baru saja datang bersama prajuritnya.

“Apa yang kau lakukan!” bentakkan Finner menarik semua perhatian yang ada di sekitar Camy. Semuanya menatap ke arah Finner yang baru saja berteriak marah.

“Jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu!”

Finner kembali menggeram. “Kau tidak seharusnya melakukan ini pada mereka! Mereka itu perempuan!” prajurit itu berjalan mendekat ke arah Finner dengan perlahan. Wajahnya tampak mengeras karena mendengar ucapan Finner.

“Sudah ku bilang jangan ikut campur!” Finner tersungkur beberapa meter ke samping akibat tendangan prajurit itu. dia beberapa kali terbatuk disertai darah yang keluar akibat tendangan yang tepat mengenai ulu hatinya. Namun prajurit itu belum selesai. Prajurit itu kembali mendekati Finner dengan langkah perlahan.

“Apa yang aku lakukan adalah perintah Raja! Apa kau berani menentang perintah Raja?!” Prajurit itu menginjak lengan Finner hingga menimbulkan suara retak, disusul dengan teriakan kesakitan Finner. “Ini juga ku lakukan untuk kalian! Untuk memberi gaji kalian!” Kali ini prajurit itu menendang dada Finner tepat di tulang rusuknya hingga kembali menimbulkan suara retakan yang keras.

Prajurit itu terdiam melihat  Finner yang menggeram menahan rasa sakitnya. Matanya memindai bagian tubuh yang terluka kemudian seringai keji itu kembali muncul. “Dan kau malah menentangku! Dasar tidak berguna! Sok jadi pahlawan! Prajurit rendahan!” Prajurit itu menendang semua  bagian tubuh Finner terutama yang belum terluka. Tak ada kesempatan sedikitpun bagi Finner untuk mengelak. Dirinya hanya bisa meringkuk untuk melindungi dirinya yang sia-sia dilakukannya.

Setelah prajurit itu puas menendang Finner, dia beralih ke arah ibu Camy. Dirinya mencengkeram kepala ibu Camy untuk memberikan ancaman kepadanya. “Dengarkan aku baik-baik. Akan aku berikan waktu satu minggu lagi. Dan pada saat waktumu telah habis, kau harus membayar upetimu jika tidak…” Prajurit itu mengarahkan kepala ibu Camy untuk melihat Camy yang masih tersungkur di tanah. “Anakmu akan menjadi ganti untuk membayar upetimu.”

Prajurit itu segera berdiri, menatap ke orang-orang yang tengah melihat apa yang dilakukannya. “Ini juga berlaku untuk kalian! Waktu kalian hanya satu minggu untuk mendapatkan uang dan membayar upeti!” Parjurit itu kemudian memberi komando kepada bawahannya dan segera berlalu pergi dari kota kecil itu.

Camy yang keadaannya mulai membaik segera mendekati ibunya, membantunya untuk kembali duduk. “Ibu tidak apa-apa Camy. Lebih baik kau membantu Finner dan mengobatinya. Dia terluka parah.” Camy mengangguk dan segera mendekati Finner.

Camy duduk di sebelah Finner. Tangannya sedikit gemetar saat mengecek keadaan Finner. “Kau tidak apa-apa Finner?” Finner mengerang kesakitan saat tangan mungil Camy memegang pundaknya yang nampak mulai membiru.

“Aku tidak apa-apa.” Finner kembali menggeram untuk menahan rasa sakitnya. Camy yang melihat itu meringis sedih karena jawaban Finner tidak sesuai dengan apa yang dilakukanya.

“Aku akan mengobatimu. Apa kau bisa berjalan?” Finner tidak bersuara. Hanya gelengan samar yang terlihat dari kepalanya. Pandangan Camy kemudian beralih ke arah prajurit di sekitarnya yang ikut membantu penduduk kota yang lain. “Hei, bisa bantu aku di sebelah sini? Tolong bawa Finner ke dalam.”

Terlihat beberapa prajurit mendekat. Mereka berusaha mengangkat Finner yang berteriak kesakitan akibat lukanya yang disentuh oleh para prajurit itu. Camy pun tidak bisa melakukan banyak karena hampir semua tubuh Finner terluka akibat insiden itu dan bila tidak segera ditolong maka keadaannya semakin parah.

Finner di letakkan di atas tempat tidur Camy. Baju yang digunakan olehnya telah dilepas dan menyisakan celana selutut. Camy pun dengan sigap langsung mengobati Finner. Mengolesi obat ke seluruh luka lebam Finner serta menjahit luka menganga di beberapa bagian tangan dan kaki.  Akhirnya Camy menutupi semua obat itu dengan kain putih, membuat Finner terlihat mempunyai kulit kedua.

“Untuk sementara kau harus istirahat dulu. Mungkin untuk beberapa bulan kau tidak bisa berjalan mengingat kaki kanan dan kedua tanganmu patah.” Camy memberi tau kondisi Finner dengan suara kecil. Camy tentu enggan melihat kondisi Finner yang mengenaskan.

Finner menghela napas berat, “Baiklah, aku mengerti. Kondisiku saat ini bahkan lebih baik daripada kondisiku pasca perang pertamaku itu.” Finner menatap ke arah Camy. Dia memberikan pandangan terimaksih tanpa bisa diungkapkan. Camy pun hanya mengangguk kemudian berlalu untuk melihat kondisi ibunya.

Ibunya duduk di salah satu bangku restaurantnya. Tangan kanannya sudah di balut oleh kain putih—sama seperti Finner. Ibunya masih fokus melilitkan kain untuk tangan kanannya yang terdapat memar berwarna kebiruan.

“Biar Camy bantu,” Camy langsung mengambil alih tugas ibunya. Dirinya membelitkan kain itu pada tangan kanan ibunya dengan teliti. Pandangannya memang fokus untuk mengobati ibunya namun pikirannya masih terarah kepada kejadian yang baru saja dialaminya.

“Camy?” Camy hanya berdehem menanggapi ibunya. “Ibu tidak apa-apa. Lebih baik sekarang kamu istirahat. Besok pagi-pagi sekali kita harus membuka restauran.” Pergerakan tangan Camy terhenti. Dipandanginya tangan ibunya yang masih berada di dalam genggamannya.

“Apakah menurut ibu kita bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam satu minggu?”

Ibunya terdiam sejenak. “Ibu tidak tau. Setidaknya kita harus berusaha dulu.”

Camy memandang wajah ibunya. Ibunya sudah semakin tua. Ada garis samar tanda umurnya semakin menua pada sudut matanya. Namun kecantikan ibunya masih tidak tercela. Bahkan setelah ayahnya tidak ada, banyak sekali yang mendekati ibunya namun ditolak halus oleh ibunya. Bagi ibunya, ayahnya adalah satu-satunya pemilik hati serta tubuh. Kesetiaan ibunya memang terkadang membuat Camy kagum.

Dan secara bersamaan merasa sedih.

Ingatan Camy melayang kepada semua kerja keras ibunya setelah ayahnya tidak ada. Bagaimana ibunya selalu melindungi Camy setelah ayahnya tidak ada. Bagaimana ibunya bekerja keras untuk menghidupi diri serta Camy agar tetap terus hidup. Bagaimana senyum ibunya saat menghibur Camy yang sedang sedih.

“Jika, jika nanti kita tidak bisa memenuhi perjanjian itu. Camy rela di bawa mereka asal ibu selamat.”

“Camy!” tangan Camy yang tanpa disadarinya gemetar kini telah digenggam erat oleh ibunya. Wajah ibunya mengeras dengan kilat mata penuh tekad. “Tidak akan ibu biarkan Camy diambil oleh mereka. Camy adalah satu-satunya harta ibu yang paling berharga dan mereka tidak akan mendapatkannya dengan mudah. Mereka harus mengambil nyawa ibu baru bisa membawa Camy pergi.”

10 Komentar

  1. :TERHARUBIRU seorang ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya .. duuh terharu bgt

  2. farahzamani5 menulis:

    Baca part ini kok sedih yak, apalgi dibagian akhirnya huhuhu
    Emak is the best lah pokoknya
    Lanjut ke part berikutnya
    Semangat trs yak

  3. sedihhh

  4. :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  5. fitriartemisia menulis:

    kok part ini sedih :PATAHHATI

  6. syj_maomao menulis:

    Part ini bikin sedih eyyy :PATAHHATI
    Aihh jangan-jangan sosok As itu si Pangeran?? Duhduhduh~~~

    1. ???

  7. Sedih banget siihh

  8. Ditunggu kelanjutannyaa

  9. Aulia Rahmi menulis:

    Sedih aku bacanya …