Vitamins Blog

Golden Eyes #1 Into the New World

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

20673339 AIKARA HAKIM

 

Nama itu terselip di deretan panjang mahasiswa baru Universitas Malaka, Jakarta. Kara, panggilan gadis itu, menyunggingkan senyum separuhnya. Segera, dia membuka lock screen, dan memainkan kedua ibu jari di papan ketik virtual.

 

Pa, aku lulus ujian masuk. Sekarang, aku tinggal di Jakarta bareng, Oma, ya~ ♡

 

Kara menekan tombol send pada ruang chat aplikasi messenger. Tak lupa, dia berjinjit untuk mengambil foto namanya di papan kelulusan, sebagai bukti konkrit yang akan dia unggah ke beberapa akun pribadi jejaring sosial.

 

Dering ponsel berbunyi, mendendangkan bagian chorus salah satu lagu terkenal asal negeri gingseng. Kara sudah bisa menebak siapa penelpon di ujung sana.

 

“Kara, selamat ya, sayang!” Suara bernada oktaf tinggi beraksen Jepang khas wanita paruh baya itu menyambut telinga Kara saat menerima panggilan masuk.

 

“Hai, okaa-san! Terima kasih, mama.” Kebanggaan mulai bangkit pada dirinya. Meskipun dia bukanlah resmi menjadi mahasiswa PTN, dimana disitulah American Dream bagi hampir semua siswa kelas 12 di Indonesia.

 

Tidak apa, kata sepotong kecil hati Kara, berusaha menghibur diri. Pasalnya, universitas ini jauh lebih baik, meskipun berdasarkan brosur, Universitas Malaka (UM) baru diresmikan beberapa tahun lalu, namun fasilitasnya cukup canggih, berbasis teknologi. Dalam kurun waktu 10 tahun, banyak mahasiswa yang menjadi perwakilan ajang kompetisi internasional di luar negeri.

 

Ingat tujuanmu berkuliah di sini, Kara. Merasa sudah menyelesaikan tugasnya di sini, Kara melangkah menjauhi keramaian orang yang mengerumuni papan pengumuman.

 

Kara memandang semua detail-detail baru di sekeliling. Semuanya terasa asing dan begitu besar dibandingkan dirinya yang tampak kecil. Perasaannya susah ditebak saat ini. Awalnya dia begitu bersemangat, dia sangat puas karena telah menyingkirkan sekian persen saingan untuk bisa mendapatkan kepastian berupa kuota untuk dirinya. Namun setelah berjalan melewati banyak tempat asing, kenyataan bahwa teman-teman tempat dia melewatkan suka dan duka sudah menuju jalannya masing-masing, ada suatu perasaan yang mengusik kepercayaan diri Kara.

 

Di manakah jalan yang tepat bagiku untuk menunjukkan potensi diri? Kara menatap kosong ke arah gerbang keluar universitas, saat mobil pribadi membawanya pergi dari sana.

 

***

 

Silau matahari tak sanggup menghalangi Kara untuk memanfaatkan kesempatan ini. Tentu saja sinar matahari takkan sanggup mengganggu Kara, gadis itu saat ini sedang menunggu pertunjukkan pameran dimana setiap Unit Kegiatan Mahasiswa akan memberikan performa terbaik dalam ajang promosi tingkat fakultas, di hall kampus nan sejuk.

 

Kara jengah, mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang. Dia melihat ke samping kiri dan kanan, namun hanya keseragaman yang dia temui, kemeja putih dengan bawahan hitam. Keringat bercucuran di dahi serta sisi-sisi leher Kara, nyatanya AC sedingin apapun tak bisa benar-benar ampuh untuk mendinginkan ruangan penuh sesak ini.

 

Berapa lama lagi acara ini berlangsung? Kara melirik jam tangan putih di pergelangan tangan kiri, sudah ke sekian kalinya sejak sejam lalu.

 

“Baiklah, teman-teman. Mari kita sambut, tim redaksi dari buletin kebanggaan kampus, Revolusi!!!” Teriakan membahana memenuhi ruangan, diikuti standing applause dari para mahasiswa baru. Mau tak mau, Kara bangkit dari kursi dan mencari suatu hal menarik yang dimaksud oleh teman-teman seangkatan.

 

Barisan membentuk blokade menyeruak ke dalam ruangan, mendentum-dentumkan sepatu boot tebal yang orang-orang itu pakai. Mereka lebih terlihat seperti pasukan TNI dari sikapnya daripada kumpulan orang intelek yang memainkan kata-kata sebagai senjata. Kara tifak bisa tidak menunjukkan kekagumannya.

 

Ketika para anggota barisan berbaju hitam itu menghentikan langkah di samping panggung, mereka memecah formasi menjadi dua bagian sehingga di tengah-tengah terbentuk semacam jarak. Dari belakang, muncullah seoranng pria berbadan tegap, melangkah melewati para anggota lain lalu menuju ke atas panggung. Sorot matanya tajam, penuh determinasi, dan tidak sekalipun kepalanya menengok ke arah kanan atau kiri meskipun kehadiran dia cukup menyita atensi para penonton, bahkan sang pembawa acara.

 

“Kami, Revolusi, adalah sekelompok manusia yang tidak akan menyampaikan berita basi. Kami, Revolusi, bukanlah komunitas tanpa visi-misi. Kami, Revolusi, siap sedia mengawal setiap aksi. Kami, Revolusi, hadir untuk mereka yang haus akan informasi. Jika kalian adalah jiwa-jiwa yang tak suka dibatasi, kami persilahkan kalian untuk bergabung di Revolusi.” Suara pria itu seakan menggema di seluruh penjuru ruangan. Penonton terkesiap ketika tanpa tedeng aling-aling sang pembicara menggunakan nada tegas, cenderung galak. Semua diam tanpa kompromi.

 

Audiens bertepuk tangan. Sementara itu, selesai menyelesaikan kalimatnya, pria itu turun panggung dan langkahnya menuju luar ruangan diikuti oleh sisa anggota bagaikan kebersamaan anak itik dengan induknya.

 

Kara melihat itu semua, bagaimana sebuah suara dapat memberikan reaksi berbeda orang lain. Bagaimana kata-kata menghipnotis beberapa ratus pasang mata. Bagaimana rangkaian gesture bisa mempengaruhi persepsi sekelompok individu dalam sekejap mata.

 

Dia ingin menjadi bagian dari orang-orang hebat itu. Dia sangat ingin.

 

***

 

Tanpa pikir panjang, dua jam setelah acara penutupan parade UKM, Kara sudah tiba di depan kantor secretariat portal online kabanggan Universitas Malaka, Revolusi. Beberapa langkah di depannya, terdapat antrian mahasiswa baru yang ingin sekedar bertanya pada senior mengenai UKM tersebut. Bahkan beberapa dari mereka melirik suasana yang ada di dalam ruangan redaksi Revolusi meskipun tak banyak yang dapat ditangkap mata dari sana karena tertutup kaca film.

 

“Kami hanya menerima pendaftaran lewat website resmi, dek. Silahkan kunjungi website kami, ya.” Jawab seorang wanita berambut pirang yang dikuncir ponytail, dengan seragam khasnya, hitam. Dia menunjuk ke arah kertas bertuliskan deretan kombinasi huruf da tanda baca.

 

Kara menghela napas panjang, lelah. Tak ada yang bisa dia dapatkan di sini, pikirnya.

 

“Hei, kau.”

 

Saat Kara ingin berbalik arah, sebuah suara di sampingnya seperti sedang memanggil dan ditujukan ke arahnya. Kara menoleh dan seketika dia mendapati seorang pria, dengan tubuh jauh lebih tinggi darinya, juga sedang memandang wajahnya.

 

“Kau, kehadiranmu, cukup menarik. Berharap kita bisa bertemu lagi, di tempat yang lebih nyaman tentunya.” Pria itu mengedipkan sebelah mata, Kara ingin mual rasanya mengalami sendiri kejadian, lebih teptatnya trik kuno yang dipakai pria untuk mendpatkan perhatian lawan jenis. Basi.

 

Pria itu melenggang jauh dari hadapan Kara. Terserahlah, hanya orang iseng, pikir Kara. Kara pergi dari keramaian di sore hari itu untuk menuju ke kediamannya. Dalam hatinya, dia merasa yakin bahwa masa-masa kuliah akan menyenangkan karena dia telah menemukan tempat baru untuk mengekspresikan diri.

 

000

“Hai, boleh kenalan?”

 

Riuh kelas yang diisi sekitar 80 kepala belum bisa diadaptasi oleh Kara. Tentu saja, dia biasanya harus mulai menghapal hanya 40 nama saat duduk di bangku SMA, itupun sudah sedikit sulit untuknya yang tipe pengenal wajah.

 

Kini, dia harus berusaha mengingat sedikitnya 50 nama, dengan system penamaan yang sangat berbeda, dalam satu kelas mata kuliah. Betapa melelahkanya hal itu.

 

Namun sjauh ini Kara tetap menyukainya. Dia bisa mempunyai banyak teman dan juga jaringan untuk bisa bertahan di kehidupan kampus.

 

“Maaf?” sahut pria itu, lagi.

 

“Oh, iya, maaf, tadi saya masih sedikit pusing. Jadi tidak focus.” Balas Kara. Dia mengulurkan tangan dan disambut oleh pria itu dengan senyum tipis. “Aikara.”

 

“Rafi.” Pria itu mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya, membuka lalu menyodorkan pada Kara. “makanlah.”

 

“Ah, iya, terima kasih.” Kara mengambil satu stick snack khas Jepang yang sangat terkenal dan mengunyah sambil mencoba berkonsentrasi dengan penjelasan dosen yang terpampang di layar LCD ruang kelas.

 

“Bukan hanya kamu yang merasa mata kuliah ini membosankan, dek. Banyak teman-temanku juga lebih memilih tidur disbanding mencatat penjelasan di depan. Apalagi jika dosennya dia.” Rafi menunjuk pria paruh baya berkacamata tebal yang sedang menulis dengan kecepatan bagaikan seekor siput. Di balik punggungnya, terlihat banyak mahasiswa terkapar di meja masng-masing.

 

“Oh, kakak angkatan berapa?” Tanya Kara, ternyata ada mahasiswa lama juga yang mengambil kelas Ini.

 

“2012.” Jawab Rafi singkat. “Jangan kaget begitu. Banyak yang tidak lulus filsafat di tahun pertama angkatanku, karena dosennya sering tidak masuk tapi soal ujiannya bagaikan neraka.” Rafi menambahkan ketika melihat Kara meneyrngitkan dahi.

 

“Oh, begitu.”

 

“Hei, apakah kau bisa mengajar bahasa Jepang?” Tanya Rafi tiba-tiba.

 

“Eh?”

 

“Kau termasuk maba yang banyak diperbincangkan karena wajahmu mirip orang Jepang. Jangan marah ya, tapi.” Ralat Rafi. Dia bermain dengan pulpen di tangan.

 

“Benarkah? Wah, aku terkenal dong, kak.” Kara sangat senang jika kehadirannya diperhatikan bayak orang. Dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi wajah malunya

 

“Aish, dasar narsis.” Rafi berdecak melihat reaksi gadis di sampingnya. “Hei, kau mau tidak jadi pengajar Nihon Club? Kebetulan aku salah satu pengurusnya.”

 

“Eh?” Kok, tiba-tiba menawarkan jadi pengajar?

 

“Seperti yang kudengar dari beberapa pengurus kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru, katanya kau pernah tinggal di Jepang. Kuasumsikan kau mahir berbahasa Jepang. Kebetulan Nihon Club masih merupakan UKM Baru dan kami butuh pengajar bahasa Jepang sebagai salah satu kegiatan klub kami. Kamu bersedia gak, kira-kira?” Jelas Rafi. “Untuk urusan privilege, serahkan pada kami. Kau akan mendapatkan honor seperti pengajar umumnya dan semua kebutuhan yang berkitan dengan proses mengajar akan kami penuhi.”

 

Wah, tawaran yang sangat bagus. Kesempatan emas!

 

“dan jika kau ingin lebih dikenal warga kampus, aku bisa menjamin hal itu.” Rafi mengerling  pada Kara, dan Kara hanya diam, terlalu kaget dengan informasi yang disodorkan kepadanya.

Golden Eyes #1 Into the New World: End…

Author’s Note: Halo, saya terhitung anggota baru di sini dan ini pertama kali saya posting cerita ini. Semoga kalian suka dan mendukung cerita ini berlanjut. Terima kasih…