Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 9

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Keterdiaman yang menyelimuti membuat Aspire mengira jika orang-orang di depannya ketakutan untuk memilih pilihan yang sudah diajukannya. Namun saat seruan dari satu orang setuju dengan pilihan untuk membantunya, diikuti seruan lainnya yang satu suara, Aspire menghembuskan napas lega tanpa kentara oleh siapapun. Kecuali Gize yang tentu saja selalu mengawai setiap gerak-geriknya. Meskipun Aspire sudah puluhan kali dihadapkan dengan situasi seperti ini, harus memimpin dan memberi arahan kepada orang lain, dia tetap saja meresa gelisah dan takut apabila apa yang sudah diinstruksikannya malah menjadi kacau dan gagal. Terutama kejadian pemberontakan yang dipimpinnya lima tahun lalu. Itu adalah kegagalan terbesar yang dialaminya.

“Baiklah. Prajurit yang masih tersisa akan dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan mencari korban yang belum diselamatkan dan pindahkan disekitar sini, kelompok kedua memberikan bantuan kepada korbna yang ada disekitar, kelompok ketiga akan memadamkan api yang masih berkobar. Sedangkan penduduk yang sehat dapat masuk ke dalam kelompok untuk membantu. Selain itu, aku membutuhkan lima orang prajurit untuk membantuku mengurus prajurit kerajaan yang ada disini.”

Tidak membutuhkan waktu lama saat orang-orang membentuk tiga kelompok dan menjalankan instruksinya, menyisakan lima orang pajurit berbadan besar yang siap mendengarkan perintah khusus darinya. Namun sebelumnya, Aspire menatap ke arah bangunan yang menjadi tempat berlindung gadis kecil yang tadi ditolongnya. “Gize, panggil Ren untuk membantu mengobati penduduk yang terluka.”

“Lalu bagaimana dengan Camy? Kau akan menyuruh Ren meninggalkan gadis itu tanpa ditemani.”

Aspire menatap Gize dengan pandangan tegas tanpa bantahan. “Ya! Ren lebih dibutuhkan disini untuk membantu ratusan orang yang hampir sekarat dibanding harus menemani gadis kecil yang bahkan bisa membantu tapi lebih terpaku pada kesedihannya.” Aspire tau jika perkataannya cukup kejam dan dingin untuk dilayangkan pada gadis kecil yang masih berduka itu. Namun dia menyadari jika ini bukan lagi tentang gadis itu, sekarang banyak nyawa yang harus diselamatkannya.

Aspire segera memalingkan wajahnya ke arah barisan prajurit yang siap menerima instruksinya. Mereka bahkan lebih tinggi dan besar dari Aspire tapi wajah mereka menunjukkan penyanjungan pada Aspire, hal yang sudah lama tidak dilihat olehnya. “Sekarang kalian memiliki tugas penting. Kumpulkan prajurit yang berada disekitar sini, baik yang masih hidup ataupun tidak. Lucuti senjata dan baju mereka, kecuali enam orang prajurit termasuk pemimpin mereka yang aku lawan tadi. Setelah itu, carikan gerobak beserta kuda. Kita akan mengirim mereka kembali ke asalnya.” Dengan sigap, kelima prajurit itu segera mengangkat prajurit yang sebagian sudah tidak bisa berdiri tersebut ke hadapan Aspire. Sedangkan Aspire sendiri juga ikut melucuti senjata dan pakaian prajurit kerajaan tersebut.

***

Camy masih meringkuk dengan tubuh gemetar. Tangannya masih mengeratkan pegangannya pada jubah hitam yang entah kenapa terasa hangat meski tidak dapat menghangatkan kebekuan hatinya yang mengingat bahwa dirinya sudah sendiri di dunia ini. Bahkan Camy tidak merasakan kehadiran Ren saat tangannya memeluk tubuh Camy untuk sekedar memberikan pelukan penuh prihatin. “Semua sudah berakhir Camy. Kau tidak perlu takut lagi.”

“Ibuku meninggal Ren. Ibuku…aku….ibu…” dan Camy kembali menangis entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.

“Aku tau. Aku minta maaf karena terlambat untuk datang. Tapi kau tidak sendiri Camy, masih ada aku, Gize, dan Aspire.” Tubuh Camy langsung menegang saat mendengar nama terakhir yang diucapkan oleh Ren. Ingatan tentang pedang yang bersarang pada dada prajurit itu masih membayang di dalam otaknya. Mengirimkan rasa takut pada tubunya yang membuat tubuhnya gemetaran disertai rasa dingin yang menyelimuti. “Hei, kau tidak apa-apa?”

Camy menggeleng ragu. Pasalnya pada kenyataannya, mendengar nama Aspire saja membuatnya mati ketakutan. Tanpa sadar matanya menuju ke arah tangannya yang masih berlumuran darah akibat cipratan darah itu. Ren pun juga langsung mengetahui apa yang membuat Camy resah saat melihat pandangan Camy yang mengarah pada tangannya yang masih ternoda darah.

“Kau takut?” Camy tersentak saat tangannya diselimuti oleh tangan Ren. Camy tanpa sadar langsung menarik tangannya dan beringsut mundur menjauhi Ren. Ren yang melihat itu pun hanya bisa menampilkan wajah miris dengan apa yang terjadi pada Camy. “Camy,” Bahkan gadis itu makin beringsut mundur saat Ren mencoba mendekatinya lagi.

“Ren!” Kedatangan Gize mempau mengalihkan perhatian Ren. “Aspire memintamu mengobati korban yan terluka.” Ren kembali mengalihkan pandangannya pada Camy yang masih saja meringkuk ketakutan.

“Lalu bagaimana dengan Camy? Aku tidak mungkin meninggalkannya.”

“Mereka membutuhkanmu Ren. Lagipula, ini perintah Aspire.” Ren tidak lagi membantah. Wajah serius Gize serta tatapan matanya yang tegas menunjukkan jika laki-laki itu bersungguh-sungguh. Dia pun menyadari jika dia tidak bisa egois seperti yang telah dilakukannya tadi.

“Baiklah, aku mengerti.”Ren segera berlalu pergi, meninggalkan Camy dan Gize berdua di ruang yang telah porak poranda itu.

Gize menghampiri Camy, menatap tubuh Camy yang masih gemetar ketakutan. Gize sekilas telah mendengar percakapan antara Camy dengan Ren. Dia tidak heran jika gadis yang ada di depannya maish ketakutan dengan apa yang baru saja menimpanya, terutama di bagian Aspire membunuh orang di depan matanya. “Camy,” panggilan Gize tidak mampu mengusik Camy dari pikiran yang masih menghantuinya. Gadis itu tetap saja gemetaran di ujung tempat duduk kayu itu. “Camy!” panggilan tegas tak terbantahkan dari Gize akhirnya mampu membuat Camy mendongak untuk menatap Gize.

Gize mendekat ke arah Camy. Jemarinya mendekati pipi Camy untuk menyeka air mata yang mengalir disana. tangan yang lainnya digunakannya untuk mengusap rambut Camy penuh dengan kelembutan. Tak lupa, seutas senyum di berikan Gize pada Camy yang terlihat mulai tenang dan tidak lagi gemetar. “Aku tidak tau apa yang sedang kau pikirkan. Apakah kau sedang berduka karena kau telah kehilangan ibumu, apa kau sedang kebingungan dan takut dengan apa yang telah menimpamu, atau kau sedang ketakutan dengan sosok berambut merah di luar sana. Aku tidak tau Camy, dan aku tidak mau menebak. Tapi apakah itu semua lebih penting dibanding membantu orang di luar sana yang membutuhkan bantuan kita?” Tepukan pelan di kepalanya mengakhiri perkataan Gize. Pria itu akhirnya berjalan ke arah pintu yang tertutup. Sebelum keluar pria itu masih sempat tersenyum ke arah Camy dan berkata, “Aku tidak bisa memaksamu Camy tapi aku hanya berharap kau akan datang membantu kami.”

Camy hanya bisa melihat kepergian Gize. Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah sosok berambut merah yang paling mencolok dari semua orang yang ada di luar sana. Ditengah-tengah kekacauan yang tengah terjadi, sosok itu sangat berkilauan disana, memberikan sedikit cahaya harapan bagi semua orang yang tersesat dan ketakutan dengan kekacauan yang terjadi. Namun bagi Camy, sosok itu membawa memori buruk kepadanya. Terutama saat ekspresi ngeri dari pemimpin prajurit itu masih terngiang di otaknya serta cipratan darah itu masih menempek di kulitnya. Dan faktanya adalah, Camy bukanlah ketakutan karena kehilangan ibunya tapi dia ketakutan dengan kehadiran sosok pria berambut merah yang mencabut nyawa orag tanpa belas kasihan.

Lalu apakah sekarang dia harus meringkuk disini untuk menghindari sosok paling menakutkan di hidupnya tanpa mau membantu orang-orang di luar sana yang membutuhkan bantuannya. Atau dia harus menghadapi ketakutannya dan segera membantu Ren serta Gize. Camy tidak tau.

Camy tidak bisa memilih.

***

Aspire mengamati pemimpin prajurit yang dinaikkan ke atas gerobak. Dilanjut dengan semua pakaian prajurit  yang ditumpuk menjadi satu di ujung gerbak. Ada seorang prajurit kerajaan yang duduk di pojok dengan dengan tempat orang yang mengendalikan kuda. Pria itu terus menunduk ketakutan, terutama saat teman-temannya dimuat ke atas geroba beserta pemimpinnya. Kondisinya yang mengenaskan, dengan salah satu kaki yang terlukan dan dada yang dibalut perban, dia jelas tidak bisa melarikan diri, untuk turun dari gerobak pun tidak bisa. Di depan gerobak, di tempat pengendali kuda, sudah terdapat parajurit yang dilawan oleh Aspire pertama kali. Dari semua prajurit yang terluka, hanya dialah yang memiliki cidera paling ringan dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah Aspire menunjuk pria itu untuk menjadi pengendali kuda.

Setelah semua persiapan telah dilakukan, Aspire segera menghampiri pengendali kuda itu. prajurit itu nampak gemetar saat Aspire berdiri di sebelahnya. “Kau tau apa yang harus kau lakukan bukan?” Prajurit itu mengangguk dengan sangat cepat, seakan tergesa-gesa. “Aku ingin kau segera kembali ke kerajaan. dan jangan coba-coba berpikir untuk kabur. Setelah sampai di kerajaan, sampaikan pada Rajamu jika aku sudah kembali.” Prajurit itu kembali mengangguk berulang kali seakan meyakinkan Aspire jika dirinya akan melakukan semua yang diucapkan oleh Aspire.

Aspire berlalu dari sana, menghampiri Gize untuk meminta hasil pemantauan yang laki-laki itu lakukan. “Jadi bagaimana?”

Meski pertanyaan Aspire sederhana dan ambigu, Gize mengerti apa maksud perkataan Aspire. “Semua korban sudah dipindahkan ke tempat yang aman. Sebagian korban sudah di obati oleh Ren dan penduduk kota lainnya yang selamat. Selain itu, semua korban meninggal sudah  di kumpulkan dan siap dimakamkan sesegera mungkin. Untuk sementara diketahui jika ada seperempat penduduk yang meninggal dunia, dua perempatnya mengalami luka berat dan sisanya mengalami luka ringan. Tentu saja itu semua sudah terhitung dengan prajurit perbatasan. Selain itu, kita masih mencari tau jika masih ada korban yang terjebak di reruntuhan bangunan.” Aspire mengangguk. Diriya mengawasi daerah sekitarnya yang sudah padat dengan manusia yang berlalu lalang sibuk dengan yang Aspire tugaskan.

“Apa kau sudah menemukan pejabat kota yang selamat?”

Gize menggeleng dengan wajah muram. “Sayangnya kita tidak bisa menemukan satupun yang berwenang di kota ini. menurut beberapa penduduk, wali kota dan keluarganya sudah pergi sehari sebelum terjadi insiden ini.” Aspire menoleh ke arah Gize, tertarik dengan perkataan Gize.

“Jadi mereka melarikan diri?” Gize mengangguk sebagai jawaban. “Kau tau identitas mereka?”

“Wali kota disini adalah Thomas Phollias.”

Aspire mengangguk dengan tenang. “Tidak heran, mereka masih bagian dari bangsawan Phollias. Pasti keluarga mereka yang ada di kerajaan sudah membocorkan apa yang akan terjadi. Lalu pejabat yang lainnya, wakil dari wali kota dan lainya?”

“Mereka termasuk ke dalam korban yang sudah meninggal.” Aspire kembali mengangguk.

“Kalau begitu segera siapkan prosesi pemakaman secepatnya. Aku akan menghampiri Ren untuk melihat kemajuan dari korban yang cidera.” Gize mengangguk dan segera melakukan instruksi yang diberikan oleh Aspire. Sedangkan Aspire sendiri segera menuju ke selatan kota, dimana terdapat lapang luas yang digunakan sebagai tempat bantuan penduduk yang cidera. Saat Aspire melangkah membelah kerumunan yang ada di sana, hampir seluruhnya memandnag ke arahnya sedangkan yang lainnya segera mengalihkan pandangannya. Keadaan di sana tidak seperti keadaan di tempat para korban yang telah meninggal tadi. Disini lebih banyak orang yang berlalu lalang untuk membantu menyembuhkan orang-orang yang cidera. Selain itu, lebih banyak suara orang yang terdengar bercakap-cakapn dibanding di tempat tadi yang lebih banyak terdengar suara langkah kaki prajurit yang memindahkan mayat.

Sudut mata Aspire menangkap seorang gadis bergaun biru yan tengah membalutkan  perban pada tangan seorang pria. Aspire tidak menyangka jika gadis kecil itu mau membantu untuk mengobati orang-orang yang terluka. Aspire mengira jika gadis itu akan tetap meringkuk di bangunan tadi tanpa mau melakukan apa-apa. Namun sepertinya perkiraannya salah karena saat ini gadis sudah berada disini. Tangannya yang gemetar saat membebat lengan pria itu, wajah yang sedikit kehilangan warna, dan kepalanya yang menunduk cukup membuat Aspire menyadari jika gadis itu gemetar ketakutan.

Ketakutan dengan kehadirannya.

Menyadari ketakutan gadis kecil itu terhadap kedatangannya, Aspire segera melangkahkan kakinya menuju ke sosok Ren. Gadis itu sedang berbicara pada seorang pria sebelum akhirnya pria itu segera berlalu pergi entah kemana. Kehadiran Aspire segera disambut oleh senyum lelah Ren. “Kau kelelahan. Sebaiknya kau istirahat lebih dulu.”

“Aku tidak apa-apa Aspire. Selain itu, jika aku beristirahat sekarang nyawa orang-orang akan melayang. Masih ada banyak korban yang harus aku tolong.”

Aspire melihat Gize yang berjalan menjauh mendekati seorang pria yang baru saja diletakkan di tanah. Banyak luka bakar yang memenuhi tangannya. Ren pun segera melakukan penangan pada luka-luka tersebut. “Tapi tetap saja, jangan memaksakan dirimu terlalu jauh.”

“Aspire, aku yakin jika kau kesini bukan untuk mengkhawatirkanku. Ada apa?”

Aspire menghembuskan napasnya tak kentara. Dia tidak bisa memaksa Ren lebih jauh lagi karena gadis itu sama keras kepalanya dengan dirinya dan juga Gize. “Bagaimana keadaan disini?”

Ren segera berdiri untuk berhadapan dengan Aspire, korban yang ditanganinya tadi sudah diambil alih oleh orang lain. “Sejauh ini cukup baik. Sebagian besar korban sudah ditangani dna sisanya masih dalam penanganan. Kita beruntung karena cidera yang dialami tidak begitu fatal. Selain itu, banyak penduduk yang mengetahui cara menangani korban yang terluka. Yang menjadi masalah saat ini adalah makanan kita menipis, kebakaran yang terjadi sebagian besar telah menghanguskan bahan makanan yang ada di kota. Aku khawatir jika kita akan kekurangan bahan makanan.”

Aspire sekali lagi menatap sekitarnya, menghitung dan memperkirakan berapa banyak bahan makanan yang harus didapatkan. “Kalau begitu, minta para lelaki yang sehat untuk ke hutan dan mencari makanan, utamakan beri makanan pada orang yang mengalami cidera parah. Untuk sisanya, berikan makanan setengah porsi, begitu juga prajurit yang saat ini sedang bertugas menangani korban meninggal.” Sebelum Ren menanggapinya, Aspire segera berlalu pergi meninggalkan Ren. Namun belum dua langkah Aspire beranjak dari tempatnya, tangannya sudah dicekal oleh Ren.

Ren dengan cekatan langsung menyingkap lengan baju yang digunakan Aspire, menampakkan sedikit warna ungu di lengannya. “Dan kau seharusnya mengkhawatirkan kondisimu lebih dulu dibanding orang lain. Lukamu ini pasti akibat pertempuranmu melawan prajurit-prajurit itu, kan. Memang level kekuatan mereka tidak sebanding denganmu tapi kau juga harus ingat jika sudah lima tahun kau tidak melatih ketrapilan bertarungmu.” Sambil tetap menceramahi Aspire, Ren dengan cekatan  mengoleskan obat pada permukan kulit Aspire yang berubah warna, lalu kemudian menutupinya degan perban. “Setidaknya, pastikan jika kau tidak terluka dalam pertarungan. Jika kau sampai tiada, tidak akan ada lagi pilar yang akan menopang mereka semua. Selain itu, aku juga tidak ingin kau sampai mati.” Kedua tangan Ren menggenggam erat tangan Aspire yang tidak terluka, berusaha agar laki-laki keras kepala di depannya mengerti apa yang dimaksudkannya.

Aspire menatap tangan Ren yang menggenggamnya erat. Sadar jika Ren selama ini selalu mengkawatirkannya. Dia pun menggenggam erat tangan Ren dengan kedua tangannya. “Aku tau. Lagi pula sekarang sudah tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang adalah cara menangani kondisi saat ini. selain itu, lebih baik kau simpan ceramahmu untuk para pasienmu.” Aspire mengulas tipis ke arah Ren, senyum yang jarang diperlihatkannya selama lima tahun terakir, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ren yang juga langsung melanjutkan pekerjaan. Serta meninggalkan tanda tanya besar yang menghampiri kepala Camy.

***

Dua hari kemudian, semua orang berkumpul disisi barat kota. Sudah terdapat banyak lubang sedalam satu meter dengan peti mati di dalamnya. Semua orang yang datang serempak mengenakan pakaian gelap seadanya. Tidak ada lagi wajah cerah di wajah mereka, hanya ada wajah murung serta tangis yang mengisi acara pemakaman massal penduduk kota yang akhirnya akan dikuburkan. Aspire menyempatkan pernyataan bela sungkawanya sebelum akhirnya satu-persatu lubang itu mulai terkubur oleh tanah.  Setelahnya, semua orang segera beranjak untuk meletakkan bunga di masing-masin kuburan, menyebabkan di area itu dipenuhi semerbak wangi bunga yang biasanya tumbuh liar di dalam hutan.

Bagi Camy sendiri, dia hanya terpaku di tempatnya sebelum akhirnya tepukan di pundaknya mampu mengalihkan pandangannya. Gize ada disampingnya, menampilkan senyum hangat yang mampu menjalar ke dalam hati Camy. “Sudah waktunya, Camy.” Camy tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Gize. Namun meski begitu, Camy tetap mengikuti langkah Gize yang menarik tangannya. Sentuhan di tangannya membuat pipi Camy tiba-tiba memerah entah karena apa.

Gize membawa Camy masuk ke dalam hutan. Melewati jalan setapak yang membawanya menuju ke arah rumah yang dihuni oleh Gize dan yang lainnya. Namun rupanya rumah itu bukanlah tujuan Gize. Laki-laki itu tetap menariknya untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan.Mereka  melewati semak belukar yang menutupi jalan dan jawang dilewati, berjalan diantara pepohonan yang tumbuh rapat dengan sulur-sulur yang menjutai ke tanah. Perjalanan yang agak jauh dan menembus daerah yang tidak pernah tersentuh itu memang membuat Camy penasaran. Dirinya ingin bertanya pada Gize tapi Camy tidak bisa mengeluarkan pertanyaannya.

Setelah melewati suatu pohon dengan ukuran yang sangat besar, rasa keinginin tahuan Camy terungkap. Tepat diujung sana, Camy disambut senyum letih Ren dan sosok Aspire yang membelakanginya. Saat Camy memandang ke arah Gize, laki-laki itu memberikan isyarat untuk berjalan kedepan, mendekati kedua orang itu. Camy pun langsung berjalan ke arah Ren, menerima sebuket bunga yang terangkai indah darinya. Ren pun juga memberikan isyarat agar diirnya tetap berjalan kedepan, mendekati satu-satunya sosok yang membelakanginya Camy. Tanpa sadar, Camy kesulitan untuk meneguk ludahnya sendiri.

Di dorong oleh keberaniannya yang tersisa, hasil dari melihat jika sosok itu tidak lagi berambut merah, serta rasa penasarannya, Camy berhasil berdiri disamping sosok Aspire. Laki-laki itu tetap terpaku ke depan saat berbicara kepada Camy, “Pertama-tama aku minta maaf karena tidak datang lebih cepat untuk menolongmu dan ibumu. Aku sungguh menyesal.” Saat perminataan maaf itu keluar, Aspire akhirnya menoleh ke arah Camy, gadis itu menatapnya degan wajah sayu yang siap mengeluarkan air matanya. “Maka dari itu, sebagai permintaan maaf dan rasa menyesalku, aku melakukan ini tanpa persetujuanmu.” Camy pada awalnya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Aspire. Namun saat laki-laki itu menunduk dan meletakkan rangkaian bunga yang hampir mirip dengan dirinya, hal yang tidak disadari oleh Camy, dirinya tau apa yang telah laki-laki itu lakukan.

Tepat di depannya, Camy bisa melihat sebuah batu nisan yang memiliki pahatan indah di permukaannya. Disana tertulis nama yang tidak asing olehnya, nama ibunya. Tanpa bisa dicegah, Camy menangis untuk kesekian kalinya. Dirinya mengira bahwa ibunya akan di makamkan bersama penduduk kota yang lain di tempat pemakaman tadi. Hal inilah yang membuat Camy tidak bisa bergerak untuk mencari dimana makan ibunya. Sebab, dia masih tidak bisa melepaskan ibunya begitu saja. namun saat Camy menyadari bahwa kini dia berhadapan langsung dengan makan ibunya, Camy menangis lagi. Terutama saat laki-laki disampingnya kembali berbicara, “Aku tau ini akan membuatmu tersinggung karena tidak meminta izinmu terlebih dahulu tapi ini aku lakukan sebagai rasa permintaan maaf dan menyesalku. Selain itu, hanya inilah hal terbaik yang bisa aku lakukan untukmu, memberikan tempat makam khusus dengan pemandangan yang indah dan berdampingan dengan makam ibuku.”

Perkataan Aspire membuat kepala Camy langsung tersentak untuk menoleh ke sampingnya. Matanya yang berair membulat sempuran saat menemukan sebuah nisan batu yang di lingkupi oleh tanaman bunga indah yang merambat. Ada rangkaian bunga yang juga di letakkan di atas sana. Pandangan Camy kembali terarah ke Aspire yang kini sudah membalikkan badannya ke arah Camy. Pandangan matanya luruh ke arah mata Camy seakan meminta gadis itu untuk terfokus padanya seorang. “Camy,” Camy sedikit terkesiap saat Aspire memanggil namanya, untuk pertama kalinya. “Sebagai rasa bersalahku, di depan kedua pengawalku dan makam kedua ibu kita, aku bersumpah akan melindungimu selamanya sampai keadaan kembali menjadi semua dan kau terjamin aman.”

4 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Cieee melindungimu selamanya, itu kode ya ehhh hihi
    Pantes lah camy gemetaran ketakutan inget pimpinan prajurit mati didepan matany gtu di sambit ama aspire ‘eaaa bahasany disambit hihi’
    Ohhh jdi Aspire tuh dihukum krna ada pengkhianat ya di kelompokny, btw knp dia mau ngeberontak, kmrn di halamana tambahan ny Gize, raja itu ayahny aspire yg bijaksana dll, apa skrng raja ny bukan ayahny lgi tp orang lain atau siapa gtu, emmm penasaran dah hehe
    Akhirnya aspire sadar klo kmrn dia telat tolong camy dll, ampe dibikinin makam spesial untuk ibuny camy huhu, ini bikin sedih dah :PATAHHATI
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangattttt terus yak ka

    1. Oke deh, selalu sabar nungguinnya. Tiap hari minggu aku usahain up bab baru kok.
      Btw makasih loh ya udah nungguin ceritaku dari awal sampek akhir \(^-^)/

    2. farahzamani5 menulis:

      Sma2 yak
      Sll ditunggu pokokny
      Tp ttp utamakan duta dikau aja dlu
      Kita2 mah setia nunggu dah hihi

  2. Aulia Rahmi menulis:

    Huuuuu… keren….