Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 6

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

42 votes, average: 1.00 out of 1 (42 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading... Hujan yang datang tiba-tiba dengan derasnya itu tidak mampu meredakan apa yang tengah terjadi di kota kecil itu. memang beberapa api yang mengganas membakar seluruh benda yang bisa dibakarnya itu mampu dipadamkan dan kepulan asap itu mampu menghilang, digantikan dengan air yang jatuh dari langit. Namun situasi yang terjadi tetaplah sama, bahkan makin mencekam. Seakan awan hitam itu menandakan bahwa situasi yang terjadi akan mencapai puncaknya beberapa saat lagi.

Suara teriakan Camy yang melengking tajam itu teredam oleh petir yang saling menyahut. Pandangan Camy mengabur karena air mata dan air hujan. Kaki mungilnya mulai berdiri dan berlari menyongsong tubuh wanita yang sudah tergeletak dengan pedang tajam yang menghunus jantungnya. Detak jantung Camy berdetak menyakitkan saat tangannya mulai menggoyangkan tubuh ibunya—mencoba membangunkan. Namun tubuh itu kaku tak bergerak, bahkan dari kedua kelopak mata itupun tidak  Camy yang menyadari bahwa ibunya tidak terselamatkan lagi hanya bisa meraung sedih. “Ibuuuu, Ibuuuu.” Tidak ada satupun yang mempedulikan raungan kesedihan Camy kecuali Finer.

Suara kekehan berat itu menyadarkan Camy. Prajurit yang membunuh ibunya itu masih disana, berdiri dengan keangkuhan yang memuakkan. “Oh lihat itu, aku suka ekspresi yang kau tampakkan.”

Gigi Camy bergemeletuk, tangannya terkepal erat menahan luapan emosi yang memenuhi kepalanya. “Aku bersumpah, aku akan membunuhku.”

“Ugh, aku takut. Hahaha.” Prajurit itu menyeringai dengan tampang meremehkan yang mampu menyulut emosi Camy keluar. Dengan sepenuh tenaga Camy menarik pedang yang menghunus dada ibunya, mengacungkannya kepada prajurit di depannya sebagai tanda menantang. Prajurit itu pun menyeringai dan langsung menerima pedang yang di lemparkan oleh kawannya yang sedari tadi hanya mengamati.

Camy segera mengayunkan pedangnya, menghunuskan tak tentu arah dengan kedua tangannya. Pedang itu berat, Camy tau itu. tapi keinginan Camy untuk membunuh prajurit di depannya lebih kuat dibandingkan harus menyerah untuk mengayunkan pedang itu. sedangkan disisi lain, prajurit itu dengan lihainya menangkal semua tebasan tak beraturan Camy. Semua tebasan itu seperti permainan bagi prajurit yang telah berpengalaman sepertinya. Bahkan prajurit itu tampak meremehkan tebasan-tebasan yang Camy lakukan.

Gerakan Camy tak beraturan. Napasnya memburu, matanya berkilat marah seiring ayunan pedangnya yang terarah kepada prajurit besar di depannya. Hingga pada akhirnya pedang itu terhempas begitu saja dari tangan Camy. Jatuh tepat beberapa meter di belakang Camy, di dekat Finner. Sedangkan prajurit itu tidak berhenti begitu saja, ayunan pedangnya yang sedari tadi menghalau tebasan Camy kini berganti mengoyak permukaan tubuh Camy. Pedang prajurit itu menorehkan luka perih di permukaan tubuh Camy, bahkan sampai mengoyak baju Camy hingga bentuknya tak karuan. Hingga akhirnya tubuh Camy terjatuh dengan rasa perih yang di dera Camy.

“Itu hanyalah hukuman kecil untukmu.” Prajurit itu mengarahkan pedangnya pada dagu Camy, mengangkat kepala Camy sehingga dia bisa melihat ke arah wajah Camy. “Tentu saja aku tidak akan berbuat jauh, aku masih menyayangi nyawaku agar tidak dihukum oleh para bangsawan yang akan menggunakanmu.” Tubuh Camy bergetar ketakutan saat ucapan itu terlontar begitu saja. sekelebat bayangan akan apa yang akan terjadi padanya membuat Camy ketakutan. Semua ingatan tentang rumor para gadis yang dibawa untuk melayani bangsawan sampai menjadi budaknya membuat Camy menggigil.

“Sekarang berdiri! Kau akan ikut aku ke ibukota.”

***

Hujan berangsur-angsur turun setelah Camy meninggalkan Pangeran dan pengawalnya. Aspire, Sang Pangeran, hanya melihat Camy yang menghilang ditelan rerimbunan pohon dalam diam. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan, memantapkan pilihan yang baru saja di putuskannya. “Ayo pergi,” ajaknya seraya memakai tudung kepalanya.

Aspire mulai menjalankan kudanya beberapa meter namun langsung diberhentikannya saat tidak mendengar langkah kuda yang mengikuti. Saat dia berbalik ke belekang, baik Gize maupun Ren masih terpaku melihat ke arah Camy berlalu pergi. “Apa yang kalian tunggu. Ayo pergi.” Namun tak ada satupun yang menggubris perintahnya. “Ren! Gize!” hanya Gize yang menatap Aspire seolah menanggapi panggilannya namun Ren tetap menatap arah yang sama.

“Apakah anda yakin akan meninggalkan Camy begitu saja. tidak akan menolongnya?” Aspire sedikit geram saat Gize kembali meragukan keputusan.

“Aku tidak suka saat kau kembali berbicara formal padaku dan juga jangan meragukanku.” Tangan Aspire menggerat pada kekangan kuda yang di pegangnya. Dia sangat tidak suka dengan sekelebat bayangan yang sempat menghampirinya saat Gize kembali berbicara formal kepadanya. Ingatan saat dia masih di istana dan semua bencana yang menimpanya sehingga dia berada disini sekarang.

“Kalau memang begitu, aku akan tidak akan pergi denganmu. Aku akan menolong Camy.” Aspire makin geram saat Ren menentangnya dengan terang-terangan saat ini.

“Ini perintah, Ren!”

Ren yang sedari tadi tak melihat ke arahnya akhirnya menatap ke arah Aspire dengan pandangan merendahkannya, hal yang sudah lama tidak dilakukan oleh Ren. “Perintah? Memangnya kau siapa sehingga berani memerintahku?” nada remeh Ren makin menyulut kobar amarah di dalam tubuh Aspire. Dan hal itu tidak disia-siakan oleh Ren. “Ah, benar juga. Kau kan seorang Pangeran, jadi wajar saja jika kau suka memberi perintah seenakmu. Benar begitu, bukan?”

“Aku bukan Pangeran, namaku Aspire.” Bukan suara teriakan yang terdengar oleh telinga Ren maupun Gize tapi suara rendah nan dingin milik Aspire. Hal yang selalu mereka hindari karena itu berarti Aspire benar-benar murka saat ini. namun tentu saja Ren mengabaikan hal itu.

“Kalau begitu kenapa kau berani memerintahku. Kau hanyalah orang bernama Aspire, bukan tuanku ataupun majikanku.  Jika kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu, maka kau harus meminta tolong.”

Aspire terdiam. Dirinya kembali sadar jika keadaannya saat ini tidak sama seperti dulu, saat semua sesuai kehendaknya. Kini dia sama seperti orang biasa yang harus meminta tolong  disaat ingin seseorang melakukan  sesuatu. “Baiklah, aku mengerti. Bisakah kita berangkat sekarang?”

Baik  Ren maupun Gize menyadari jika itu bukanlah sebuah permintaan tolong. Namun, bagi sosok  seperti Aspire, yang tidak pernah meminta tolong sebelumnya, itu bisa dikategorikan sebuah permintaan tolong.

Ren menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kita akan pergi.” Ren menarik kekang kudanya menuju ke arah sebaliknya kemudian meninggalkan Aspire dan Gize setelah berteriak, “Setelah aku menolong Camy!”

Aspire mengerutkan dahinya menatap  Gize yang balas menatapnya dengan kedua bahu terangkat. “Jangan salahkan aku, aku tidak tau apa-apa.” Aspire tak membalas. Alih-alih mengeluarkan amarahnya, dia lebih memilih menuntuk kudanya mendekati Gize.

“Kenapa kalian sangat ingin menolong gadis itu? jangan bilang hanya karena dia baik kepada kalian.”

Gize tersenyum kecut mendengar penuturan Aspire. Semenjak keluar dari istana, sosok Aspire berubah menjadi dingin dan penuh kecurigaan pada setiap orang, termasuk dirinya serta Ren. Jadi Gize tidak heran jika Aspire juga mencurigai alasan kenapa dirinya dan Ren ingin menolong Camy. “Aku tidak tau alasan Ren menolong Camy tapi untukku sendiri, Camy mengingatkanku pada sosokmu, Aspire. Itulah kenapa aku tidak bisa mengabaikannya saat dia meminta tolong kepadaku.”

Aspire mengerutkan dahinya tidak mengerti. “Aku dan gadis itu jelas berbeda. Kenapa kau menyamakanku dengan dia.”

Pertanyaan itu entah kenapa membuat Gize tersenyum. Memori di dalam otaknya kembali mengalir mengenang masa kecil Aspire yang begitu ceria dan baik kepada semua orang. “Kau dulu juga sama seperti Camy, ceria dan baik pada semua orang, yah kecuali rasa penasarannya.”

Aspire membetulkan tudung kepalanya, mencoba menutupi rambutnya yang mulai basah terkena air hujan. “Dan aku masih tidak tau apa hubungannya dengan menolong gadis itu.” Aspire menatap tajam Gize, mengirim sinyal agar pria yang sudah bersamanya sejak kecil itu segera menjawab pertanyaannya tanpa berbelt-belit.

“Hanya tidak ingin kejadian yang sama terulang untuk kedua kali.” Aspire tau jika Gize mmeiliki intuisi yang sangat baik terhadap kejadian ayang akna terjadi tapi tetap saja Aspire tidak bisa menebak apa maksud yang diucapkan oleh  Gize barusan. “Aku tidak ingin Camy berlarut-larut dalam dukan dan dendamnya dan melakukan segala cara untuk membalaskan dendamnya. Kita tentu tidak ingin pertumpahan darah terjadi lagi bukan.”

Aspire mulai mengerti kemana arah pembicaraan Gize. Gadis kecil bernama Camy itu, entah kenapa membuat Aspire mengingatkan dirinya tentang dirinya yang dulu, seperti kata Gize. Dan mungkin saja, jika sesuatu terjadi pada keluarga Camy, entah siapapun itu, bisa dipastikan jika gadis itu akan berakhir sama dengannya. “Baiklah, aku mengerti.”

“Kau mengerti?” Aspire mengangguk. Diarahkannya kudanya ke arah timut, ke arah Ren pergi untuk membantu gadis itu.

“Labih baik kita mengejar Ren. Wanita itu pasti sudah tersesat disana.” Aspire memacu kudanya diikuti Gize menuju kota yang mungkin sudah tak berbentuk.

***

Api besar itu menyambut kedatangan Aspire dan Gize, membuat kuda keduanya berdiri dengan kedua kaki belakangnya disertai ringikan kuda akibat takut akan api. Meskipun hujan masih turun dengan derasnya, api yang melahap kota itu tidak juga padam. Di sebelah kanan mereka, terdapat kuda coklat yang berjalan kesana-kemari seakan menunggu pemiliknya keluar dari kobaran api tersebut. Kuda milik Ren.

“Kita harus berjalan dari sini,” usul Aspire disetujui oleh Gize. Keduanya bergegas turun dan menerjang lidah api yang menyambut mereka. Di dalam api tersebut, bangunan-bangunan sudah setengah rubuh, beberapa mayat tergeletak disana-sini entah karena kebakaran atau luka yang diakibatkan oleh prajurit kerajaan. Saat mereka hendak melangkah lebih jauh lagi, beberapa prajurit kerajaab terlihat, memaksa mereka untuk bersembunyi di salah satu reruntuhan rumah yang tidak terkena api.

“Bagaimana sekarang?” tanya Gize melihat situasi yang lebih buruk dari perkiraannya.

Aspire pun melihat ke sekitar mereka. Dia menerka-nerka seberapa banyak prajurit yang diturunkan untuk menyerbu kota kecil ini. disisi lain, dia juga belum mengetahui dimana lokasi Ren serta gadis itu. ”Kita harus mencari Ren dulu, baru kita mencari gadis itu.”

Gize paham namun rencana yang disebutkan oleh Aspire tidak semudah yang diucapkannya. “Caranya?”

Sebelum Aspire menjawab, suara teriakan membuat keduanya menoleh ke belakang. Suara erangan tertahan serta desingan besi serta bangunan roboh itu menarik perhatian mereka. Kekacauan seperti itu pasti disebabkan oleh satu orang, yaitu Ren.

Tanpa menunda waktu lagi, Aspire dan Gize bergegas ke arah sumber suara. Dibalik reruntuhan tempat mereka bersembunyi tadi, terlihat Ren yang sudah dikepung oleh beberapa prajurit bersenjatakan pedang. Ren nampak kualahan akibat cambuk yang dibawanya telah ditarik oleh salah seorang prajurit sedangkan prajurit lain segera mengabil kesempatan itu untuk menyerang Ren. Hal itu mengakibatkan beberapa luka mengangan di kulit Ren.

“Gize, segera cari posisi untuk membantu Ren. Aku akan menghadapinya dari depan.” Gize segera melesat menuju salah satu bangunan tinggi di dekat sana. Mulai mempersiapkan panahnya untuk diarahkan ke beberapa prajurit sekaligus, tinggal menunggu aba-aba Aspire. Sedangkan Aspire, mulai membuka kain yang menyelimuti pedangnya. ini adalah pertama kalinya setelah bertahun-tahun dia tida menggunakan pedangnya. ditatapnya pedang tersebut sampai pandangannya tertuju gantungan yang menggantung pada pangkal pegangan pedang. Memangdang lama disana.

Aspire mengeratkan pegangannya. Memantapkan tujuannya saat ini. diangkatnya pedangnya sehingga mengirimkan silau cahaya yang ditangkap oleh Gize sebagai pertanda. Gize pun segera melepaskan anak panahnya, melesat menuju empat prajurit yang langsung ambruk begitu saja terkena anak panah tersebut, termasuk orang menahan cambuk Ren. Melihat kesempatan, Ren segera menarik cambuknya dan langsung melawan prajurit yang tersisa. Kibasan dari cambuk Ren bagaikan tornado yang menghantam tubuh prajurit di sekitarnya, tak terlupa anak panah Gize yang melesat menembus prajurit yang berusaha kabur dari amukan cambuk Ren. Tak sampai sepuluh menit, semua prajurit yang terlihat di hadapan Aspire sudah ambruk tak berdaya.

Ren dan Gize bergegas menghampiri Aspire yang sedang menarungkan pedangnya, menempatkannya kembali ke belakang punggungnya. “Waktu kita tidak banyak, kita harus berpencar. Kalian berdua coba cari ke utara kota sedangkan aku akan ke selatan.”

“Tapi—“

Aspire menatap tajam Ren, membuat wanita itu menghentikan ketidaksetujuannya. “Kita harus segera menemukan gadis itu sebelum terjadi kejadian yang tidak kita inginkan. Bukankah kau ingin menolong gadis itu?”  Ren mengangguk meski sedikit ragu. “Kalau begitu kita berpencar sekarang. Jika kalian menemukan gadis itu, segera kirimkan sinyal. Luumpuhkan prajurit yang kalian temui dalam perjalanan namun jangan sampai terbunuh.”

Tanpa memberi protes lagi, Ren dan Gize segera melesat ke utara kota, seperti arahan Aspire. Sedangkan Aspire juga langsung melesat ke sebelah selatan, dimana asap hitam pekat telah tiada namun masih dipenuhi suara teriakan yang menggema memilukan.

***

8 Komentar

  1. camy ,, oohh tidak !!!!!!!
    aspire ayoo dong temukan takdirmu

  2. aishelatsilla menulis:

    Camy oh camy… :KAGEET

  3. Ya ampuuunnnn

  4. farahzamani5 menulis:

    Sedih bngt sih bca part ini, ditinggal ibu tuh rasanya ga bsa diungkapkan dngn kata2 huhuhu
    Ayooo kalian bertiga semangat cari dan nolong camy
    Cuzz bca part berikutnya
    Semangat ka

  5. fitriartemisia menulis:

    nasibnya Camy gimanaaaa :AKUGAKTERIMA

  6. :tidakks!

  7. syj_maomao menulis:

    Ayooo semangat Pangeran, Ren dan Gize~~!!
    Haisshhh semoga berhasil menyelamatkan Camy~ >_<

  8. Aulia Rahmi menulis:

    Akhirnya pangeran mau juga menolong sesuai dengan harapanku tentunya hehehe…