Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 5

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 5 – Bad Things

“Gara-gara lo gue jadi ikut-ikutan deh.” Michael merutuki Rafi di sampingnya.

Tiga jam lalu sebelum jam bel istirahat berbunyi, di dalam kelas keduanya menjadi bahan sorotan guru yang paling di segani oleh semua siswa di sekolah itu. Pak Daud menjadikan keduanya sebagai bahan ceramahannya selama jam pelajaran berlangsung.

Michael awalnya diam dan mendengarkan dengan seksama pelajaran yang guru itu terangkan. Namun, bukan Rafi namanya kalau laki-laki itu belum bereaksi melebihi kewarasan orang normal. Laki-laki itu tertidur sejak pelajaran pertama berlangsung dan terbangun bertepatan dengan suara pukulan meja yang dibuat oleh sang Guru yang tak lain adalah Pak Daud.

Serangkaian omelan pun mulai terbentuk memenuhi ruang kelas itu. Rafi hanya bisa menciut diam menerima segala umpatan dan omelan dari guru itu. Ia tidak dapat melakukan apapun, sampai di sebuah perkataan ia menyahutkan nama Michael. Dan mulai dari situlah keduanya menjadi bahan sorotan sang guru.

“Ya, maaf kali. Nggak seru kalau cuma gue yang diomelin. Sepi tau!” Rafi membalas rutukan Michael sama kesalnya.

“Bodo amat! Mau sepi, mau rame, bukan urusan gue. Lo kalau mau ngajak sesat nggak usah ngajakin gue. Pergi aja ‘ndiri.”

“Eh, si amat nggak usah diajak-ajak ye.” Cibir Rafi mencairkan suasana hati Michael.

Michael menghembuskan napas kesal. Ia tidak habis pikir dengan tingkah laku sahabatnya itu. Kapan laki-laki itu akan berpikir normal selayaknya manusia.

*

Di saat yang bersamaan, di lain tempat,  Rani dan teman kelompoknya tengah termenung memikirkan tugas-tugas kelompok mereka yang tak kunjung terlaksanakan. Kendala utamanya adalah sikap Intan yang acuh tak acuh dan itu membuat Rani, Masayu dan Kintan yang memiliki masalah kepada perempuan itu merasa jengah dengan sikap Intan seperti itu.

Ada tiga mata pelajaran yang mengharuskan Rani, Masayu dan Kintan berada di satu kelompok dan yang terakhir adalah Bahasa Inggris. Kelompok itu terbentuk beberapa saat sebelum hubungan mereka memburuk dan pada saat itu Intan belum mengetahui bahwa Rani dan Masayu mengetahui kebohongannya. Dengan entengnya, ia menawarkan diri untuk masuk ke dalam kelompok Rani dan Masayu.

Awalnya Rani sedikit menghindar dengan keputusan itu, tapi akhirnya ia hanya bisa menerima begitu saja. Dan sekarang ia merasa keadaan semakin memburuk dengan apa yang tengah terjadi diantara teman-temannya.

Bukannya ia mengambil andil sebagai ketua kelompok tapi hanya saja teman-temannya tidak ada yang berniat untuk menyuarakan keputusan mereka secara cepat dan Rani merasa hal itu bukanlah hal yang tepat untuk mengawali tugas-tugas akhir mereka yang mulai padat. Mengingat Ujian Nasional tinggal menunggu hari dan mereka harus menuntaskan semua tugas kelompok itu sebelum hari itu terjadi.

“Jadi adakah yang keberatan sama usulan dari Kintan?” suara Rani mengawali keheningan mereka.

“Gue ikut aja.” Kata Masayu.

“Ya udah kita ikutin usulan Kintan aja.” Lanjut Ulan berdiri dari duduknya.

“Lala?”

“Lala ikutin Rani aja.” Di antara keenam perempuan itu Lala-lah yang dapat mencairkan suasana dengan cepat. Apapun yang perempuan itu lakukan dapat membuat yang lainnya sedikit melepas rasa tegang sewaktu-waktu hal itu terjadi.

“Ok kalau gitu. Gue yang bagian edit, entar kalau udah, kalian tinggal pilih bagian kalian masing-masing. Gue ambil sisanya aja, nggak pa-pa.”

Setelah itu mereka membubarkan diri. Ulan dan Intan sudah lebih dulu beranjak dari kursi mereka. Entahlah, sejak mereka merundingkan hal ini, Rani tidak terlalu bersemangat mengingat hubungannya dan Intan belum kunjung berubah membaik bahkan mereka menghindari kontak mata. Hal itu hanya berlaku kepada Rani.

Yang lebih parahnya lagi, Kintan yang berada di satu bangku yang sama dengan Intan kini begitu cuek dan tidak perduli. Seolah keduanya sangat jelas mengangkat bendera permusuhan di antara keduanya. Hanya Masayu-lah yang sedikit berbeda dari Rani dan Kintan.

Ia masih sering mendapatkan pesan singkat dari Intan, walau hanya sekedar menanyakan pekerjaan rumah (pr) dan Masayu pun masih menghiraukan pesan itu.

“Ran, ada yang pingin gue bilangin sama lo.” Masayu membisikkan sesuatu di samping Rani.

Rani menoleh, dan menemukan gerak-gerik Masayu untuk mengajaknya keluar. Setelah itu Masayu bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Jeda beberapa detik, Rani pun menyusul dan menemukan Masayu sudah menunggunya di kursi teras kelas.

“Semalem Intan kirim pesan ke gue.” Mulainya. “Terus dia bilang hal-hal yang mungkin bikin lo ngerasa sakit.”

About what?

“Sedikit klise memang. Dia ngerasa tersinggung dengan tulisan yang ada di profil medsos lo.” Masayu menunjukkan pesan yang berada di ponselnya.

Sejenak Rani terdiam berpikir. Di benaknya, ia merasa bersalah karena hal itu tapi sejujurnya ia tidak bermaksud menyinggung Intan dengan tulisan dari foto itu.

“Foto itu udah lama ada di handphone gue. Lo juga sering ‘kan liat gue ganti foto itu. Yah, kalau dia ngerasa tersinggung, gue nggak tau.” Jelas Rani mengembalikan ponsel Masayu.

“Iya gue tau. Gue juga udah bilang sama dia kalau lo sering pakek foto itu. Tapi entahlah gue juga nggak ngerti sama itu orang. Capek gue ngurusinnya.” Masayu menyandarkan bahunya lelah.

Rani melakukan hal yang sama, “Yaudah, nggak usah terlalu dipikirin. Sekarang fokus aja dulu sama tugas. Kalau dia masih bertingkah laku sok nggak perduli, yaudah mau gimana lagi.”

Masayu menghela napas keras, “Ya enggak kayak gitu juga kali, Ran. Gue kasihan sama lo, lo udah nulis naskahnya, terus di translate ke bahasa inggris. Terus dia sok nggak perduli pula, nggak menghargai banget coba.” Omel Masayu dengan wajah muramnya.

“Ya jadinya mau kayak mana? Ulan juga udah bilangin ‘kan sama dia. Dan respon dia juga masih kayak gitu aja. Gue males, Mas. Mau ngurusin hal sepele kayak gitu.”

“Gue cuma pingin dia itu menghargai apa yang udah lo lakuin buat kelompok kita. Walau pun kita buatnya bareng tapi hampir keseluruhan itu lo yang kerjain.” Terang Masayu lagi tidak mau kalah.

Rani menghembuskan napasnya berat, “Nggak pa-pa. Selagi gue bisa ngelakuinnya, itu bukan masalah. Gue juga nggak kerja sendiri kok, kalian juga bantuin.”

“Kecuali dia,” Tambah Masayu bermaksud kepada Intan.

“Terserah deh.” Rani menyerah dengan perdebatannya. Ia tidak pernah handal dalam perdebatan yang seperti ini. Jika pun ia bisa mungkin pada saat itu kemarahannya sudah meluap-luap.

Ia selalu menghindari sebuah obrolan yang berdasarkan bentakan ataupun perkataan terang-terangan. Hal itu membuatnya merasa risih, karena ia tau di antara perdebatan itu akan ada perasaan yang terluka. Dan ia menghindari sesuatu yang melukai perasaan orang-orang. Ia tau dirinya saat marah, akan ada cacian yang kejam di dalamnya dan ia tidak ingin orang-orang mendengarnya. Jika pun hal itu terjadi, akan ada sebuah penyesalan yang dalam yang akan didapatkannya.

***

Hari yang ditunggu-tunggu siswa/i SMA Karya Bangsa kini tengah berlangsung. Pensi tahunan yang sudah di jadwalkan beberapa bulan lalu kini terlaksanakan. Serangkaian lomba pun sudah dilaksanakan sejak pagi itu.

Halaman parkir SMA Karya Bangsa pun sudah di penuhi dengan bis-bis dari sekolah tetangga yang berdatangan bersama tim pemandu sorak masing-masing. Tuan rumah pun tak ingin kalah, aksi tim teater sebagai salah satu pembuka acara telah berhasil menghipnotis para tamu dengan atraksi yang begitu memukau dan begitu pun seterusnya.

Para guru pun sudah duduk manis di kursi khusus yang telah dipersiapkan oleh anggota OSIS. Perwakilan guru dari sekolah lain pun menjadi satu di dalamnya agar hubungan antar sekolah semakin dekat.

Mengingat adanya acara Pensi yang tengah berlangsung di sekolah. Michael dan Rafi yang baru saja datang, mereka kini tengah termenung di parkiran sekolah.

What the hell?” umpat Rafi melototi halaman parkir yang dipenuhi kendaraan. Laki-laki itu masih berada di atas motornya, “Mic?” panggil Rafi menoleh ke belakang menemukan Michael pun termangu mengamati parkiran yang penuh dari atas motornya.

Michael menggedikkan bahunya lalu memundurkan motornya.

“Eh, lo mau kemana?”

“Cabut.”

“Seriusan lo? Bu Sundari bakal ngamuk tau pas nemuin kita absen.”

“Bodo!” Michael memutar motor besar kesayangannya, “Gue tunggu di tempat biasa.” Lalu berlalu meninggalkan halaman sekolah dengan cepat.

Rafi hendak menyusul Michael. Tiba-tiba sebuah hentakan suara gas motor di luar sana mengagetkannya. Hal itu bertepatan setelah Michael keluar dari pekarangan sekolah. Rafi mengenal orang-orang itu, salah satunya adalah Alvin yang berada di posisi paling depan seolah memimpin barisan itu.

Mata Rafi melotot sempurna melihat wajah kemarahan dari Alvin yang tidak sengaja terlihat di matanya. Sejenak ia berpikir apakah Michael memiliki hubungan dekat dengan Alvin atau tidak, setahunya Michael dan Alvin sempat satu kelas di tingkat sepuluh dan ia pun tidak tau jelasnya mereka memiliki hubungan yang seperti apa.

Namun pemikiran itu belum cukup membuatnya lega mengingat gurat wajah Alvin baru saja terlihat begitu marah. Rafi kembali berpikir, mengingat-ingat kesukaan atau hobi kedua orang tersebut.

“Alvin hobi basket, Michael hob sepak bola,” Sebutnya sambil menunjuk-nunjuk telapak tangannya. “Alvin suka Rani dan Michael –” perkataannya terputus, “Jangan-jangan!”

Rafi kelabakan sendiri. Sebuah pemikiran bodoh terlintas di kepalanya. Ia menuruni motornya, lalu kembali naik, turun dan naik, hal itu terjadi terus menerus. Di kepalanya ada dua pemikiran yang ingin ia lakukan tapi ia ragu untuk melakukan salah satunya.

Tanpa menghiraukan konsekuensi yang ada di kepalanya, dengan sekuat tenaga ia berlari ke dalam gedung sekolah, menghindari lalu lalang orang-orang di depannya. Setelah menyebrangi lapangan sekolah, segera ia menaiki anak tangga menuju lantai dua gedung IPS. Kembali kepadatan menghampirinya, desak-desakan pun terjadi. Napasnya sudah ngos-ngosan untuk melewati kerumunan itu dan berhasil.

Kini ia tepat berada di depan kelas yang ingin ia tuju. Rafi berhenti berniat menghirup napas sejenak, setelah cukup ia pun mendongak dan menemukan tatapan bingung dari warga kelas tersebut.

“Ahm… sorry ganggu. Gue lagi cari orang.” Serak Rafi.

“Cari siapa, Raf?” suara itu berasal dari Intan. Rafi mengenal perempuan itu, Intan teman satu les-nya.

“Rani.” Terangnya.

Ia pun mengedarkan pandangan ke sepenjuru kelas mencari perempuan yang ia cari. Dan tepat di tengah kelas perempuan itu tengah terduduk menatapnya juga. Namun, sebuah earphone masih tergantung di kedua daun telinga perempuan itu. Langsung langkahnya bergerak mendekat.

“Lo ikut gue!” tegasnya.

Rani mendongak terkejut, melepaskan earphone-nya.

“Lo ikut gue!” ulangnya.

“Kemana?”

Tanpa berniat menjawab, Rafi langsung menarik Rani keluar dari kelas. Meninggalkan tatapan-tatapan penasaran dari semua orang.

Setiba di halaman parkir Rafi langsung menaiki motornya.

“Cepetan naik.” Perintahnya.

“Lo mau bawa gue kemana?”

“Bantuin gue, please!” mohon Rafi lalu menyuruh Rani naik ke boncengannya.

Lalu mereka pergi meninggalkan halaman sekolah.

***

Di tempat yang tengah Rafi dan Rani tuju, kini sudah berkumpul rombongan Alvin dan teman-temannya menghadang lalu lalang jalan motornya Michael.

Tinggal beberapa blok perumahan lagi Michael akan sampai di tempat biasanya laki-laki itu dan Rafi nongkrong, namun laju motornya dihadang dengan sekumpulan anak IPA yang bisa di bilang populer di kalangan para kaum hawa.

Michael mematikan mesin motornya, lalu membuka helm yang hampir menutupi wajah tampannya.

“Lo semua pada ngapain?” tegurnya.

Alvin berada di barisan terdepan turun dari motornya dan menghampiri Michael. Tanpa di duga laki-laki itu langsung menarik kerah seragam Michael.

“Apa-apaan sih, Al?” Michael berniat menarik paksa cengkraman tangan Alvin di kerah seragamnya.

“Lo itu yang apaan.” Mulai Alvin semakin mengencangkan cengkramannya.

“Maksud lo?”

“Gue pikir lo itu temen yang baik, Mic. Tapi ternyata lo itu pengkhianat.” Bentak Alvin kasar tepat di depan wajah Michael.

Michael mengerutkan dahi. Kini rasa kesalnya sudah tidak dapat diajak kompromi.

“Siapa yang lo maksud pengkhianat, hah? Sejak kapan gue khianatin lo?” bentak Michael balik.

Alvin mendengus jengah.

“Bukankah dulu gue pernah kasih tau lo tentang cewek yang selama ini gue suka,” Alvin membisikkan kata itu di telinga Michael, “nggak ada satu pun orang yang tau kecuali lo. Bahkan temen satu kelas gue baru mengetahuinya sejak cewek itu menjadi pusat perhatian beberapa bulan lalu. Mungkin lo sempet lupa siapa orangnya, dan biar lo nggak lupa, gue kasih tau,” Alvin menggantungkan kata-katanya, “Cewek itu Rani.”

Tatapan mata Michael kini terlihat tajam. Saat Alvin mengucapkan nama Rani tepat di telinganya.

Michael ingat pada saat ia dan Alvin masih berada di kelas sepuluh.

Pada saat itu Alvin masih begitu dekat dengan Michael, bahkan laki-laki itu sempat mengatakan perempuan yang tengah ia sukai kepada Michael. Namun dengan berjalannya waktu dan Alvin juga berbeda jurusan dengannya, Michael sedikit melupakan fakta wajah perempuan yang pernah Alvin tunjuk dulu. Dan kini Michael mengerti tujuan dari pencegatan dirinya saat ini. Alvin merasa dikhianati, dan pengkhianat itu adalah dirinya.

“Udah inget?” tutur Alvin kembali berujar di depan wajah Michael.

“Gue rasa lo salah paham.” Jelas Michael dengan nada suara santai.

Tiba-tiba kemarahan Alvin meledak, “Salah paham? Huh, lo bilang salah paham!” bentak Alvin keras, “Apa lo mau salahin mata gue karena udah ngeliat dengan jelas bahwa lo ngaterin Rani pulang bahkan sampe depan rumahnya, huh?”

Michael membelalakan kedua matanya. Tidak percaya bahwa Alvin melihat kejadian pada hari itu.

Dengan tanpa sepengetahuan Michael, Alvin sudah menarik kuat dirinya turun dari motor. Lalu memukulinya dengan keras. Tinju pertama tepat mengenai perutnya, membuatnya berlutut kesakitan di tengah jalan.

“Itu buat bayaran lo mengkhianati pertemanan kita.”

Kembali Alvin menarik kerah seragam Michael agar laki-laki itu berdiri. Sebuah pukulan keras melayang tepat di pipi kanan Michael dan berhasil membuatnya jatuh tersungkur ke atas aspal jalanan.

“Dan itu buat Rani.”

Michael menguatkan dirinya untuk bangkit.

“Lo salah milih gue jadi saingan lo, karena gue nggak bakalan mengalah sama cowok yang nggak pernah ngerti artinya ketulusan.”

Sebuah pukulan keras melayang tepat di wajah Alvin. Michael tidak melepaskan cengkraman tangan lainnya di pakaian Alvin.

“Bener kata lo. Gue lupa sama cewek yang lo tunjuk waktu itu. Dan sekarang gue udah inget. Setelah gue pikir dan liat sikap lo. Gue rasa, gue nggak bakalan mundur begitu aja buat Rani. Karena cowok kayak lo nggak pantes buat dia.” Sinis Michael di atas tubuh Alvin. Michael memukul Alvin di tempat yang sama berkali-kali dan hal itu membuat wajah laki-laki di bawahnya membiru mengeluarkan cairan darah.

Setelah puas Michael bangkit berniat meninggalkan Alvin beserta teman-temannya. Namun hal itu tidak berjalan mulus, Alvin bangkit dan membanting tubuh Michael jatuh mengenai aspal. Serangan balik yang diberikan Alvin semakin membrutal dan Michael hanya diam tidak berusaha membalas pukulan-pukulan Alvin.

“Berhenti!”

Michael mengenal suara itu, laki-laki itu berniat menoleh mencari asal suara itu datang. Namun, pukulan-pukulan telak yang dilayangkan Alvin tak dapat membuatnya bergerak.

Telinga Michael menemukan suara langkah kaki mendekat. Tiba-tiba tubuh Alvin yang tadinya berada di atasnya tertarik ke belakang.

“Stop!” suara itu lagi. Walau pandangannya sedikit kabur, Michael masih dapat melihat dengan pasti bahwa yang tengah berdiri di atasnya saat ini adalah perempuan yang tengah ia dan Alvin ributkan.

Michael berniat bangkit untuk menarik perempuan itu pergi, namun otak dan fisiknya tengah tidak sejalan, dan kini yang laki-laki itu dapatkan adalah pandangannya yang mengabur, gelap.

Rafi yang berdiri di dekat Rani langsung menarik perempuan itu sedikit menjauh dari amukan Alvin.

Rafi sempat mendengar bentakan keras Rani kepada Alvin yang bertindak layaknya orang kesetanan. Dan Rafi merasa takut melihat bentakan perempuan itu kepada Alvin yang masih bisa dikatakan setengah sadar dari kebrutalannya.

Pandangan Rafi kini tidak sengaja terarah pada tubuh Michael yang sudah tidak berdaya karena pingsan. Dengan segera ia menarik Rani ke arah Michael.

“Mic… Michael, bro bangun, bro.” Guncang Rafi.

“Mendingan kita bawa dia ke UKS sekolah.” Saran Rani.

“Tapi gimana bawanya.”

“Tunggu sebentar.”

Rani mengeluarkan ponselnya dan sibuk mendialkan nomor yang tidak diketahui.

***

1 Komentar

  1. fitriartemisia menulis:

    waduh Alvin sama Michael berantem :LARIDEMIHIDUP