Vitamins Blog

[MISTERI] DANISHA : Lima Meter di Depanku

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Hi! CJ kembali dengan cerita misteri lainnya. setelah Dasida’a ni onto, akhirnya bikin cerita misteri lagi. hihi

cerita ini baru dibikin, fresh from the oven. typo dan lain2nya mohon dimaklum. kalau ada yang mau koreksi silahkan ya.

ditunggu vomen nyaa…

:-)

***

Apa kamu pernah mengalami sesuatu yang tidak realistis dalam hidupmu?

Sesuatu yang sulit dijabarkan dengan nalar, diungkap dengan ilmu sains, dan bahkan sesuatu yang banyak tidak diterima oleh masyarakat awam. Sesuatu itu membuat hidupmu berubah, membuatmu ketakutan, begitu ketakutan bahkan hanya untuk selangkah saja menginjakkan kaki di luar rumah. Membuat mulutmu terkunci, membuat matamu terpejam, membuat hatimu gentar… dan bahkan membuatmu tak berteman.

Aku memiliki itu sejak kecil, sejak ia hanya sebatas sekelebatan perasaan ringan, yang lama kelamaan, semakin dewasa semakin menguat dan menguat setiap harinya. Entah sudah berapa banyak korban yang jatuh karenanya, yang jelas semua itu berada diluar kemampuanku untuk mengendalikannya.

Saat SMP, beberapa dokter memberikanku diagnosa manik depresif, yang aku rasa hanyalah pengalihan alasan karena para dokter itu masih belum mampu mengetahui penyebab sesungguhnya kenapa aku dilahirkan seperti ini. Aku tidak Manik depresif, aku tidak. Bukan karena itu aku menjadi seperti ini.

Semakin besar, aku semakin tidak terkendali, ayah dan ibu sudah mulai menyerah akan pengobatan medis. Suatu hari mereka akhirnya kalah akan godaan yang dianjurkan teman-temannya untuk membawaku ke pengobatan tradisional dan bahkan segala macam orang pintar –dukun-, kami datangi.

Kami coba satu per satu. Pengobatan tradisional tentu saja tidak bisa membantu sama sekali. Dukun yang berasal dari beberapa daerah sekalipun menyerah dan ketakutan melihatku. Sekali melihatku, para dukun itu langsung tunggang langgang, masuk kedalam ruangan rahasia masing-masing dan mengunci pintu rapat-rapat dengan mantra-mantra mereka.

Apa? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Sejak kecil, aku memang tidak memiliki banyak teman. Kebanyakan mereka enggan berteman dengan manusia aneh seperti ku dan beberapa dari mereka enggan mendekat karena mereka adalah korban-korban ku. Mereka kapok berurusan dengan ku dan lebih memilih untuk menghindar dan bahkan menganggapku ada pun tidak.

Benak ku selalu penuh dengan pertanyaan, kenapa aku terlahir seperti ini?

Aku memiliki satu kakak laki-laki, yang juga enggan berada dekat denganku.  Saat dia berusia enam belas belas tahun dan aku empat belas tahun, kakak patah tulang di kedua kakinya, patah tulang yang sangat parah sehingga membuatnya duduk di kursi roda selama dua tahun penuh.  Dan itu terjadi karena ulahku.

Sejak saat itu aku hidup tak berteman. Ibu  dan ayah mulai menyerah mencari tahu penyebab ini semua terjadi. Mereka menjauhkanku dari kakak, karena aku dikirimkan ke rumah eyang di kampung yang sangat jauh dari keramaian kota dengan alasan agar mereka bisa lebih focus merawat kakak yang patah tulang dan aku bisa di asuh oleh eyang ku di kampung.

Kampung itu sangat asri, hijau dan memiliki sungai yang indah yang airnya  berwarna biru hasil dari ikatan air dengan sulfur dan fosfor yang dihasilkan gunung berapi.

Sungai itu langsung saja menjadi tempat kesukaanku untuk menghabiskan waktu luang sendirian sepulang sekolah atau setiap hari libur. Eyang tahu sekali kemana cucu nya ini pergi jika selama dua jam belum juga kembali. Hingga suatu hari, seorang gadis yang bernama Astuti, gadis kampung yang sangat polos dan baik hati menyusulku ditengah perjalanan, ia ingin menjalin pertemanan bersamaku, dan aku sangat senang sekali saat itu. Akhirnya ada gadis sebaya yang dengan sangat tulus ingin berteman denganku tanpa memandang siapa aku…

atau sebenarnya dia hanya tidak tahu siapa aku?

Astuti begitu ceria, menyenangkan dan tulus. Aku sangat menyanginya, kami menghabiskan banyak waktu di sungai bersama, ia akan membawa jaring tangan yang digunakannya untuk menangkap ikan atau -kalau beruntung- udang yang kemudian akan diolah menjadi hidangan santapan keluarga sederhananya.

***

Pagi itu hujan begitu deras selama beberapa jam dan aku memilih untuk menuruti nasehat eyang agar  tidak pergi ke sekolah karena pasti jalanan sangat rawan longsor. Lalu siangnya saat ibu menelepon eyang dan tahu aku tidak berangkat sekolah, ibu marah besar. Berkata bahwa aku adalah anak pemalas, anak gagal, anak yang tidak diharapkan. Eyang uti yang mendengarnya hanya memelukku, sedangkan eyang kakung menenangkan ibuku sambil menjelaskan kondisi kampung kami saat ini.

Dengan perasaan kacau, aku berlari meninggalkan rumah eyang secepat-cepatnya. Mataku bahkan sudah tidak bisa mengeluarkan air lagi. Hatiku remuk dan aku merasa tidak diinginkan.

Dari kejauhan Astuti mengejarku yang sedang berlari ke arah sungai, didepan beberapa petani yang baru pulang meladang, ia menarik tanganku dan berkata bahwa aku harus segera kembali ke rumah karena eyang sangat mengkhawatirkanku.

Aku? Mereka semua tidak khawatir padaku. Aku bukan siapa-siapa bagi mereka! Aku hanyalah monster yang menakutkan! Aku hanya monster yang tidak diinginkan!

Aku menarik tangan Astuti yang sedang menggenggam pergelangan tanganku lalu tiba-tiba… monster yang tengah tertidur selama aku di kampung eyang itu muncul kembali, dalam bentuk kilatan putih yang menyilaukan, dalam bentuk suara yang menulikan. Sekelebatan saja.

Demi Tuhan, tolong aku!

“Lepaskan!” teriakku.

“Ayo Pulang, Danisha. Eyang pasti khawatir sekali…” Ajak Astuti.

“Tidak, aku tidak mau pulang. Aku mau menenangkan diri di sungai…”

“Kalau begitu aku ikut ya?”

“Tidak boleh!”

Mengabaikan Astuti dan para petani yang melihati kami penasaran, aku terus berjalan menuju sungai dengan langkah tergesa-gesa. Kaki ku dilumuri tanah liat merah yang licin dan celana jeans ku kotor semua.

Ya Tuhan, aku hanya berharap saat itu Astuti tidak mengikutiku.

Aku ketakutan. Benar-benar ketakutan. Monster itu muncul lagi! monster itu muncul lagi!

Demi Tuhan, monster itu muncul lagi.  Aku tidak ingin siapapun, terutama Astuti –sahabatku- melihatnya.  Dia akan menjadi takut dan tidak mau lagi berteman denganku. Tidak, kumohon tidak, dia adalah satu-satunya temanku.

Bebatuan yang cukup besar di sungai itupun mulai terlihat, tandanya aku akan sampai dalam beberapa meter kedepan. Rencananya aku akan berenang menyeberangi sungai lalu bersembunyi dibalik batu besar yang ada di seberang dan bersembunyi disana, agar tidak ada yang akan menjadi korban selanjutnya.

Baru saja aku akan memasukkan kaki kedalam air, monster itu muncul begitu kuat dari sebelumnya. Suaranya menggema, menggetarkan seluruh tubuhku. Sementara aku tidak bisa bergerak sama sekali. Apa yang salah? Dia tidak pernah muncul sekuat ini!

Dalam cahaya putih menyilaukan itu tiba-tiba muncul wajah Astuti yang pucat pasi, tersenyum sedih dengan mata sayu. Rambut dan wajahnya basah kuyup. Bibirnya pucat dan kulitnya keriput.

Lalu monster itu… dengan bisikannya yang menggema, mendesiskan nama “Astuti….”.

***

Bayangan buruk itu memang hanya terjadi selama beberapa detik, tapi kemudian aku terdiam begitu lama di tepi sungai. Dengan tangan Astuti yang sibuk menggoncang-goncangkan tubuhku.

“Danish… Danish!”

“Astuti?” tanyaku tidak yakin.

“Iya ini aku Astuti. Kamu melamun?”.

“Astuti, kamu harus kembali. Jangan kemari!” teriakku panik.

“Danish, aku kemari untuk mencari ikan dan menyuruhmu pulang, eyang khawatir…” jelas Astuti dengan senyum yang menunjukkan bahwa aku adalah manusia konyol yang melarangnya berada di sungai yang sudah seperti rumah kami sendiri ini.

“Astuti, dengarkan aku! Kamu harus pergi dari sungai ini, sekarang!” seruku marah, cenderung kesal karena Astuti menganggap ucapanku hanya lelucon dari seorang anak gadis remaja yang sedang ngambek.

“Tidak! Kalau aku pergi adik-adik makan apa… lagipula, seharusnya kamu yang pergi, bukan aku. Sudah, sana kembali ke rumah eyang..” ujarnya seraya mendorongku keluar dari air sungai.

“Astuti, dengarkan aku, sekali iniiiii… saja!” pintaku dengan sangat agar dia mau mendengarkanku. “Pergilah dari sini, kumohon!”

“Tidak, kamu yang seharusnya pulang. Cepat, cepat, nanti eyang keburu jantungan karena khawatir sama kamu!”

“Astuti!!!!” teriakku frustasi.

“Danisha!!!” panggil Astuti sambil cekikikan. Dia kira ini lucu!

“Kamu gak mau nurut omongan aku?”

“Iya aku gak mau!” candanya sambil tertawa-tawa.

***

Sendirian berada di gubuk yang terletak di tengah sawah sampai larut malam akhirnya menjadi pilihanku. Kesendirian memang adalah teman terbaik. Seharusnya aku tidak bergantung pada manusia manapun. Tidak pada orangtua ku, tidak pada eyang, tidak juga pada pertemanan yang pada akhirnya akan terpisahkan.

Suatu kali aku sempat mencoba bunuh diri, hancur berkeping-keping dilindas kereta adalah pilihan terbaik dan pada sore yang sepi itu, aku berdiri ditengah rel kereta dengan jarak kereta hanya beberapa meter lagi akan mencapai tubuhku. Kereta itu terus dan terus mendekat. Aku sudah pasrah menutup mata dan menikmati momen kematianku. Tapi sampai bermenit-menit berikutnya saat aku membuka mata kembali, kulihat kereta itu menghilang dari hadapanku.

Ku kerjapkan mata berkali-kali.

Apa yang terjadi? Mana kereta itu? Aku sudah menunggunya beberapa lama dan dia menghilang begitu saja! Sial!

“Sial! Gue gagal mati! Mati aja lo kereta!”.

Dan tiba-tiba suara ledakan begitu keras terdegar dari belakang tubuhku, seketika aku berbalik dan menemukan ada ledakan api yang begitu besar dari kereta yang tengah berjalan kearah yang berlawanan dariku. Kapan kereta itu ada disana? Seingatku kereta itu masih berada didepanku beberapa menit yang lalu?

***

Pagi hariku diisi dengan keributan, eyang membangunkanku beberapa kali sampai akhirnya aku tersadar. Eyang uti terlihat begitu panic sampai akhirnya menyeret lenganku agar aku bangun dan mengikuti langkahnya.

Semalam aku pulang dari gubuk pukul 1 pagi dan sekarang baru saja kulihat pada jam dinding pukul 6 pagi. Aku masih sangat mengantuk!

“Ada apa sih eyang? Danish masih ngantuk…”

“Kamu semalam dari mana? Apa kamu bersama Astuti?”

Mendengar nama itu, kesadaran terkumpul seratus persen dan waspada menyelimuti diriku.

“Semalam aku ada di gubuk sawah eyang sendirian, tidak bersama Astuti. Ada apa dengan Astuti, eyang?” Tanya ku panic. Lalu eyang kembali menarik lenganku untuk berjalan ke bagian depan rumah dan kulihat hampir seluruh warga di kampung ini berkumpul didepan rumah eyang. Beberapa orang terlihat basah kuyup, beberapa orang petani yang terlihat marah, dan ibu-ibu yang masih mengenakan daster tidurnya.

“Itu dia anaknya! Saya lihat Astuti ke sungai bersamanya kemarin!” teriak seorang bapak petani sambil menunjukku, menggunakan bahasa daerah dengan suara yang begitu keras karena kemarahan.

Aku masih terheran-heran. Apa yang terjadi pada Astuti? Apa monster itu benar-benar…

“Iya, saya juga melihatnya bersama Astuti! Mereka bertengkar di jalan siang kemarin!” sambung ibu-ibu yang mengenakan caping.

“A… ada apa dengan Astuti, eyang?”

“Danish, kamu tidak mencelakakan Astuti, ‘kan?” Tanya eyang kakung. Saat itu hatiku mencelos, Astuti… sesuatu telah terjadi, sungai itu… pertanda itu…

Tidak. Tidak mungkin Astuti menjadi korban selanjutnya. Tidak mungkin!!

Otakku berputar begitu keras, mulutku kelu dan semua terasa memusingkan, dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku bertanya pada eyang, “Astuti ada dimana eyang?”

“Astuti dirumahnya, dia menghilang semalaman dan ditemukan di hilir sungai, dia sudah meninggal…” jawab eyang uti.

Seketika dunia ku runtuh untuk yang kesekian kalinya. Astuti sahabatku telah pergi dan akulah penyebab kepergiannya.

***

Aku berlari menuju rumah Astuti yang ternyata sudah ramai oleh banyak orang. Ayah, ibu dan adik-adik Astuti menangis tersedu-sedu melihat jenazah yang tergeletak di ruang tengah rumah sederhana itu. Pak Marno, Ayah Astuti, melihat kedatanganku dan wajah sedihnya dengan sangat cepat menjadi penuh dengan ekspresi kemarahan dan kebencian. Tatapannya penuh tuduhan terhadapku.

Sejenak aku ragu untuk mendekat, tetapi… persetan semua itu. Aku segera mendekat dan tersungkur disamping Astuti. Wajahnya pucat dan keriput, bibirnya tersenyum dan matanya tertutup. Wajah dan rambutnya basah kuyup.

“Astuti… kamu kenapa? Ayo bangun, Astuti….” Tangisku.

“Sudah kukatakan padamu kemarin, jangan mencari ikan di sungai itu, tapi kamu tidak mau mendengarku!”

“Astuti, kumohon bangun, Astuti…”

“Sudah kukatakan padamu kemarin, untuk mendengarkanku dan jangan mengabaikan nasehatku”.

“Astuti…” aku menangis melihatnya, tubuhnya terasa sangat dingin, kulitnya begitu rapuh dan hampir membiru.

“Astuti yang malang… Astuti yang mengabaikan peringatanku…”

Dipagi yang sendu teriakan yang mengejutkan menggema keras, wanita itu berteriak lantang, “Danisha pasti yang membunuh Astuti!”

“Iya betul!” timpal yang lain, “Kemarin mereka ke sungai bersama dan bertengkar disana! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!”.

“Kalau begitu arak saja, kita adili ditengah balai desa!”

Teriakan setuju terdengar sangat keras. Orang-orang itu dengan penuh emosi menarik kedua lenganku lalu menyeretku dengan kasar menuju balai desa yang letaknya begitu jauh. Selama diperjalanan, beberapa orang melempariku dengan bebatuan kecil dan bebatuan itu tidak pernah sampai satu pun di atas kulitku. Bebatuan itu memental dan terlempar kembali kepada si pelemparnya, membuat warga semakin histeris dan ketakutan.

Tapi beberapa orang masih bersikeras menyeretku ke balai desa, sesampainya disana aku diikat  sangat kencang dan hampir menyakitiku lebih dari yang pernah dilakukan ayah dan ibu dulu, di tiang bendera yang ada di depan balai desa itu aku di adili didepan masyarakat. Dengan sangat tidak adil.

“Aku tidak membunuh Astuti! Aku bersumpah!” teriakku putus asa yang langsung mendapat cibiran masyarakat. “Kami tidak bertengkar, Astuti hanya memperingatkanku agar segera pulang karena eyang khawatir!”

“BOHONG! BOHONG BESAR! MEREKA BERTENGKAR, AKU BERSUMPAH DEMI TUHAN MELIHATNYA!” teriak seorang petani.

“YA, AKU JUGA BERSUMPAH MELIHATNYA!”.

Ditengah semua hujatan itu, kepalaku terasa berdenyut kencang, sakit sekali dan pusing yang begitu kuat mendera. Hampir-hampir aku tak sadarkan diri saat tiba-tiba tubuhku terdorong keras oleh kekuatan tak tersentuh, membuat punggungku bertubrukan dengan tiang bendera. Lalu suara-suara masyarakat itu bagaikan volume radio yang sedang diturunkan perlahan-lahan sampai menghilang. Membuatku bingung dan saat membuka mata, disanalah Astuti berada berdiri tepat didepanku begitu dekat, dengan senyum yang mengembang, mata sayu, bibir pucat dan rambut juga wajah basah kuyup. Persis seperti bayangan yang muncul kemarin siang.

“Astuti…” bisikku tak percaya.

“Paman Mardi… Paman Mardi melihatku sendirian di sungai setelah kamu pergi…”

Sekejap saja, setelah kalimat itu selesai, Astuti pun menghilang tanpa bekas. Suara masyarakat yang sebelumnya hilang, kini muncul kembali. Mereka sekarang meributkan tentang seseorang yang terkena serangan jantung.

Eyang!

Benar saja, saat aku mendapatkan kesadaran penuh. Aku melihat masyarakat kini perhatiannya teralihkan dan tengah sibuk dengan eyang kakung yang pingsan terkena serangan jantung. Dokter dan suster yang bertugas di Puskesmas di sebelah balai desa pun sudah ada disana untuk membantu eyang.

Sebenarnya sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?

Dokter itu menekan-nekan jantung eyang beberapa kali, lalu memeriksa denyut nadinya dan menggeleng pasrah.

“Eyang! Tidak! Eyang! Bangun, Eyang!”

Pada saat itulah pertama kalinya kejadian seperti itu terjadi dalam hidupku, aku mellihat eyang keluar dari jasadnya, lalu beliau menatapiku sambil menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kasihan sekali kamu nak…”. Setelah mendengarnya, akupun menangis begitu keras. Mengumpulkan kemarahan dan kebencian, yang akan mampu membalaskan semua kesedihan ini. Tapi sebelum benar-benar meledak, aku teringat pada pesan Astuti tadi…

Paman Mardi!

“Paman Mardi! Paman Mardi melihatku pergi saat Astuti masih berada di sungai untuk mencari ikan!” jelasku pada semua orang. “Lalu aku pergi ke gubuk di tengah sawah kakek dan… dan.. ya, dan disana ada Mbok Surti bersama anaknya! Eyang, Eyang dengar itu, ‘kan? Aku bukan monster, aku bukan pembunuh Astuti, Eyang!” selama menjelaskan aku terus melihati eyang kakung yang masih menangis dan kemudian beliau mengangguk mengerti.

“Pak Mardi dan Mbok Surti, dimohon kedepan untuk memberikan kesaksian!” perintah Pak Harjo, kepala desa.

Pak Mardi dan Mbok Surti juga anaknya pun maju kedepan, memberikan kesaksian jujur yang apa adanya. Mereka mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku memang pergi dari sungai itu dan meninggalkan Astuti mencari ikan sendirian, lalu aku pergi ke gubuk.

“Apakah Mbok Surti melihat Danisha berada di gubuk sampai sore?” Tanya petani yang bersi keras menyalahkanku sejak awal. Namanya Pak Royan.

Mbok Surti menggeleng. “Saya melihat Danisha siang itu saja, karena saya pulang bersama anak saya…”

“Jadi, tidak ada yang tahu keberadaan Danisha sampai tengah malam dimana dan bersama siapa, ‘kan? Siapa tahu setelah bertemu dengan Danisha dan Mbok Surti pergi, Danisha kemudian kembali ke sungai untuk mencelakai Astuti!” jelas Pak Royan penuh emosi. Bahkan bahasa daerahnya terdengar begitu berantakan.

“Tidak! Aku sampai pukul 12 malam berada di gubuk itu dan baru pukul 1 pagi aku sampai di rumah eyang!”.

“Bohong! Kamu anak kecil pembohong! Kamu anak kota yang arogan, sama seperti ayah dan ibumu! Mengaku saja, kalau kamu memang mencelekai Astuti! Lagipula, apa yang kamu lakukan di gubuk seorang diri? Mustahil anak kota seperti mu berani berada di gubuk seorang diri sampai tengah malam!” tuduh soerang pria lainnya.

“Karena aku berbeda…”

“Sudah! Lebih baik langsung kita hukum saja, cambuk sampai mati!!” teriak yang lainnya.

“TIDAK! JANGAN. ITU CUCU KU, DIA TIDAK BERSALAH….” Teriak eyang uti sambil berlinang air mata. Sementara eyang kakung sudah terlihat marah tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Orang-orang itu mulai menyiapkan cambuknya, banyak dari mereka yang melepaskan ikat pinggang  dan juga menggunakan cambuk gembala, aku sangat takut saat itu. Mengingat dulu bagaimana rasanya dipukul ayah menggunakan penggaris saja aku langsung ketakutan setengah mati.

“Eyang, Danish gak salah, eyang… bantu Danish, eyang!” seluruh tubuhku gemetaran saat orang-orang itu berada dekat denganku. Mereka akan memukulkan cambuknya dalam hitungan tiga dan saat pukulan itu melayang, tiba-tiba saja tubuhku menghentak kuat berkali-kali, lalu keluarlah sesosok besar, berjubah putih, berambut putih dan panjang, berwajah sangat bersih dengan mata merah menyala dan penuh kemarahan!

Itulah pertama kalinya aku melihat sosok tersebut. Sosok yang selama ini bersembunyi di dekat ku, sosok yang begitu ditakuti oleh dukun ilmu kelas tinggi sekalipun.

“BERANI SENTUH SEDIKIT SAJA… HILANG KEDUA TANGAN KALIAN!” geraman sosok itu terdengar mengerikan, membuat orang-orang secara reflek langsung mundur menjauh dariku.

Perlahan, aku merasakan tali yang mengikatku pada tiang bendera itu bergerak, perlahan sekali… lalu tubuhku lepas begitu saja dari kekangannya.

Sosok besar tersebut kemudian melayang dan dengan gerakan yang sangat cepat, ia menghilang dengan menghantamkan tubuhnya pada tubuhku hingga aku tersungkur dengan hidung dan mulut yang berdarah.

“Danish!!!” teriak eyang uti lalu berlari dan bersimpuh disampingku. Wajahnya yang tua terlihat begitu pucat, bibirnya bergetar hebat lalu tangan kirinya memelukku sementara tangan kanannya menekan-nekan dadanya. Nafasnya tersengal-sengal.

“Eyang, jangan eyang! Danish mohon eyang jangan tinggalin Danish!”.

Eyang uti akhirnya  pergi menyusul eyang kakung. Serangan jantung telah merebut kedua eyang ku. Yang bisa kulakukan hanya menangis dan menangis. Kemana lagi setelah ini? Tidak ada yang mau menampungku selain dua orang tua yang sudah tiada ini.

Rasa marah kembali berkecamuk dan melesat dalam diriku, aku tidak bisa mengendalikannya, itulah mengapa dokter mendiagnosa ku manik depresif. Walaupun sebenarnya, bukan karena itu.

Si kecil Danish yang dikuasai oleh kemarahan itu berdiri, memandang benci pada seluruh orang yang ada di depan balai desa lalu berteriak lantang:

“AKU TIDAK MEMBUNUH ASTUTI DAN KALIAN TELAH MEMFITNAHKU, AKU BERSUMPAH KARENA FITNAH KALIAN, KALIAN AKAN MENGALAMI KEKERINGAN DAN KEMISKINAN SELAMA BERTAHUN-TAHUN SAMPAI ADA DIANTARA KALIAN YANG DATANG MEMOHON AMPUN PADAKU!”.

***

Kisah diatas adalah kisah masa laluku dan kini aku hidup mandiri di Italy, karena sejak kejadian di kampung eyang, ayah dan ibu mengirimku bersekolah asrama di Negara ini. Mereka benar-benar menjauhkanku dari kehidupan mereka dan tidak pernah sekalipun mengunjungi anak perempuannya ini.

Kini aku sudah berumur dua puluh lima tahun, bekerja sebagai freelance broker dan juga menjalankan bisnis toko es krim yang sudah mulai berkembang pesat. Dan ajaibnya, di negara ini aku memiliki banyak teman yang menyenangkan, tentu saja itu terjadi atas bantuan sahabat SMA ku, namanya Ardian.

Ardian adalah lelaki Indonesia yang “istimewa”, yang bisa “mengenal” ku dengan baik. Dia lah yang mampu mengajariku bagaimana cara mengendalikan kekuatanku dan “dia” yang selalu mengikutiku. Sebenarnya cara mengendalikan semua itu cukup mudah. Aku hanya perlu mendekatkan diri pada Tuhan dan membaca kitab suci Nya. Ya, memang ada beberapa ayat tertentu yang selalu menjadi bacaanku setiap lima waktu dan bahkan setiap saat. Tapi tidak, aku tidak akan memberi tahu kalian tentang ayat-ayat ini. Aku tidak ingin ada manusia opportunis yang menyalahgunakannya.

Tapi, tidak ada manusia yang sempurna. Terkadang, aku bisa dikalahkan oleh kekuatan dan emosi ku sendiri dan itu sering terjadi jika aku dalam keadaan lemah.

“Dan, firasat lo gimana?” Tanya Ardian yang berjalan disampingku sambil menikmati kopinya.

“Rada buruk, sih… ada yang bakal terjadi, tapi gue ga tahu apa…” jawabku santai.

“Yah… siap-siap aja!”

Sebelum sempat menjawab perkataan Ardian, tiba-tiba saja seseorang memukul pantatku dengan keras, membuatku terkecoh lalu sepersekian detik berikutnya ia menarik tas tanganku dan itu dilakukannya sambil mengendarai sepeda motor.

Dua orang itu mencuri tas yang berisi uang hasil penjualan es krim hari ini!

“Pencuri! Mereka mencuri tasku! Tolong!” teriakku yang langsung mendapat perhatian sekitar. “Ya ampun! Berani-berani nya ngambil tas duit gue! dilindes truck tau rasa lo!” omelku tidak sadar dalam bahasa Indonesia.

“Danish, sabar, Dan! Istigfar!” kata Ardi sambil mengusap punggungku, menenangkan.

Aku tercenung dan  menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri, “Astag…”

BRUKKKKKKK!

Suara keras terdengar mengagetkanku dan Ardian, spontan kami berdua menoleh  dan melihat lima meter didepan kami, seorang pencuri terpelanting dan seorang lainnya terlindas karena tertabrak truk besar yang melintas dengan kecepatan tinggi. Kondisi kedua nya begitu mengerikan membuat orang-orang yang ada disekitar memalingkan muka karena tidak tega melihat kondisi mereka.

Sementara aku dan Ardian masih termenung saat tas tangan itu melayang tepat didepan mataku dan terjatuh di atas kedua tanganku yang sebelumnya sudah menengadah untuk beristigfar dan berdoa.

Lima meter di depan sana… adalah bukti bahwa aku masih belum mampu mengendalikan diriku sendiri.

***

DANISHA : Lima Meter di Depanku

terimakasih sudah baca.

salam sayang

cheers woot woot,

CJ

 

20 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Udah bsa kan ya ka lope2nya hihi
    Alhamdulillah

    1. farahzamani5 menulis:

      Lahhh ke post haha, blom komen cerita, bntr bntr

    2. sudah bisa cantiksss, makasih yakkk

    3. farahzamani5 menulis:

      Ka, ni bersambung yak?
      Mereka di ksh kemampuan unik sma Allah yg awalny ga bsa kendaliin tp dngn bljr ya insya Allah bsa plus bnr kta Ardi ya kudu deket2 dah ama yg Punya spy bsa kendaliin itu
      Aihhh bca gnian jam sgni maljum pula hihihi
      Keren lah cerita dikau mah ka, tau2 dah end aja hehe
      Penasaran proses pas Danisha yg mau dihukum tuh,cara dia bsa klr dri situ trs bsa ampe ke Italy gmn trs gmn keadaan kampung ny pas dia ngucap sumpah, apa kejadian atau gmn
      Ditunggu karya2 lainnya
      Semangat ka

    4. carijodoh menulis:

      unchhh pal pal… first komeeen hihi
      makasi udh mau mampiiiir…
      nanti kalau ada ide lagi dilanjut, kalau belum ada…
      harap bersabar, ini ujiaaaaaan kwkwkwkw
      doakan biar dapat ide lagi yaaah hehee

      iya benar sekali, kelebihan semacam ini bisa jadi berkah, bisa jadi ujian~
      tergantung bagaimana manusia menyikapinya.
      ada yang kembali ke Jalan seharusnya
      ada yang malah tersesat.
      kisah Danisha sebenernya kisah orang yang bingung mencari tahu
      “kenapa dan bagaimana”
      semoga orang2 seperti Danisha bisa menghadapi semuanya dg baik
      #lahmalahpanjangcurcol
      hehehe

    5. farahzamani5 menulis:

      Okayyy ka
      Ditunggu yak
      Aihhh dikau mah suka mampet2 ide ny saking bnyk ny ide yg berkeliaran di otak hihi
      Sippp dah
      Aq mah sl sabar dan setia ama abang hamdan pasti nya

    6. makasi pal pallll :KISSYOU
      ishhhhh!!
      kamu mahhhhh abang hamdan kan hanya milik cj kkwkww

  2. byunimhasparkyu menulis:

    vote dulu yak ntar baru baca btw cie cie palah nongolnya di sini aja di sono enggak hahahaha

    1. carijodoh menulis:

      baca juga dong byun, seru loh ini… tentang pencarian hehehhe

      iya palah lagi istirahat dl katanya

    2. farahzamani5 menulis:

      Bagusssss
      Kalian ngegosipin akoohh dimari haha
      Aq kan dah bilang kmrn, aq mau naek gunung dlu, gantian atuh, kmrn kan kalian yg naek gunung eaaa hihi

    3. udh ketemu belum apa yang di cari di gunungnya? kwkwkw

  3. Wih ini tulisan nya CJ?
    Komen dulu baru baca, hhe

    1. iya hana, makasih yak sudah mampiiiiirrrr :MAWARR

  4. Seremmm banget setiap ucapannya terjadi, harus jaga ucapan dan kendaliin emosi dan banyak istighfar
    Untung ada ardian yg ngajarin ngendaliin “kekuatannya” dgn cara terus mendekatkan diri ke sang pencipta

    Sebuah anugerah atau bencana

    1. carijodoh menulis:

      waa terimakasih @yoonnee88 udh mampir ke cerita CJ :PELUKRINDU
      betul banget, kelebihan yang diberikan kepada org2 semacam itu bisa jadi anugrah dan bencana… tergantung bagaimana menyikapinya

  5. KhairaAlfia menulis:

    :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP
    Mending jauh deh, daripada cari masalah sama Danisha,,

    1. yuk mariiii kabooor bareeeeng :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP

  6. fitriartemisia menulis:

    ini masih ada lanjutannya gak jey?
    bagus ih, ada lanjutannya gak ?? hihiihi

  7. Wadidaw,, kalian para penghuni PSA mEMANG LUAR BIASA

  8. Kak CJ aku baru baca. Suka banget sama cerita ini. Terima kasih loh kak sudah nulis cerita ini ❤