Vitamins Blog

A PRIORI ch.10

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

34 votes, average: 1.00 out of 1 (34 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Oh iya cerita ini juga ku publis di watty ku @Rparatama jadi kalian bisa lihat juga updetannya di sana.

A Priori ch. 10 Perbaikan

Bacalah dengan posisi yang nyaman dan jangan membaca terlalu dekat, ingat 30 cm adalah jarak yang paling minimal untuk aman mata.

“Aku selalu berharap tidak lagi bertemu dengan mu. Kalau pun bertemu aku benar-benar ingin membalaskan rasa sakit hatiku. Tapi mengapa aku selalu merasakan rasa kasihan jika melihat wajah mu? Bahkan sampai sekarang.” Ucap Zia dengan raut wajah sedih dan sesekali menampilkan raut wajah kesalnya.

Sungguh bagi Zia kenangan masa lalu yang sangat ia benci ialah harus bertemu dengan Azka dan masa depan yang tidak ingin ia milik adalah kembali bertemu dengan Azka tapi takdir bagaikan penghinat untuknya. Azka dan Zia harus kembali bertemu bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya sekalipun.

*****

Pagi datang dengan bukti sinar matahari yang masuk menembus celah kaca dari kamar rawat Azka, dengan malas sosok lelaki yang awalnya tidur berbaring sekarang mengacak rambut hitamnya dengan gusar. Dengan perlahan Azka membuka matanya dan sesekali memjamkan matanya karena masih belum terbiasa dengan sinar matahari.

Ketika mata Azka benar-benar terbuka, dia menengok kerah samping dan mendapatkan Zia tertidur dengan posisi duduk menelungkup dengan kepala di atas tempat tidurnya. “Sekarang bagaimana cara ku untuk tidak mengatakan kalau dia memang mirip seperti kucing yang dengan manis menemani tuannya tidur.” Ucapnya dengan senyum tertahan, dengan perlahan Azka turun dari tempat tidurnya lalu dengan perlahan diangkatnya tubuh Zia ke atas tempat tidur.

Setelah memastikan Zia dalam posisinyaman Azka dengan perlahan menuju tempat tidur lain disisi kanan sambil menarik tiang infusnya. “Baiklah aku percayakan semuanya kepada kalian” ucap Azka sambil meletakan alat komunikasi ditelinganya.

Setelah malam itu Azka memberikan seluruh yang dia tahu tentang pamannya itu kepada devisinya melalui email tanpa sepengetahuan Zia, “Membosankan.” ucap Azka sambil merebahkan dirinya diatas tidur. Tatapannya lurus keatas sambil menerawang dan berusaha mengusir rasa penasarannya tentang hubungan pamannya dengan organisasi mawar hitam dan apa kah pamannya yang telah membunuh seluruh keluarganya. Azka hanya bisa membuang napasnya dengan gusar, lalu memiringkan posisi sehingga bisa meliha dengan jelas wajah Zia yang tengan tertidur di tempat tidur sampingnya.

“Sekarang aku harus bersabar dan menjaga kucing yang sombong- .” ucapan Azka terhenti ketika melihat pergerakan kelopak mata Zia yang tampak seperi akan membuka dengan sengaja dia tutup matanya agar tampak seperti orang yang tertidur agar dapat menipu Zia.

Zia terbangun dengan langsung mendudukan tubuhnya karena baru sadar jika ia teridur di tempat tidur Azka, “Mengapa aku tertidur di sini?” ucap Zia laludengan cepat mebuka selimut lalu turun dari tempat tidur.

Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Azka yang tertidur di ranjang yang lain tapi tanpa menggunakan selimut, “Berandalan ini.” Ucap Zia lalu kembali mengambil selimut lalu dengan perlahan dia menyelimuti tubuh Azka swampai seluruh tubuh pemuda itu tertutupi selimut sesekali Zia membenarkan pisisi bantal yang tampak melorot dan Hp yang masih di genggam Azka di ambilnya lalu di letakan ke atas meja yang ada di samping tempat tidur.

“Sudah jam untuk minum obat, apa sebaiknya aku bangunkan saja?” ucap Zia sambil melirik jam yang nunjukan jam 9 pagi, sebenarnya bisa saja dia membiarkan Azka tapi perasaan jika ia terluka karenanya membuat Zia merasa harus merawat Azka sampai sembuh atau setidaknya selama masih di rumah sakit.

Dengan pelahan Zia menepuk-nepuk bahu Azka agar terbangun tapi tidak sampai mengejutkannya, “Az-azka” ucap Zia perlahan dengan suara lembutnya, tulus membangunkan dengan berulang kali ia melakukan hal yang sama sampai ada respon dari Azka.

“hmmm…” gumam Azka sambil memegang kepalanya lalu membuka matanya seperti seseorang yang baru bangun tidur, sungguh dirinya sendiri sekarang tengah menikmati bagaimana bakatnya sebagai aktor di lihatnya Zia yang berdiri di depannya degan wajah khawatir yang berusaha di tutupinya tapi dapat dengan jelas Azka ketahui.

“Apa ada yang sakit? Perlu kupanggilkan dokter?” tanya Zia sambil sedikt menunduk agar dapat mendengar apa yang akan Azka katakan sehingga wajah mereka hanya memiliki sedikit jarak. Tanpa disangka Zia dengan perlahan mendekatkan tangannya ke arah kepala Azka sehingga sekarang tangannya berada di atas tangan Azka yang ada di atas kepalanya sambil mengelus perlahan berharap perlakuannya itu dapat sedikit mengurangi rasa sakit walau dia sendiri tau jika yang bisa mengurangi rasa sakit itu hanya obat tapi sentuhan juga bisa membuat orang lain menjadi tenang dan itu di percayainya sejak dulu.

Azka terdiam kaku membiarkan Zia yang tengah berusaha meredakan rasa nyerinya, walau ini hanya sebuah usapan kecil hatinya merasakan sedikit rasa hangat yang tidak pernah rasakan sejak dulu mungkin tepatnya sejak dia tidak memiliki sosok ibu. Kokohnya dinding di hatinya yang berselimut akan dendam kembali merasakan sedikit secercah kelembutan dari sosok masa lalunya di mana sosok yang dulu hanya di gunakannya untuk sebah permainan berubah menjadi sosok yang di inginkannya.

Jika dulu Azka lebih memilih untuk fokus untuk menjadi polisi sehingga lebih memilih meninggalkan sekolah hanya untuk masuk sebuah pelatihan militer sejak dini sekarang dia kembali berpikir mungkin takdir memang selalu mempermainkannya sehinga harus selalu terikat dengan masa lalu.

””””’

“Azka.” Ucap Zia sehingga membuat Azka kembali tersadar dari semua pikirannya akan takdir.

“Ada apa?” jawab Azka sambil memposisikan tubuhnya setengah duduk dengan di topang beberapa bantal di belakangnya dengan sedikit bantuan Zia yang cekatan dalam merawatnya.

“Apa perlu ku panggilkan dokter?” ucap Zia yang sudah siap berjalan kearah bel yang jika di tekan akan langsung terhubung pada perawat jaga sehingga dapat datang kekamar untuk membantu pasien.

“Tidak usah. Aku baik-baik saja.” Ucap Azka sambil berusaha duduk walau masih dengan memegangi kepalanya yang tujuannya memang hanya untuk membuat wajah Zia yang khawatir padanya, entah ini merupakan kesenangan yang dia miliki sejak dulu karena rasa kesepian dalam dirinya lah yang membuat sebuah ke khawatiran orang lain padanya sepeti sebuah bentuk kasih sayang yang membuatnya sadar bahwa masih ada yang menginginkannya ada di dunia walau kematianlah yang selalu ia mimpikan sejak dulu.

Karena ucapan Azka, Zia tidak jadimemencet bel lalu berbalik berjalan ke arah meja untuk mengambil beberapa obat dan air minum untuk Azka. “Cepat minum obat mu lihat seharusnya ini untuk pagi dan sekarang sudah jam 10.” Zia melemparkan obat lalu dengan cepat Azka menangkap agar tidak terjatuh kepawah karena memang lemparan Zia yang tidak begitua kuat membuatnya tersenyum miring sedikit meremehkan.

Zia memutar matanya jengkel ketika melihat senyum Azka yang sangat tampak mengejeknya saat ini. “Bagaiman cara ku minum jika aku saja belum makan.” Suara Azka yang agak serak membuat Zia tersadar lalu memberikan cangkir minuman lalu di sambut oleh Azka dengan patuh.

“Apa kau mau memakan makanan rumah sakit?”tanya Zia ketika sambil membuka beberapa tutup makanan yang di sajikan dari rumah sakit dan menampilkan sayur serta bubur yang tampak sungguh tidak menggugah selera sama sekali.

Azka hanya diam lalu kembali merebahkan tubuhnya sambil menutup matanya dengan lengannya. “Hei jawablah!” bentak Zia dengan suara lengkingnya sehingga membuat Azka kembali menatapnya sambil sedikit mendengus. “Apa pertanyaan mu harus ku jawab? Bukankah dari wajahmu saja, aku tau bahwa makanan itu sama sekali tidak enak.”

“lalau bagaimana? Aku juga lapar. Mana Rina lagi mengurus jadwal ku dan tidak bisa di minta untuk datang.” Zia berjalan mendekati jendela sambil menatap ketah keluar jendela sambil memikirkan bagaimana caranya bisa keluar karena malas bertemu beberapa wartawan yang tampak masih berusaha mencari berita tentang dirinya.

Sebenarnya ini lah salah satu lasannya untuk memilih bermalam di rumah sakit agar tidak perlu bertatap muka dengan beberapa wartawan yang sering membuatnya jengah dengan beberapa pertanyaan yang selalu dibuat-buat agar mendapatkan berita yang mungkin bisa menjatuhkannya.

Azka memperhatikan Zia yang tampak murung dengan pandangannya yang masih kearah luar, tapi tatapan Azka sekarang tertuju pada sinar dengan titik merah kecil yang tepat berada di tengah-tengah dahi Zia. “Sial” pikir Azka dengan cepat berlari ka arah Zia bahkan membiarkan infusnya tercabut hingga darah mengalir dari tangan.

Prangg. Kaca rumah sakit lagi-lagi pecah karena sebuah tembakan yang tiba-tiba melesat walau Azka sudah memprediksinya. “Diam, teruslah menunduk.” Azka sempat menarik Zia kelantai hingga mereka berdua berlutut di lantai secara bersamaan.

“ke-kenapa ini selalu terjadi.” Zia tertunduk sambil memeluk tubuhnya sendiri dengan bahu yang bergetar menahat takut yang kembali menyeruak di dalam dirinya.

******

“Kau tidak perlu terlibat A, hanya sebuah kecolongan kami terkecoh karena sempat menangkap sebuah keanehan di lokasi lain. Ingat kau hanya perlu di sisi Zia.” Ucap Raka berkomuni kasi dengan Azka sambil berlari mengejar sosok penembak yang berada di depannya.

Benar saja seluruh rekan tim Azka sudah berusaha yang terbaik agar lingkungan RS aman tapi masih tetap saja kecolongan oleh para suruhan organisasi BlackRose yang menjadi incaran mereka sejak lama.

Raka yang ditempatkan tepat di barat daya sudah melakukan penyusuran di gedung ini 10 menit sebelumnya tapi tidak ada tanda-tanda sedikit pun yang mencurigakan. Raka memiliki perawakan lebih kecil dari Azka yang karena memang umurnya yang masih lebih muda tahun tapi jangan tanyakan prestasinya dalam tugasnya yang merangkap sebagai ahli dalam bidang otopsi karena dasar ilmunya merupakan kedokteran.

“Dia mengarah ke daerah 182A bersiaplah membekuknya.” Ucap Raka sambil terus berlari.

Lelaki dengan wajah yang ditutupi sepenuhnya dengan cepat berusaha melarikan diri tepat setelah ia menembakan sebuah peluru ke arah rumah sakit dengan senjata laras panjangnya. Dengan tergesa-gesa ia memasukan senjatanya kedalam sebuah tas hitam panjang, lalu mulai berlari tanpa arah untuk menghindari kejaran.

Raka tersenyum kemenangan ketika melihat orang yang dikejarnya itu memasuki sebuah gang buntu dan sebelum memasuki gang Nadia sampai lalu mereka berdua dengan cepat berlari agar memastikan bisa menangkap orang itu hidup-hidup karena dia sangat tau bahwa anggota organisasi BR berani membunuh bahkan rela menghilangkan nyawa mereka sendiri demi kesetiaan.

*****

Setelah mendengar ucapan Raka mata Azka menajam ketika tepat menatap kearah di mana tembakan itu datang. Biasanya jika hal seperti ini terjadi ia lah yang menjadi orang yang berlari di barisan depan untuk misi penyergapan, tapi sekarang berbeda karena tanggung jawab utamanya merupakan Zia sosok yang sekarang masih tertunduk takut.

“Kita akan meninggalkan Rumah Sakit ini secepatnya.” Azka memegang kuat bahu Zia lalu membantunya untuk bangit lalu memeluknya ketika beberapa orang rs masuk lalu dia memberikan alasan bahwa hanya sebuah kecelakaan ketidak sengajaan diinya agar orang rs tidak menanyakan hal lebih jauh.

Setelah seluruhnya beres Azka membawa Zia keluar dari RS dengan sebuah jaket kulit miliknya yang dipakaikan dan topi hitam yang meneyembunyikan rambut panjang Zia agar tidak ada satupun yang menyadari sosok aktris itu.

“kita akan pergi menggunakan apa?” bisik Zia yang sekarang sudah lebih tenang sambil memperbaiki posisi topinya yang membuat tidak nyaman.

Azka menampilkan senyum lembutnya lalu menepuk-nepuk atas kepala Zia. “Tenang saja kucing ku, kau pasti tidak akan mendapatkan perawatan yang buruk jika bersama ku. Dan tentu saja ku menyediakan sebuah mobil. Khusus untuk mu.” Azka memberikan sebuah kedipan genit pada Zia dengan kembali menariknya lebih merapat agar tidak terlihat oleh beberapa pasang mata di sekitar parkiran mobil rs.

Zia menampilkan pose ingin muntahnya ketika melihat kedipan yang dilakukan Azka padanya dan sedikit merinding ketika menyadari sekarang dia harus lebih lama harus terlibat dengan Azka, walaupun di ujung ruang hatinya dia merasakan sebuah kehangatan yang kembali lagi setelah lama tidak ada satu orangpun yang bisa membutanya merasakan hal ini lagi, yaitu kebahagian yang tidak perlu ia buat-buat.

 

SEE YOU ~~~

BY : RP

10 Komentar

  1. minyalfitri menulis:

    kerennnnn????

    1. RParatama menulis:

      Wuhuuuu makasih

  2. eee aaaa :HUAHAHAHAHA

    1. RParatama menulis:

      Eyaaa eyaaa

  3. yonginafri menulis:

    I’ll follow you in wattpad then ?

    1. RParatama menulis:

      Wuhuu makasih

  4. Action romance nihh…
    Zia benci ktemu Azka tp malah merasakan kehangatan.. Nah nah knp tuh :ragunih :CURIGAH :KETAWAJAHADD

  5. Wkwkwk, asekkk
    Romance ini action nih

  6. fitriartemisia menulis:

    diteror lagi, ya ampun Ziaaaaaaaaaa :LARIDEMIHIDUP

  7. Nahloh Zia?