Vitamins Blog

DWINA part 4

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

4. Masak

Keesokan harinya…

Sudah menjadi kebiasaan Dwina terbangun pukul setengah lima pagi untuk sholat subuh. Buruknya suhu dingin seolah membekukan tubuh Dwina saat mengambil wudhu, segera dia langsung mengeram ke balik selimut selepas berwudhu. Suhu kamarnya saja hanya 29℃  pasti sekarang suhu subuh di Bandung menginjak dibawah 15℃ derajat celcius. Dwina menunggu beberapa menit kemudian sekuat tenaga ia beranjak sholat.

Selepas sholat Dwina tidak bisa kembali tidur. Akhinya dia memutuskan untuk memakai jaket dan syalnya sebelum turun kelantai satu untuk menuju halaman rumah menikmati pemandangan subuh di kota Bandung, pasti menakjubkan sekali melihat pemandangan desa yang masih asri menyejukan pandangannya. Dihirup dalam-dalam udara masuk ke paru-paru Dwina. Parahnya ini kedua kalinya dirinya ke Bandung lagi selain acara sekolah.

Tidak ada tanda-tanda orang rumah sudah terbangun kecuali dirinya dan Arya yang ia bangunkan tadi untuk sholat subuh. Dwina merasa tidak enak hati melihat Arya tidur sendirian di sofa depan tv saat dirinya tadi mau menuju ke teras rumah. Merepotkan orang lain tidak ada didalam kamus hidup Dwina. Lagi pula mana mungkin juga dia mau satu kamar dengan Arya. Lebih baik memesan hotel disekitar sini dari pada di terpaksa melakukan hal itu.

“Kamu udah bangun dari jam berapa?” suara berat Arya mengagetkan Dwina hingga perempuan itu terlonjak melangkah mundur. Dwina memandang horor kehadiran Arya berdiri disebelahnya.

“Dikirain siapa?” ujar Dwina sambil menyentuh dadanya dengan salah satu tangannya untuk menenangkan jantungnya. Arya juga ikutan kaget melihat dirinya kaget. Segera dia meminta maaf dan menjawab pertanyaan Arya.

“Tadi setengah lima udah bangun, oh iya biasanya keluarga Kakak sarapan jam berapa?”

“Ehmm nggak tau deh….” Intinya Arya bangun tidur tidak tentu waktu dan ia lebih sering sarapan kesiangan.

“Aku laper. Boleh pinjem dapurnya mau masak nasi goreng” Dwina memang sering sarapan jam enam pagi setelah beres-beres rumah. Dirinya terlalu kerajinan sih, tapi mau bagaimana lagi ia mudah bosan kalau tidak melakukan apa-apa jadi akhirnya laper. Memang otaknya nggak jauh-jauh dari makanan. Padahal dia lagi menjalankan diet.

Mereka berdua menuju dapur dengan design moderen membuat Dwina terperangah. Dapur tersebut tiga kali lipat lebih besar dari pada di rumahnya yang kelewat sempit. Bahkan disini juga dilengkapi kompor listrik, penghisap asap dapur, oven, alat pemanggang khusus dan masih banyak lagi. Cita-cita Dwina sangat sederhana ia ingin mengumpulkan uang dari gajinya nanti, untuk memiliki dapur yang bagus dan lengkap.

Dari awal, rumah ini benar-benar menipu Dwina. Apa mungkin dari depan sengaja di beri model sederhana padahal dalamnya luar biasa dan rumah ini penuh sekat pemisah jadi orang menggap ruangan didalam rumah terlihat sempit.

Setiap detik Arya menikmati ekspresi Dwina yang tidak segan menunjukan rasa kagumnya pada dapur dihadapan dirinya. Bahkan Arya jadi tertular untuk ikut tersenyum dengan sesekali terkekeh pelan saat Dwina berseru senang membuka kulkas penuh berbagai sedian bahan makanan

“Di rumah ini ada berapa orang?” Arya mencoba menghitung orang-orang dengan jemarinya.

“Lima belas orang”

“Kita mulai dari masak nasi” seru Dwina. Segera Arya berjalan ketempat kontener berukuran sedang yang berisikan beras. Mengambil tiga setengah liter beras lalu dimasukkan kedalam panci untuk menanak nasi sesuai intruksi Dwina.

Dwina melepaskan syal merahnya lalu ditaruh diatas kursi makan kemudian menarik lengan bajunya hingga ke siku. Ada ruam merah nampak cukup bengkak di sekitar leher dan lengan. Rasa khawatir menerpa diri Arya. Ia bisa frustasi mendapati Dwina selalu menyembunyikan keluhannya sendirian.

“Leher sama lengan kamu kenapa pada merah?” tanya Arya menggunakan nada penekanan.

“Oh.. ini aku kayaknya kena alergi dingin tapi nanti juga hilang” selalu saja Dwina menganggap sepele hal buruk.

“Udah minum obat?”

“Kan belum makan lagi pula alergi dingin nggak ada obatnya” Dwina mendengar Arya menghela napas berat. Bisakah laki-laki itu bersikap wajar? Tidak sadar apa dirinya begitu mengerikan?

Obat Antihistamin dan sejenisnya hanya untuk mengurangi bengkak dan bercak pada tubuh, tidak untuk mengobati seutuhnya. Jadi harus ada pencegahan dari awal supaya tidak keterusan. Dwina juga tidak kepikiran untuk membawa obat karena terbilang jarang sekali ia mengalami alergi dingin. Dan Dwina lebih suka kedokter langganan keluarganya di Jakarta.

“Abis ini Kakak cuci nasinya ya” ujar Dwina kemudian dia menyiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi goreng dari kulkas setelah memasak air panas yang nanti akan digunakan untuk menanak nasi.

Sekuat tenaga Arya menenangkan dirinya. Alergi dingin Dwina tidak ada di dalam Wejenang dari Bayu. Mulai sekarang Arya akan lebih memperhatikan Dwina. Ia tidak pernah bermain-main dengan niatnya.

Dwina begitu cekatan dalam memasak dan ekstra cepat juga dia super bersih. Setelah peralatan masak dipakai Dwina akan langsung mencucinya katanya supaya tidak menumpuk. Kurang dari empat puluh menit semua sudah selesai, tinggal menikmati hasilnya. Dwina juga membuatkan puding dan teh hangat.

Arya jadi paham kiat-kiat memasak dengan mudah dari Dwina. Penjelasan Dwina cukup lugas dan tidak ribet hingga mudah dipahami tidak seperti Ibunya atau Teh Bika sedangkan Teh Kila masih tahap belajar. Semakin Arya melihat lebih sisi lain diri Dwina kenapa perempuan itu terlihat lebih cantik dan spesial?

oOOOo

Tepat selesai memasak, orang-orang rumah sudah pada keluar dari kamar masing-masing karena mencium aroma masakan. Ibunya Arya langsung sumringah dapat libur masak untuk sarapan apalgi yang memasak adalah Dwina. Perempuan yang sudah dicap sebagai calon mantu olehnya.

“Enak nggak?” tanya Dwina pada Arya yang makan disebelahnya.

“Enak banget.. pinter kamu masaknya” tukas Arya sambil memberi ekspresi puas

“Tadi aku ngasih garam kebanyakan takut keasinan”

“Nggak. Ini udah pas” ujar Arya meyakinkan Dwina. Nasi gorengnya sangat enak tidak terlalu pedas, asin dan manis. Rasanya pas dilidahnya.

Keluarga besar Arya saling mengerjap mengamati obrolan Arya dengan Dwina yang bertingkah seperti sepasang suami istri. Teh Bika mencolek pinggang Arya lalu memberi isyarat mata kearah Ibunya yang senyam-senyum melihat Dwina.

“Parah kamu ngasih harapan palsu sama Ibu” tukas Teh Bika sambil berbisik pelan ditelingan Arya. Bener juga apa yang dikatakan Teh Bika padanya, padahal Arya sering mengajak mantan pacarnya dulu kerumah tapi kenapa ada rasa bersalah mendera pada batinnya. Mungkin karena ibunya sudah jatuh hati pada Dwina.

Dalam hati Bu Ati, ia ingin sekali menanyakan kapan Arya menikahi Dwina tapi secepat mungkin ia urungkan karena mereka juga baru saling bertemu takut membuat keadaan jadi canggung. Mau tidak mau Ibunya Arya mengganti pertanyaannya.

“Kenapa kamu masuk kuliah Farmasi kenapa tidak ke Dokteran?” Sudah banyak yang menanyakan hal itu pada Dwina sampai ia merasa bosan

“Karena uangnya kurang memadai dan Ibuku minta untuk membuka toko obat dirumah saja. Katanya kalau aku udah nikah jadi nggak perlu kerja diluar. Bisa langsung ngawasin anak”

Jawaban Dwina benar-benar membuat terpaku para orang dewasa dimeja makan. Dan jawaban itu membuat Ibunya Arya makin merasa senang.

“Memang istri itu lebih baik didalam rumah”  ayahnya Arya menimpalinya

Teh Bika tidak habis pikir, Dwina benar-benar membuat Ibunya sendiri jatuh hati dalam kurung waktu sehari. Hebat. Padahal dulu ketika Teh Kila mau menikah dengan Bang Ares susah banget menaklukan hati ibunya.

“Pake pelet apa sih Dwina bisa naklukin hati ibu?” bisik Teh Bika pada Arya, membuat adiknya itu tertawa pelan.

“Itu bukan pelet tapi kekuatan doa” wedeh… Dada Arya terasa kembang kempis dengan ucapannya sendiri yang didasari kenyataan. Memang bener Dwina itu rajin ibadah bikin energi positif keluar dari tubuhnya.

Suasana sarapan menjadi kosong setelah ponsel Dwina berdering dan akhirnya Dwina memilih undur diri lagi pula makanannya juga sudah habis. Yang menelpon adalah Kak Bayu. Dwina tidak berhenti mencebikan bibirnya selama berbicara ditelpon.

“Kok nggak dateng-dateng sih? Aku disini nggak enak sama keluarga Kak Arya. Aku itu orang asing dirumah ini” tukas Dwina sebal tapi terdengar tetap lembut ditelinga Bayu. Adik kesayangannya memang sulit marah. Sayangnya jiwa Bayu merasa bersalah telah membuat adiknya sedih.

“Nanti sore kamu Kakak jemput deh… tapi puas-puasin dulu jalan disana. Oh iya katanya kamu mau kerumah Angel temen SMA kamu?”

Hampir saja Dwina lupa dengan keinginannya memberi kejutan pada Angel sahabatnya tentang kedatangannya di Bandung. Angel, Putri dan Tias adalah teman SMAnya dulu. Tinggal Putri yang bisa sering bertemu dengannya walaupun beda Universitas. Mungkin karena rumah Putri baru pindah dan hanya berbeda beberapa blok dari rumahnya.

“Iya nanti aku kesana”

10 Komentar

  1. si Dwina,, menantu idaman banget nih,,
    Arya kok mau lebih memperhatikan Dwina,, udah ada rasakah??

  2. Ada bnih2 cnta ya..??

  3. ini rasa nya masih satu arah….xexexe
    Dwina nya engga enggeh sama sekali ??

  4. Apa jadinya kalo ibu arya tau kalo dwina cuma temen pinjeman .. sedih bgt :MAWARR

  5. Dwina uda menarik perhatian ibu arya, tapa sayang buuu dwina bukan pacar arya :PATAHHATI

  6. Wih, ibunya suka tu sama Dwina

  7. :PATAHHATI

  8. fitriartemisia menulis:

    Asiknya Arya dimasakin nasi goreng ahhaha

  9. Ditunggu kelanjutannyaaa