Pengantin Rajendra. Bab. 4. MUSUH TAK TERLIHAT.
4 November 2017 in Vitamins Blog
Song title : I Find You by Finding Favour
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Dan ini murni mengkhayal wahaha
Happy reading ya. Warning! Ini belum di edit ketik, langsung posting.
Ratna termenung, memandangi kepulan asap tipis yang berasal dari segelas kecil teh hangat nan harum yang tersaji di depannya. Isah memesankan untuknya karena mengira Ratna sakit. Isah bilang wajah Ratna terlihat pucat pasi semenjak dari perjalanan mereka melalui sungai tadi. Isah sempat bertanya ada apa gerangan yang terjadi padanya, tapi Ratna memilih bungkam. Tidak akan ada orang yang akan percaya apabila dia menceritakan secara jujur yang terjadi padanya di sungai Lubai.
Ratna menarik napas resah, memandang sekitarnya, sekarang mereka berada di sebuah rumah makan sederhana yang ada di kota. Masih ada hal yang harus dia kerjakan lagi, tapi karena kejadian di sungai itu berhasil membuat Ratna seperti orang yang kehilangan akal. Bingung, shock dan ketakutan. Ratna menjadi tidak fokus. Bahkan dia hampir lupa untuk menelpon ibunya. Begitu banyak hal tiba-tiba terlintas dalam benaknya, dan dia berniat akan menanyakan pada ibunya tentang banyak hal. Terutama tentang kalung yang baru di ketahuinya bisa mengeluarkan rasa dingin menyengat di kulit. Lalu alasan apa ibunya melarang melepas kalung itu dari lehernya.
Ponselnya hanya tergeletak pasrah di meja, hatinya menjadi berat untuk bertanya langsung. Tapi akhirnya dia memutuskan menelpon ibunya.
“Ma, apa kabar?” Ratna membuat riang suaranya, agar ibunya tidak khawatir.
Mama baik-baik saja. Kamu kenapa? Nada suaramu berbeda dari biasanya. Kamu sakit? Jangan buat mama khawatir, Nak?
Ibunya curiga. “Nggak, Ma, cuma agak sedikit pusing. Tapi sudah minum obat kok,” elak Ratna. Memang dia tidak bisa berbohong dari ibunya. Ibu Ratna seakan mempunyai feeling yang tajam kalau mengenai dirinya.”Ma…, ada yang ingin aku tanyakan.” Ratna ragu-ragu. Tapi… sudahlah, kapan-kapan saja.”
Apa yang ingin kamu tanyakan? Terdengar suara ibunya seperti penasaran.
“Nggak jadi deh. Ma. Yang penting mama sehat. Sudah ya, Ma. Sinyal disini jelek sekali. Nanti aku telepon lagi.”
Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati ya. Ingat apa yang mama katakan. Kamu masih ingatkan?
Ratna meraba kalung yang melingkar di lehernya. Kalung ini.
“Ya, Ma. Ingat kok. Sudah ya.” Ratna cepat-cepat memutus teleponnya. Ibunya masih saja mengingatkannya tentang kalungnya. Kalung yang beraksi setiap kali mahluk itu muncul.
Rajendra. Ratna mengingat nama lelaki itu dengan sangat jelas. Nama yang disebut bibir lelaki itu begitu tegas. Dada Ratna memanas gelisah. Dia meyakinkan dirinya untuk tidak takut. Satu lagi yang Ratna pahami, kalau ternyata semua itu bukan mimpi. Semua nyata! Ini tidak masuk akal. Dia tidak ingin percaya, tapi tidak juga bisa mengabaikan peristiwa itu. Dari hal yang tergila di dunia, kenapa harus dia yang berurusan dengan mahluk jejadian?
Lalu lelaki itu mengatakan bahwa mereka akan segera berjumpa lagi. Berjumpa lagi? Astaga ini sungguh mengerikan! Ratna tanpa sadar meraba bibirnya, seakan masih terasa bekas ciuman lelaki itu.
Pulang dari kota senja hari mereka melewati sungai Lubai lagi. Kali ini Ratna melihat Buaya putih itu lagi sedang berenang dengan matanya yang bersinar dalam kegelapan senja. Dari jarak yang cukup jauh Ratna bisa merasakan kalau buaya putih itu mengiringi perahu ini kembali.
####
Ratna mengikat rambut sebelum dia berhadapan dengan setumpuk nota pengeluaran proyek. Juga sekalian membuat laporan pertanggung jawaban keuangan proyek. Pengeluaran operasional proyek sudah menjadi tanggung jawabnya, meski bukan dia yang membelanjakan semuanya. Lagipula tetap sibuk untuk tidak berpikir macam-macam tentang apa pun.Tapi sesungguhnya pikirannya tidak pernah lepas dari seseorang yang bernama Rajendra itu. Tarikan napas panjang Ratna terembus, Lehernya terasa mulai terasa pegal.
Pintu kamar Ratna di ketuk pelan, tidak lama kemudian Isah masuk membawa sepiring makanan kecil untuk Ratna.
“Ayuk, makan dulu. Ini kue buatan ibu, enak walau sederhana.” Isah menyodorkan piring yang berisi kue berwarna hijau dalam mangkuk-mangku kecil dari porselen, juga terdapat ketan putih di sebelahnya.
Ratna mengambil satu dari mangkuk kecil itu. Dahinya berkerut bingung. “Ini kue apa, Sah?”
“Kue Srikaya, Yuk. Makannya sama ketan yang ini.” Ratna memeragakan cara kue itu dinikmati.
Lidah Ratna langsung menyukai kue ini. Manis legit bercampur ketan. Sungguh enak sekali.
“Ibu membuat banyak, untuk sedekah sungai. Jadi saya bawa sepiring kesini,” Isah terkikik jahil. “Ibu tidak akan kehilangan kalau hanya beberapa mangkuk.”
“Kamu ini ada-ada saja.” Ratna ikut tertawa. “Oya, sedekah sungai itu apa?”
“Sedekah sungai itu tradisi desa ini turun temurun. Penduduk desa mengucapkan terima kasih pada penguasa sungai Lubai. Berkat kemurahan hatinya dengan memberikan airnya yang menumbuhkan padi-padi kami, juga ikan yang berlimpah untuk kami makan.”
Ratna termangu, ternyata tradisi seperti ini masih ada. Hal yang cukup langka bagi orang kota sepertinya. Penduduk yang sehari-hari hidup bergantung dari sebuah sungai, atau danau atau laut, apa salahnya jika bersedekah memberi sesajen makan ikan-ikan di air tempat mereka menggantungkan hidup? Kadang kita serakah tidak menjaga keseimbangan alam, hanya mau memangsa tanpa mau memberi makan pada piaraan atau makhluk lain yang kita makan.
Tapi penguasa sungai Lubai bukannya buaya putih itu? Dalam arti lelaki itu akan muncul lagikah?
Ramai penduduk desa berkumpul di tepi sungai Lubai. Sebagian dari mereka ada yang membawa kantong-kantong besar yang berisi ikan-ikan kecil. Sebagian membawa wadah-wadah bambu yang berisi berbagai makanan dan buah-buahan. Juga wadah bambu yang besar berisi kepala sapi. Isah mengatakan semua sesaji itu akan di larungkan ke sungai. Ikan-ikan kecil dalam kantung akan dilepaskan ke dalam air. Sebagai pengganti ikan sungai yang telah diambil penduduk kampung.
Ratna mengeluarkan kamera yang selalu dia bawa ke setiap dia keluar kota. Selain untuk memotret kegiatan proyek. Juga untuk memotret pemandangan unik dan indah, begitu dia menemukannya. Seperti hari ini. Pesta Rakyat yang sangat jarang dia temui di manapun.
Ratna mengarahkan kamera DSLR-nya untuk memotret jalannya upacara sedekah sungai. Begitu antusias, hingga dia tidak menyadari seseorang sudah berdiri di sampingnya.
“Dapat pemandangan yang bagus. Permata?”
Ratna terkejut mendengar suara yang menegurnya, kakinya yang menginjak bebatuan menjadi oleng.
“Aww…!”
Tubuh Ratna akan terjatuh ke air kalau tidak tangan kokoh seseorang menangkap pinggang Ratna dan merapatkan tubuh Ratna ke dadanya. Tangan satunya menangkap kamera Ratna yang hampir ikut jatuh.
“Hati-hati, Permata,” bisik suara serak memperingatkan Ratna.
Ratna mendongak. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat lelaki yang telah menolongnya. Tatapan mereka saling terkunci satu sama lain, cukup lama hingga akhirnya Rajendra melepas pelukannya.
Ratna masih dengan keterkejutannya, berdiri gemetar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya. Lidahnya kelu. Lelaki ini berpenampilan biasa, tidak mengenakan pakaian indah seperti waktu terakhir mereka berjumpa. Pakaian yang dikenakannya saat ini seperti penduduk kampung pada umumnya. Sarung yang diikat dipinggang, kemeja cokelat serta celana bahan hitam. Meski begitu, kewibawaan dan aura keagungannya masih bisa dirasakan. Tubuh tinggi besarnya menarik perhatian di antara penduduk. Jangan lupakan wajahnya yang seperti orang asing itu, sangat mencolok. Terlebih lagi para gadis-gadis desa melihat sosok Rajendra. Mereka berbisik-bisik, dan mencuri-curi pandang pada Rajendra, mungkin mereka mengira turis datang untuk melihat upacara ini. Tapi Rajendra acuh, matanya tetap menatap lekat pada Ratna.
“Kau tidak mau bilang apa-apa tentangku?” Rajendra menaikan alis tebalnya, sedikit mengulum senyum.
Ratna menelan ludahnya. “Siapa kau ini? Lalu kenapa mereka bisa melihatmu.” Ratna menunjuk para perempuan yang tertarik dengan kehadiran lelaki ini.
“Pertanyaanmu banyak sekali, Permataku.”
“Namaku bukan Permata. Jangan seenaknya mengganti nama orang.” Ratna mendengkus. Dia tidak memedulikan kalau yang dihadapinya ini bukan manusia.
“Aku tahu. Namamu Ratna. Dan aku Rajendra. Seperti yang pernah kubilang waktu itu,” balasnya santai. “Mereka bisa melihatku, karena aku mengambil wujud manusia biasa. Apalagi yang ingin kamu tanyakan,” tantang Rajendra.
“Siapa kamu sebenarnya?” geram Ratna tertahan. Dia tidak sudi dipermainkan oleh mahluk dunia sebelah.
“Penguasa Sungai Lubai yang mereka hormati. Itu Aku,” jawab Rajendra tenang. Dia tahu perempuan disampingnya ini, sedang marah.
Jantung Ratna berdegup kencang. “Buaya putih waktu itu kamukah?” tanya Ratna was-was. Penuh kewaspadaan.
“Akhirnya, kamu sadar juga.” Rajendra tersenyum tipis. Aku ingin melihat upacara sedekah sungai yang dipersembahkan untukku,”katanya sambil menaruh tangannya dibalik punggung. Seakan dia bangga melihat semua ini. Rajendra memandang puas pada upacara adat itu, dagunya terangkat angkuh. “dan…tentu saja, keinginan terbesarku bertemu lagi denganmu.” Rajendra menoleh pada Ratna, bibirnya melengkung membentuk senyum.
Sontak wajah Ratna menghangat ketika mata mereka kembali bertemu. Ratna melengos. Fokus, Ratna. Dia bukan manusia. Bukan manusia, batinnya memperingatkan. Segera saja Ratna membereskan tas ranselnya, bersiap pergi.
Rajendra menahan lengan Ratna. “Mau kemana?”
Ratna menarik lengannya, tanpa menjawab dia pergi meninggalkan Rajendra begitu saja. Rajendra hanya memandang punggung kecil Ratna yang semakin menjauh dalam diam. Sepertinya akan sangat sulit mendekati perempuan manusia ini.
“Hei!” seru Rajendra pada Ratna.
Seruan itu membuat Ratna menoleh.
“Kalau kau ingin bertemu denganku, panggil saja namaku. Aku pasti akan datang di mana pun kau berada.”
Ratna tidak menjawab, lalu melangkahkan kakinya lagi menjauh dari sana. Memangnya siapa yang mau memanggil mahluk dunia sebelah?
###
Seorang lelaki mengamati kepulan asap hitam pekat yang keluar dari sebuah wadah perak berbentuk bundar berkaki tiga. Asap hitam itu meliuk-liuk menyebar membentuk gambaran sosok perempuan yang tak lain adalah Ratna. Lelaki itu tersenyum dingin.
“Aku ingin perempuan itu ditemukan, dan bawa dia kehadapanku, ” suara perintah tanpa bisa ditolak dari lelaki yang duduk di singgasananya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk pegangan kursi, dia sedang memikirkan suatu rencana.
Salah satu anak buahnya maju ke depan, penampilan lelaki itu sungguh berantakan dan menyeramkan. Rambut lelaki itu setengah botak, kulit hitam dengan sisik kasar. “Perintahkan saja hamba yang hina ini, Tuanku.” Matanya menyiratkan kelicikan. “Hamba bisa menemukan perempuan itu dengan mudah, dan akan membawanya ke hadapan tuanku,” sambungnya lagi.
Lelaki di atas kursi kebesarannya itu tersenyum sinis. “Jangan sampai gagal, Shes. Kalau kau tertangkap oleh Rajendra maka kau dipastikan tidak akan selamat,” tandas lelaki itu lagi.
Lelaki yang di panggil Shes itu, berlutut memberi hormat. Lalu menghilang dari hadapan tuannya begitu saja seperti asap.
Lelaki itu menyeringai kejam membayangkan Rajendra murka.
Ratna membelokkan langkahnya menuju Curug kaco. Akhirnya dia kemari juga karena penasaran dengan tempat ini, toh dia hanya sebentar saja. Sesampainya disana matanya memandang takjub, Ratna terpaku dengan pemandangan di depannya. Curug kaco ini sangat indah dengan tujuh tingkatan air terjun yang jatuh deras dari ketinggian tebing, menciptakan cahaya pelangi lembut. Ratna mengira ketinggian air terjun ini mungkin mencapai 40 meter.
Di sela-sela dinding air terjun mengalir air jernih, sehingga seperti tirai bening. Ratna melepas sepatu dan menjatuhkan ranselnya kebebatuan. Sebelumnya dia mengambil kamera untuk mengabadikan keindahan Curug Kaco ini. Ratna berjalan berjalan perlahan, memanjat tempat yang agak tinggi untuk melihat lebih jelas lagi. Wow! Ratna berdecak kagum dalam hati begitu melihat dari ketinggian. Sesuai dengan namanya Curug Kaco yang artinya air terjun kaca, airnya sungguh jernih sebening kaca.
Banyak sekali ikan kecil yang berenang nyaman, dahan pohon- pohon mati tenggelam di dasarnya. Kamera Ratna mulai memotret semuanya. Suasana yang tenang jauh dari kebisingan membuat Ratna betah dan memilih berlama-lama. Dia berharap orang tidak banyak mengetahui tempat ini, karena begitu tempat ini tersebar bukan tidak mungkin tempat seindah ini akan rusak oleh tangan-tangan jahil yang tidak memelihara alam.
Begitu terlarutnya Ratna melihat air terjun itu, hingga dia lupa kalau sudah hampir dua jam dihabiskannya untuk memotret. Waktunya untuk pulang. Ketika Ratna membereskan peralatannya, mendadak muncul seorang lelaki entah dari mana munculnya. Dia berjalan mendekati Ratna. Ratna segera meraih tas dan bersiap pergi secepatnya, dia punya firasat buruk.
“Eh, mau kemana, gadis cantik?” Lelaki asing itu mengadang langkah Ratna.
Ratna menatap geram pada lelaki kurang ajar ini. Ternyata dimanapun tempat pasti ada orang yang bergaya bajingan, bahkan di tempat seperti ini juga. Ratna teringat pepatah yang mengatakan, rasa penasaran bisa membunuhmu. Sepertinya rasa penasarannya dengan Curug Kaco membuatnya celaka seperti sekarang.
“Hmm, cantik sekali. Sayang, aku diperintahkan tuanku untuk membawamu ke tempatnya. Kalau tidak, dengan senang hati aku ingin mencicipi tubuhmu.” Mata lelaki asing itu menelusuri bentuk tubuh Ratna dari atas hingga ujung kaki dengan kurang ajarnya.
Ratna mengepalkan tangan bersiap akan meninju.
“Calon pengantin Raja Rajendra begini cantik. Pantas saja tuanku menginginkannya juga.” Suara serak sungguh menjijikan terdengar. Lelaki itu menyentuh dagu Ratna.
Apa maksudnya? Siapa yang pengantin? Ratna tidak mengerti apa yang dibicarakan lelaki asing ini. Rajendra? Apa hubungannya dia dengan ini?
Ratna menepis marah tangan kotor itu. “Jangan sentuh aku! “serunya. “Siapa kau ini?!” bentaknya bercampur gugup.
“Wah ternyata cukup bernyali juga, Cantik.” Dengan ganas dia mencengkeram wajah Ratna dengan tangan kasar dan sepertinya terlihat bersisik kehijauan. “Tuanku pasti akan memberikan hadiah besar padaku, karena telah berhasil membawamu kepadanya, ” desisnya. “Namaku Shes, lebih baik kau ingat-ingat itu, Cantik.” Kekehnya. Shes senang ternyata tidak sulit menemukan perempuan ini.
Ratna mengertakan giginya. Spontan dia mengarahkan tendangan ke arah selangkangan lelaki asing itu demi menyelamatkan diri. Shes langsung melepaskan cengkeramannya dari wajah Ratna, dia menjerit kesakitan.
Ratna memutar tubuhnya untuk lari, tapi lelaki itu bergerak cepat, menarik dan menjambak rambutnya. Disusul dengan sebuah tamparan mendarat di wajah Ratna dengan keras hingga mengenai bibir. Rasa perih yang menyengat langsung terasa di bibirnya, darah segar langsung mengucur deras. Sialan!
“Jangan coba-coba melawan. Kalau kau tidak mau celaka.” Shes tertawa keras, menampakkan gigi hitam kekuningan. Berikutnya dia mencekik leher Ratna dengan keras.
Ratna merasakan napasnya hilang, dia menatap penuh kebencian pada lelaki itu. Tubuhnya gemetar menahan amarah. Dia berusaha memberontak. Kepalanya sakit, pandangannya mulai menggelap. Tangan Ratna mencengkeram lengan yang mencekiknya dengan kuat.
Shes merasakan panas menyengat pada lengannya begitu telapan tangan dan kuku dari Ratna menyentuh kulitnya. Panas sekali seakan api yang membakar. Sejurus kemudian dia melempar tubuh mungil Ratna, hingga tersuruk di bebatuan. Dia mengelus lengannya, terdapat luka bakar menghitam disana.
“Kau melukaiku ?” ucap Shes terkejut. Dia mulai berpikir kalau perempuan yang terkapar itu bukan manusia biasa. Buktinya dia bisa melukai kulitnya yang terkenal keras dan sulit dilukai.
Ratna terbatuk-batuk, mencari udara.
Kembali Shes menghampiri Ratna, dia mengulurkan pedang ke arah leher gadis itu. “Kamu tidak bisa dibiarkan hidup. Lebih baik aku membunuhmu sekarang, anggap saja kecelakaan. Majikanku tidak akan marah.”
Ratna memejamkan mata. Saat-saat seperti ini berharap seseorang akan datang menolongnya. Siapa pun dia. Rajendra!
Nama itu terlintas dipikiran Ratna. Dia juga tidak mengerti kenapa nama itu yang dia sebut. Tidak mungkin juga sosok lelaki itu akan muncul begitu saja.
Tapi Ratna sepertinya salah.
“Lepaskan dia!” Suara menggelegar penuh kemarahan tiba-tiba menyeruak di pendengaran Ratna.
Sekejap Ratna merasakan tubuh lelaki gila yang sedang menodongkan senjatanya itu mendadak menegang.
Ratna perlahan membuka matanya untuk melihat siapa yang sudah menolongnya. Ya, Tuhan! Jantung Ratna berdebar kencang. Rajendra! Dia benar-benar datang!
Terlihat seseorang lagi bersama Rajendra, dan Ratna tidak mengenalnya. Lelaki berwajah tampan namun pucat dan berambut panjang putih berdiri di belakang Rajendra dengan gagah dengan belati sebatas lengan di genggamannya.
Mata tajam Rajendra berpindah kepada wajah Ratna yang memucat pasi. Dengan rambut berantakan dan luka di bibir yang mengeluarkan darah segar.
Mata Rajendra menyala penuh amarah besar. “Berani-beraninya kau!” bentaknya. Rajendra merasakan dadanya panas karena amarah yang membuncah. Dia menepis mundur lelaki itu, meraih tubuh Ratna yang melemah, memeluknya dengan erat.
” Kamu tidak apa-apa, Permata?” jemari Rajendra menyentuh bibir Ratna yang sobek.
Ratna meringis kesakitan, matanya terpejam sesaat. Dia terlalu lemah untuk berbicara, sekaligus ketakutan dengan kejadian ini.
“Tunggulah di sini sebentar. Aku akan membereskan si busuk sialan ini,” desisnya geram. “Tarak, jagalah perempuan ini sebentar.” Perintahnya pada Tarak yang mengangguk patuh.
Membereskan? Maksudnya apa?
Shes sama sekali tidak gentar, malah dia menentang dengan mengarahkan mata pedangnya kepada Rajendra. “Yang Mulia Rajendra ternyata sudah datang. Tuanku akan sangat senang kalau aku bisa membawa mayat Yang Mulia juga kehadapannya.” Sebuah seringai kejam terlihat mengerikan. Shes bergerak cepat sambil melesatkan pedangnya dengan begitu cepat ke arah Rajendra.
Namun, Rajendra bergeming. Dengan tenang dia hanya mengulurkan tangan kanannya. Seketika itu juga, pergerakkan dari lelaki asing itu berhenti, bersamaan dengan terangkatnya tubuh itu ke udara, pedang ditangannya terjatuh.
Mata Ratna sontak terbuka, terbelalak ngeri. Sebuah kekuatan tidak terlihat seperti mengangkat tubuh itu. Apa yang terjadi?
Rajendra tersenyum dingin, matanya menatap kejam pada tubuh yang terangkat tinggi itu. “Darah dibalas darah. Beraninya kau sudah melukai perempuan milikku,” geramnya marah. Rajendra mengepalkan tangannya. Matanya terpejam sesaat. Kemudian terbuka lagi, bersamaan dengan munculnya benda berbentuk bundar sebening air begitu dia membuka telapak tangannya.
Benda bundar itu melayang perlahan ke udara, berputar sejenak mengelilingi Rajendra, seakan benda itu memiliki sayap. Yah, benda bundar itu adalah air. Salah satu dari sekian senjata miliknya, selain Pedang kembar Kastara. Banyu Utpata. Banyu Utpata adalah air tapi bukan jenis air biasa. Banyu Utpata adalah senjata mematikan. Mampu membentuk senjata apapun sesuai perintah pemiliknya.
Tak lama kemudian Banyu Utpata memecah diri menjadi beberapa bagian, membentuk pisau-pisau bening kecil nan tajam dalam jumlah banyak.
Wajah Shes yang terperangkap di udara terkesiap dan pucat, darah seolah hilang dari tubuhnya. Matanya membelalak penuh ketakutan melihat pisau kecil yang terbentuk begitu banyak. Dia sudah membayangkan seandainya pisau itu menusuk ke seluruh tubuhnya. Sudah dipastikan dia tidak akan hidup. Dia sudah mendengar desas desus di kalangan siluman air, selain pemiliknya yang tidak mengenal belas kasihan terhadap lawan. Senjata yang dimiliki Rajendra tidaklah sedikit dan kesemuanya mematikan. Lelaki itu memberontak hendak melepaskan diri tapi percuma saja.
“Aku tidak perlu mencemari tanganku dengan darah kotormu. Cukup senjataku saja. Perlahan-lahan kau akan mati kehabisan darah. Menyenangkan melihatnya, bagaimana kau akan memohon untuk mati secepatnya.” Rajendra mengangkat tangannya memberi perintah.
Sedetik kemudian, dengan kecepatan menakjubkan pisau-pisau air melesat cepat ke arah tubuh musuhnya. Dalam sekejap tubuh Shes sudah di dipenuhi oleh Banyu Utpati. Semuanya, tidak ada yang terlepas dari tajamnya pisau itu. Hanya menyisakan bagian kepalanya yang selamat tidak terkena sama sekali. Shes tidak sempat berteriak lagi, darah sudah memuncrat dari mulutnya. Sekujur tubuhnya bermandikan darah. Napasnya terengah, dadanya naik turun menarik udara ke paru-parunya. Tapi sepertinya percuma saja.
“Ck, sayang sekali aku ceroboh. Kepalamu tidak kena,” ujar Rajendra santai. “Sekarang aku ingin bertanya, siapa yang telah mengirimmu untuk menculik calon pengantinku? Katakan dengan singkat, aku kasihan melihatmu tersiksa begini.” Rajendra berpura-pura simpati. Dia lebih suka mempermainkan musuhnya yang sedang sekarat. Menarik untuk dilihat, bagaimana nyawa mereka tinggal separuh.
“A… aku tidak… a…kan menjawabnya. Uhuk…uhukk.” Lelaki itu terbatuk darah lagi. “Tuanku sangatlah hebat. Tunggu saja kekalahanmu, Yang Mulia Rajendra. Lebih baik bunuh saja aku.” kekehnya mengejek Rajendra.
Rahang Rajendra mengeras menahan murka, “Keras kepala. Baiklah kalau itu memang keinginanmu. Matilah kau.” Banyu Utpati satu lagi meluncur, dan tepat mengenai bagian dahi lelaki itu. Berakhirlah hidupnya seiring dengan tubuhnya yang perlahan berubah menjadi serbuk, jatuh dan hilang tersapu angin terbawa ke Curug Kaco.
Tubuh Ratna melemas lunglai melihat kejadian menyeramkan penuh darah dimana-mana. Kejadian layaknya film fantasy yang sering di tonton. Lalu kematian lelaki itu yang berubah menjadi debu, membuatnya mual mau muntah. Tiba-tiba saja pandangannya menggelap dan dia tidak ingat apa-apa lagi.
###
“Hai, bangun, Permata.”
Ratna membuka matanya ketika merasakan pipinya ditepuk-tepuk pelan. Begitu matanya terbuka sempurna, dia langsung dihadapkan dengan sepasang mata emas yang menatapnya cemas.Ternyata dia sudah berada di pangkuan Rajendra. Secepat kilat Ratna mendorong dada Rajendra, dan langsung berdiri tegak. Namun, Rasa pusing langsung menyergapnya, rasa sakit akibat pukulan masih terasa berdenyut.
“Sepertinya kamu sudah mulai tidak aman di dunia permukaan. Kamu harus ikut denganku,” cetus Rajendra.
“Apa? ikut denganmu?” ulang Ratna bingung sambil memijat dahinya.
“Ke istanaku. Di sana kau akan aman karena dalam perlindunganku. Aku yakin, musuhku masih akan mengincarmu lagi kalau berada di duniamu.”
Sekejap akal sehat Ratna kembali, “Kau gila! Istana apa?” Dia berusaha untuk tidak panik. Ratna memiringkan kepalanya dan menatap Rajendra.
“Sudah tidak ada waktu lagi. Aku akan membawamu ke rumahmu yang baru,” jawab Rajendra. “Kau akan hidup denganku. Kau bersedia sukarela ikut denganku?”
Bersambung…
3.000 word huft#lapkeringet#
Maafkeunnn sebulan nggak update, masih ingat ceritanya kan #mojoksamaTarrak#
Pertarungannya kurang rame ya hmm maklum masih newbie bikin cerita begini#selftabok#
Penjelasan arti nama-nama tokoh di Pengantin Rajendra yang di ambil dari bahasa Sansekerta :
Rajendra berarti Raja yang sangat kuat.
Ratna berarti Permata yang jelita.
Tarrak berarti Bintang Pelindung. Cocok untuknya sebagai tangan kanan Rajendra
Kastara nama pedang kembar milik Rajendra artinya Termasyur.
Senjata berupa bola air yang di pakai Rajendra itu Banyu Utpata artinya Air Terbang.
Pengantin Rajendra Bab. 3 Pertemuan.
18 September 2017 in Vitamins Blog
Song by : Ernesto Cortazar
Title : When Two Soul Meet.
“cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”
Ratna melewati jalan setapak di atas Bukit Angin. Dinamakan Bukit Angin karena terdapat banyak pohon cemara angin tumbuh mendominasi sebagian bukit ini. Mata Ratna melebar memandang takjub dari kejauhan pada hamparan sawah di kaki bukit. Padi menguning keemasan bersiap untuk di panen, anak sungai kecil jernih mengalir deras, dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawah. Sungguh pemandangan elok memanjakan mata. Keindahan seperti ini yang dia kira hanya ada dalam lukisan ternyata terpampang nyata di hadapannya. Ratna merentangkan tangan menghirup udara segar sepuasnya memenuhi paru-parunya, sekejap rasa lega menghampiri.
Ratna baru saja menyelesaikan pekerjaannya mendata pekerja, dari juru las sampai asisten juru las. Mereka akan mengerjakan pembangunan rumah turbin dan pengelasan pipa untuk aliran air, dari pintu air melewati punggung bukit ini. Ratna juga berdiskusi dengan istri kepala kampung, yang juga ibunya Isah untuk penyediaan makan siang dan makan malam untuk pekerja. Kantor pusat memutuskan menggunakan jasa ibu-ibu kampung, karena kondisi yang jauh dari kota tidak memungkinkan mereka memesan makanan dengan cepat. Lagipula bisa menambah penghasilan untuk mereka juga. Tentu saja dengan lauk seadanya.
Isah sudah pulang duluan karena harus membantu ibunya yang menyiapkan makan pekerja mulai malam ini. Isah juga dipekerjakan di proyek untuk membantu menyiapkan keperluan pagi untuk staff kantor, terutama sarapan dan kopi untuk Pak Burhan bersama lainnya. Pak Amran tadi menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi Ratna menolak. Dia ingin menikmati pemandangan dari atas bukit cemara terlebih dahulu sendirian saja.
Hari menjelang sore, namun matahari masih tampak jelas dan terang namun tidak terik. Angin perlahan berdesir nan lembut meniup rerumputan liar di kiri kanan jalan. Ratna menyelipkan anak rambut ikalnya di belakang telinga karena tertiup angin. Ratna terus melangkah, dengan tas ransel dipundak. Tapi, sepintas dia merasakan seseorang sedang mengawasinya dari balik pepohonan cemara di sebelah kanannya. Perasaan cemas membuat Ratna mengamati dengan seksama ke arah pepohonan, namun tidak ada tanda-tanda orang di sana. Ratna meraba lehernya, dingin kalungnya kembali terasa. Persis sama dengan kejadian waktu itu, perjumpaan aneh yang sepintas tidak nyata dengan sosok lelaki misterius. Ratna tidak menampik, di jaman modern ini hal mistis yang berhubungan dengan dunia lain masih sering terjadi, dimana pun itu.
Ratna sebenarnya buka perempuan penakut, apalagi dia menguasai sedikit ilmu bela diri walau hanya tingkat dasar. Tapi baru kali ini Ratna merasakan sesuatu akan terjadi padanya. Dia tidak mengerti kenapa instingnya mendadak menajam. Ditambah lagi, dia baru mendengar dari para pekerja seorang penduduk setempat tewas tenggelam ketika mandi di sungai. Tubuh penduduk itu kembali, tapi dengan lubang menganga di belakang kepalanya. Isah mengatakan siluman air yang memangsa otaknya. Ratna bergidik, mengusap lengannya dengan gelisah lalu berjalan cepat.
“Ayuk Ratna!” seru Isah. Dia menunggu di persimpangan jalan menuju ke desa dan ke arah Curug Kaco. Tadi Ratna berniat kesana untuk membuktikan keindahannya, namun diurungkannya karena sudah sore. Isah pernah berpesan jangan pernah ke Curug Kaco sendirian.
Napas lega diembuskan Ratna begitu melihat Isah menyonsongnya, “Kok kamu kembali lagi?”
“Saya hanya khawatir, Ayuk sendirian pulang lewat sini, takut ada apa-apa.”
“Oh begitu.” Ratna manggut-manggut. “Ya sudah, ayo pulang.” Ratna berjalan di dampingi Isah.
Sementara itu dari balik pepohonan cemara, muncul sosok tinggi yang sedari tadi memerhatikan Ratna. Sebuah senyum penuh arti muncul di bibirnya. Jadi namanya Ratna? Ratna.., Permata.
Dentingan pedang beradu di udara. Tarak merunduk rendah, memutar menusuk, serangannya menuju ke arah Rajendra. Rajendra bergerak kesamping menghindari tusukan belati sepanjang lengan itu mengarah ke lehernya. Rajendra sendiri tahu, kalau Tarak tidak pernah segan untuk melukainya walau dia adalah rajanya sekali pun. Namun Rajendra kalah cepat kali ini, belati perak Tarak dengan kecepatan tinggi ternyata sudah menempelkan di leher Rajendra.
Rajendra menggeram kesal mengumpat dalam hati. Belum pernah dia merasa seceroboh ini dalam bertarung. Tiap kali dia bertarung dengan musuhnya di medan perang, kewaspadaan selalu bersamanya. Tidak pernah sekali pun dia lengah karena musuh mereka mempunyai berjuta cara licik untuk membunuhnya, bernapsu merebut kekuasaannya dan menggantikannya sebagai raja. Seandainya saja belati itu milik musuhnya, sudah sedari tadi kepalanya menggelinding jatuh.
“Yang mulia melambat.” Tarak menarik belati panjang miliknya dari leher Rajendra. “Jadi siapa kah perempuan pasangan jiwa Yang Mulia Raja itu?” senyum lebar tak lepas dari bibir Tarak.
Rajendra bersungut-sungut, “Perempuan yang mana?”
Tarak tersenyum menggoda Rajendra. “Perempuan Yang Mulia pikirkan saat ini, hingga tidak bisa berkonsentrasi berlatih.”
Rajendra mendengkus, “Sepertinya tidak ada yang tidak kamu ketahui,” sindirnya.
Tarak tersenyum sopan, “Jadi benar adanya kabar dari Sang Daman kalau calon ratu kerajaan kita berasal dari manusia. Yang Mulia yakin?”
“Itu hanya ramalan si Nenek tua itu, belum tentu akan terbukti.” Rajendra menyeret langkahnya hendak meninggalkan arena latihan. “Dan aku__ tidak ingin membuktikannya dengan mencoba-coba mencari tahu tentang calon ratuku itu.”
“Benarkah?” Alis kanan Tarak naik. “Tapi Yang mulia pergi diam-diam ke dunia permukaan lagi, mengintai perempuan itu. Bahkan melupakan pengaturan strategi perang denganku.”Tawa Tarak berderai menggoda Rajendra.
Wajah Rajendra memerah sesaat, lalu kemudian berubah lagi menjadi datar dan tak terbaca. “Tebaklah sesukamu. Aku selesai latihannya.” Rajendra memilih menyelesaikan latihan tarungnya lebih awal daripada mendengar ucapan Tarak. Rajendra baru ingat akan rapat strategi perang itu. Pertemuan itu penting karena musuh mereka setiap saat bisa mengibarkan bendera perang. Peperangan bukanlah hal aneh di dunia mereka. Perebutan wilayah dan kekuasaan seperti sudah menjadi pekerjaan sehari-hari mereka. Bahkan mereka akan saling membunuh. Musuh mereka bisa datang dari pihak mana saja, bahkan sesama siluman air sekali pun.
Rajendra berjalan dengan langkah lebar menuju tempat tinggalnya sambil pikirannya terbang kepada perempuan manusia itu. Rajendra kembali teringat pertemuan pertamanya dengan gadis manusia itu. Perempuan yang sangat cantik dengan matanya yang bulat balas menantapnya dengan berani. Rajendra bisa melihat ada sedikit kebingungan di wajahnya. Saat itu jantung Rajendra langsung menderu kencang, ketika mata saling bertemu. Keinginan untuk melihat perempuan itu lagi begitu kuat, seakan ada kekuatan besar yang menariknya. Dia ingin melihatnya lagi dan lagi, setelah beberapa kali secara diam-diam mengawasinya dari kejauhan. Lalu timbulah keinginan ingin segera membawan perempuan itu ke istana miliknya. Ratna…
Ratna meletakkan buku novel yang di bacanya di atas meja kecil di samping tempat tidur, sengaja dia membawa dari salah satu koleksinya untuk menghilangkan bosan. Lampu darurat menyala temaram, membuat matanya makin memberat tak sanggup lagi melanjutkan membaca sampai habis. Ratna mendesah dalam hati berharap lampu tidak kehabisan baterai sampai besok pagi, karena akan membuat semuanya menjadi gelap gulita seperti kemarin malam. Kegelapan membuatnya sulit tidur. Suasana sungguh sunyi sekali, hanya suara kodok dan jangkerik yang bersahutan. Ratna menarik selimut, membungkus tubuhnya hingga ke batas leher mengatasi udara yang dingin yang menyeruak, memejamkan mata dan akhirnya berhasil tertidur.
Dalam diam Rajendra mengawasi Ratna yang tertidur lelap. Dia berdiri di sudut kamar dalam kegelapan yang tak tercapai cahaya lampu yang temaram. Entah keinginannya gilanya muncul lagi, membuatnya penasaran dengan perempuan yang diramalkan Sang Daman untuknya. Maka dia nekad mendatangi tempat tinggal Ratna secara diam-diam.
Tapi peringatan yang ditinggalkan Sang Daman yang membuatnya resah.
“Ingatlah, bukan hanya Yang mulia yang menginginkan perempuan itu. Jadi meskipun dia di takdirkan akan menjadi Ratu kerajaan Graha Mandakini, bukan berarti takdir tidak bisa dipatahkan.”
Rajendra berdiri tegak di samping tempat tidur Ratna, Tangan kiri menumpu tangan kanannya yang memegang dagu seakan sedang berpikir rumit. Mata keemasannya menelusuri rambut ikal gadis itu yang tergerai di bantal. Rambutnya begitu hitam, sehitam malam. Rajendra serta merta menekuk kaki, berlutut untuk memandang lebih jelas wajah Ratna yang nyenyak tidur. Perempuan ini memiliki bulu mata yang lebat dan lentik. Kulitnya begitu putih bersih. Semu kemerahan terlukis di pipi mulusnya. Baru kali ini dia melihat secara dekat sosok perempuan yang sepertinya sudah membuat jantungnya berdetak kencang. Dia tidak ingin datang menemui perempuan ini, tapi sepertinya hatinya mendadak menjadi pembalela.
Rajendra hampir menahan napas, ketika pandangannya jatuh kepada bibir gadis itu. Bibir tipis yang begitu mengundang untuk dikecup. Sekuat tenaga pula Rajendra menahan diri untuk tidak melumat bibir ranum itu. Tangan Rajendra terulur menyentuh wajah Ratna yang tertidur. Ratna bergumam sebentar lalu berbalik menelentang, selimut sudah turun ke dadanya, memperlihatkan leher jenjang dan putihnya. Rajendra sempat mundur, tapi sepertinya Ratna tidak terbangun.
Tatapan mata tajam Rajendra turun menyambar leher Ratna. “Tho” merah berbentuk kuncup bunga teratai, tanda bahwa Ratna adalah calon pengantinnya. Tidak diragukan lagi. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Dahinya berkerut mengamati sesuatu yang melingkari leher Ratna.
Kalung Taritiya!
Tidak mungkin! Kalung itu sudah lama menghilang dari kerajaan. Kenapa ada di perempuan ini? Rajendra mengulurkan tangan menyentuh kalung itu. Kalung Taritiya sendiri adalah sebuah kalung perlindungan. Kalung berwarna kebiruan bening dengan ukiran gelombang air. Kalung yang digunakan sebagai penyamar jejak bagi ratu terdahulu, agar musuh tidak mengetahui keberadaannya apabila dalam keadaan genting atau apabila kalah perang dengan musuh. Seorang Ratu tidak dibiarkan hidup apabila sang Raja kalah perang.
Dan kalung ini kekuatannya akan menghilang apabila sudah kembali ke tempat kalung ini berasal. Sudah jelas kalung Taratiya milik dari raja terdahulu sebelum ayah Rajendra mengambil alih kekuasaan. Sebuah kalung pusaka turun temurun. Jadi perempuan ini disembunyikan agar tidak diketahui oleh siapa? Dari dirinya atau dari siluman lainnya? Tapi kenapa?
“Eumm…,” tiba-tiba Ratna bergumam kecil.
Rajendra beringsut mundur, agar gadis itu tidak terbangun dan ketakutan begitu melihatnya. Hening. Mendadak Rajendra melihat gadis ini membuka matanya dan memandang sayu kearahnya. Gadis itu tersenyum sesaat, lalu memejamkan matanya kembali.
Rajendra terpaku melihat senyum itu. Bahkan dalam tidur pun perempuan ini bisa senyum secantik itu. Demi dewi penguasa lautan! Rajendra ingin segera bisa memiliki perempuan ini bagaimana pun caranya!
****
Sudah sepekan Ratna berada di kampung ini, dia mulai sedikit terbiasa dengan lingkungan sekitarnya yang menurutnya masih begitu alami dan menyegarkan. Dia berharap bisa untuk betah di sini. Dia juga lebih suka menikmati terjun langsung di lokasi, meskipun terkadang tempatnya jauh dari peradaban kota, bahkan dari tempat yang mendapatkan sinyal gawai pun susah. Memanjat pohon atau naik ke atap rumah tentu saja tidak mungkin dia lakukan. Seperti keadaannya saat ini, dia harus ke kota demi sinyal dan melaporkan kegiatannya ke pusat. Sekalian mengambil dana yang di transfer dari kantor pusat untuk operasional proyek. Dan juga menelpon ibunya. Ratna sudah rindu.
Ratna berdiri di tepian sungai menunggu perahu datang sambil mengambil batu sungai kecil dan melemparnya ke air, kegiatan lumayan penghilang jenuh menunggu. Tidak lama kemudian perahu pun datang, Ratna bergegas naik. Kali ini ditemani Pak Amran lagi dan juga Isah yang ikut karena akan membeli sesuatu di kota. Perahu berjalan tenang begitu juga dengan air sungai. Sepanjang sungai dia melihat beberapa penduduk yang memancing ikan dengan menggunakan Tangkul. Arus sungai deras dan jernih adalah tempat yang di sukai ikan.
Ratna memasukan tangan ke dalam air sungai merasakan hangatnya lagi seperti waktu itu. Namun, sesuatu bergerak dari dalam air mendekati perahu yang dinaiki Ratna. Mahluk itu berenang dengan tenang menuju ke arah Ratna duduk.
Ratna memeluk lututnya menumpukan kepala di atasnya, melamun dengan tangan masih memainkan air. Ratna tiba-tiba terkesiap karena merasakan sesuatu yang sedingin es menyentuhnya, spontan Ratna menarik cepar tangannya.
Isah bertanya keheranan ketika melihat tingkah Ratna, “Ngapo, Yuk?”
“Tidak apa-apa.” Ratna menggeleng. “sepertinya ada ikan besar yang menyentuh tanganku tadi,” ucap Ratna. Dia kembali membuang pandangannya ke air sungai, sepertinya ada riak besar di sana yang menandakan akan sesuatu yang naik kepermukaan.
“Kita berjumpa lagi, Permataku.”
Jantung Ratna berdentam seperti dipukul keras. Suara itu lagi. Suara dalam dan berat. Mata bulat Ratna melebar ketika dia melihat persis di samping perahu seekor buaya putih yang sangat besar dan panjang mengiringi perahu ini. Panjang buaya itu mungkin melebihi panjangnya perahu yang dia tumpangi. Ratna membekap mulut. Matanya menatap horor. Buaya putih! Ratna langsung teringat perkataan tukang perahu ketika dia batu tiba di kampung ini. Jadi apakah buaya ini penunggu sungai yang ditakuti penduduk setempat?
Ratna ingin menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ratna melirik Isah yang tetap tenang, begitu juga Pak Amran yang merokok sambil bersandar di kursi penumpang. Tidak ada yang melihat buaya ini selain dirinya, kenapa dia bisa melihat mahluk ini? Semuanya seperti tidak merasakan adanya bahaya di dekat perahu. Bukan itu, bahkan mereka tidak merasakan ada buaya besar di dekat mereka.
Jadi apakah buaya putih ini yang menyentuh tangannya tadi?
“Kamu melihatku kan?”
Ratna menatap berani menantang mata berwarna keemasan. Warna mata yang sama dengan lelaki yang dia pernah lihat.
“Ternyata benar, kamu bisa melihatku. Permata.”
Ratna bersumpah kalau telinganya mendengar suara kekehan yang berasal Buaya Putih itu. Dia menautkan jarinya,meremasnya resah. Ini mimpi. Pasti mimpi! Tolak pikiran Ratna.
“Jangan takut, aku tidak akan mengganggumu. Ijinkan aku menemani sampai ke tujuanmu, Wahai permata.”
Arus sungai di depan semakin menderas. Ratna melihat Buaya putih itu mengibaskan ekornya yang besar untuk menahan arus sungai mengguncang perahu. Setelah itu mahluk itu kembali muncul dan menghilang dalam air. Sesekali muncul buaya putih itu memandangi Ratna, mengeliling perahu, muncul dan menghilang lagi seakan mengajaknya bermain.
Ratna terkesima melihatnya. Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa Buaya putih ini sepertinya bukan mahluk yang berbahaya? Bentuknya memang menyeramkan dengan sisik putih dan punggung tajam yang nampak keras. Tapi kesan mistis dan menakutkan tidak terasa olehnya. Sebaliknya Ratna menyukai cara buaya itu berenang, begitu pelan seakan buaya itu takut apabila hempasan ekornya akan mengenai perahu.
Sesampainya di tempat tujuan Buaya putih itu menyelam menghilang. Ratna mencari kemana buaya putih besar pergi. Namun kemudian sesuatu muncul kembali dari dalam air, bukan buaya putih tadi akan tetapi sosok lelaki di sungai malam itu. Tapi kali ini dalam bentuk berbeda, bentuk manusia secara utuh.
Tubuh itu berdiri gagah di atas air seakan itu adalah tanah yang keras. Tidak terdapat setetes pun air membasahi tubuh dan pakaiannya, walau dia muncul dari dalam air. Lelaki itu mengenakan pakaian tunik panjang keemasan tanpa lengan, memperlihatkan betapa lengan itu kekar dan terlatih. Juga jubah hitam penuh dengan ornamen benang emas di sepanjang tepiannya, jubah terpasang menutupi punggung serta pundak. Sepanjang lengan kanan lelaki itu terdapat seperti tato berbentuk api merah yang menyala.
Ratna mengerjap, kali ini dia lebih jelas melihat betapa tampan dan gagahnya lelaki itu. Wajahnya seperti perpaduan barat dan timur. Rambutnya sewarna tembaga, serta rahang kokoh persegi yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Mata tajamnya begitu dalam seperti pusaran air tanpa dasar, menyeret Ratna untuk tenggelam kedalam manik matanya.
Sekejap kemudian Ratna merasakan perubahan aneh pada sekitarnya. Semua suara mendadak menghilang. Seakan saat ini hanya ada mereka berdua sekarang. Mereka saling memandang lekat, seperti dalam momen keabadian. Ratna tidak dapat menggerakkan tubuh, ketika lelaki itu berjalan makin dekat kearahnya. Lelaki itu pun tiba di hadapan Ratna. Ratna merasakan betapa tingginya tubuh lelaki ini, hingga dia harus menengadah hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam keemasan.
Lidah Ratna terasa kelu untuk berkata-kata, ketika tangan lelaki itu terulur menyentuh wajahnya dengan ujung jari jemarinya, lalu turun ke dagu. Lelaki itu menurunkan wajahnya hingga mereka saling memaku pandangan. Perlahan bibir maskulin itu menyapu bibir Ratna lembut. Ratna membeku, tulangnya seakan dilolosi dari tubuhnya dalam seketika. Darah mendesir naik ke wajahnya yang mulai terasa menghangat.
“Kau…?” suara Ratna akhirnya keluar juga walau seperti tercekik.
“Aku Rajendra. Ingatlah itu. Sampai bertemu lagi…, Ratna,” bisiknya serak tepat di atas bibir Ratna. Rajendra lalu berjalan mundur perlahan lalu membalikkan tubuhnya, berjalan menuju sungai kembali.
Mata Ratna terbelalak, melihat lelaki tadi sudah berada di atas air dan menghilang begitu cepat, bersamaan dengan deburan air sungai yang keras.
“Ayuk…,”
“Bu Ratna!”
Suara panggilan keras menyentakkan Ratna. Masih terngiang di kepalanya suara dan perkataan lelaki tadi. Sampai bertemu lagi? Artinya…
“Bu Ratna, sedang apa? Kenapa melamun di tepi sungai begini? Saya mengira Bu Ratna akan terjun ke dalam sungai Lubai,” ucap Pak Amran panik.
Wajah Ratna memucat. Kejadian tadi seperti mimpi. Ratna meraba bibirnya masih terasa denyut di sana, bekas sentuhan bibir lelaki itu. Rajendra? begitu lelaki itu menyebut namanya. Astaga apa yang terjadi tadi?
####
Di suatu tempat, jauh dari istana Rajendra. Seseorang duduk angkuh di atas kursi kebesarannya.Matanya menyorot tajam berwarna merah menyala melemparkan pandangan geram, mendengar berita yang membuatnya murka. Suasana tempat itu sendiri sungguh mengerikan dimana terdapat banyak tengkorak kepala manusia berserakan di sana. Suram dan gelap sekali, bau busuk dan anyir mendominasi tempat itu. Bunyi tetesan air terdengar jelas menggema, menambah kesuramannya.
“Jadi Raja sialan itu sudah menemukan terlebih dahulu perempuan manusia itu katamu?” suaranya serak kering seperti pita suaranya sudah rusak.
“Ya, Tuan,” jawab orang suruhannya itu menunduk ketakutan. Dia selalu tidak sanggup menatap sosok mengerikan di depannya ini. Sosok tinggi besar, hampir mencapai langit-langit gua ini.
Suara raungan marah menggema berasal dari sosok itu. Raungan geram dan marah, bersamaan dengan meja hidangan yang dipenuhi makanan yang berat itu menghantam dinding.
“Lagi-lagi Rajendra mendahuluiku! Perempuan itu harus jadi milikku, dan kemudian aku akan membunuh Rajendra dengan tanganku sendiri,” desisnya tajam diiringin seringai jahat nan mengerikan.
Bersambung…
Pengantin Rajendra Bab 2. Ramalan Sang Daman.
28 Juli 2017 in Vitamins Blog
Song By : Brunuhville
Title : Lumina
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Ratna tidak memercayai peristiwa yang dialaminya barusan, dalam hati dia menganggap semua itu khayalan belaka akibat kelelahan karena perjalanan jauh. Tapi mengapa begitu nyata? Wajah itu, mata itu dan sinar terang megah yang membungkus sosok lelaki dengan agungnya, tidak mungkin semua itu hanya tipuan mata. Dia sudah betul-betul kelelahan rupanya!
Ratna terus sibuk dengan pikirannya hingga tak menyadari kalau sudah tiba tempat para pekerja dan manager lapangan menginap. Beruntung Pak Amran menegurnya hingga pikiran jernih Ratna kembali jernih. Dia baru ingat ketentuan harus melapor terlebih dahulu untuk mengetahui dimana dia di tempatkan.
“Ratna, sudah tiba rupanya. Bagaimana wisata sungainya?” sapa Pak Burhan yang menjabat kepala proyek terkekeh geli.
Ratna menyeringai, “Menyenangkan, Pak,” Dia tahu kalau Pak Burhan hanya menggodanya saja, mungkin karena melihat penampilannya yang kusut masai.
“Istirahatlah dulu, besok pagi kita akan bicarakan mengenai material dan manpower tambahan yang akan di datangkan dari pusat.”
“Lalu saya tinggal dimana? Di camp ini juga?” Ratna celingukan, menimbang dimana dia akan tidur malam ini.
” Tidak mungkin juga kamu tidur di camp yang isinya laki-laki semua,” kekeh Pak Burhan. “Pak Amran akan mengantarmu menginap di rumah kepala kampung, tidak jauh dari sini.
“Baiklah saya mengerti. Kalau begitu saya permisi, Pak Burhan,” Ratna pamit diiringi Pak Amran.
****
“Ini tempatnya, Bu Ratna.” Pak Amran membuka lebar pintu rumah menjadi tempat tinggal Ratna sementara. Rumah mungil milik Ketua desa setempat yang kebetulan sudah lama kosong. Rumah ini bukan rumah panggung seperti rumah lainnya melainkan rumah semi modern. Pak Amran menekan saklar lampu untuk menyalakan lampu, sekejap ruangan yang tadinya gelap menjadi terang benderang hingga seisi rumah terlihat jelas. Mata Ratna menyipitkan mata menilik sekitarnya, terdapat satu set kursi tamu yang sederhana. Rak kecil yang entah untuk apa lalu beberapa peralatan lain yang cukup ketinggalan jaman.
“Sudah dibersihkan seadanya, Bu, belum terlalu rapi dan bersih.” Pak Amran meringis.
“Terima kasih, Pak.” Ratna mengamati dengan teliti, ruang tamunya kecil, begitu juga kamar tidurnya. Sedikit berdebu mungkin dia perlu membersihkannya nanti. Untuk sekarang dia hanya butuh mandi.
“Pak, kamar mandinya di mana?”
“Ada di belakang rumah ini, Bu. Kamar mandi seadanya namanya juga desa kecil.”
Ratna menarik napas lega ternyata sanatasi desa ini lumayan. Ternyata ada kamar mandinya, masih lebih bagus daripada dia mandi di alam terbuka.
“Oh ya, Bu, untuk makan malam nanti sebentar lagi anak perempuan pemilik rumah akan mengantarkannya kemari, beserta sprei untuk di tempat tidur, dia juga yang akan menemani ibu malam ini,” sambung Pak Amran lagi. “lalu jangan lupa generator listrik akan di matikan pukul sembilan malam. Tapi saya sudah siapkan lampu emergency buat penerangan.”
Ratna mengangguk mengerti.
“Nah sepertinya putri kepala kampung sudah datang,” Pak Amran menunjuk ke arah luar pintu.
Tidak lama kemudian datang seorang gadis rambut berkepang dua datang lengkap dengan bungkusan kantong kain di tangannya, serta rantang makanan di tangan kiri. Gadis itu tampak kerepotan dengan bawaannya.
“Malam, Pak Amran, malam Ayuk,” sapa gadis itu sopan begitu memasuki ruang tamu.
“Selamat malam,” jawab Ratna sembari mengangguk sopan.
“Saya mengantar sprei dan sarung bantal, dan ini rantang untuk makan malam.”
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Ratna,
“Nama saya Isah. Ayuk,” jawab gadis itu sopan tersenyum malu-malu.
“Ayuk?” ulang Ratna yang merasa asing dengan sebutan itu.
“Itu sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa daerah sini, Bu.”
Ratna mengangguk mengerti. “Oh begitu, nama saya Ratna, senang berkenalan denganmu, Isah.”
“Sama-sama. Saya akan memasangkan sprei dulu, Yuk,” Isah dengan sedikit membungkukan tubuhnya sopan, beranjak ke kamar bakal tempat tidur Ratna.
Setelah Pak Amran pamit buat kembali ke camp, Ratna mengikuti Isah ke kamar, dia meletakkan ransel di atas meja kecil di dekat jendela yang tertutup. Iseng Ratna membuka jendela yang terbuat dari kayu untuk melihat keluar, tapi tidak terlihat apa-apa, hanya pemandangan gelap dari hutan di seberang sana. Tapi sesuatu menarik perhatiannya dari kejauhan sana.
“Isah, di sana itu apa yang terang sekali?” tanya Ratna penasaran.
” Mungkin Curug kaco, Yuk,” jawab Isah masih sibuk memasang sarung bantal.
“Curug Kaco?” Ratna membeo.
“Iye, Curug Kaco. Curug yang airnya sebening kaca, kalau malam terang bulan seperti malam ini. Airnye akan terang sekali seperti lampu listrik,” Isah menjelaskan dengan logat daerah setempat.
“Wah pasti indah, aku ingin kesana.”
“Jangan Yuk, kabarnye…,” kalimat Isah terputus. “ah sebentar spreinya ketinggalan di rumah.” Isah tampak mengaduk-aduk isi kantong kainnya. “Aku pulang dulu ambil spreinya, Ayuk makan saje dulu, rantangnya di meja.” Isah terlihat segera keluar terburu-buru.
Ratna terbengong tidak mengerti. Akhirnya dia menarik napas panjang. Lebih baik dia mandi. Ratna membongkar koper mencari handuk dan peralatan mandinya.
Mata Ratna hampir meloncat keluar ketika dia melihat kamar mandi yang tersedia membuatnya berdecak kesal dalam hati. Kamar mandi ini karena tidak terdapat atap sama sekali dan sungguh terbuka. Hanya berupa kain bekas spanduk mengeliling sebagai penutupnya. Astaga! Benar kata Pak Amran ternyata kamar mandi yang betul-betul seadanya. Bergegas Ratna menyelesaikan mandi dengan air yang terdapat di tong besar, dia tidak mau ambil resiko kalau ada yang mencoba mengintipnya mandi.
Selesai mandi Ratna mengeringkan rambut di depan cermin yang ada di kamar, dia tertegun sesaat dengan handuk masih melekat di tubuh. Ratna memandang seluruh dirinya yang terpantul di sana, matanya tanpa sadar mengarah pada tanda lahir di leher sebelah kiri. “Tho” berbentuk kuncup bunga teratai yang hampir mekar berwarna kemerahan seperti di tato dikulitnya. Tanda lahir yang tidak biasa. Sering kali temannya bertanya kenapa dia memiliki tato? Ratna bosan dengan pertanyaan tersebut, hingga pada akhirnya dia sering memakai kerah tinggi atau scarf untuk menutupi leher.
Kalung baru biru pemberian ibunya juga seakan melindungi tanda itu dengan mengelilinginya. Ibunya pernah berpesan kalung itu jangan pernah lepas darinya, walaupun suatu saat kalung itu menunjukan sesuatu yang aneh. Lalu tadi kalung ini tadi seakan berubah menjadi sebongkah es karena hal aneh yang terjadi kepadanya. Ratna teringat sosok lelaki yang berada di sungai tadi. Siapakah lelaki itu? Kenapa hanya dia yang bisa melihatnya? Ratna menggeleng untuk membuang pikiran aneh yang bermain di benaknya. Mungkin saja saat ini dia terlalu lelah hingga mengkhayal yang bukan-bukan. Tanpa sadar Ratna kembali meraba kalung di lehernya dengan penuh tanda tanya yang bermain di benaknya.
*****
Dua sosok berenang melewati sela bebatuan bawah sungai mengejar sesuatu. Rajendra berenang lincah dengan kedua pedang Kastara di kiri kanan tangannya. Bagi kaum siluman air sepertinya bergerak dalam air sama bebasnya ketika mereka berada di Dunia Permukaan. Sama sekali bukan masalah bagi mereka. Dengan kemampuan itu pulalah seringkali juga Rajendra dan Tarak beserta pengawalnya berbaur di tengah keramaian manusia pula, hanya untuk sekedar menghilangkan kebosanan di istana. Penampilan fisik mereka yang indah mampu menarik perhatian kaum perempuan manusia yang mereka inginkan, lalu membuat mereka memohon untuk dibawa kemana saja. Ya, perempuan manusia benar-benar bodoh, tertipu oleh sesuatu yang tampak indah, walau dibaliknya keindahan itu adalah sesuatu yang celaka.
Kali ini buruan Rajendra adalah Antek Ayu, yang merupakan sosok setan air kasta rendah. Kebetulan Rajendra dan Tarak melihat mahluk itu baru saja membunuh manusia dengan cara mengisap ubun-ubun untuk di ambil energinya sebagai makanan mereka.
Yah, hanya segerombolan pengganggu yang tidak berarti sebenarnya, namun suasana hati Rajendra sedang resah saat ini karena sosok perempuan manusia yang dilihatnya tadi. Perempuan yang diramal akan menjadi pengantinnya. Dia sama sekali tidak menyukainya, hanya karena berdasarkan perkataan kosong dari seorang Daman itu dia harus mengalami ini. Kenapa harus perempuan manusia? Kenapa bukan dari bangsanya? Rajendra mengingat dengan jelas perkataan Sang Daman yang telah meramalkan hal ini kepadanya. Saat itu sang Daman datang menemuinya.
“Ratu untukku?” Rajendra menaikan alisnya terkejut. “Apa kau yakin akan perkataanmu itu, Nenek Tua?”
“Jangan panggil aku Nenek Tua!” Protes seorang perempuan dengan suara bernada kesal.
“Kau memang sudah tua kan, menipu dengan tampilan mudamu.” Rajendra tanpa segan mengejek sang Daman yang sudah sangat dekat dengannya.
Seorang perempuan yang di sebut Nenek tua memang memiliki penampilan muda nan cantik jelita, jauh dari kesan perempuan tua renta. Akan tetapi usianya sudah mencapai ribuan tahun, bahkan jauh lebih tua dari Rajendra sendiri. Dia seorang Daman yang artinya sang Pengendali. Mata Sang Daman menatap air yang berada di dalam bokor emas yang berisi air dengan seksama.
Rajendra merasakan tangannya mendingin. “Kapan?”
“Dia akan segera muncul, Yang Mulia, tidak sekarang, mungkin beberapa tahun lagi,” ucap sang Daman lagi. “Jadi kita tunggu saja kedatangan calon ratu Kerajaan Graha Mandakini,” sambungnya sembari berdiri dari tempat duduk dengan anggun, pakaian sutra berwarna hijau muda yang dikenakannnya berkibar panjang menyentuh lantai. “Tapi ada satu petunjuk lagi, jikalau dia muncul hanya Yang Mulia sendiri yang bisa merasakan tanda-tanda itu. Oh ya satu lagi di leher sebelah kiri terdapat tanda kecil berbentuk kuncup teratai .”
Rajendra mengibaskan ekor besarnya sebagai pendorong agar bisa melesat. Dia memberi tanda pada Tarak bahwa dia akan memotong jalur pelarian Antek Ayu itu. Tarak mengangguk mengerti dan melanjutkan pengejarannya mengikuti mahluk itu dari belakang dengan santainya.
Satu Antek Ayu itu merasa sudah berhasil lolos, kembali berenang dengan tenang. Tapi tidak begitu jauh, karena Ranjendra sudah menyergapnya, salah satu pedang kembarnya sudah menempel di leher si setan air.
“Ngikkk!” mahluk itu itu mengeluarkan suara melengking tinggi menampakan gigi nan tajam dan runcing.
Rajendra tersenyum miring. ” Mau lari kemana, heh?”
Wajah mahluk yang sungguh tidak enak di pandang mata, mengerikan sekaligus menjijikan. Bentuk fisiknya tidak jelas lelaki atau perempuan karena setengah tubuhnya manusia dan setengahnya lagi berupa tubuh ikan, jemarinya kurus berselaput dan berkuku tajam. Wajahnya tanpa ekspresi. Tempat yang seharusnya adalah mata hanya berupa lubang hitam tanpa dasar, rambut panjang berupa tentakel berlendir, melayang-layang dalam air.
“Mahluk jelek yang tidak beruntung.” Rajendra mengayunkan pedang Kastara di tangan kanannya dengan secepat kilat tanpa memberikan mahluk itu ruang gerak untuk melarikan diri, lalu terpisahlah kepala mahluk itu dari tubuhnya. Warna kehijauan menjijikan yang juga merupakan darah Antek ayu menyebar di sekitar Rajendra hingga mengubah warna air bening menjadi kehijauan. Tubuh mahluk yang sudah kehilangan kepala itu perlahan pula mulai menghilang tanpa bekas begitu juga kepalanya.
“Seratus…,” ucap Rajendra bangga. Dia menang dari Tarak. Antek Ayu ke seratus sudah dia dapatkan. Tarak mendekat, matanya menyipit tidak suka, “Yang Mulia menang lagi.”
Rajendra menyeringai licik. “Kau tahu kan aku selalu menang,” ujarnya dengan nada bangga. Mata keemasannya memandang puas pada sekelilingnya. Tubuh-tubuh Antek Ayu buruan mereka tentu saja tanpa kepala bertebaran lalu menghilang.
“Ayo kita pulang, aku sudah lumayan terhibur,” ajaknya pada Tarak
Rajendra dan Tarak tiba di gerbang wilayah istananya. Begitu pintu terbuka satu pasukan menyambut mereka, menanti Raja dan Tarak yang merupakan Jendral mereka tiba. Jangan mengira karena mereka berada di dalam air maka kerajaanya juga penuh air. Tidak sama sekali. Kerajaan Rajendra hampir mirip dengam dunia permukaan. Gerbang berukir kepala singa sebagai batas air . Batasan tak kasat mata dengan dunia atas. Sedangkan apabila para prajuritnya ingin ke dunia Permukaan mereka bisa melalui gerbang tadi, tentu saja berbeda dengan jalur yang di miliki Rajendra Sang Raja penguasa sungai Lubai.
Kerajaan Rajendra sendiri sangat indah dengan empat menara kembar. Bagian bangunan istana juga beratapkan kubah yang terbuat dari emas. Jembatan menuju istana Graha Mandakini merupakan jembatan dari batu putih dengan kaki jembatan tinggi. Sungai kecil namun bening mengalir dibawahnya menuju tempat landai berbentuk kawah kecil. Air terjun besar yang berasal dari kebun istana juga menjatuhkan airnya kesana.
Rajendra masuk ke kamarnya, dan langsung para pelayan istana sigap melayaninya. Dari menyiapkan makanan dan pakaian kerajaannya.
Rajendra ingin menghabiskan waktu lama di dalam kolam pemandian. Kadang kala mandi bersama dengan para perempuan yang menjadi teman tidurnya. Tentu saja, perempuan berbeda tiap malamnya. Tapi kali ini dia sudah berpesan kepada pelayannya untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya malam ini tanpa pengecualian. Barang siapa yang berani melanggar anggap saja nyawanya sudah hilang.
Begitu Rajendra selesai mandi, betapa terkejutnya dia, ketika melihat di atas peraduan miliknya telah menanti seorang perempuan yang sangat cantik dengan tubuh menggiurkan, siap melayaninya untuk menghabiskan malam penuh gairah seperti biasa. Namun, rahang Rajendra mengeras, bergeming tanpa ada niat untuk mendekati. Bibir perempuan itu melengkung merajuk, dan bangkit dari tempat tidur dengan tidak sabar, kedua tangan cantiknya mengelus dada bidang Rajendra dengan provokatif, mencium bibirnya dengan penuh napsu. Tapi Rajendra tidak merasakan gairah apapun lagi, walau pakaian tipis yang di gunakan perempuan ini sudah terlepas seluruhnya dan jatuh ke lantai, sebaliknya dia malah menginginkan perempuan manusia itu. Perempuan yang sudah membuat dirinya gelisah! Begitu kuanyat keinginan tersebut membuatnya seperti sesak napas. Berengsek!
Rajendra menggeram marah, lalu mendorong perempuan yang sedang menempel di tubuhnya dengan keras hingga terjatuh, lalu secepat kilat menjambak rambut panjang perempuan yang namanya saja dia tidak tahu, menyeretnya keluar dari kamar tanpa memedulikan pekik kesakitan dari perempuan itu.
“Pengawal!” teriak Rajendra menggelegar hingga membuat takut siapapun yang mendengarnya.
Pintu kamar Rajendra terbuka lebar serombongan pengawal masuk dengan tergopoh-gopoh.
“Yang Mulia,” Kepala penjaga memberi hormat.
Mata Rajendra berkilat marah, “Singkirkan perempuan ini dariku!” dia melempar tubuh itu seakan seonggok sampah hingga tersungkur di lantai dingin. “dan kau…,” Jari telunjuk Rajendra mengarah ke pelayannya yang sudah gemetar ketakutan dengan wajah pucat pasi.
Pelayan lelaki itu langsung menjatuhkan diri mohon ampun, “Ampuni hamba, Yang Mulia, Saya sudah melarangnya masuk ke kamar Yang Mulia, tapi dia memanfaatkan kelalaian hamba.”
Ranjendra mendengkus, “Bawa pelayan ini pergi, juga perempuan itu. Aku tidak ingin melihatnya berkeliaran di istanaku!” Ekspresi Rajendra mengeras kemudian memutar tubuhnya dan menutup pintu kamar dengan bantingan keras.
Rajendra mengembuskan napas resah, harusnya dia bisa tidur nyenyak malam ini, tapi jantungnya kembali menderu tanpa dia inginkan setiap kali mengingat perempuan manusia itu, begitu inginnya bertemu sekali lagi. Untuk melihatnya secara dekat dan memandang wajah cantik itu sepuasnya.
Permataku.
Bersambung…(kapan-kapan) hehehe :-D :-D
Pengantin Rajendra : (Bab I) Awal Mula
23 Mei 2017 in Vitamins Blog
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
“Ratna, kamu sudah siap berangkat besok?”
Seorang gadis yang ditegur mendongak mencari sumber suara yang sudah membuat dirinya mengalihkan perhatian dari layar komputernya. Senyum di bibir tipis gadis itu melebar, melihat lelaki paruh baya yang merupakan atasan di kantor sudah berdiri di depan pintu kubikelnya sambil membawa segelas kopi.
“Siap, Pak Bayu. Saya sudah berkemas buat besok pagi.” Ratna menjawab mantap. Sejurus kemudian dia bersandar pada kursi kerjanya yang nyaman, merenggangkan otot-ototnya yang pegal karena seharian duduk.
Pak Bayu menaikan alisnya. “Kalau begitu kenapa belum pulang? Sana istirahat yang cukup buat perjalanan panjang.”
Pak Bayu menatap sosok gadis mungil di depannya dengan khawatir. Ratna tersenyum menenangkan, sebagai seorang yang sudah senior di perusahaan ini Pak Bayu sudah dianggap Ratna sebagai seorang ayah. Jabatan Pak Bayu adalah Direktur keuangan, lalu Ratna sendiri adalah asisten yang harus siap di tempatkan dimana saja sebagai perwakilan atasannya itu di lapangan meski dia seorang perempuan sekalipun.
Kali ini menurut perintah tugas, Ratna ditempatkan di daerah lumayan terpencil di sudut propinsi Sumatera Selatan untuk beberapa minggu saja. Desa Beringin namanya. Sedangkan Ratna sendiri tidak tahu seperti apa tempat itu, kabarnya menuju ke desa tersebut harus melalui sungai dengan perahu kecil dari kayu.
“Sebentar lagi, Pak. Belum balance belum pulang.” Ratna memiringkan kepalanya santai.
Pak Bayu menarik napas panjang. “Seandainya saya sehat saat ini, rasanya tidak tega menugaskan kamu di sana, Ratna. Lagipula kamu perempuan, di tengah hutan dan kampung terpencil.” Pak Bayu berkata dengan penuh penyesalan.
“Pak Bayu, jangan khawatir lebih baik bapak cepat memulihkan diri setelah operasi ginjal anda, Pak. Lagipula urusan ke lapangan adalah bagian anak muda sekarang.” Ratna terkekeh mencoba menghibur Pak Bayu. “dan… bapak harus berhenti minum kopi.” sambung Ratna mengingatkan.
“Kamu ini daripada mengkhawatirkan saya lebih baik kamu segera menikah, berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga umurmu sudah cukup. Bagaimana mau bertemu calon suami kalau kamu selalu terbang kesana kemari mendatangi tiap plant. Mau saya kenalkan dengan keponakan saya? Lumayan dia lelaki yang cukup mapan, kamu tidak bakalan kelaparan menikah dengannya.” Pak Bayu kembali dengan mulai dengan tawaran jodoh untuk Ratna.
Ratna menyipitkan matanya, dalam hati dia merasa geli dengan tawaran itu. “Tidak , terima kasih tawarannya, Pak.” Ratna mengelak.
Pak Bayu membelalakan matanya.“Lho kenapa? Atau kamu sudah punya kekasih yang kamu sembunyikan dari kami semua, heh?”
“Tidak ada. Sudah ah, Pak. Aku pulang saja.” Ratna meraih tas ransel miliknya memasukan segala pernak perniknya dari charger, laptop, tablet dan dokumen yang di perlukannya nanti di lokasi proyek.
“Selamat sore, Pak Bayu.” Ratna melambaikan tangan kepada lelaki itu dan segera berlalu. Pak Bayu hanya menggelengkan kepalanya menyerah mengkonfrontasi gadis itu tentang mencari pasangan.
Ponsel di tas pinggang Ratna berbunyi nyaring ketika dia akan memasuki mobilnya. Ratna memasang headset di telinga lalu menjawab panggilan itu.
“Halo?”
“…”
“Ya, Ma, Besok Ratna berangkat pagi sekali. Mungkin bulan depan aku bisa main rumah Mama.” Ratna melukis senyum, sebenarnya dia begitu merindukan ibunya. Satu-satunya keluarga yang dia miliki. Ratna hampir tidak mengenal ayahnya karena ibunya tidak pernah bercerita perihal sang ayah kepadanya. Namun Ibunya pernah mengatakan bahwa Ayahnya adalah orang yang baik, itu saja. Ratna mengagumi sosok ibunya, yang dengan gigih bekerja untuk membesarkannya hingga bisa mandiri seperti sekarang.
“…..”
“Kalung? Ya, Ma, masih aku pakai jangan khawatir. Sudah ya, besok sebelum berangkat aku telepon lagi. Masih di jalan, Ma, nanti nabrak.” Ratna memerhatikan jalan raya yang sudah ramai kendaraan lalu lalang menjelang pulang kantor begini.
“….”
“Aku akan hati-hati. Mama cepat jangan capek ya, nanti sakitnya kambuh lagi. Aku sayang Mama. Bye.” Ratna mematikan panggilan itu dan kembali konsentrasi menyetir mobilnya.
Ratna sudah sangat lelah ketika dia tiba di apartement miliknya. Dia mandi dan makan malam seadanya, karena lupa belanja untuk mengisi lemari esnya. Rasa kantuk mulai menyerang matanya ketika sedang merapikan bawaannya untuk besok, akhirnya Ratna memilih tidur dan kembali bermimpi tentang seseorang lelaki asing yang kerap datang kepadanya.
****
Ratna akhirnya tiba juga di bandara SMB II Palembang, hari sudah siang sekali. Pesawat yang ditumpanginya dari Jakarta kembali delay seperti biasa hingga membuat jadwalnya molor jauh, padahal pagi buta dia sudah datang ke bandara. Ratna mengutuk marah dalam hati tentang pelayanan maskapai penerbangan yang payah dan tidak menghargai waktu penumpang yang terbuang percuma. Ratna memperbaiki ikat rambut kudanya yang sudah melorot turun, berpikir kapan-kapan dia akan memotong rambut ikalnya saja karena sudah terlalu panjang.
“BuRatna?” suara ragu-ragu seseorang menegur Ratna dari arah belakangnya.
Ratna menoleh, senyumnya terkembang lebar. “Pak Amran apa kabar?” Ratna menyalami lelaki yang berusia akhir 40-an yang sudah dikenal lama olehnya, karena sering bertemu di lapangan. Namun karena kesibukan masing-masing beberapa bulan ini sudah membuat mereka jarang bertemu dan bertukar kabar. Pak Amran sendiri adalah seorang driver sekaligus supporting logistik lapangan.
Pak Amran menyambut uluran tangan Ratna. “Saya baik. Bu Ratna. Ibu juga syukurlah sehat juga. Mari, Ibu Ratna, kita langsung saja berangkat sekarang, kalau tidak sekarang mungkin malam hari kita akan sampai di Desa Beringin. Perjalanan melalui sungai berbahaya kalau malam hari.”
Ternyata benar. Perjalanan lokasi memakan waktu lima jam dari ibukota. Belum lagi macet akibat ada truk yang mengangkut batubara terbalik di tengah jalan yang mereka lewati. Bukan tidak mungkin malam hari baru akan tiba di lokasi. Sungguh melelahkan, Ratna merasa saat badannya super lengket karena keringat, kaus lengan panjang yang dia pakai sudah digulung sebatas siku. Begitu juga dengan jaket denim yang di pakainya sudah masuk ke dalam ransel.
Akhirnya sampai. Ratna melompat turun dari mobil double cabin yang menjemputnya, meraih ransel dan tas kerja menuju ke perahu yang sudah menunggu di tepinya, sedangkan satu koper miliknya sudah di turunkan Pak Amran dari mobil.
“Bu, mari ikut saya, perahu sudah menunggu tepi sungai.” Pak Amran membimbing Ratna untuk mengikutinya. Ratna melihat terdapat sebuah perahu kayu cukup besar sudah menanti di sungai yang ber-arus cukup tenang dan bersih sekali. Ratna tidak melihat penumpang lain selain dirinya dan Pak Amran, serta seorang lelaki tua berambut abu-abu, berpakaian sederhana dengan kain sarung yang di ikatkan di pinggang. Tampaknya orang tua ini yang pengemudi perahu kayunya pikir Ratna. Sepatu boot safety yang Ratna pakai cukup membantunya untuk menapaki batu sungai yang licin. Dalam sekali lompat dia sudah di atas perahu, mengambil posisi di bagian tengah, mata bulatnya menelaah sekitar tepian sungai yang banyak terdapat rumah penduduk yang terbuat dari kayu berbentuk rumah panggung. Sebuah pemandangan yang menarik hati Ratna karena tidak pernah melihat rumah panggung sebelumnya secara dekat.
Beberapa pasang mata perempuan penduduk setempat yang sedang melintas melihat Ratna dengan pandangan menyelidik, seakan dia baru tiba dari planet lain, padahal penampilan maupun pakaiannya saat ini biasa saja tidak ada yang aneh. Sudahlah, Ratna malas memikirkannya. Mesin diesel perahu kayu itu mulai menyala dan mulailah perjalanan mereka. Ratna tersenyum senang, merasa adrenalin kegembiraan karena ini pertama kalinya dia menaiki perahu kayu.
Pemandangan tepian sungai yang tadi ramai oleh rumah-rumah penduduk setempat, lama kelamaan mulai berkurang digantikan pemandangam hutan lebat dan teduh. Terdengar saat ini hanya suara burung, tonggeret serta gemericik air. Dalam suasana seperti ini Ratna juga merasa salut pembangunan proyek listrik bisa mencapai tempat ini di lihat medan yang cukup sulit di lewati. Ratna menarik napas panjang sembari tangannya terulur untuk menyetuh air sungai yang hangat.
Sementara itu di suatu tempat…
Rajendra menjeblakan dua daun pintu besar yang terbuat dari kayu terbaik dengan kedua tangan kokohnya. Begitu keras, akibatnya daun pintu itu membentur dinding hingga menimbulkan getaran hebat. Tubuhnya yang tegap dan tinggi berdiri di ambang pintu masuk kamarnya, tangannya mengepal kuat, napasnya terengah. Saat ini Rajendra hanya memakai celana panjang dan bertelanjang dada, bulir-bulir keringat tercetak di sana. Lelaki itu baru saja terbangun dari tidur nyamannya ketika dia merasakan sesuatu yang besar datang ke menuju wilayahnya.
“Aku harus pergi.” geram Rajendra dengan perasaaan tak menentu. Baru saja dia akan melangkah keluar kamarnya, sepasang tangan kurus melingkar di pinggang Ranjendra, memeluknya dari belakang dengan posesif.
“Yang mulia, Rajendra, mau kemana? Kenapa hamba ditinggalkan? ” suara perempuan yang terdengar begitu lembut dan menggoda agar lelaki itu mengurungkan niat meninggalkannya.
Rajendra memutar tubuhnya untuk melihat seorang perempuan yang sangat cantik berambut gelap dengan bibir penuh, tersenyum manja dan malu-malu kepadanya.
“Jangan sekarang…” Rajendra tidak dapat mengingat nama perempuan kaumnya yang bersamanya saat ini, dia menganggap mereka hanya sebatang tubuh belaka yang datang silih berganti menghangatkan peraduannya. Bahkan para perempuan kaumnya itu memohon-mohon agar bisa bersamanya walau hanya semalam. Suatu kebanggaan bagi perempuan kaumnya untuk bisa bersamanya, walau setelah itu mereka tidak akan pernah di sentuh lagi olehnya. Dengan senang hati dia akan menyerahkan perempuan bekasnya itu kepada para prajurit istana. Terkadang juga Rajendra beserta para lelaki kaumnya berburu perempuan manusia, menculik dan membawanya ke istananya hanya untuk di jadikan budak. Tentu saja dia tidak berminat meniduri perempuan manusia juga, baginya mereka mahluk rendahan berbeda dengan kaumnya yang berkasta tinggi. Cukup hanya anak buahnya saja yang bersenang-senang dengan mereka.
Rajendra sendiri belum berniat menikah atau memiliki ratu tetap sebagai pendamping. Menikah adalah hal tersulit yang dia wujudkan saat ini, karena begitu menikah berarti selamanya. Dia tidak akan bisa bermain-main lagi dengan perempuan kaumnya atau perempuan manusia. Rajendra tanpa sadar mengedikan bahunya jengah sekaligus ngeri. Kala seorang bunian menikah tidak peduli usia, wujud ketika dia menemukan perempuan yang ditakdirkan untuknya maka selamanya dia akan mengabdi pada perempuan itu, detak jantungnya hanya akan menderu untuk perempuan itu dan seluruh tubuhnya tidak akan mendamba yang lainnya. Rajendra berharap tidak bertemu perempuan takdirnya sampai kapan pun. Bukan kah itu keinginan semua lelaki untuk tidak pernah tunduk dengan perempuan?
Namun kini ada sesuatu yang berbeda! Rajendra melesat cepat meninggalkan kamar dan perempuan tadi, tidak punya waktu berlama-lama lagi.
Melihat Rajanya melintas beberapa prajurit memberi hormat kepada Rajendra, mereka kebingungan melihat raja mereka begitu panik.
Langkah lebar Rajendra yang tanpa alas kaki itu membawanya melalui selasar berlantai pualam berwarna hijau mengkilat, uniknya selasar ini hanya pada bagian tengah terdapat lantai sedangkan pada bagian kiri dan kanannya bukan lantai melainkan aliran air yang sangat bening mengikuti panjangnya selasar. Air itu mengalir di bawahnya melewati tiang-tiang penyangga atap selasar.
Entah mengapa saat ini bagi Rajendra jalan ini begitu panjang dan jauh, sehingga membuatnya menjadi tidak sabaran. Apakah sudah tiba saatnya perempuan yang ditakdirkan untuknya itu muncul? Rajendra mulai merasakan itu. Dia bisa merasakan gelombang dan aroma yang berbeda dari Dunia Permukaan.
Dunia Permukaan adalah sebutan dari kaum Dunia bawah untuk menyebut tempat dimana manusia fana tinggal. Sedangkan Dunia bawah adalah daerah kekuasaan Rajendra, sebagai seorang Raja penguasa sungai besar Lubai. Raja bunian air yang mengambil wujud seekor buaya yang melegenda. Kehidupan di dunia bawah hampir sama dengan dunia atas.Mereka makan, minum, bekerja dan berkeluarga. Hanya saja dari segi usia mereka bisa berusia ratusan tahun, bahkan ada yang ribuan tahun tanpa menjadi tua dan mati. Waktu pun berjalan lambat disana.
Rajendra berdiri angkuh di tepi kolam besar berair sangat jernih. Kolam ini terletak di sebuah gua besar dan agak tersembunyi letaknya. Kolam yang merupakan gerbang masuk dan keluar ke dunia permukaan. Gerbang Jagatra. Tentu saja setiap manusia yang tanpa sengaja menemukan jalan masuk kemari tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya. Selamanya dia akan menghilang. Rajendra melangkahkan kakinya ke dalam kolam bening itu, tubuhnya mulai terendam separuh. Secara perlahan pula perubahan terjadi pada tubuh tegap Rajendra, dia mengubah wujudnya menjadi seekor buaya menyeramkan, berukuran besar dengan kuku tajam dan sisik berkilau. Ekornya yang besar sekaligus kokoh itu mengibas, memukul air hingga menciptakan gelombang besar. Saatnya menyapa. Rajendra pun berenang dengan anggun melewati gerbang Jagatra.
Ratna terkesiap ketika merasakan sesuatu yang tidak biasa. “Air sungai kenapa ya, Pak?” tanya Ratna pada pengemudi perahu, bingung karena air sungai yang tenang tadi menjadi bergelombang menimbulkan arus deras.
Pak tua yang sedang mengendalikan perahu tidak menjawab, malah sebaliknya terlihat raut wajah cemas di wajah penuh kerut tersebut. “Tidak apa-apa, Nak, tenang saja.” Lelaki tua itu berusaha menghilangkan kegugupannya. “Sepertinya Raja sungai Lubai ini sedang gelisah.” Lelaki itu seperti bicara sendiri.
Ratna yakin telinganya masih bagus untuk mendengar ucapan pak tukang perahu ini. Raja sungai Lubai?
“Maksud bapak? Selama saya di tempatkan di sini saya tidak pernah mendengar tentang Raja sungai Lubai.” Pak Amran mulai ikut dalam pembicaraan.
Pak tua itu kembali tidak menanggapi malah sebaliknya sebuah senandung terdengar dari bibirnya. Suaranya kecil hilang timbul beradu dengan bunyi mesin perahu.
Wahai sang Penguasa sungai Lubai
Tenangkan gelombangmu.
Demi gelombang sungaimu yang menuju laut
Demi cahaya yang menerangi istanamu
Wahai sang penguasa sungai biarkan kami melintas
Kami datang dengan damai.
“Lagu apa itu, Pak?!” Ratna berseru agar suaranya terdengar. Tanpa sadar Ratna menelan ludahnya gugup. Karena dia merasa tidak asing dengan lagu ini. Kapan dia pernah mendengarnya?
“Lagu penenang untuk penunggu sungai ini!”
“Memang ada?!”
Pak Tua itu menghela napas sambil tetap konsentrasi dengan perahunya. “Ada. Bahkan beberapa tahun yang lalu, Penguasa sungai Lubai ini meminta korban. Sebuah mobil terjun bebas ke sungai ini dari atas jembatan beringin, dan semua penumpangnya tewas tenggelam belum termasuk penumpang yang tidak pernah ditemukan. Hingga sekarang jembatan itu terbengkalai, jarang di lewati kendaraan lagi, mereka lebih memilih jalan memutar untuk sampai ke desa kami. Tapi jalan melalui sungai Lubai adalah tercepat walau sedikit berbahaya.” Jelas Pak Tua itu panjang lebar.
Mendengar cerita tersebut mendadak bulu tengkuk Ratna berdiri, dia mengedik ngeri tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Tidak apa-apa, Ratna, hibur batinnya sendiri.
“Penguasa sungai Lubai seperti apa? Apa ada yang pernah melihatnya?” Pak Amran bertanya lagi.
“Buaya. Seekor buaya. Hanya orang tertentu yang mempunyai kemampuan lebih dari manusia biasa yang bisa melihatnya. Selebihnya bagi orang lain hanya mitos belaka.” Pak Tua itu menjelaskan panjang lebar.
Ratna tanpa sadar mencengkeram tepian perahu, entah darimana perasaan resahnya saat ini.
Menjelang senja, akhirnya perahu yang membawa Ratna sampai ketepian sungai dengan selamat. Ratna melompat turun ke dermaga kayu yang tampak dibangun seadanya, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Suasana sudah gelap. Menurut informasi yang dia dapat, desa ini di tidak ada listrik, hanya ada generator yang menyalakan listrik dari pukul enam sore hingga sembilan malam. Ratna memicingkan mata untuk melihat jam tangannya. Sudah pukul enam sore, desah Ratna dalam hati.
“Kita berjumpa, Sang Permata.”
Ratna refleks menoleh kebelakang mencari suara tersebut, karena seakan terdengar begitu dekat di telinganya. Ratna mengarahkan pandangannya ke arah sungai. Dia sepertinya melihat seseorang berada di tengah-tengah air sungai, dekat perahu kayu yang ditumpangi tadi. Tubuh orang itu setengah terendam, hanya bagian atasnya saja yang terlihat, sedangkan dari pinggang kebawah tersembunyi dalam air. Sepertinya seseorang lelaki. Kenapa lelaki itu berada di air sungai pada saat menjelang malam begini? Ratna jelas sekali melihat seakan begitu dekat untuk diraih, lelaki yang memiliki wajah sangat tampan, dengan rahang kokoh persegi serta bulu-bulu halus yang menghiasinya. Juga terlihat mahkota emas berukir di puncak kepalanya. Tubuhnya begitu indah dan bercahaya, tempat dimana lelaki itu berada sangat terang benderang. Namun sesuatu yang paling mencolok dari semua itu adalah matanya, lelaki itu memiliki berwarna kuning keemasan. Ratna terpukau. Tapi kenapa tidak ada yang menyadari keanehan ini?
Mata Ratna tidak bisa lepas menatap keberadaan lelaki yang memberinya tatapan tajam menusuk. Mendadak, dia merasakan sesuatu yang terasa dingin menjalari lehernya, merasa sebongkah es menyentuh kulit. Tanpa sadar Ratna meraba kalung bandul batu biru pemberian ibunya dan kalung itulah yang mengeluarkan hawa dingin es hingga membuat dia berjengit terkejut. Spontan Ratna mengusap lehernya.
“Bu Ratna, …Bu…” suara Pak Amran mengejutkan Ratna.
Ratna mengerjapkan matanya tersadar, dengan pandangan bingung dia menoleh kepada Pak Amran. “Pak, orang itu siapa?” jari telunjuknya mengarah ke sungai dimana lelaki tadi berada.
Pak Amran mengerutkan dahinya tapi dia mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ratna. “Siapa? saya tidak melihat siapa-siapa, Bu?”
Tubuh Ratna mendadak seperti mati rasa. Lelaki tadi sudah tidak ada! Tempatnya berada tadi sudah kembali gelap gulita. Jantung Ratna berdentam kuat. Siapa dia? Kenapa Cuma aku yang melihat? Ratna terpaku.
****
“Dari dunia permukaan, Yang Mulia Raja?” seseorang menegur Rajendra yang baru kembali dari Gerbang Jagatra.
Rajendra melirik tajam pada Tarak, tanda dia tidak suka ditegur saat ini. “Bukan urusanmu, Tarak.” ucapnya dingin.
Lelaki bernama Tarak terkekeh. “Berburu perempuan manusia? Kenapa tidak mengajak hamba? Atau ada sesuatu yang penting hingga Yang mulia memutuskan keluar sendirian?”
Tarak adalah orang kepercayaan Rajendra sekaligus teman tarungnya dalam latihan bertempur. Tarak berperawakan hampir sama dengan Rajendra. Wajahnya juga begitu rupawan, tapi rambutnya lurus berwarna putih dan panjang, berbeda dengan Rajendra yang memiliki rambut sewarna tembaga gelap dan berpotongan pendek.
Rajendra tetap melangkah meninggalkan Tarak dengan pertanyaanya.
“Yang mulia, tunggu dulu.” Tarak mengikuti Rajendra.
Mendadak Rajendra memutar tubuhnya, menaikan alisnya sebelah senyum jahat terkembang di bibirnya. “Tarak, aku perlu pelampiasan sekarang. Mari berburu dan bermain-main dengan musuh kita.”
Rajendra merentangkan kedua tangan ke arah samping tubuhnya, seberkas sinar biru memancar dari telapak tangannya bersamaan dengan penampakan sepasang pedang panjangdi tangan kanan dan kiri Rajendra. Bentuk kedua pedang kembar tersebut sungguh menakjubkan, dimana tiap bilah pedang kembali terbelah dua di bagian tengahnya sampai ke gagangnya, hingga seperti memegang empat buah pedang sekaligus. Tipis dan tajam dengan ujung sangat runcing. Pada bagian atas gagang pedang kembar berbentuk lekuk ukiran api keemasan dengan lambang kerajaan mereka yaitu tiga garis susun bergelombang.
“Dengan senang hati, Yang mulia.” Tarak ikut tersenyum sama jahatnya.
Bersambung…(kl ada mood dan ide melambai-lambai ntah kapan wkwk)
Pengantin Rajendra
13 Mei 2017 in Vitamins Blog
Selamat Baca dehh hanya cerita FF iseng yang melintas di kepala lagi bengong hahaha
Cahaya bulan purnama menerangi sungai di tengah hutan lebat terlarang ini. Airnya memantulkan warna keperakan, sungguh indah. Gelombang dan suara riak kecil air dari arah sungai menampakan lelaki yang tiba-tiba muncul dari dalam air. Perlahan sekali dengan gerakan sangat anggun, sosok gagah berwajah tampan nan rupawan itu berjalan menuju ke arahku dengan tatapan mata yang mengintimidasi. Di puncak kepalanya terpasang mahkota keemasan berukir indah dengan lambang tiga garis susun bergelombang di bagian tengah mahkota. Ciri khas seorang raja.
Aku beringsut mundur dari tepian sungai itu, begitu dia sudah berdiri di depanku. Walau lelaki muncul dari dalam air sungai, tidak nampak setitik air pun membasahi tubuh dan rambutnya yang berwarna tembaga tersebut. Malah sebaliknya tubuh itu nampak berkilat dengan otot-otot liat yang terlihat terlatih dengan pertarungan dibalik jubah keperakan yang dia pakai.
“Jadi kamu ingin bertemu denganku, Manis? Apakah kamu sudah menentukan pilihanmu?” ucapnya bertanya dengan senyum miring di bibir maskulinnya, sementara tangannya yang kokoh terulur mengelus pipiku lembut seperti kebiasaannya bila kami sedang bersama.
Rasa dingin dan lembab dari sentuhan itu untuk sesaat membuatku tersentak dari keterpukauan.
“Ya… Iya… sudah memutuskan.” jawabku mantap mencoba menantang mata tajam berbola mata keemasan khas mata mahluk berdarah dingin. “Kita berpisah saja, aku tidak mau ikut ke duniamu. Aku manusia biasa. Kita berbeda dunia, Rajendra.”
Rajendra mendengus kasar, “Jadi itu keputusanmu. Kamu akan melupakanku begitu saja, Ratna?” Suara itu bergetar bercampur amarah besar.
Aku terdiam menunduk tidak sanggup menentang mata itu. “Maafkan aku. Aku mencintaimu. Sungguh. Rajendra” Suaraku tercekat menahan tangis.
Setelah mengatakan itu, aku segera membalikan tubuhku berlari meninggalkannya tanpa mendengar memberi kesempatan Rajendra berkata apapun.
“Ratna!!” Raung Rajendra, penuh amarah memuncak.
Kakiku berlari kencang menerobos lebatnya hutan, tidak memedulikan dahan ranting tajam yang menyobek kulit lenganku di sana sini. Perih sekali. Namun tidak seperih hatiku meninggalkannya.
Langkah lariku terhenti seketika, Rajendra entah darimana sudah muncul menghadangku. Rajendra mengejarku. Ya Tuhan.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Ratnaku.” desis Rajendra memperingatkan. Seakan memberitahu diriku bahwa jangan pernah bermimpi untuk meninggalkan atau pergi dari sisinya.
Rajendra langsung membopong, menempelkan tubuhku ke dadanya yang bidang. Aku tahu dia akan membawaku ke istananya.
Rajendra, kekasihku yang bukan manusia biasa. Dia bunian buaya. Sang raja penunggu sungai Lubai.