Vitamins Blog

Pengantin Rajendra. Bab. 4. MUSUH TAK TERLIHAT.

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

45 votes, average: 1.00 out of 1 (45 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…


Loading…

 

Song title : I Find You by Finding Favour

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.  Dan ini murni mengkhayal wahaha

Happy reading ya. Warning! Ini belum di edit ketik, langsung posting.

Ratna termenung, memandangi kepulan asap tipis yang berasal dari segelas kecil teh hangat nan harum yang tersaji di depannya. Isah memesankan untuknya karena mengira Ratna sakit. Isah bilang wajah Ratna terlihat pucat pasi semenjak dari perjalanan mereka melalui sungai tadi. Isah sempat bertanya ada apa gerangan yang terjadi padanya, tapi Ratna memilih bungkam. Tidak akan ada orang yang akan percaya apabila dia menceritakan secara jujur yang terjadi padanya di sungai Lubai.

Ratna menarik napas resah, memandang sekitarnya, sekarang mereka berada di sebuah rumah makan sederhana yang ada di kota. Masih ada hal yang harus dia kerjakan lagi, tapi karena kejadian di sungai itu berhasil membuat Ratna seperti orang yang kehilangan akal. Bingung, shock dan ketakutan. Ratna menjadi tidak fokus. Bahkan dia hampir lupa untuk menelpon ibunya. Begitu banyak hal tiba-tiba terlintas dalam benaknya, dan dia berniat akan menanyakan pada ibunya tentang banyak hal. Terutama tentang kalung yang baru di ketahuinya bisa mengeluarkan rasa dingin menyengat di kulit. Lalu alasan apa ibunya melarang melepas kalung itu dari lehernya.

Ponselnya hanya tergeletak pasrah di meja, hatinya menjadi berat untuk bertanya langsung. Tapi akhirnya dia memutuskan menelpon ibunya.

“Ma, apa kabar?” Ratna membuat riang suaranya, agar ibunya tidak khawatir.

Mama baik-baik saja. Kamu kenapa? Nada suaramu berbeda dari biasanya. Kamu sakit? Jangan buat mama khawatir, Nak?

Ibunya curiga. “Nggak, Ma, cuma agak sedikit pusing. Tapi sudah minum obat kok,” elak Ratna. Memang dia tidak bisa berbohong dari ibunya. Ibu Ratna seakan mempunyai feeling yang tajam kalau mengenai dirinya.”Ma…, ada yang ingin aku tanyakan.” Ratna ragu-ragu. Tapi… sudahlah, kapan-kapan saja.”

Apa yang ingin kamu tanyakan? Terdengar suara ibunya seperti penasaran.

“Nggak jadi deh. Ma. Yang penting mama sehat. Sudah ya, Ma. Sinyal disini jelek sekali. Nanti aku telepon lagi.”

Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati ya. Ingat apa yang mama katakan. Kamu masih ingatkan?

Ratna meraba kalung yang melingkar di lehernya. Kalung ini.

“Ya, Ma. Ingat kok. Sudah ya.” Ratna cepat-cepat memutus teleponnya. Ibunya masih saja mengingatkannya tentang kalungnya. Kalung yang beraksi setiap kali mahluk itu muncul.

Rajendra. Ratna mengingat nama lelaki itu dengan sangat jelas. Nama yang disebut bibir lelaki itu begitu tegas. Dada Ratna memanas gelisah. Dia meyakinkan dirinya untuk tidak takut. Satu lagi yang Ratna pahami, kalau ternyata semua itu bukan mimpi. Semua nyata! Ini tidak masuk akal. Dia tidak ingin percaya, tapi tidak juga bisa mengabaikan peristiwa itu. Dari hal yang tergila di dunia, kenapa harus dia yang berurusan dengan mahluk jejadian?

Lalu lelaki itu mengatakan bahwa mereka akan segera berjumpa lagi. Berjumpa lagi? Astaga ini sungguh mengerikan! Ratna tanpa sadar meraba bibirnya, seakan masih terasa bekas ciuman lelaki itu.

Pulang dari kota senja hari mereka melewati sungai Lubai lagi. Kali ini Ratna melihat Buaya putih itu lagi sedang berenang dengan matanya yang bersinar dalam kegelapan senja. Dari jarak yang cukup jauh Ratna bisa merasakan kalau buaya putih itu mengiringi perahu ini kembali.

####

Ratna mengikat rambut sebelum dia berhadapan dengan setumpuk nota pengeluaran proyek. Juga sekalian membuat laporan pertanggung jawaban keuangan proyek. Pengeluaran operasional proyek sudah menjadi tanggung jawabnya, meski bukan dia yang membelanjakan semuanya. Lagipula tetap sibuk untuk tidak berpikir macam-macam tentang apa pun.Tapi sesungguhnya pikirannya tidak pernah lepas dari seseorang yang bernama Rajendra itu. Tarikan napas panjang Ratna terembus, Lehernya terasa mulai terasa pegal.

Pintu kamar Ratna di ketuk pelan, tidak lama kemudian Isah masuk membawa sepiring makanan kecil untuk Ratna.

“Ayuk, makan dulu. Ini kue buatan ibu, enak walau sederhana.” Isah menyodorkan piring yang berisi kue berwarna hijau dalam mangkuk-mangku kecil dari porselen, juga terdapat ketan putih di sebelahnya.

Ratna mengambil satu dari mangkuk kecil itu. Dahinya berkerut bingung. “Ini kue apa, Sah?”

“Kue SrikayaYuk. Makannya sama ketan yang ini.” Ratna memeragakan cara kue itu dinikmati.

Lidah Ratna langsung menyukai kue ini. Manis legit bercampur ketan. Sungguh enak sekali.

“Ibu membuat banyak, untuk sedekah sungai. Jadi saya bawa sepiring kesini,” Isah terkikik jahil. “Ibu tidak akan kehilangan kalau hanya beberapa mangkuk.”

“Kamu ini ada-ada saja.” Ratna ikut tertawa. “Oya, sedekah sungai itu apa?”

“Sedekah sungai itu tradisi desa ini turun temurun. Penduduk desa mengucapkan terima kasih pada penguasa sungai Lubai. Berkat kemurahan hatinya dengan memberikan airnya yang menumbuhkan padi-padi kami, juga ikan yang berlimpah untuk kami makan.”

Ratna termangu, ternyata tradisi seperti ini masih ada. Hal yang cukup langka bagi orang kota sepertinya. Penduduk yang sehari-hari hidup bergantung dari sebuah sungai, atau danau atau laut, apa salahnya jika bersedekah memberi sesajen makan ikan-ikan di air tempat mereka menggantungkan hidup? Kadang kita serakah tidak menjaga keseimbangan alam, hanya mau memangsa tanpa mau memberi makan pada piaraan atau makhluk lain yang kita makan.

Tapi penguasa sungai Lubai bukannya buaya putih itu? Dalam arti lelaki itu akan muncul lagikah?

Ramai penduduk desa berkumpul di tepi sungai Lubai. Sebagian dari mereka ada yang membawa kantong-kantong besar yang berisi ikan-ikan kecil. Sebagian membawa wadah-wadah bambu yang berisi berbagai makanan dan buah-buahan. Juga wadah bambu yang besar berisi kepala sapi. Isah mengatakan semua sesaji itu akan di larungkan ke sungai. Ikan-ikan kecil dalam kantung akan dilepaskan ke dalam air. Sebagai pengganti ikan sungai yang telah diambil penduduk kampung.

Ratna mengeluarkan kamera yang selalu dia bawa ke setiap dia keluar kota. Selain untuk memotret kegiatan proyek. Juga untuk memotret pemandangan unik dan indah, begitu dia menemukannya. Seperti hari ini. Pesta Rakyat yang sangat jarang dia temui di manapun.

Ratna mengarahkan kamera DSLR-nya untuk memotret jalannya upacara sedekah sungai. Begitu antusias, hingga dia tidak menyadari seseorang sudah berdiri di sampingnya.

“Dapat pemandangan yang bagus. Permata?”

Ratna terkejut mendengar suara yang menegurnya, kakinya yang menginjak bebatuan menjadi oleng.

“Aww…!”

Tubuh Ratna akan terjatuh ke air kalau tidak tangan kokoh seseorang menangkap pinggang Ratna dan merapatkan tubuh Ratna ke dadanya. Tangan satunya menangkap kamera Ratna yang hampir ikut jatuh.

“Hati-hati, Permata,” bisik suara serak memperingatkan Ratna.

Ratna mendongak. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat lelaki yang telah menolongnya. Tatapan mereka saling terkunci satu sama lain, cukup lama hingga akhirnya Rajendra melepas pelukannya.

Ratna masih dengan keterkejutannya, berdiri gemetar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya. Lidahnya kelu. Lelaki ini berpenampilan biasa, tidak mengenakan pakaian indah seperti waktu terakhir mereka berjumpa. Pakaian yang dikenakannya saat ini seperti penduduk kampung pada umumnya. Sarung yang diikat dipinggang, kemeja cokelat serta celana bahan hitam. Meski begitu, kewibawaan dan aura keagungannya masih bisa dirasakan. Tubuh tinggi besarnya menarik perhatian di antara penduduk. Jangan lupakan wajahnya yang seperti orang asing itu, sangat mencolok. Terlebih lagi para gadis-gadis desa melihat sosok Rajendra. Mereka berbisik-bisik, dan mencuri-curi pandang pada Rajendra, mungkin mereka mengira turis datang untuk melihat upacara ini. Tapi Rajendra  acuh, matanya tetap menatap lekat pada Ratna.

“Kau tidak mau bilang apa-apa tentangku?” Rajendra menaikan alis tebalnya, sedikit mengulum senyum.

Ratna menelan ludahnya. “Siapa kau ini? Lalu kenapa mereka bisa melihatmu.” Ratna menunjuk para perempuan yang tertarik dengan kehadiran lelaki ini.

“Pertanyaanmu banyak sekali, Permataku.”

“Namaku bukan Permata. Jangan seenaknya mengganti nama orang.” Ratna mendengkus. Dia tidak memedulikan kalau yang dihadapinya ini bukan manusia.

“Aku tahu. Namamu Ratna. Dan aku Rajendra. Seperti yang pernah kubilang waktu itu,” balasnya santai. “Mereka bisa melihatku, karena aku mengambil wujud manusia biasa. Apalagi yang ingin kamu tanyakan,” tantang Rajendra.

“Siapa kamu sebenarnya?” geram Ratna tertahan. Dia tidak sudi dipermainkan oleh mahluk dunia sebelah.

“Penguasa Sungai Lubai yang mereka hormati. Itu Aku,” jawab Rajendra tenang. Dia tahu perempuan disampingnya ini, sedang marah.

Jantung Ratna berdegup kencang. “Buaya putih waktu itu kamukah?” tanya Ratna was-was. Penuh kewaspadaan.

“Akhirnya, kamu sadar juga.” Rajendra tersenyum tipis. Aku ingin melihat upacara sedekah sungai yang dipersembahkan untukku,”katanya sambil menaruh tangannya dibalik punggung. Seakan dia bangga melihat semua ini. Rajendra memandang puas pada upacara adat itu, dagunya terangkat angkuh. “dan…tentu saja, keinginan terbesarku bertemu lagi denganmu.” Rajendra menoleh pada Ratna, bibirnya melengkung membentuk senyum.

Sontak wajah Ratna menghangat ketika mata mereka kembali bertemu. Ratna melengos. Fokus, Ratna. Dia bukan manusia. Bukan manusia, batinnya memperingatkan. Segera saja Ratna membereskan tas ranselnya, bersiap pergi.

Rajendra menahan lengan Ratna. “Mau kemana?”

Ratna menarik lengannya, tanpa menjawab dia pergi meninggalkan Rajendra begitu saja. Rajendra hanya memandang punggung kecil Ratna yang semakin menjauh dalam diam. Sepertinya akan sangat sulit mendekati perempuan manusia ini.

“Hei!” seru Rajendra pada Ratna.

Seruan itu membuat Ratna menoleh.

“Kalau kau ingin bertemu denganku, panggil saja namaku. Aku pasti akan datang di mana pun kau berada.”

Ratna tidak menjawab, lalu melangkahkan kakinya lagi menjauh dari sana. Memangnya siapa yang mau memanggil mahluk dunia sebelah?

###

Seorang lelaki mengamati kepulan asap hitam pekat yang keluar dari sebuah wadah perak berbentuk bundar berkaki tiga. Asap hitam itu meliuk-liuk menyebar membentuk gambaran sosok perempuan yang tak lain adalah Ratna. Lelaki itu tersenyum dingin.

“Aku ingin perempuan itu ditemukan, dan bawa dia kehadapanku, ” suara perintah tanpa bisa ditolak dari lelaki yang duduk di singgasananya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk pegangan kursi, dia sedang memikirkan suatu rencana.

Salah satu anak buahnya maju ke depan, penampilan lelaki itu sungguh berantakan dan menyeramkan. Rambut lelaki itu setengah botak, kulit hitam dengan sisik kasar. “Perintahkan saja hamba yang hina ini, Tuanku.” Matanya menyiratkan kelicikan. “Hamba bisa menemukan perempuan itu dengan mudah, dan akan membawanya ke hadapan tuanku,” sambungnya lagi.

Lelaki di atas kursi kebesarannya itu tersenyum sinis. “Jangan sampai gagal, Shes. Kalau kau tertangkap oleh Rajendra maka kau dipastikan tidak akan selamat,” tandas lelaki itu lagi.

Lelaki yang di panggil Shes itu, berlutut memberi hormat. Lalu menghilang dari hadapan tuannya begitu saja seperti asap.

Lelaki itu menyeringai kejam membayangkan Rajendra murka.

Ratna membelokkan langkahnya menuju Curug kaco. Akhirnya dia kemari juga karena penasaran dengan tempat ini, toh dia hanya sebentar saja. Sesampainya disana matanya memandang takjub, Ratna terpaku dengan pemandangan di depannya. Curug kaco ini sangat indah dengan tujuh tingkatan air terjun yang jatuh deras dari ketinggian tebing, menciptakan cahaya pelangi lembut. Ratna mengira ketinggian air terjun ini mungkin mencapai 40 meter.

Di sela-sela dinding air terjun mengalir air jernih, sehingga seperti tirai bening. Ratna melepas sepatu dan menjatuhkan ranselnya kebebatuan. Sebelumnya dia mengambil kamera untuk mengabadikan keindahan Curug Kaco ini. Ratna berjalan berjalan perlahan, memanjat tempat yang agak tinggi untuk melihat lebih jelas lagi. Wow! Ratna berdecak kagum dalam hati begitu melihat dari ketinggian. Sesuai dengan namanya Curug Kaco yang artinya air terjun kaca, airnya sungguh jernih sebening kaca.

Banyak sekali ikan kecil yang berenang nyaman, dahan pohon- pohon mati tenggelam di dasarnya. Kamera Ratna mulai memotret semuanya. Suasana yang tenang jauh dari kebisingan membuat Ratna betah dan memilih berlama-lama. Dia berharap orang tidak banyak mengetahui tempat ini, karena begitu tempat ini tersebar bukan tidak mungkin tempat seindah ini akan rusak oleh tangan-tangan jahil yang tidak memelihara alam.

Begitu terlarutnya Ratna melihat air terjun itu, hingga dia lupa kalau sudah hampir dua jam dihabiskannya untuk memotret. Waktunya untuk pulang. Ketika Ratna membereskan peralatannya, mendadak muncul seorang lelaki entah dari mana munculnya. Dia berjalan mendekati Ratna. Ratna segera meraih tas dan bersiap pergi secepatnya, dia punya firasat buruk.

“Eh, mau kemana, gadis cantik?” Lelaki asing itu mengadang langkah Ratna.

Ratna menatap geram pada lelaki kurang ajar ini. Ternyata dimanapun tempat pasti ada orang yang bergaya bajingan, bahkan di tempat seperti ini juga. Ratna teringat pepatah yang mengatakan, rasa penasaran bisa membunuhmu. Sepertinya rasa penasarannya dengan Curug Kaco membuatnya celaka seperti sekarang.

“Hmm, cantik sekali. Sayang, aku diperintahkan tuanku untuk membawamu ke tempatnya. Kalau tidak, dengan senang hati aku ingin mencicipi tubuhmu.” Mata lelaki asing itu menelusuri bentuk tubuh Ratna dari atas hingga ujung kaki dengan kurang ajarnya.

Ratna mengepalkan tangan bersiap akan meninju.

“Calon pengantin Raja Rajendra begini cantik. Pantas saja tuanku menginginkannya juga.” Suara serak sungguh menjijikan terdengar. Lelaki itu menyentuh dagu Ratna.

Apa maksudnya? Siapa yang pengantin? Ratna tidak mengerti apa yang dibicarakan lelaki asing ini. Rajendra? Apa hubungannya dia dengan ini?

Ratna menepis marah tangan kotor itu. “Jangan sentuh aku! “serunya. “Siapa kau ini?!” bentaknya bercampur gugup.

“Wah ternyata cukup bernyali juga, Cantik.” Dengan ganas dia mencengkeram wajah Ratna dengan tangan kasar dan sepertinya terlihat bersisik kehijauan. “Tuanku pasti akan memberikan hadiah besar padaku, karena telah berhasil membawamu kepadanya, ” desisnya. “Namaku Shes, lebih baik kau ingat-ingat itu, Cantik.” Kekehnya. Shes senang ternyata tidak sulit menemukan perempuan ini.

Ratna mengertakan giginya. Spontan dia mengarahkan tendangan ke arah selangkangan lelaki asing itu demi menyelamatkan diri. Shes langsung melepaskan cengkeramannya dari wajah Ratna, dia menjerit kesakitan.

Ratna memutar tubuhnya untuk lari, tapi lelaki itu bergerak cepat, menarik dan menjambak rambutnya. Disusul dengan sebuah tamparan mendarat di wajah Ratna dengan keras hingga mengenai bibir. Rasa perih yang menyengat langsung terasa di bibirnya, darah segar langsung mengucur deras. Sialan!

“Jangan coba-coba melawan. Kalau kau tidak mau celaka.” Shes tertawa keras, menampakkan gigi hitam kekuningan. Berikutnya dia mencekik leher Ratna dengan keras.

Ratna merasakan napasnya hilang, dia menatap penuh kebencian pada lelaki itu. Tubuhnya gemetar menahan amarah. Dia berusaha memberontak. Kepalanya sakit, pandangannya mulai menggelap. Tangan Ratna mencengkeram lengan yang mencekiknya dengan kuat.

Shes merasakan panas menyengat pada lengannya begitu telapan tangan dan kuku dari Ratna menyentuh kulitnya. Panas sekali seakan api yang membakar. Sejurus kemudian dia melempar tubuh mungil Ratna, hingga tersuruk di bebatuan. Dia mengelus lengannya, terdapat luka bakar menghitam disana.

“Kau melukaiku ?” ucap Shes terkejut. Dia mulai berpikir kalau perempuan yang terkapar itu bukan manusia biasa. Buktinya dia bisa melukai kulitnya yang terkenal keras dan sulit dilukai.

Ratna terbatuk-batuk, mencari udara.

Kembali Shes menghampiri Ratna, dia mengulurkan pedang ke arah leher gadis itu. “Kamu tidak bisa dibiarkan hidup. Lebih baik aku membunuhmu sekarang, anggap saja kecelakaan. Majikanku tidak akan marah.”

Ratna memejamkan mata. Saat-saat seperti ini berharap seseorang akan datang menolongnya. Siapa pun dia. Rajendra!

Nama itu terlintas dipikiran Ratna. Dia juga tidak mengerti kenapa nama itu yang dia sebut. Tidak mungkin juga sosok lelaki itu akan muncul begitu saja.
Tapi Ratna sepertinya salah.

“Lepaskan dia!” Suara menggelegar penuh kemarahan tiba-tiba menyeruak di pendengaran Ratna.
Sekejap Ratna merasakan tubuh lelaki gila yang sedang menodongkan senjatanya itu mendadak menegang.

Ratna perlahan membuka matanya untuk melihat siapa yang sudah menolongnya. Ya, Tuhan! Jantung Ratna berdebar kencang. Rajendra! Dia benar-benar datang!

Terlihat seseorang lagi bersama Rajendra, dan Ratna tidak mengenalnya. Lelaki berwajah tampan namun pucat dan berambut panjang putih berdiri di belakang Rajendra dengan gagah dengan belati sebatas lengan di genggamannya.

Mata tajam Rajendra berpindah kepada wajah Ratna yang memucat pasi. Dengan rambut berantakan dan luka di bibir yang mengeluarkan darah segar.

Mata Rajendra menyala penuh amarah besar. “Berani-beraninya kau!” bentaknya. Rajendra merasakan dadanya panas karena amarah yang membuncah. Dia menepis mundur lelaki itu, meraih tubuh Ratna yang melemah, memeluknya dengan erat.

” Kamu tidak apa-apa, Permata?” jemari Rajendra menyentuh bibir Ratna yang sobek.

Ratna meringis kesakitan, matanya terpejam sesaat. Dia terlalu lemah untuk berbicara, sekaligus ketakutan dengan kejadian ini.

“Tunggulah di sini sebentar. Aku akan membereskan si busuk sialan ini,” desisnya geram. “Tarak, jagalah perempuan ini sebentar.” Perintahnya pada Tarak yang mengangguk patuh.

Membereskan? Maksudnya apa?

Shes sama sekali tidak gentar, malah dia menentang dengan mengarahkan mata pedangnya kepada Rajendra. “Yang Mulia Rajendra ternyata sudah datang. Tuanku akan sangat senang kalau aku bisa membawa mayat Yang Mulia juga kehadapannya.” Sebuah seringai kejam terlihat mengerikan. Shes bergerak cepat sambil melesatkan pedangnya dengan begitu cepat ke arah Rajendra.

Namun, Rajendra bergeming. Dengan tenang dia hanya mengulurkan tangan kanannya. Seketika itu juga, pergerakkan dari lelaki asing itu berhenti, bersamaan dengan terangkatnya tubuh itu ke udara, pedang ditangannya terjatuh.

Mata Ratna sontak terbuka, terbelalak ngeri. Sebuah kekuatan tidak terlihat seperti mengangkat tubuh itu. Apa yang terjadi?

Rajendra tersenyum dingin, matanya menatap kejam pada tubuh yang terangkat tinggi itu. “Darah dibalas darah. Beraninya kau sudah melukai perempuan milikku,” geramnya marah. Rajendra mengepalkan tangannya. Matanya terpejam sesaat. Kemudian terbuka lagi, bersamaan dengan munculnya benda berbentuk bundar sebening air begitu dia membuka telapak tangannya.

Benda bundar itu melayang perlahan ke udara, berputar sejenak mengelilingi Rajendra, seakan benda itu memiliki sayap. Yah, benda bundar itu adalah air. Salah satu dari sekian senjata miliknya, selain Pedang kembar Kastara.  Banyu Utpata. Banyu Utpata adalah air tapi bukan jenis air biasa. Banyu Utpata adalah senjata mematikan. Mampu membentuk senjata apapun sesuai perintah pemiliknya.

Tak lama kemudian Banyu Utpata memecah diri menjadi beberapa bagian, membentuk pisau-pisau bening kecil nan tajam dalam jumlah banyak.

Wajah Shes yang terperangkap di udara terkesiap dan pucat, darah seolah hilang dari tubuhnya. Matanya membelalak penuh ketakutan melihat pisau kecil yang terbentuk begitu banyak. Dia sudah membayangkan seandainya pisau itu menusuk ke seluruh tubuhnya. Sudah dipastikan dia tidak akan hidup. Dia sudah mendengar desas desus di kalangan siluman air, selain pemiliknya yang tidak mengenal belas kasihan terhadap lawan. Senjata yang dimiliki Rajendra tidaklah sedikit dan kesemuanya mematikan. Lelaki itu memberontak hendak melepaskan diri tapi percuma saja.

“Aku tidak perlu mencemari tanganku dengan darah kotormu. Cukup senjataku saja. Perlahan-lahan kau akan mati kehabisan darah. Menyenangkan melihatnya, bagaimana kau akan memohon untuk mati secepatnya.” Rajendra mengangkat tangannya memberi perintah.

Sedetik kemudian, dengan kecepatan menakjubkan pisau-pisau air melesat cepat ke arah tubuh musuhnya. Dalam sekejap tubuh Shes sudah di dipenuhi oleh Banyu Utpati. Semuanya, tidak ada yang terlepas dari tajamnya pisau itu. Hanya menyisakan bagian kepalanya yang selamat tidak terkena sama sekali. Shes tidak sempat berteriak lagi, darah sudah memuncrat dari mulutnya. Sekujur tubuhnya bermandikan darah. Napasnya terengah, dadanya naik turun menarik udara ke paru-parunya. Tapi sepertinya percuma saja.

“Ck, sayang sekali aku ceroboh. Kepalamu tidak kena,” ujar Rajendra santai. “Sekarang aku ingin bertanya, siapa yang telah mengirimmu untuk menculik calon pengantinku? Katakan dengan singkat, aku kasihan melihatmu tersiksa begini.” Rajendra berpura-pura simpati. Dia lebih suka mempermainkan musuhnya yang sedang sekarat. Menarik untuk dilihat, bagaimana nyawa mereka tinggal separuh.

“A… aku tidak… a…kan menjawabnya. Uhuk…uhukk.” Lelaki itu terbatuk darah lagi. “Tuanku sangatlah hebat. Tunggu saja kekalahanmu, Yang Mulia Rajendra. Lebih baik bunuh saja aku.” kekehnya mengejek Rajendra.

Rahang Rajendra mengeras menahan murka, “Keras kepala. Baiklah kalau itu memang keinginanmu. Matilah kau.” Banyu Utpati satu lagi meluncur, dan tepat mengenai bagian dahi lelaki itu. Berakhirlah hidupnya seiring dengan tubuhnya yang perlahan berubah menjadi serbuk, jatuh dan hilang tersapu angin terbawa ke Curug Kaco.

Tubuh Ratna melemas lunglai melihat kejadian menyeramkan penuh darah dimana-mana. Kejadian layaknya film fantasy yang sering di tonton. Lalu kematian lelaki itu yang berubah menjadi debu, membuatnya mual mau muntah. Tiba-tiba saja pandangannya menggelap dan dia tidak ingat apa-apa lagi.

###

“Hai, bangun, Permata.”

Ratna membuka matanya ketika merasakan pipinya ditepuk-tepuk pelan. Begitu matanya terbuka sempurna, dia langsung dihadapkan dengan sepasang mata emas yang menatapnya cemas.Ternyata dia sudah berada di pangkuan Rajendra. Secepat kilat Ratna mendorong dada Rajendra, dan langsung berdiri tegak. Namun, Rasa pusing langsung menyergapnya, rasa sakit akibat pukulan masih terasa berdenyut.

“Sepertinya kamu sudah mulai tidak aman di dunia permukaan. Kamu harus ikut denganku,” cetus Rajendra.

“Apa? ikut denganmu?” ulang Ratna bingung sambil memijat dahinya.

“Ke istanaku. Di sana kau akan aman karena dalam perlindunganku. Aku yakin, musuhku masih akan mengincarmu lagi kalau berada di duniamu.”

Sekejap akal sehat Ratna kembali, “Kau gila! Istana apa?” Dia berusaha untuk tidak panik. Ratna memiringkan kepalanya dan menatap Rajendra.

“Sudah tidak ada waktu lagi. Aku akan membawamu ke rumahmu yang baru,” jawab Rajendra. “Kau akan hidup denganku. Kau bersedia sukarela ikut denganku?”

Bersambung…

3.000 word huft#lapkeringet#

Maafkeunnn sebulan nggak update, masih ingat ceritanya kan #mojoksamaTarrak#

Pertarungannya kurang rame ya hmm maklum masih newbie bikin cerita begini#selftabok#

Penjelasan arti nama-nama tokoh di Pengantin Rajendra yang di ambil dari bahasa Sansekerta :

Rajendra berarti Raja yang sangat kuat.

Ratna berarti Permata yang jelita.

Tarrak berarti Bintang Pelindung. Cocok untuknya sebagai tangan kanan Rajendra

Kastara nama pedang kembar milik Rajendra artinya Termasyur.

Senjata berupa bola air yang di pakai Rajendra itu Banyu Utpata artinya Air Terbang.

11 Komentar

  1. Banyu utpati is the coolest weapon!
    Matur nuwun for the story.

  2. julie anggranie menulis:

    Keren banget ceritanya..ayoo author segera dilanjutkan..semangaaaaaat

  3. disini telat thor…di wattpad dh mpe bab 5 hehe

  4. Keren….

  5. Ceritanya bagus. Diteruskan ya sampai selesai.

  6. suka cerita2 macam seperti ini… :MAWARR

  7. FitriErmawati menulis:

    :MAWARR :MAWARR

  8. DianRosmawati menulis:

    :DOR!

  9. Suka banget…

  10. Cellacecilliya menulis:

    Ditunggu part selanjutnya…

  11. aku selalu penasaran sama raja rajendra…