Vitamins Blog

Pengantin Rajendra Bab 2. Ramalan Sang Daman.

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

51 votes, average: 1.00 out of 1 (51 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Song By : Brunuhville

Title : Lumina

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Ratna tidak memercayai peristiwa yang dialaminya barusan, dalam hati dia menganggap semua itu khayalan belaka akibat kelelahan karena perjalanan jauh. Tapi mengapa begitu nyata? Wajah itu, mata itu dan sinar terang megah yang membungkus sosok lelaki dengan agungnya, tidak mungkin semua itu hanya tipuan mata. Dia sudah betul-betul kelelahan rupanya!

Ratna terus sibuk dengan pikirannya hingga tak menyadari kalau sudah tiba tempat  para pekerja dan manager lapangan menginap. Beruntung Pak Amran menegurnya hingga pikiran jernih Ratna kembali jernih. Dia baru ingat ketentuan harus melapor terlebih dahulu untuk mengetahui dimana dia di tempatkan.

“Ratna, sudah tiba rupanya. Bagaimana wisata sungainya?”  sapa Pak Burhan yang menjabat kepala proyek  terkekeh geli.

Ratna menyeringai, “Menyenangkan, Pak,” Dia tahu kalau Pak Burhan hanya menggodanya saja, mungkin karena melihat penampilannya yang kusut masai.

“Istirahatlah dulu, besok pagi kita akan bicarakan mengenai material dan manpower tambahan yang akan di datangkan dari pusat.”

“Lalu saya tinggal dimana? Di camp ini juga?” Ratna celingukan,  menimbang dimana dia akan tidur malam ini.

” Tidak mungkin juga kamu tidur di camp yang isinya laki-laki semua,” kekeh Pak Burhan. “Pak Amran akan mengantarmu menginap di rumah kepala kampung, tidak jauh dari sini.

“Baiklah saya mengerti. Kalau begitu saya permisi, Pak Burhan,” Ratna pamit diiringi Pak Amran.

****

“Ini tempatnya, Bu Ratna.” Pak Amran membuka lebar pintu rumah menjadi tempat tinggal Ratna sementara. Rumah mungil milik Ketua desa setempat yang kebetulan sudah lama kosong. Rumah ini bukan rumah panggung seperti rumah lainnya melainkan rumah semi modern. Pak Amran menekan saklar lampu untuk menyalakan lampu, sekejap ruangan yang tadinya gelap menjadi terang benderang hingga seisi rumah terlihat jelas. Mata Ratna menyipitkan mata menilik sekitarnya, terdapat satu set kursi tamu yang sederhana. Rak kecil yang entah untuk apa lalu beberapa peralatan lain yang cukup ketinggalan jaman.

“Sudah dibersihkan seadanya, Bu, belum terlalu rapi dan bersih.” Pak Amran meringis.

“Terima kasih, Pak.” Ratna mengamati dengan teliti, ruang tamunya kecil, begitu juga kamar tidurnya. Sedikit berdebu mungkin dia perlu membersihkannya nanti. Untuk sekarang dia hanya butuh mandi.

“Pak, kamar mandinya di mana?”

“Ada di belakang rumah ini, Bu. Kamar mandi seadanya namanya juga desa kecil.”

Ratna menarik napas lega ternyata sanatasi desa ini lumayan. Ternyata ada kamar mandinya, masih lebih bagus daripada dia mandi di alam terbuka.

“Oh ya, Bu, untuk makan malam nanti sebentar lagi anak perempuan pemilik rumah akan mengantarkannya kemari, beserta sprei untuk di tempat tidur, dia juga yang akan menemani ibu malam ini,” sambung Pak Amran lagi. “lalu jangan lupa generator listrik akan di matikan pukul sembilan malam. Tapi saya sudah siapkan lampu emergency buat penerangan.”

Ratna mengangguk mengerti.

“Nah sepertinya putri kepala kampung sudah datang,” Pak Amran menunjuk ke arah luar pintu.

Tidak lama kemudian datang seorang gadis rambut berkepang dua datang lengkap dengan bungkusan kantong kain di tangannya, serta rantang makanan di tangan kiri. Gadis itu tampak kerepotan dengan bawaannya.

“Malam, Pak Amran, malam Ayuk,” sapa gadis itu sopan begitu memasuki ruang tamu.

“Selamat malam,” jawab Ratna sembari mengangguk sopan.

“Saya mengantar sprei dan sarung bantal, dan ini rantang untuk makan malam.”

“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Ratna,

“Nama saya Isah. Ayuk,” jawab gadis itu sopan tersenyum malu-malu.

Ayuk?” ulang Ratna yang merasa asing dengan sebutan itu.

“Itu sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa daerah sini, Bu.”

Ratna mengangguk mengerti. “Oh begitu, nama saya Ratna, senang berkenalan denganmu, Isah.”

“Sama-sama. Saya akan memasangkan sprei dulu, Yuk,” Isah dengan sedikit membungkukan tubuhnya sopan, beranjak ke kamar bakal tempat tidur Ratna.

Setelah Pak Amran pamit buat kembali ke camp, Ratna mengikuti Isah ke kamar, dia meletakkan ransel di atas meja kecil di dekat jendela yang tertutup. Iseng Ratna membuka jendela yang terbuat dari kayu untuk melihat keluar, tapi tidak terlihat apa-apa, hanya pemandangan gelap dari hutan di seberang sana. Tapi sesuatu menarik perhatiannya dari kejauhan sana.

“Isah, di sana itu apa yang terang sekali?” tanya Ratna penasaran.

” Mungkin Curug kaco, Yuk,” jawab Isah masih sibuk memasang sarung bantal.

Curug Kaco?” Ratna membeo.

Iye, Curug Kaco.  Curug yang airnya sebening kaca, kalau malam terang bulan seperti malam ini. Airnye akan terang sekali seperti lampu listrik,” Isah menjelaskan dengan logat daerah setempat.

“Wah pasti indah, aku ingin kesana.”

“Jangan Yukkabarnye…,” kalimat Isah terputus. “ah sebentar spreinya ketinggalan di rumah.” Isah tampak mengaduk-aduk isi kantong kainnya. “Aku pulang dulu ambil spreinya, Ayuk makan saje dulu, rantangnya di meja.” Isah  terlihat segera keluar terburu-buru.

Ratna  terbengong tidak mengerti.  Akhirnya dia menarik napas panjang.  Lebih baik dia mandi. Ratna membongkar koper mencari handuk dan peralatan mandinya.

Mata Ratna hampir meloncat keluar ketika dia melihat kamar mandi yang tersedia membuatnya berdecak kesal dalam hati. Kamar mandi ini karena tidak terdapat atap sama sekali dan sungguh terbuka. Hanya berupa kain bekas spanduk mengeliling sebagai penutupnya. Astaga! Benar kata Pak Amran ternyata kamar mandi yang betul-betul seadanya. Bergegas Ratna menyelesaikan mandi dengan air yang terdapat di tong besar, dia tidak mau ambil resiko kalau ada yang mencoba mengintipnya mandi.

Selesai mandi Ratna mengeringkan rambut di depan cermin yang ada di kamar, dia tertegun sesaat dengan handuk masih melekat di tubuh. Ratna memandang seluruh dirinya yang terpantul di sana, matanya tanpa sadar mengarah pada tanda lahir di leher sebelah kiri. “Tho” berbentuk kuncup bunga teratai yang hampir mekar berwarna kemerahan seperti di tato dikulitnya. Tanda lahir yang tidak biasa. Sering kali temannya bertanya kenapa dia memiliki tato? Ratna bosan dengan pertanyaan tersebut, hingga pada akhirnya dia sering memakai kerah tinggi atau scarf untuk menutupi leher.

Kalung baru biru pemberian ibunya juga seakan melindungi tanda itu dengan mengelilinginya. Ibunya pernah berpesan kalung itu jangan pernah lepas darinya, walaupun suatu saat kalung itu menunjukan sesuatu yang aneh. Lalu tadi kalung ini tadi seakan berubah menjadi sebongkah es karena hal aneh yang terjadi kepadanya. Ratna teringat sosok lelaki yang berada di sungai tadi. Siapakah lelaki itu? Kenapa hanya dia yang bisa melihatnya? Ratna menggeleng untuk membuang pikiran aneh yang bermain di benaknya. Mungkin saja saat ini dia terlalu lelah hingga mengkhayal yang bukan-bukan. Tanpa sadar Ratna kembali meraba kalung di lehernya dengan penuh tanda tanya yang bermain di benaknya.

*****

Dua sosok berenang melewati sela bebatuan bawah sungai mengejar sesuatu. Rajendra berenang lincah dengan kedua pedang Kastara di kiri kanan tangannya. Bagi kaum siluman air sepertinya bergerak dalam air sama bebasnya ketika mereka berada di Dunia Permukaan. Sama sekali bukan masalah bagi mereka. Dengan kemampuan itu pulalah seringkali juga Rajendra dan Tarak beserta pengawalnya berbaur di tengah keramaian manusia pula, hanya untuk sekedar menghilangkan kebosanan di istana. Penampilan fisik mereka yang indah mampu menarik perhatian kaum perempuan manusia yang mereka inginkan, lalu  membuat mereka memohon untuk dibawa kemana saja. Ya, perempuan manusia benar-benar bodoh, tertipu oleh sesuatu yang tampak indah, walau dibaliknya keindahan itu adalah sesuatu yang celaka.

Kali ini buruan Rajendra adalah Antek Ayu, yang merupakan sosok setan air kasta rendah. Kebetulan Rajendra dan Tarak melihat mahluk itu baru saja membunuh manusia dengan cara mengisap ubun-ubun untuk di ambil energinya sebagai makanan mereka.

Yah, hanya segerombolan pengganggu yang tidak berarti sebenarnya, namun suasana hati Rajendra sedang resah saat ini karena sosok perempuan manusia yang dilihatnya tadi. Perempuan yang diramal akan menjadi pengantinnya. Dia sama sekali tidak menyukainya, hanya karena berdasarkan perkataan kosong dari seorang Daman itu dia harus mengalami ini. Kenapa harus perempuan manusia? Kenapa bukan dari bangsanya? Rajendra mengingat dengan jelas perkataan Sang Daman yang telah meramalkan hal ini kepadanya. Saat itu sang Daman datang menemuinya.

“Ratu untukku?” Rajendra menaikan alisnya terkejut. “Apa kau yakin akan perkataanmu itu, Nenek Tua?”

“Jangan panggil aku Nenek Tua!” Protes seorang perempuan dengan suara bernada kesal.

“Kau memang sudah tua kan, menipu dengan tampilan mudamu.” Rajendra tanpa segan  mengejek sang Daman yang sudah sangat dekat dengannya.

Seorang perempuan yang di sebut Nenek tua memang memiliki penampilan muda nan cantik jelita, jauh dari kesan perempuan tua renta. Akan tetapi usianya sudah mencapai ribuan tahun, bahkan jauh lebih tua dari Rajendra sendiri.  Dia seorang Daman yang artinya sang Pengendali. Mata Sang Daman menatap air yang berada di dalam bokor emas yang berisi air dengan seksama.

Rajendra merasakan tangannya mendingin. “Kapan?”

“Dia akan segera muncul, Yang Mulia, tidak sekarang, mungkin beberapa tahun lagi,” ucap sang Daman lagi. “Jadi kita tunggu saja kedatangan calon ratu Kerajaan Graha Mandakini,” sambungnya sembari berdiri dari tempat duduk dengan anggun, pakaian sutra  berwarna hijau muda  yang dikenakannnya berkibar panjang menyentuh lantai. “Tapi ada satu petunjuk lagi, jikalau dia muncul hanya Yang Mulia sendiri yang bisa merasakan tanda-tanda itu. Oh ya satu lagi di leher sebelah kiri terdapat tanda kecil berbentuk kuncup teratai .”

Rajendra mengibaskan ekor besarnya sebagai pendorong agar bisa melesat. Dia memberi tanda pada Tarak bahwa dia akan memotong jalur pelarian Antek Ayu itu. Tarak mengangguk mengerti dan melanjutkan pengejarannya mengikuti mahluk itu dari belakang dengan santainya.

Satu Antek Ayu itu merasa sudah berhasil lolos, kembali berenang dengan tenang. Tapi tidak begitu jauh, karena Ranjendra sudah menyergapnya, salah satu pedang kembarnya sudah menempel di leher si setan air.

“Ngikkk!” mahluk itu itu mengeluarkan suara melengking tinggi menampakan gigi nan tajam dan runcing.

Rajendra tersenyum miring. ” Mau lari kemana, heh?”

Wajah mahluk yang sungguh tidak enak di pandang mata, mengerikan sekaligus menjijikan. Bentuk fisiknya  tidak jelas lelaki atau perempuan karena setengah tubuhnya manusia dan setengahnya lagi berupa tubuh ikan, jemarinya kurus berselaput dan berkuku tajam.  Wajahnya tanpa ekspresi. Tempat yang seharusnya adalah  mata hanya berupa lubang hitam tanpa dasar, rambut panjang berupa tentakel berlendir, melayang-layang dalam air.

“Mahluk jelek yang tidak beruntung.” Rajendra mengayunkan pedang Kastara di tangan kanannya dengan secepat kilat tanpa memberikan mahluk itu ruang gerak untuk melarikan diri, lalu terpisahlah kepala mahluk itu dari tubuhnya. Warna kehijauan menjijikan yang juga merupakan darah Antek ayu menyebar di sekitar Rajendra hingga mengubah warna air bening menjadi kehijauan. Tubuh mahluk yang sudah kehilangan kepala itu perlahan pula mulai menghilang tanpa bekas begitu juga kepalanya.

“Seratus…,” ucap Rajendra bangga. Dia menang dari Tarak. Antek Ayu ke seratus sudah dia dapatkan. Tarak mendekat, matanya menyipit tidak suka, “Yang Mulia menang lagi.”

Rajendra menyeringai licik. “Kau tahu kan aku selalu menang,” ujarnya dengan nada bangga. Mata keemasannya memandang puas pada sekelilingnya. Tubuh-tubuh Antek Ayu buruan mereka tentu saja tanpa kepala bertebaran lalu menghilang.

“Ayo kita pulang, aku sudah lumayan terhibur,” ajaknya pada Tarak

Rajendra dan Tarak tiba di gerbang wilayah istananya. Begitu pintu terbuka satu pasukan menyambut mereka, menanti Raja dan Tarak yang merupakan Jendral mereka tiba. Jangan mengira karena mereka berada di dalam air maka kerajaanya juga penuh air. Tidak sama sekali. Kerajaan Rajendra hampir mirip dengam dunia permukaan. Gerbang berukir kepala singa sebagai batas air . Batasan tak kasat mata dengan dunia atas. Sedangkan apabila para prajuritnya ingin ke dunia Permukaan mereka bisa melalui gerbang tadi, tentu saja berbeda dengan jalur yang di miliki Rajendra Sang Raja penguasa sungai Lubai.

Kerajaan Rajendra sendiri sangat indah dengan empat menara kembar. Bagian bangunan istana juga beratapkan kubah yang terbuat dari emas. Jembatan menuju istana Graha Mandakini merupakan jembatan dari batu putih dengan kaki jembatan tinggi. Sungai kecil namun bening mengalir dibawahnya menuju tempat landai berbentuk kawah kecil. Air terjun besar yang berasal dari kebun istana juga menjatuhkan airnya kesana.

Rajendra masuk ke kamarnya, dan langsung para pelayan istana sigap melayaninya. Dari menyiapkan makanan dan pakaian kerajaannya.

Rajendra ingin menghabiskan waktu lama di dalam kolam pemandian.  Kadang kala mandi bersama dengan para perempuan yang  menjadi teman tidurnya. Tentu saja, perempuan berbeda tiap malamnya. Tapi kali ini dia sudah berpesan kepada pelayannya untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya malam ini tanpa pengecualian. Barang siapa yang berani melanggar anggap saja nyawanya sudah hilang.

Begitu Rajendra selesai mandi, betapa terkejutnya dia, ketika melihat di atas peraduan miliknya telah menanti seorang perempuan yang sangat cantik dengan tubuh menggiurkan, siap melayaninya untuk menghabiskan malam penuh gairah seperti biasa. Namun, rahang Rajendra mengeras, bergeming tanpa ada niat untuk mendekati. Bibir perempuan itu melengkung merajuk, dan bangkit dari tempat tidur dengan tidak sabar, kedua tangan cantiknya mengelus dada bidang Rajendra dengan provokatif, mencium bibirnya dengan penuh napsu. Tapi Rajendra tidak merasakan gairah apapun lagi, walau pakaian tipis yang di gunakan perempuan ini sudah terlepas seluruhnya dan jatuh ke lantai, sebaliknya dia malah menginginkan perempuan manusia itu. Perempuan yang sudah membuat dirinya gelisah! Begitu kuanyat keinginan tersebut membuatnya seperti sesak napas. Berengsek!

Rajendra menggeram marah, lalu mendorong perempuan yang sedang menempel di tubuhnya dengan keras hingga terjatuh, lalu secepat kilat menjambak rambut panjang perempuan yang namanya saja dia tidak tahu, menyeretnya keluar dari kamar tanpa memedulikan pekik kesakitan dari perempuan itu.

“Pengawal!” teriak Rajendra menggelegar hingga membuat takut siapapun yang mendengarnya.

Pintu kamar Rajendra  terbuka lebar serombongan pengawal masuk dengan tergopoh-gopoh.

“Yang Mulia,” Kepala penjaga memberi hormat.

Mata Rajendra berkilat marah, “Singkirkan perempuan ini dariku!” dia melempar tubuh  itu seakan seonggok sampah hingga tersungkur di lantai dingin. “dan kau…,” Jari telunjuk Rajendra mengarah ke pelayannya yang sudah gemetar ketakutan dengan wajah pucat pasi.

Pelayan lelaki itu langsung menjatuhkan diri mohon ampun, “Ampuni hamba, Yang Mulia, Saya sudah melarangnya masuk ke kamar Yang Mulia, tapi dia memanfaatkan kelalaian hamba.”

Ranjendra mendengkus, “Bawa pelayan ini pergi, juga perempuan itu. Aku tidak ingin melihatnya berkeliaran di istanaku!” Ekspresi Rajendra mengeras kemudian memutar tubuhnya dan menutup pintu kamar dengan bantingan keras.

Rajendra mengembuskan napas resah, harusnya dia bisa tidur nyenyak malam ini, tapi jantungnya  kembali menderu tanpa dia inginkan setiap kali mengingat perempuan manusia itu, begitu inginnya bertemu  sekali lagi.  Untuk melihatnya secara dekat dan memandang wajah cantik itu sepuasnya.

Permataku.

Bersambung…(kapan-kapan) hehehe :-D  :-D 

11 Komentar

  1. wih…. seru ne… lanjutttt :BAAAAAA

  2. :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP

  3. wah ini cerita sukses bikin nagih, ga sabar menanti pertemuan kembali Rajendra dan Ratna…semangat ya kak..

  4. Amazeeeeing bangeddddd, uniqe bangedddd lanjut lanjut pokoknya lanjut :’v baru baca part ini, langsung loncat, belum liat part satunya, nanti deh dibaca. Ceritanya menarikkkkk, latarnya indo banget tapi fantasi nya dapet dan gak keliatan aneh, nama2 dan sebutannya juga tradisional bangettt. Qu syuqaaa

  5. afifahdwi15 menulis:

    Cerita yang gue tunggu akhirnya update.?☺

  6. Tiap hari ngecek ini cerita udah di upload blum. Suka banget

  7. Akhirnya update .. ??
    Sekian lama menanti ..

  8. Suka banget, aku selalu suka cerita fantasi. Dan lebih suka pantasy tanah air. Ada di wattpad yang ceritanya sejenis. Tapi sedihnya udah di hapus. Hiksss…. Tapi aku seneng bisa baca lagi cerita kayak gini . Keren dech.huaaa… serasa mendalami banget kalo cerita tentang tanah air mah.

  9. Lama kali upnya kak… tapi aku suka sma ceritanya… gak bikin cepata bosan…

  10. Waaaaa, , :tidakks!
    Ceritanya keren, jadi penasaran sama kelanjutannya, :AKUGAKTERIMA
    Gimana cara rajendra buat mendapatkan ratna, , :ragunih

  11. fitriartemisia menulis:

    duhhhh kayak imprint gitu yaaa huhuyy
    kayak waktu JA ketemu Asia kali yaa, pesonanya bikin gak bisa tidur wkwkk