Vitamins Blog

Pengantin Rajendra Bab. 3 Pertemuan.

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

54 votes, average: 1.00 out of 1 (54 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Song by : Ernesto Cortazar

Title : When Two Soul Meet.

“cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan” 

Ratna melewati jalan setapak di atas Bukit Angin. Dinamakan Bukit Angin karena  terdapat banyak pohon cemara angin tumbuh mendominasi sebagian bukit ini. Mata Ratna melebar memandang takjub dari kejauhan pada hamparan sawah di kaki bukit. Padi menguning keemasan bersiap untuk di panen, anak sungai kecil jernih mengalir deras, dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawah. Sungguh pemandangan elok memanjakan mata. Keindahan seperti ini yang dia kira hanya ada dalam lukisan ternyata terpampang nyata di hadapannya. Ratna merentangkan tangan menghirup udara segar sepuasnya memenuhi paru-parunya, sekejap rasa lega menghampiri.

Ratna baru saja menyelesaikan pekerjaannya mendata pekerja, dari juru las sampai asisten juru las. Mereka akan mengerjakan pembangunan rumah turbin dan pengelasan pipa untuk aliran air, dari pintu air melewati punggung bukit ini. Ratna juga berdiskusi dengan istri kepala kampung, yang juga  ibunya Isah untuk penyediaan makan siang dan makan malam untuk pekerja. Kantor pusat memutuskan menggunakan jasa ibu-ibu kampung,  karena kondisi yang jauh dari kota tidak memungkinkan mereka memesan makanan dengan cepat.  Lagipula bisa menambah penghasilan untuk mereka juga. Tentu saja dengan lauk seadanya.

Isah sudah pulang duluan karena harus membantu ibunya yang menyiapkan makan pekerja mulai malam ini. Isah juga dipekerjakan di proyek untuk membantu  menyiapkan keperluan pagi untuk staff kantor, terutama sarapan dan kopi untuk Pak Burhan bersama lainnya. Pak Amran tadi menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi Ratna menolak. Dia ingin menikmati pemandangan dari atas bukit cemara terlebih dahulu sendirian saja.

Hari menjelang sore,  namun matahari masih tampak jelas dan terang namun tidak terik. Angin perlahan berdesir nan lembut meniup rerumputan liar di kiri kanan jalan. Ratna menyelipkan anak rambut ikalnya di belakang telinga karena tertiup angin. Ratna terus melangkah, dengan tas ransel dipundak. Tapi, sepintas dia merasakan seseorang sedang mengawasinya dari balik pepohonan cemara di sebelah kanannya. Perasaan cemas membuat Ratna mengamati dengan seksama ke arah pepohonan, namun tidak ada tanda-tanda orang di sana. Ratna meraba lehernya, dingin kalungnya kembali terasa. Persis sama dengan kejadian waktu itu, perjumpaan aneh yang sepintas tidak nyata dengan sosok lelaki misterius. Ratna tidak menampik, di jaman modern ini hal mistis yang berhubungan dengan dunia lain masih sering terjadi, dimana pun itu.

Ratna sebenarnya buka perempuan penakut, apalagi dia menguasai sedikit ilmu bela diri walau hanya tingkat dasar. Tapi baru kali ini Ratna merasakan sesuatu akan terjadi padanya. Dia tidak mengerti kenapa instingnya mendadak menajam. Ditambah lagi,  dia baru mendengar dari para pekerja seorang penduduk setempat tewas tenggelam ketika mandi di sungai.  Tubuh penduduk itu kembali,  tapi dengan lubang menganga di belakang kepalanya.  Isah mengatakan  siluman air yang memangsa otaknya. Ratna bergidik, mengusap lengannya dengan gelisah lalu berjalan cepat.

Ayuk Ratna!” seru Isah. Dia menunggu di persimpangan jalan menuju ke desa dan ke arah Curug Kaco. Tadi Ratna berniat kesana untuk membuktikan keindahannya, namun diurungkannya karena sudah sore. Isah pernah berpesan jangan pernah ke Curug Kaco sendirian.

Napas lega diembuskan Ratna begitu melihat Isah menyonsongnya, “Kok kamu kembali lagi?”

“Saya hanya khawatir, Ayuk sendirian pulang lewat sini, takut ada apa-apa.”

“Oh begitu.” Ratna manggut-manggut.  “Ya sudah, ayo pulang.” Ratna berjalan di dampingi Isah.

Sementara itu dari balik pepohonan cemara, muncul sosok tinggi yang sedari tadi memerhatikan Ratna. Sebuah senyum penuh arti muncul di bibirnya. Jadi namanya Ratna? Ratna.., Permata.

Dentingan pedang beradu di udara. Tarak merunduk rendah, memutar menusuk, serangannya menuju ke arah Rajendra. Rajendra bergerak kesamping menghindari tusukan belati sepanjang lengan itu mengarah ke lehernya. Rajendra sendiri tahu, kalau Tarak tidak pernah segan untuk melukainya walau dia adalah rajanya sekali pun. Namun Rajendra kalah cepat kali ini, belati perak Tarak dengan kecepatan tinggi ternyata sudah menempelkan di leher Rajendra.

Rajendra menggeram kesal mengumpat dalam hati. Belum pernah dia merasa seceroboh ini dalam bertarung. Tiap kali dia bertarung dengan musuhnya di medan perang, kewaspadaan selalu bersamanya. Tidak pernah sekali pun dia lengah karena musuh mereka mempunyai berjuta cara licik untuk membunuhnya, bernapsu merebut kekuasaannya dan menggantikannya sebagai raja. Seandainya saja belati itu milik musuhnya, sudah sedari tadi kepalanya menggelinding jatuh.

“Yang mulia melambat.” Tarak menarik belati panjang miliknya dari leher Rajendra. “Jadi siapa kah perempuan pasangan jiwa Yang Mulia Raja itu?” senyum lebar tak lepas dari bibir Tarak.

Rajendra bersungut-sungut, “Perempuan yang mana?”

Tarak tersenyum menggoda Rajendra. “Perempuan Yang Mulia pikirkan saat ini, hingga tidak bisa berkonsentrasi berlatih.”

Rajendra mendengkus, “Sepertinya tidak ada yang tidak kamu ketahui,” sindirnya.

Tarak tersenyum sopan, “Jadi benar adanya kabar dari Sang Daman kalau calon ratu kerajaan kita berasal dari manusia. Yang Mulia yakin?”

“Itu hanya ramalan si Nenek tua itu, belum tentu akan terbukti.” Rajendra menyeret langkahnya hendak meninggalkan arena latihan. “Dan aku__ tidak ingin membuktikannya dengan mencoba-coba mencari tahu tentang calon ratuku itu.”

“Benarkah?” Alis kanan Tarak naik. “Tapi Yang mulia pergi diam-diam ke dunia permukaan lagi, mengintai perempuan itu. Bahkan melupakan pengaturan strategi perang denganku.”Tawa Tarak berderai menggoda Rajendra.

Wajah Rajendra memerah sesaat, lalu kemudian berubah lagi menjadi datar dan tak terbaca. “Tebaklah sesukamu. Aku selesai latihannya.” Rajendra memilih menyelesaikan latihan tarungnya lebih awal daripada mendengar ucapan Tarak. Rajendra baru ingat akan rapat strategi perang itu. Pertemuan itu penting karena musuh mereka setiap saat bisa mengibarkan bendera perang. Peperangan bukanlah hal aneh di dunia mereka. Perebutan wilayah dan kekuasaan seperti sudah menjadi pekerjaan sehari-hari mereka. Bahkan mereka akan saling membunuh. Musuh mereka bisa datang dari pihak mana saja, bahkan sesama siluman air sekali pun.

Rajendra berjalan dengan langkah lebar menuju tempat tinggalnya sambil pikirannya terbang kepada perempuan manusia itu. Rajendra kembali teringat pertemuan pertamanya dengan gadis manusia itu. Perempuan yang sangat cantik dengan matanya yang bulat balas menantapnya dengan berani. Rajendra bisa melihat ada sedikit kebingungan di wajahnya. Saat itu jantung Rajendra langsung menderu kencang, ketika mata saling bertemu. Keinginan untuk melihat perempuan itu lagi begitu kuat, seakan ada kekuatan besar yang menariknya. Dia ingin melihatnya lagi dan lagi, setelah beberapa kali secara diam-diam mengawasinya dari kejauhan. Lalu timbulah keinginan ingin segera membawan perempuan itu ke istana miliknya. Ratna…

Ratna meletakkan buku novel yang di bacanya di atas meja kecil di samping tempat tidur, sengaja dia membawa dari salah satu koleksinya untuk menghilangkan bosan. Lampu darurat  menyala temaram,  membuat matanya makin memberat tak sanggup lagi melanjutkan membaca sampai habis. Ratna mendesah dalam hati berharap lampu tidak kehabisan baterai sampai besok pagi, karena akan membuat semuanya menjadi gelap gulita seperti kemarin malam. Kegelapan membuatnya sulit tidur. Suasana sungguh sunyi sekali, hanya suara kodok dan jangkerik yang bersahutan. Ratna menarik selimut, membungkus tubuhnya hingga ke batas leher mengatasi udara yang dingin yang menyeruak, memejamkan mata dan akhirnya berhasil tertidur.

Dalam diam Rajendra mengawasi Ratna yang tertidur lelap. Dia berdiri di sudut kamar dalam kegelapan yang tak tercapai cahaya lampu yang temaram. Entah keinginannya gilanya muncul lagi, membuatnya penasaran dengan perempuan yang diramalkan Sang Daman untuknya. Maka  dia nekad mendatangi tempat tinggal Ratna secara diam-diam.

Tapi peringatan yang ditinggalkan Sang Daman yang membuatnya resah.

“Ingatlah, bukan hanya Yang mulia yang menginginkan perempuan itu. Jadi meskipun dia di takdirkan akan menjadi Ratu kerajaan Graha Mandakini, bukan berarti takdir tidak bisa dipatahkan.”

Rajendra berdiri tegak di samping tempat tidur Ratna, Tangan kiri menumpu tangan kanannya yang memegang dagu seakan sedang berpikir rumit. Mata keemasannya menelusuri rambut ikal gadis itu yang tergerai di bantal. Rambutnya begitu hitam, sehitam malam. Rajendra serta merta menekuk kaki, berlutut untuk memandang lebih jelas wajah Ratna yang nyenyak tidur. Perempuan ini memiliki bulu mata yang lebat dan lentik. Kulitnya begitu putih bersih. Semu kemerahan terlukis di pipi mulusnya. Baru kali ini dia melihat secara dekat sosok perempuan yang sepertinya sudah membuat jantungnya berdetak kencang. Dia tidak ingin datang menemui perempuan ini,  tapi sepertinya hatinya mendadak menjadi pembalela.

Rajendra hampir menahan napas, ketika pandangannya jatuh kepada bibir gadis itu. Bibir tipis yang begitu mengundang untuk dikecup. Sekuat tenaga pula Rajendra menahan diri untuk tidak melumat bibir ranum itu. Tangan Rajendra terulur menyentuh wajah Ratna yang tertidur. Ratna bergumam sebentar lalu berbalik menelentang, selimut sudah turun ke dadanya, memperlihatkan leher jenjang dan putihnya. Rajendra sempat mundur, tapi sepertinya Ratna tidak terbangun.

Tatapan mata tajam Rajendra turun menyambar leher Ratna. “Tho” merah berbentuk kuncup bunga teratai, tanda bahwa Ratna adalah calon pengantinnya. Tidak diragukan lagi. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Dahinya berkerut mengamati sesuatu yang melingkari leher Ratna.

Kalung Taritiya!

Tidak mungkin! Kalung itu sudah lama menghilang dari kerajaan. Kenapa ada di perempuan ini? Rajendra mengulurkan tangan menyentuh kalung itu. Kalung Taritiya sendiri adalah sebuah kalung perlindungan. Kalung berwarna kebiruan bening dengan ukiran gelombang air. Kalung yang digunakan sebagai penyamar jejak bagi ratu terdahulu, agar musuh tidak mengetahui keberadaannya apabila dalam keadaan genting atau apabila kalah perang dengan musuh. Seorang Ratu tidak dibiarkan hidup apabila sang Raja kalah perang.

Dan kalung ini kekuatannya akan menghilang apabila sudah kembali ke tempat kalung ini berasal. Sudah jelas kalung Taratiya milik dari raja terdahulu sebelum ayah Rajendra mengambil alih kekuasaan. Sebuah kalung pusaka turun temurun. Jadi perempuan ini disembunyikan agar tidak diketahui oleh siapa? Dari dirinya atau dari siluman lainnya? Tapi kenapa?

“Eumm…,” tiba-tiba Ratna bergumam kecil.

Rajendra beringsut mundur, agar gadis itu tidak terbangun dan ketakutan begitu melihatnya. Hening. Mendadak Rajendra melihat gadis ini membuka matanya dan memandang sayu kearahnya. Gadis itu tersenyum  sesaat,  lalu memejamkan matanya kembali.

Rajendra terpaku melihat senyum itu. Bahkan dalam tidur pun perempuan ini bisa senyum secantik itu. Demi dewi penguasa lautan! Rajendra ingin segera bisa memiliki perempuan ini bagaimana pun caranya!

****

Sudah sepekan Ratna berada di kampung ini, dia mulai sedikit terbiasa dengan lingkungan sekitarnya yang menurutnya masih begitu alami dan menyegarkan. Dia berharap bisa untuk betah di sini. Dia juga lebih suka menikmati terjun langsung di lokasi, meskipun terkadang tempatnya jauh dari peradaban kota,  bahkan dari tempat  yang mendapatkan sinyal gawai pun susah. Memanjat pohon atau naik ke atap rumah tentu saja tidak mungkin dia lakukan. Seperti keadaannya saat ini, dia harus ke kota demi sinyal dan melaporkan kegiatannya ke pusat. Sekalian mengambil dana yang di transfer dari kantor pusat untuk operasional proyek. Dan juga menelpon ibunya. Ratna sudah rindu.

Ratna berdiri di tepian sungai menunggu perahu datang sambil mengambil batu sungai kecil dan melemparnya ke air, kegiatan lumayan penghilang jenuh menunggu. Tidak lama kemudian perahu pun datang, Ratna bergegas naik. Kali ini  ditemani Pak Amran lagi dan juga Isah yang ikut karena akan membeli sesuatu di kota. Perahu berjalan tenang begitu juga dengan air sungai. Sepanjang sungai dia melihat beberapa penduduk yang memancing ikan dengan menggunakan Tangkul. Arus sungai deras dan jernih adalah tempat yang di sukai ikan.

Ratna memasukan tangan ke dalam air sungai merasakan hangatnya lagi seperti waktu itu. Namun, sesuatu bergerak dari dalam air mendekati perahu yang dinaiki Ratna. Mahluk itu berenang dengan tenang menuju ke arah Ratna duduk.

Ratna memeluk lututnya menumpukan kepala di atasnya, melamun dengan tangan masih memainkan air. Ratna tiba-tiba terkesiap karena merasakan sesuatu yang sedingin es menyentuhnya, spontan Ratna menarik cepar tangannya.

Isah bertanya keheranan ketika melihat tingkah Ratna, “Ngapo, Yuk?”

“Tidak apa-apa.” Ratna menggeleng. “sepertinya ada ikan besar yang menyentuh tanganku tadi,” ucap Ratna. Dia kembali membuang pandangannya ke air sungai, sepertinya ada riak besar di sana yang menandakan akan sesuatu yang naik kepermukaan.

“Kita berjumpa lagi, Permataku.”

Jantung Ratna berdentam seperti dipukul keras. Suara itu lagi. Suara dalam dan berat. Mata bulat Ratna melebar ketika dia melihat persis di samping perahu seekor buaya putih yang sangat besar dan panjang mengiringi perahu ini. Panjang buaya itu mungkin melebihi panjangnya perahu yang dia tumpangi. Ratna membekap mulut. Matanya menatap  horor. Buaya putih! Ratna langsung teringat perkataan tukang perahu ketika dia batu tiba di kampung ini. Jadi apakah buaya ini penunggu sungai yang ditakuti penduduk setempat?

Ratna ingin menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ratna melirik Isah yang tetap tenang, begitu juga Pak Amran yang merokok sambil bersandar di kursi penumpang. Tidak ada yang melihat buaya ini selain dirinya, kenapa dia bisa melihat mahluk ini? Semuanya seperti tidak merasakan adanya bahaya di dekat perahu. Bukan itu, bahkan mereka tidak merasakan ada buaya besar di dekat mereka.

Jadi apakah buaya putih ini yang menyentuh tangannya tadi?

“Kamu melihatku kan?”

Ratna menatap berani menantang mata berwarna keemasan. Warna mata yang sama dengan lelaki yang dia pernah lihat.

“Ternyata benar, kamu bisa melihatku. Permata.”

Ratna bersumpah kalau telinganya mendengar suara kekehan yang berasal Buaya Putih itu. Dia menautkan jarinya,meremasnya resah. Ini mimpi. Pasti mimpi!  Tolak pikiran Ratna.

“Jangan takut, aku tidak akan mengganggumu. Ijinkan aku menemani sampai ke tujuanmu, Wahai permata.”

Arus sungai di depan semakin menderas. Ratna melihat Buaya putih itu mengibaskan ekornya yang besar untuk menahan arus sungai mengguncang perahu. Setelah itu mahluk itu kembali muncul dan menghilang dalam air. Sesekali muncul buaya putih itu memandangi Ratna, mengeliling perahu, muncul dan menghilang lagi seakan mengajaknya bermain.

Ratna terkesima melihatnya. Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa Buaya putih ini sepertinya bukan mahluk yang berbahaya? Bentuknya memang menyeramkan dengan sisik putih dan punggung tajam yang nampak keras.  Tapi kesan mistis dan menakutkan tidak terasa olehnya. Sebaliknya Ratna menyukai cara buaya itu berenang,  begitu pelan seakan buaya itu takut apabila hempasan ekornya akan mengenai perahu.

Sesampainya di tempat tujuan Buaya putih itu menyelam menghilang. Ratna mencari kemana buaya putih besar pergi. Namun kemudian sesuatu muncul kembali dari dalam air, bukan buaya putih tadi akan tetapi sosok lelaki di sungai malam itu. Tapi kali ini dalam bentuk berbeda, bentuk manusia secara utuh.

Tubuh itu berdiri gagah di atas air seakan itu adalah tanah yang keras. Tidak terdapat setetes pun air membasahi tubuh dan pakaiannya, walau dia muncul dari dalam air. Lelaki itu mengenakan pakaian tunik panjang keemasan tanpa lengan, memperlihatkan betapa lengan itu kekar dan terlatih. Juga jubah hitam penuh dengan ornamen benang emas di sepanjang tepiannya, jubah terpasang menutupi punggung serta pundak. Sepanjang lengan kanan lelaki itu terdapat seperti tato berbentuk api merah yang menyala.

Ratna mengerjap, kali ini dia lebih jelas melihat betapa tampan dan gagahnya lelaki itu. Wajahnya seperti perpaduan barat dan timur. Rambutnya sewarna tembaga, serta rahang kokoh persegi yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Mata tajamnya begitu dalam seperti pusaran air tanpa dasar, menyeret Ratna untuk tenggelam kedalam manik matanya.

Sekejap kemudian Ratna merasakan perubahan aneh pada sekitarnya. Semua suara mendadak menghilang. Seakan saat ini hanya ada mereka berdua sekarang. Mereka  saling memandang lekat, seperti dalam momen keabadian. Ratna tidak dapat menggerakkan tubuh, ketika lelaki itu berjalan makin dekat kearahnya. Lelaki itu pun tiba di hadapan Ratna. Ratna merasakan betapa tingginya tubuh lelaki ini, hingga dia harus menengadah hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam keemasan.

Lidah Ratna terasa kelu untuk berkata-kata, ketika tangan lelaki itu terulur menyentuh wajahnya dengan ujung jari jemarinya, lalu turun ke dagu. Lelaki itu menurunkan wajahnya hingga mereka saling memaku pandangan. Perlahan bibir maskulin itu menyapu bibir Ratna lembut. Ratna membeku, tulangnya seakan dilolosi dari tubuhnya dalam seketika. Darah mendesir naik ke wajahnya yang mulai terasa menghangat.

“Kau…?” suara Ratna akhirnya keluar juga walau seperti tercekik.

“Aku Rajendra. Ingatlah itu. Sampai bertemu lagi…, Ratna,” bisiknya serak tepat di atas bibir Ratna. Rajendra lalu berjalan mundur perlahan lalu membalikkan tubuhnya, berjalan menuju sungai kembali.

Mata Ratna terbelalak,  melihat lelaki tadi sudah berada di atas air dan menghilang begitu cepat, bersamaan dengan deburan air sungai yang keras.

Ayuk…,”

“Bu Ratna!”

Suara panggilan keras menyentakkan Ratna. Masih terngiang di kepalanya suara dan perkataan lelaki tadi. Sampai bertemu lagi? Artinya…

“Bu Ratna,  sedang apa? Kenapa melamun di tepi sungai begini? Saya mengira Bu Ratna akan terjun ke dalam sungai Lubai,” ucap Pak Amran panik.

Wajah Ratna memucat. Kejadian tadi seperti mimpi. Ratna meraba bibirnya masih terasa denyut di sana, bekas sentuhan bibir lelaki itu. Rajendra? begitu lelaki itu menyebut namanya. Astaga apa yang terjadi tadi? 

####

Di suatu tempat, jauh dari istana Rajendra. Seseorang duduk angkuh di atas kursi kebesarannya.Matanya menyorot tajam berwarna merah menyala melemparkan pandangan geram, mendengar berita yang membuatnya murka. Suasana tempat itu sendiri sungguh mengerikan dimana terdapat banyak tengkorak kepala manusia berserakan di sana. Suram dan gelap sekali, bau busuk dan anyir mendominasi tempat itu. Bunyi tetesan air terdengar jelas menggema, menambah kesuramannya.

“Jadi Raja sialan itu sudah menemukan terlebih dahulu perempuan manusia itu katamu?” suaranya serak kering seperti pita suaranya sudah rusak.

“Ya, Tuan,” jawab orang suruhannya itu menunduk ketakutan. Dia selalu tidak sanggup menatap sosok mengerikan di depannya ini. Sosok tinggi besar, hampir mencapai langit-langit gua ini.

Suara raungan marah menggema berasal dari sosok itu. Raungan geram dan marah, bersamaan dengan meja hidangan yang dipenuhi makanan yang berat itu menghantam dinding.

“Lagi-lagi Rajendra mendahuluiku! Perempuan itu harus jadi milikku, dan kemudian aku akan membunuh Rajendra dengan tanganku sendiri,” desisnya tajam diiringin seringai jahat nan mengerikan.

Bersambung…

10 Komentar

  1. :inlovebabe :inlovebabe :inlovebabe

  2. Aku suka kalungnya… jd pengen..beli dmn y?#eh ???

    Rajendra itu baru bertemu udh maen sosor ajj.. kalau d dunia nyata pasti heboh nich.. :DORONG
    Tp Aku suka.. suka bgt sama cerita2 yg d bumbui mitos kayak gni..

    D tunggu lanjutannya y kak..semoga idenya lancar jaya.. :SEMANGATLEMBUR
    :MAWARR :byesampaijumpa

    1. setuju,,, kalung nya bagus jadi pengen :inlovebabe

  3. akhirnya,,, aa rajendra up juga :inlovebabe :inlovebabe
    dah kangen sma aa sih eeaaa hihihi… ih makin gemes sma cerita ini… mau lagi dnk kak ros,,, double up gt wkwkwkwk

  4. akhhirnya up :HULAHULA :HULAHULA

  5. Ketèmuuu yeiiyyy .. ciieyhh ada adegan syur ? sekian lama semedi ka ros . . Sekali muncul beuh keren bgt ceritanya.. semangattt ka ros .. jngan lama2 update cerita nya

  6. kalung nya keren…..

  7. Waaaa, ,
    Ada musuh baru nie, , :ngupildoeloe
    Gak sabar nungu kelanjutannya, :nangisgulinggulingan

  8. fitriartemisia menulis:

    whoaaaaaaaa ini musuhnya? wadooh wadoooohh

  9. gimana ya wajah rajendra kalo di buat fisualisasinya??? mungkin gak kalo mirip pangeran arab?? :ragunih :tepuk2tangan :inlovebabe