Kiara dan Rasa Rindu

19 Maret 2017 in Vitamins Blog

23 votes, average: 1.00 out of 1 (23 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Kamu ini … apa?” tanya Kiara melihat ke langit malam. Hembusan angin lembut membelai wajah cantik Kiara. Kiara menjulurkan tangannya seakan dia meraih angin. Masih dengan dinginnya malam dan sesekali hembusan ringan angin malam. Kiara mengulas senyum singkat lalu menurunkan tangannya.

“Masih dengan ilusi yang sama.” Kiara menunduk berbalik dan berjalan menuju ke kamarnya kembali. Perasaan perih sedikit-sedikit menyusup ke dalam hatinya. Semakin dia melangkah, rasa sakitnya semakin terasa. Hingga saat dia menyentuh pintu beranda menuju kamarnya, dia meluruh ke lantai dengan memegang dadanya. Rasa perih yang Kiara rasakan membuatnya sesak, seperti udaranya hilang perlahan-lahan. Dia selalu mendambakan sesuatu yang dia pun tak pasti siapa atau apa itu. Dia menunggu setiap malamnya di bawah langit dan dinginnya malam. Menunggu hal yang Kiara tak tau tetapi selalu hatinya dambakan, seakan Kiara berlari tak tentu arah mencari jalan keluar.

Disaat sesaknya masih bertahan, seketika hawa hangat terasa di dekatnya. Terasa seperti dekapan halus dari seseorang. Punggungnya terasa hangat tapi Kiara sadar di belakangnya tak ada siapapun atau apapun. Ajaibnya, saat kehangatan itu datang rasa sesak di dada Kiara menghilang perlahan entah kemana. Perasaan Kiara lega, seperti apa yang dia dambakan telah datang. Air matanya yang kali ini keluar tanpa diminta sama sekali. Semakin lama air matanya semakin deras, Kiara tak tahu bagaimana cara membuatnya berhenti, dia menangis sejadi-jadinya hingga terdengar suara tangis yang begitu menyesakkan.

‘Apa yang sebenarnya terjadi Tuhan? Hatiku terasa terombang-ambing tak karuan seperti ini, apakah ada yang kulewatkan selama ini.’ Kiara membatin. Dengan air mata yang membanjiri wajahnya, dia berdiri dan berbalik perlahan. Kiara mengulurkan tangannya seakan terdapat seseorang di sana dan membelai wajahnya. Saat Kiara mengulurkan tangannya, dia melihat gelang tipis berwarna merah di pergelangan tangannya. Seketika waktu terasa berhenti di sana.

‘Take care, my baby Kiara.’ Kata-kata itu yang terlintas di otaknya. Kiara terkesiap dan mencoba mengingat lebih banyak. Kiara meraih gelang merah itu menuju dadanya, berharap agar hal itu membantunya mengingat.

‘Kir, lo pasti ga bakal nyangka dua hal tentang gue,’ ucap seorang anak pria pada Kiara. “Apaan? Kamu mah ga ada istimewanya.” Tawa Kiara terdengar setelah berbicara kepada pria itu. Pria itu menatap Kiara lembut sekilas, lalu kembali menatap langit malam bertabur bintang yang indah. Kiara bergeming melihat tatapan itu dan terdiam. “Gue … yang akan selalu care sama lo, gue orang yang bakal paling sering bilang ke lo ‘Take Care, Kiara’ di saat lo butuh.” Masih dengan menatap langit, pria itu melanjutkan kata-katanya, “Dan yang kedua, Gue … adalah orang yang bakal selalu sayang sama lo. Dulu, sekarang ataupun nanti.” Kiara merasa oksigennya terenggut saat itu juga hanya dengan mendengar kata-kata pria tersebut. Sepertinya pria itu belum selesai berbicara. Pria itu bebalik melihat kearah Kiara, dengan posisi Kiara yang duduk dan Pria itu berdiri. Kiara dapat melihat dengan jelas betapa indah mata pria itu ditambah dengan latar langit malam berbintang. “Dan Lo jangan pernah meragukan apa yang gue bilang saat ini, inget baik-baik dan tagih kata-kata ini kalau gue lupa, walaupun ga mungkin sih.” Lelaki itu terkekeh sedikit.

Kiara membuka matanya yang sekarang sudah tertutupi cairan-cairan bening membuat penglihatannya kabur. Tetapi dia melihat bayangan seseorang di depannya, sesaat Kiara yakin bahwa itu adalah prianya. Dia menjulurkan tangannya dan bertahan agar air matanya tak tumpah kembali. Tangannya tak menggapai apapun, Kiara hanya merasakan angin yang berhembus sangat pelan. Kiara tetap yakin bahwa sosok itu ada di depannya untuk menghibur dirinya. Lalu, dia berjalan seakan memeluk sosok yang Kiara yakini prianya itu. Saat Kiara melakukan hal tersebut, terasa sedikit perasaan hangat seperti sebelumnya. Dia melepaskan air mata yang dia bendung tadi dengan segenap rasa lega meresapi dada Kiara. Satu tetes air mata Kiara hampir terjatuh ke lantai, rasa hangat itu menghilang dan sedikit terdengar bisikan, “Take Care, Kiara. I love You.” Dan angin pun berhembus keras kembali. Saat itu Kiara sadar prianya sudah pergi meninggalkan kata-kata indah tersimpan lekat di memorinya.

~~~~

Well, aku baru kembali lagi ke sini. Setelah tugas yang bejibun selesai, aku dapat membuka web ini :lol: 

Ini cerita ketiga ku. Mohon Kritik, saran dan komentarnya^^

Terima Kasih. Selamat Menikmati~~

Nurs

Rosa & Rena

12 Februari 2017 in Vitamins Blog

98 votes, average: 1.00 out of 1 (98 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Rena dan Rosa sedang menatap langit malam. Angin sejuk menerpa wajah mereka.

“Rena, apakah kita akan selalu bersama?” tanya Rosa. Rena menatap Rosa sendu. “Tentu saja aku akan bersamamu, apapun yang akan terjadi.”

Rosa tersenyum. “Apakah kau senang bersamaku, Rena?” Kali ini, Rosa memalingkan wajahnya menatap Rena. “Kau tau jawabannya,” jawab Rena, “bagaimana denganmu? Aku sedikit merasakan apa yang kamu rasakan, aku tau banyak hal tentangmu dan jawaban ini pun aku tau pasti. Tapi, aku ingin mendengarnya dari mulutmu.” Senyuman Rena tak pudar sama sekali.

“Ini tak mudah dijabarkan dengan kata-kata. Kita saudara, tentu saja aku menyayangimu, sangat. Kita tumbuh bersama, bermain dan terjatuh bersama bahkan jantung kita bertempo seirama. Bagaimana aku bisa tidak senang?” jelas Rosa dengan mata berkaca-kaca. “Lalu apa yang kau khawatirkan?,” tanya Rena.

“Bagaimana masa depan kita nanti? Itu yang selalu kupikirkan.” Rosa menatap langit. “Kita tak terpisahkan, Rosa. Kita lahir bersama dan kita menjalani suka duka bersama. Aku tak akan meninggalkanmu apapun keadaan kita nanti. Aku berjanji.” Tangan kanan Rena menggenggam Tangan kiri Rosa. “Kita bisa lewati semua. Jangan takut, Rosa.” Tatap Rena mantap. Air mata Rosa terjatuh.

“Ya, kau benar. Kita kuat. Kita bisa.” Rosa menghapus air matanya. “Jangan pernah takut dengan masa depan, Rosa. Operasi itu…akan berhasil. Aku yakin,” ucap Rena.

Rosa mengangguk. “Ya, mereka hanya memisahkan tubuh kita, bukan ikatan batin kita. Kau benar, Rena.” Rena mengenggam erat tangan kiri Rosa kembali.

“Ya…setelah operasi itu. Kita akan memiliki tubuh masing-masing dan menjadi saudara kembar normal.”

 

*~~~*~~~*~~~*~~~*

Haiii!!

Actually, ini cerita aku yang lama sekali mengendap dan belum pernah dipublish dimanapun. Dan aku berharap mendapatkan komentar dan saran-saran untuk mengembangkan lagi cerita-ceritaku :)

 

Salam damai,

Nurs

 

My Lovely Sister

12 Februari 2017 in Vitamins Blog

121 votes, average: 1.00 out of 1 (121 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Virna, apa kau ingin hadiah di ulang tahun kita nanti?” ucapku pada Virna sambil membereskan buku-buku di meja belajar. “Hmm… sepertinya tidak. Aku sudah senang kita bisa merayakannya bersama.” Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Dia adalah saudara kembarku yang baik hati, Virna.

“Apakah kau memiliki permintaan untuk ulang tahun kita, Veni?” Aku berbalik lalu menatapnya sambil tersenyum padanya. “Tentu saja. Tapi ini permintaan hanya berlaku padamu, Vir. Ini… istimewa, hanya di antara kita berdua.” Senyumku melebar. Virna sempat terkaget mendengar itu, tapi dengan cepat dia ubah menjadi senyuman.

“Apa permintaanmu, Ven?” tanya kembali membereskan kasur kami. “Besok akan kuberitahu, saat hari kelahiran kita.” Aku berjalan mendekati Virna. “Bersiaplah untuk besok!” aku berteriak dan menepuk pundaknya. Dia kaget hingga jatuh ke atas kasur kami. Aku hanya tertawa puas dan keluar dari kamar kami.

Aku dan Virna sore ini makan nasi goreng buatan Virna di meja makan. “Oh, tadi siang mama dan papa ngasih tau kalau hari ini ga bisa pulang. Mereka masih ada kerjaan di Paris. Lalu mereka akan pulang besok malam,” ucap Virna lalu melanjutkan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Aku hanya mengangguk. “Ada lagi ga yang diucapin papa atau mama?” Virna hanya menggelengkan kepala. Aku hanya ikut mengangguk kecil.

“Vir, sepertinya aku akan pergi malam ini.” Saat aku sudah menyelesaikan makanku.

“Kemana?” tanyanya.

“Hanya menemui Boni sebentar.” Boni adalah pacarku sejak dua bulan yang lalu.

“Oh begitu, baiklah. Aku akan jaga rumah saja.” Dia membereskan piring yang telah kugunakan tadi dan membawanya ke dapur. “Jangan pulang larut malam, Ven,” ucapnya telah kembali dari dapur. “Oke, Vir.” Aku berlari ke kamar untuk bersiap-siap.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. ‘Ah, aku harus bersiap. Aku punya rencana besar saat ini,’ batinku. Lalu aku pun melangkahkan kakiku keluar dari kamar sambil mambawa tas ransel besar berisi keperluan untuk rencanaku. Aku langsung keluar rumah tanpa pamit pada Virna terlebih dahulu. Karena dia tak terlihat dimana pun.

[ 20 Juli 2004, 00.15 WIB ]

Semuanya sudah siap dan aku berada di depan pintu rumahku. Terlihat di dalam rumah lampu-lampu sudah dipadamkan. ‘Sepertinya, Virna sudah tidur,’ batinku. Aku membuka pintu yang sudah tidak terkunci dengan perlahan. Dan aku berjalan sedikit mengendap agar tidak membangunkan Virna. Tapi, saat aku melewati ruang tamu, aku teringat bahwa keadaanku masih kotor dengan noda-noda dan bau tidak enak yang menempel pada pakaianku. ‘Emm, bau ini akan mengganggu kelancaran kejutanku nanti. Lebih baik aku ganti baju.’ Aku berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan sedikit tubuhku dan berganti baju.

Saat semua terasa sudah lebih baik, aku kembali berjalan menuju kamar Virna. Dengan berhati-hati ku menaiki tangga dan terus berjalan hingga aku sampai di depan pintu putih bertuliskan ‘Ve&Vi’. Aku membukanya dengan sangat perlahan dan dapat kulihat Virna sudah tertidur di ranjang kami. Aku masuk ke dalam dan mendekati pinggir ranjang sebelah kanan.

“Vir… banguun.” Ku guncangkan tubuhnya. Dia membuka dan mengerjapkan matanya pelan. Saat dia melihatku, dia terkaget dan langsung terduduk di kasurnya. “Apa yang sedang kau lakukan, Ven?” Aku hanya tersenyum. “Aku punya sesuatu untukmu?” ucapku sambil menutup matanya dengan kain hitam.

“Haruskah mataku ditutup?” tanyanya pelan.

“Tentu harus. Jika tidak, ini bukan kejutan.” Aku terkekeh kecil dan mulai memapahnya turun dari tempat tidur. Lalu kulanjutkan memapahnya menuruni tangga dan menuju taman belakang. Di sana ada sebuah ruangan kecil yang terpisah dari rumah kami, sekarang hanya dipakai sebagai gudang. Dan di sanalah kejutanku untuknya berada.

Kubuka pintu gudang itu, langsunglah menyeruak bau yang khas. Ya, sangat khas. Aku tetap membawa Virna ke tengah ruangan. “Ven, ini bau apa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Sebentar lagi, kau akan tau.” Aku menghadapkan tubuh Virna mengarah ke hadiahku.

“Apa kau siap?” tanyaku. Tak ada jawaban dari Virna. Dan itu kuanggap jawaban iya. Aku membuka simpul kain hitam yang menutupi matanya. Saat kain itu sudah terlepas, matanya langsung melebar dan badannya lalu bergetar. Dia terjatuh ke lantai dan menutup mulutnya. Air matanya mulai terjatuh.

‘Sebegitu bagusnyakah hadiahku? Ku akui ini memang hadiah yang sulit.’ batinku dengan bangga. Aku bertanya pada Virna, “Apa kau menyukainya, Virna?” Aku berjalan mendekati dua orang yang sedang ditatap nanar oleh Virna. Tapi Virna hanya menangis dan tak menjawab sama sekali. Mungkin, dia sangat terkejut. Tubuh dua orang itu sudah terbujur kaku dan meneteskan cairan kental merah. Aku berjalan memutari tubuh yang sudah duduk diam tak bernyawa itu.

“Sepertinya, aku terlalu berlebihan pada hadiahmu, Virna. Lihatlah, kepalanya hampir putus.” Kupegang bahu pria yang kumaksud itu dan kembali menatap Virna. “Oh ya, tapi tenang saja. Hadiahmu yang lain keadaannya tidak terlalu buruk ko.” Senyumku semakin melebar.

“Ve-Veni… kenapa kamu melakukan itu pada orang tua kita?” Air mata Virna jatuh kembali. “Ya… Ya, kau benar mereka orang tua kita. Taukah kamu, Virna? Sebenarnya mereka sudah di Indonesia saat menghubungimu kemarin. Mereka ingin membuat kejutan untukmu. Dan tentu saja aku membantu mereka. Ya.. walaupun aku sedikit membuat kejutan ini berantakan. Tapi, kau terkejut , bukan?” aku tertawa setelahnya.

“Tahukah kamu, Virna? Mereka…amat sangat menyulitkanku. Mereka membuatku menggunakan pisau kesayanganku dengan kasar. Mereka bilang aku seharusnya di rumah sakit jiwa saja. Mereka mencoba menyingkirkanku, Vir!!” teriakku tersulut emosi saat mengingat kejadian itu. Virna hanya menangis tersedu-sedu tanpa beranjak dari tempatnya.

“Mereka mencoba membuangku dari hidup mereka. Mereka tak menginginkanmu…. Mereka hanya menyukaimu, Vir! Cuma kamu! Ga ada yang namanya Veni!” Aku tertawa keras dengan air mata yang sudah berlinang.

“Nah, sekarang tinggal janjimu yang kutagih, Vir… Kau akan menepatinya, bukan?” Aku mendekati Virna dengan perlahan.
“Kukira kau sudah sehat, Ven. Setelah kau menjalani konsultasi kejiwaan beberapa bulan lalu,” ucapnya dengan bergetar dan perlahan mundur menjauhiku.

Tawaku tak terbendung saat mendengar apa yang dikatakan Virna. “Saudaraku… saudaraku… aku tak pernah sakit. Aku hanya… merasa tersingkirkan, mungkin. Lagipula, dokter itu sudah tak ada. Dia sudah terpotong-potong menjadi kecil di hutan dekat rumah praktik itu.” Aku sudah selesai tertawa kali ini. Aku mulai merasa capek sekarang.

“Nah, Virna. Permintaanku hanya satu. Lenyaplah dari dunia ini. Biarkan aku yang menggantikanmu.” Aku memainkan pisau di tanganku dan terus berjalan mendekati Virna.

“A-apa yang akan kau lakukan??” Kali ini Veni berusaha berdiri dan menjauhiku lebih cepat. “Tidak…tidak kau tak boleh seperti itu. Kita saudara kan, Vir? Kau harus ikut bahagia jika aku bahagia, bukan?” Aku sudah bersiap menikam Virna.
Tapi sayangnya dia mendorong kardus-kardus disebelahnya hingga jatuh menimpaku. Aku hanya terkekeh pelan.

“Kau tidak akan lari kemana-mana, Virna,” bisikku. Aku mengejarnya ke arah taman belakang kami. Dia sudah berlari menjauhiku. Aku mengambil batu yang cukup tajam di tangan kananku dan pisau masih setia di tangan kiriku.

Aku berlari mengejar Virna sebelum dia semakin jauh. Tapi jarak Virna denganku cukup jauh, hingga akhirnya aku melemparkan batu yang kugenggam tadi.

DUG

Batu yang kulempar tepat mengenai kepalanya. Sepertinya cukup keras. Virna jatuh tertelungkup. ‘Tak salah aku berlatih menjadi pitcher,” batinku dan aku mulai mendekati tubuh Virna. Bisa kulihat dari balik rambut hitamnya keluar darah yang cukup banyak. Kubalikkan tubuhnya lalu aku duduk di perutnya. Aku bisa merasakan napasnya sudah tak beraturan. “Bagaimana kalau aku cepat mengakhiri ini, Virna?” Kuperlihatkan pisauku lagi dengan senyum puas di wajahku.

Virna terbatuk dan wajahnya sudah ternoda dengan darah yang keluar dari mulutnya. Karena aku yakin dia tak bisa menjawab lagi. Aku mulai menikam tubuh Virna dengan cepat. Wajahku dan badanku kotor terkena darah yang keluar sangat deras dari lubang-lubang yang kubuat. Bau amis darah menyeruak bergabung dengan udara di sekitarku. “Happy Bloody Birthday, Virna.”

[ 23 Juli 2004, 07.00 ]

‘Ditemukan tiga mayat dalam kondisi mengenaskan. Mereka ditemukan di dalam bangunan tak terpakai. Dengan kondisi yang hampir membusuk. Di lengan anak perempuan yang tewas ditemukan sayatan yang bertuliskan ‘Happy B’day’. Polisi masih mencari pelaku pembunuhan ini.’

 

Hai^^

Nuy balik lagi hehehe… Aku masih butuh komentarnya temen-temen nih untuk cerita endapan aku yang satu ini :)

Terima kasih sudah membaca.

Salam Damai,

Nuy

DayNight
DayNight