My Ghost – Bab 7

14 Maret 2021 in Vitamins Blog


32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Happy Reading!!

“Aku menginginkan dirimu. Seluruh dirimu. Baik hati, jiwa, dan—tubuhmu.”

Aku melongo mendengar ucapannya lalu tiba-tiba merasakan desakan untuk tertawa. Saat akhirnya kubiarkan tawaku lepas, kulihat dia mengerutkan kening, tampak tak mengerti alasan tawaku.

“Apa ada yang lucu?” tanyanya dengan nada jengkel.

“Sepertinya aku tidak menulis kalimat semacam itu dalam novelku,” kataku kemudian, masih dengan sisa tawa. “Darimana kau mempelajarinya? Jangan bilang dari Spongebob. Karena kalau iya, aku akan mengajukan keluhan film itu tidak pantas ditonton anak kecil.”

Matanya menyipit tajam. Sepertinya dia tersinggung. “Kau pikir aku bercanda?”

Mendadak senyumku berubah kecut dan aku bergerak tak nyaman dengan satu tangan meremas handle pintu. “Hmm, memangnya tidak?”

“Aku serius. Kalau kau tidak setuju, jangan sampai orang-orang itu masuk atau kumakan mereka.”

Mataku melebar. “Kau makan manusia?!” tanyaku dengan nada tinggi.

“Kadang-kadang.”

Seketika aku merengut melihat ada kilat geli di matanya. “Tidak lucu.”

“Kapan aku membuat lelucon?”

Aku berdehem, tahu jika dibiarkan pembicaraan ini tidak akan berujung ke manapun. “Jadi, bagaimana?

“Apanya?”

“Yah, tentang kesepakatan kita.”

“Permintaanku tidak akan berubah,” katanya dengan salah satu alis terangkat seraya menyandarkan punggung ke sofa. “Setuju atau tidak?”

“Kupikir kita teman,” kataku akhirnya. “Teman tidak akan meminta hal itu.”

“Kupikir kita lebih dari teman.” Dengan santai dia membalas ucapanku. “Mana ada teman sampai ciuman? Bukan hanya sekali, tapi sampai berkali-kali.”

Seketika wajahku memerah malu sekaligus kesal karena dia melemparkan fakta tak terbantahkan ke depan wajahku. Belum cukup sampai di situ, dia menunjuk pergelangan tangannya dengan gaya menyebalkan.

“Waktu terus berjalan. Kesempatanmu memilih semakin tipis. Setuju atau tidak?”

Apa seharusnya aku bilang ‘iya’ saja? Siapa tahu aku bisa membujuk mengganti permintaannya di lain waktu?

Dia terdengar mendesah dengan gaya berlebihan. “Kalau begitu kesepakatan batal. Aku tidak bisa membuat kesepakatan dengan orang yang tidak bisa memegang ucapannya. Begitu kau bilang ‘iya’, tidak ada jalan untuk mengatakan ‘tidak’ lagi.”

Sial! Aku lupa dia bisa membaca pikiran.

Dia mengangkat bahu. “Jadi?”

“Bagaimana kau bisa meminta hal itu pada seorang gadis tanpa menikahinya?”

“Kalau begitu kita akan menikah.”

Aku terbelalak. “Bagaimana cara kita menikah?”

“Tidak tahu.”

Lama-lama aku pasti akan gila berbicara padanya.

“Dengar,” katanya kemudian sambil menegakkan tubuh, fokus padaku. “kau itu mempersulit semuanya. Kalau kau tidak setuju dengan permintaanku, tinggal batalkan kesepakatan di antara kita. Tapi kalau kau bersikeras membiarkan orang-orang itu masuk ke dalam apartemen ini, maka kau harus menyetujui permintaanku,” tegasnya. “Kalau kau menginginkan sesuatu, Fira, kau harus mengorbankan hal lain. Jangan sampai aku menuduhmu egois karena kau menginginkanku berkorban membiarkan orang-orang itu memasuki tempat tinggalku tapi kau menolak untuk berkorban.”

Untuk pertama kalinya dia menyebut namaku. Dan entah bagaimana itu menimbulkan gejolak aneh dalam dadaku yang menjadi satu dengan rasa malu. Aku merasa ucapannya benar. Tapi di sisi lain aku tetap berpikir permintaannya berlebihan jika dibanding dengan permintaan sederhanaku.

“Ya, bagimu memang permintaanmu sederhana. Tapi bagiku kau sedang berusaha memintaku telanjang di depan orang banyak.”

Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depanku, begitu dekat hingga membuatku terpaksa mundur dan mendongak menatapnya namun punggungku terhalang daun pintu kamar yang masih tertutup.

“Ini tempatku, Fira. Kadang-kadang kau harus memahami arti peribahasa ‘di mana bumi kita pijak, di situ langit kita junjung’.”

Aku tertegun kehilangan kata. Mataku terpaku pada mata hitamnya. Lalu kepalanya bergerak semakin dekat, membuat hidung kami nyaris bersentuhan.

“Setuju atau tidak?” desaknya.

Selama beberapa detik aku membiarkan pertanyaannya tak terjawab. Hingga akhirnya kepalaku mengangguk, menyetujui pertanyaannya.

“Bagus,” katanya kemudian seraya menegakkan tubuh, memutus kedekatan kami sebelumnya. “Kalau begitu kita sepakat.”

Dia mengulurkan tangan. Sejenak aku hanya menatap tangan itu sebelum menjabatnya dengan enggan. Otakku masih berputar dengan berbagai macam pikiran. Apa iya aku akan menyerahkan diriku padanya hanya demi—

Aku memekik kaget saat tiba-tiba tanganku yang masih dalam genggamannya tersentak lalu aku tertarik ke arahnya hingga berakhir dalam pelukannya. Belum cukup sampai di situ, tiba-tiba bibirnya sudah menempel di bibirku dengan amat lembut.

“Jangan terlalu banyak berpikir,” gumamnya dengan bibir kami masih menempel, membuatku bisa merasakan gerak bibirnya. “Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu di luar kehendakmu.” Lalu dia menekan bibirnya dan mulai menciumku semakin dalam.

Akhirnya aku memejamkan mata, melepas semua rasa khawatir dari pikiranku akan masa depan dengan kesepakatan aneh ini, lalu menikmati ciumannya.

***

Ibu-ibu itu benar-benar datang pas pada waktu makan malam. Mereka mengetuk pintu dan saat aku membukanya, tampak ragu-ragu untuk masuk. Beruntung aku sudah menyalakan semua lampu dan membuka semua tirai jendela. Jika tidak, mungkin mereka semua akan langsung balik kanan melarikan diri.

“Ayo masuk,” ajakku dengan senyum merekah. “Oh, sini aku bantu bawa ini.”

Aku langsung mengambil alih keranjang piknik yang dibawa Dewi lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Kuletakkan keranjang itu di meja depan sofa yang biasa si hantu tempati dan begitu mengangkat kepala dari meja, aku tersentak kaget melihat ternyata si hantu duduk di sana sambil menatap keranjang piknik itu seolah penasaran apa isinya.

Aku terbelalak. Kupikir dia di kamar seperti yang kuminta tadi. Saat dia mendongak membalas tatapanku, aku melotot memperingatkan.

“Hmm, ada apa, Dek?”

Mendengar pertanyaan bernada takut itu, buru-buru aku menegakkan tubuh lalu berbalik menghadap ibu-ibu yang berjalan bergerombol ke dalam rumah. Mereka tampak seperti menempel satu sama lain, dengan sesekali melirik ke sekitar ruangan.

“Oh, tidak apa-apa,” kataku menjawab pertanyaan Vivi tadi lalu dengan segera memutar otak mencari alasan. “Tadi aku kaget karena merasa seperti melihat serangga di sofa. Tapi ternyata tidak ada. Maklum aku agak takut pada serangga.”

“Kau pikir aku serangga?”

Tentu aku mengabaikan pertanyaan bernada kesal itu dan tetap memusatkan perhatian pada tamu-tamuku yang ternyata berjumlah enam orang. Semuanya adalah ibu-ibu yang kutemui di lift.

“Oh, begitu.” Vivi manggut-manggut. Lalu dia berinisiatif meletakkan barang bawaannya juga dan segera diikuti yang lain.

“Apa ada yang perlu dimasak?” tanyaku.

“Tidak ada. Semuanya siap dimakan,” sahut seorang Ibu dengan rambut ikal yang dibiarkan tergerai. Aku lupa siapa namanya.

“Kalau begitu, langsung makan apa masih ada susunan acara tertentu?”

Mereka saling pandang mendengar pertanyaanku. Lalu seketika tawa mereka pecah. Padahal aku tidak merasa pertanyaanku lucu hingga aku hanya bisa tersenyum memamerkan gigi dengan ekspresi tak mengerti.

“Seperti rapat warga saja masih ada susunan acaranya,” kata Dewi dengan sisa tawa.

Lalu tiba-tiba dia menuju sofa dan menempatkan diri duduk di sudut sofa, membuat si hantu yang ternyata masih duduk nyaman di sana terbelalak hingga terpaksa buru-buru menyingkir berdiri di dekat tembok sebelum tubuhnya tertindih tubuh berisi Dewi.

“Aku sudah lapar,” kata Dewi. “Ayo makan. Tidak ada apapun di sini. Sama seperti apartemen lainnya.”

Yang lain mengangguk setuju dan segera mengambil tempat. Tapi sayang sofaku tidak bisa menampung mereka semua hingga ada yang memilih duduk di lantai.

“Maaf aku tidak punya kursi tambahan,” kataku dengan nada menyesal.

Vivi mengibaskan tangan tanda tak peduli. Dia termasuk yang duduk di lantai. “Tidak apa-apa. Kami sudah biasa makan bersama dan duduk lesehan. Apartemen kami sama seperti ini, sempit. Kecuali punya Bu Dewi. Dia tinggal di apartemen mewah di atas.”

“Oh ya?” tanyaku dengan nada tak percaya. Aku juga duduk di lantai samping Vivi. “Kukira gedung apartemen ini seluruhnya apartemen kelas menengah.”

“Gedung apartemen ini dibagi jadi dua bagian, Dek. Empat belas lantai ke bawah adalah apartemen kelas menengah. Lalu dari lantai di atas kita, apartemen mewah. Dan di bagian puncak gedung—apa itu namanya?” Vivi bertanya pada yang lain.

“Penthouse,” sahut Bu Dewi sambil membuka penutup makanan di meja.

“Ah, iya itu.”

“Katanya sih ditempati pemilik gedung apartemen ini,” si Ibu berambut ikal menambahkan.

Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan mereka. “Kupikir gedung apartemen ini seluruhnya untuk kelas menengah.”

Vivi menggeleng. Lalu dia beralih pada Dewi. “Bu Dewi, mungkin kapan-kapan kita bisa makan bersama di rumah Ibu. Dek Fira harus ikut.”

Dewi mengangguk. “Iya. Sudah lama kita tidak berkumpul di apartemenku.”

Suasana terasa begitu akrab. Kami mengobrol berbagai hal. Meski terkadang kuperhatikan sesekali mereka masih melirik kanan-kiri, seolah khawatir sesuatu yang janggal tiba-tiba muncul.

Sementara itu si Hantu tampak begitu tenang di sisi ruangan, memilih berdiri diam sambil menyandarkan punggung pada dinding.

Tiba-tiba Dewi berdiri sambil bergumam bahwa dia akan menyalakan tv. Dia melewati tempat sempit di mana si hantu bersandar hingga tubuhnya menembus tubuh si hantu.

Aku terbelalak. Tapi memilih tetap tenang, mengingatkan diri sendiri bahwa mereka tidak bisa melihat keberadaan si hantu. Namun Dewi membeku lalu menoleh ke belakang sambil menggosok lengannya pelan.

“Bu Dewi, ada apa?” tanya Ibu berambut ikal.

Aku menahan napas. Kini posisi Dewi tepat berhadapan dengan si hantu yang terlihat sedang marah karena tubuhnya dilewati tadi.

“Hmm, entahlah. Tadi aku merasa agak aneh saat melewati bagian sini.” Dewi menunjuk tepat ke dada si hantu.

“Aneh bagaimana?” tanya Vivi. Yang lain mulai bergeser merapatkan diri, terlihat gelisah sekarang.

“Terasa lebih dingin. Seperti hawa dingin dari kulkas saat kita baru membuka pintunya.”

Kali ini para ibu itu tidak menyembunyikan ketakutannya. Padahal makan malam belum mereka makan, tapi dari bahasa tubuh mereka, tampaknya mereka ingin segera keluar dari apartemen ini.

Tidak seperti yang lain, Vivi masih berusaha bersikap berani padahal aku juga bisa melihat sorot khawatir di matanya. “Ah, Bu Dewi ini bagaimana? Kan di atas situ ada AC, Bu.”

Bu Dewi melotot. “Kalau di bawah AC, apalagi posisi AC setinggi itu, bagian bawahnya tidak akan dapat semburan hawa dingin secara langsung.”

Buru-buru aku mengibaskan tangan. “Mungkin hanya perasaan Bu Dewi karena sedang takut. Kalian kan memang takut dengan apartemen ini karena rumor hantu itu.”

Sepertinya penjelasanku cukup bisa mereka terima. Mereka mengangguk setuju sementara Bu Dewi melanjutkan langkah menuju tv.

Dengan sorot mata dan pikiran, aku meminta hantu itu menyingkir dari sana. Sejenak dia melotot padaku dengan sikap keras kepala. Tapi akhirnya mengalah lalu menghilang. Saat Dewi kembali melewati tempatnya tadi, tidak ada apapun yang terjadi.

Tapi baru saja Dewi kembali duduk di sofa dengan tv menyala, mendadak lampu mati. Seketika keenam ibu itu berteriak keras lalu tanpa permisi berlari keluar dari apartemenku.

“Aaaaaa!!”

Suara mereka masih menggema dengan aku yang berdiri bingung di tengah ruangan, tidak tahu harus melakukan apa.

“Mereka kenapa?”

Suara dengan nada tak bersalah itu membuatku buru-buru berbalik. Meski dalam suasana gelap gulita, aku masih bisa melihatnya jelas karena permukaan tubuhnya bagai bercahaya.

“Kau yang kenapa? Kita sudah sepakat,” geramku.

“Memangnya apa yang kulakukan?” Sekarang dia berkacak pinggang.

“Memadamkan lampu.”

“Aku bukan pembangkit listrik. Tanya saja pada mereka kenapa lampunya mati.”

Aku mengerutkan kening. Apa ini padam yang normal? Maksudku—padam yang biasa terjadi. Bukan karena ulah hantu?

“Kau yakin tidak ikut campur?” tanyaku memastikan.

Terdengar dia menggeram marah. “Kalau kau berniat mencari alasan untuk membatalkan kesepakatan, kuperingatkan kau tidak akan berhasil, Fira.” Lalu dia menghilang.

Aku berkedip beberapa kali, masih berusaha menduga kira-kira dia berbohong atau tidak. Kemudian aku berseru keras, membela diri. “Aku sama sekali tidak berniat mencari alasan!”

Namun hening, tidak ada tanggapan.

***

Aya Emily



 

My Ghost – Bab 6

14 Maret 2021 in Vitamins Blog


16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Babang Ghost comeback!!

***

Jemariku sudah menyentuh daun pintu namun mendadak aku ragu. Perlahan aku berbalik, membuat tatapanku terarah padanya yang ternyata juga tengah menatapku dari sofa depan tv tempatnya duduk.

“Saat aku kembali, kau tetap akan ada di sini, kan?” tanyaku ragu. Aku takut dia menghilang tanpa jejak lagi.

“Aku tidak akan beranjak dari sofa ini,” janjinya dengan senyum merekah.

Aku tertular senyumnya lalu melambai dan keluar apartemen. Tiba di lift, aku bertemu sekelompok wanita yang sepertinya hendak berbelanja dan berangkat bekerja. Senyumku tersungging sebagai sapaan lalu bergabung di antara mereka.

“Dek Fira, ya?” tanya seorang wanita dengan tubuh agak berisi.

“Eh, iya,” kataku.

“Saya Dewi,” dia mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan ramah. “Tinggal di lantai atas,” lanjutnya.

Tak kuduga, yang lain juga mengenalkan diri hingga membuatku kebingungan untuk mengingat nama mereka. Maklum, aku bukan orang yang gampang ingat nama.

“Dek, maaf kalau menyinggung,” kata Dewi kemudian. “Tapi kamu saat ini jadi pembicaraan seluruh penghuni gedung apartemen ini.”

“Hah? Kenapa?” tanyaku bingung. Memangnya apa yang sudah kulakukan?

Dewi saling pandang dengan yang lain sebelum kembali menatapku. “Para penghuni sebelumnya di apartemen yang kamu tempati, tidak pernah bertahan lebih dari seminggu. Katanya di sana angker. Bahkan beberapa sampai masuk rumah sakit karena gangguan hantu itu. Tapi kamu kok…” Dewi menggantung kalimatnya, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana.

Aku meringis dalam hati. Orang-orang ini pasti akan berlari menjauh sambil menjerit ketakutan begitu tahu aku malah menangis sedih karena hantu penghuni apartemenku pergi.

“Apa tidak ada yang mengganggumu? Kuperhatikan juga kamu jarang keluar apartemen. Atau kamu punya semacam jimat penangkal hantu?” tanya ibu-ibu yang lain yang tampaknya pekerja kantoran seperti Astrid. Tapi aku sudah melupakan namanya.

“Tidak ada yang aneh,” kataku dengan kening berkerut pura-pura bingung.

“Lalu apa yang kamu lakukan di dalam apartemen? Katanya kamu bahkan bisa sampai berhari-hari tidak keluar apartemen.”

Katanya. Aku pasti sudah menjadi artis dadakan di gedung apartemen ini dan semua orang memperhatikan tiap kegiatanku, berusaha mendapat bahan gosip.

“Aku penulis,” kataku malu-malu. Entahlah. Aku selalu kurang percaya diri dengan sebutan itu. Penulis bagiku adalah seseorang yang karyanya jadi best seller dan dikenal semua orang. Tapi aku—sudah sangat bersyukur ada penerbit mayor yang bersedia menerbitkan bukuku. Dan bercita-cita suatu hari aku akan menerbitkan sendiri karyaku.

“Wah, itu hebat sekali,” puji seorang ibu dengan bibir merah manyala.

“Karena itu aku sering mengurung diri dalam apartemen.” Aku buru-buru mengembalikan topik pembicaraan pada apartemenku. Tidak ingin mereka bertanya lebih jauh mengenai karyaku dan berakhir kecewa karena ternyata aku hanya penulis kalangan bawah. “Aku selalu dikejar deadline.”

Mereka manggut-manggut menerima alasanku. Tapi tampak jelas masih belum puas. Masih tidak mengerti mengapa aku tidak mendapat gangguan hantu seperti penghuni-penghuni apartemen sebelumnya. Lalu mendadak si ibu dengan bibir merah manyala mengacungkan tangan seolah mendapat ide.

“Ah, bagaimana kalau nanti malam kita makan malam di tempat Dek Fira?” usulnya yang seketika membuatku dan Ibu-Ibu yang lain melongo.

“Hah?” aku tak bisa menahan rasa terkejutku.

Ibu itu tersenyum menenangkan. “Jangan khawatir, Dek Fira. Kami yang menyiapkan makanannya. Kamu hanya menyiapkan tempat. Setuju, kan?”

Kami semua tampak ngeri dengan pandangan ke arah si ibu berbibir merah manyala. Tentu aku juga ngeri membayangkan mereka masuk ke apartemenku. Meski saat ini aku dan si hantu sudah—hmm, apa yah? Rasanya teman saja tidak cukup untuk menggambarkan hubungan kami. Tapi apa iya sampai tahap—kekasih?

Ah, lupakan!

Pokoknya meski aku dan si hantu dalam masa genjatan senjata, tapi tetap saja aku tahu betul dia bukan sosok yang ramah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan dengan kehadiran orang-orang yang pasti akan dianggapnya mengganggu teritorialnya.

“Hmm, entahlah,” kataku ragu, bingung mencari alasan. “Aku orang yang cenderung penyendiri. Jadi tidak tahu bagaimana mengadakan makan malam bersama.”

Si Ibu berbibir merah manyala—yang baru kuingat bernama Vivi karena Dewi menyebut namanya tadi—mengibaskan tangan. “Santai saja, Dek. Bukan acara formal juga. Hanya makan-makan bersama tetangga. Kami memang sering melakukannya. Anggap saja pesta penyambutan tetangga baru,” katanya bersemangat lalu menoleh pada yang lain yang masih tampak ngeri. “Setuju, kan?”

“Hmm…”

Jelas sekali ibu-ibu yang lain berniat menolak. Tapi saat salah seorang mengangguk, yang lain pun ikut mengangguk setuju. Sepertinya rasa penasaran mereka pada apartemenku lebih besar dari rasa takut. Dan pepatah mengatakan, rasa penasaran bisa membunuhmu. Astaga!

Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga rasa penasaran tidak membuat mereka terluka, apalagi sampai terbunuh.

Oh, sial! Apa aku yang akan dituduh sebagai tersangka?

Oke, cukup! Aku terlalu jauh berpikir. Mungkin aku hanya perlu berbicara dengan si hantu dan membujuknya mengizinkan mereka bertamu selama beberapa jam. Seharusnya dia tidak keberatan menunggu di dalam kamar yang suasananya remang seperti kesukaannya. Tapi… apa kira-kira dia mau disingkirkan sebentar dari tempat persemayamannya di sofa depan tv?

“Dek!”

“Hah?” aku tersentak karena panggilan tiba-tiba itu.

“Malah melamun,” Vivi tertawa kecil. “Nanti malam kami akan ke rumahmu bawa makanan.”

“Oh, tentu.” Memangnya apa lagi yang bisa kukatakan? Mungkin seharusnya aku pura-pura tertekan saja agar tidak ada yang penasaran datang ke apartemenku. Tapi sekarang sudah terlambat untuk melakukannya.

Hhhh!

***

Aku baru selesai mandi lalu keluar dengan pakaian santai dan handuk melilit kepala. Entah mengapa tadi aku membawa pakaian lengkap ke kamar mandi alih-alih mengenakan bathrobe ke kamar tidur seperti biasa. Mungkin karena aku perlu buru-buru bersiap—

“Untuk apa?”

Aku menoleh ke arah sofa depan tv. Seperti biasa, si hantu berbaring di sana dengan tv menyala dan sekarang ditambah buku karyaku di depan wajahnya. Semakin lama tubuhnya semakin solid hingga membuatku nyaris berpikir bahwa dia manusia sungguhan. Hanya saja di permukaan tubuhnya masih tampak samar yang membuatnya malah seperti bersinar. Seolah ada lampu di permukaan tubuhnya, bahkan di atas pakaian yang dia kenakan.

Buku yang sedari tadi berada di depan wajahnya tiba-tiba bergeser turun hingga tak ada penghalang bagi mata hitam itu untuk menatapku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” tegurnya.

Kurasa ini saatnya, pikirku membuat si hantu mengerutkan kening. Cukup aneh juga dia tidak tahu bahwa aku gelisah sejak pagi. Apa mungkin karena dia fokus pada buku yang dibacanya hingga kemampuannya membaca pikiran jadi teralihkan?

“Mungkin. Aku memang tidak menyadari bahwa kau gelisah.” Seperti biasa dia menanggapi isi pikiranku. “Jadi apa yang mengganggumu?”

Menghela napas, aku memilih menghampirinya lalu duduk di sofa panjang tempatnya berada. Mau tidak mau dia menarik kakinya agar aku memiliki tempat. Aku duduk menghadapnya yang tengah bersandar di salah satu lengan sofa. Satu kaki kulipat di bawah tubuh sementara kaki lain menjuntai menyentuh lantai.

“Maukah kau mengabulkan satu permintaanku?” tanyaku buru-buru sebelum dia lebih dulu membaca isi pikiranku.

Keningnya berkerut. “Katakan dulu apa permintaanmu.”

“Apa kau tidak bisa langsung bilang iya saja?”

Dia melotot. “Kau pikir aku bodoh?”

“Tidak.” Lalu aku menyatukan kedua tangan di depan dada dengan sikap memohon. “Hanya tolong kabulkan saja.”

“Katakan dulu apa!” dia bersikeras.

Akhirnya aku menghela napas menyerah. “Beberapa tetangga kita akan mampir makan malam.”

Seketika matanya melebar, bahkan manik hitamnya membesar hingga tampak memenuhi keseluruhan matanya. Bahkan di saat itu aku masih tidak merasa takut. “Tidak!” serunya lantang.

Sudah kuduga. Tapi tentu aku tidak akan menyerah begitu saja. Apalagi aku sudah terlanjur mengiyakan.

“Kumohon,” pintaku memelas. “Hanya beberapa jam.”

“Tidak!” serunya lagi. Kali ini sambil menjulurkan kakinya yang dia gunakan mendorong bahuku agar menyingkir dari sofa kesayangannya. Sama sekali tidak menyakitkan. Tapi efektif membuatku menjauh dengan kondisi tidak siap.

Aku merengut seraya berdiri. “Pokoknya mereka akan tetap datang,” kataku keras kepala.

Tapi baru sedetik kalimat itu keluar dari bibirku, mendadak aku memekik kaget saat tubuhku seperti melayang terdorong keras ke arah dinding lalu menempel di sana dengan kaki tidak menjejak lantai. Aku mengerang karena bukan hanya punggungku yang menyapa dinding yang sakit tapi juga leherku yang kini terasa seperti ditekan kuat, namun tidak sampai menutup jalur pernapasanku.

“Aku tidak menerima kehadiran manusia selain kau di sini.”

Seperti awal kedatanganku, suara itu bagai dihembuskan angin. Tidak ada sosoknya yang tertangkap indera penglihatanku. Hanya rasa sakit di leherku yang membuatku menyadari posisinya.

“Aku… sudah terlanjur bilang… iya.”

Perlahan sosoknya memadat bagai kabut. “Kalau begitu temui mereka dan katakan kau berubah pikiran.”

“Aku… tidak bisa….”

“Kenapa tidak?”

“Mereka… semua penghuni gedung apartemen ini… bertanya-tanya mengapa aku betah. Mereka heran… mengapa aku tidak mendapat gangguan hantu. Mereka mungkin sempat berpikir aku aneh… atau gila…. Jadi kurasa membiarkan mereka bertamu adalah keputusan yang tepat.”

“Untuk apa?” geramnya. “Untuk membuktikan bahwa tempat ini memang tidak berhantu? Dan akhirnya mereka akan datang lagi dan lagi?”

“Tidak ada… lain kali…. Aku janji.”

Astaga, ini semakin menyakitkan, meski aku masih bisa tetap bernapas normal. Pasti leherku akan lebam nanti.

“Jangankan lain kali, yang pertama pun tak akan kuizinkan. Jika mereka memaksa masuk, mereka semua akan berakhir di rumah sakit atau kuburan sekalian.”

“Kumohon.” Aku menampilkan tampang yang paling memelas. “Aku hanya ingin mereka berhenti bertanya-tanya dan mengawasiku. Itu sangat tidak nyaman.”

“Berpura-puralah tidak mendengar. Bahkan hindari pertemanan. Kau juga tidak tahu kan bahwa dirimu menjadi bahan pembicaraan sebelum ada yang memberitahumu?”

“Tapi aku sudah terlanjur tahu!” teriakku frustasi seraya menggeliat berusaha melepaskan diri yang ternyata sia-sia. Aku tidak bisa menyentuhkan dan tubuhku seperti menempel di dinding. “Aku… tidak akan bisa tenang lagi setelah ini….” Kali ini suaraku lemah.

“Tidak ada negosiasi. Mereka tetap tidak boleh masuk. Kecuali kau memang ingin mereka terluka.”

Aku sudah nyaris menyerah saat dia mengucapkan kalimat itu. Tapi sebuah ide melintas di otakku.

“Bagaimana kalau kita melakukan kesepakatan?” tawarku tiba-tiba. “Izinkan mereka berkunjung—sebenarnya makan malam—hanya untuk malam ini, dengan semua lampu menyala dan jendela terbuka. Sebagai gantinya kau boleh minta apapun padaku. Tapi hanya satu permintaan.”

Kumohon, terimalah. Ini cara terakhir yang kupikirkan. Dan kuharap bisa berhasil.

Kali ini dia tidak langsung menolak seperti sebelumnya, membuat harapan tumbuh di hatiku. Perlahan tubuhnya semakin solid hingga aku bisa melihat keningnya berkerut tampak berpikir.

Kau akan menerima, kan?

“Aku hanya mendapat satu permintaan sementara kau punya banyak permintaan?”

“Itu… itu bukan permintaan. Syarat tambahan. Permintaanku izinkan para tetangga berkunjung dan makan malam di sini. Menyalakan lampu, membuka jendela, dan kau tidak boleh mengganggu mereka adalah syarat tambahan.”

Dia melotot. “Sepertinya di syarat yang pertama tidak ada larangan aku mengganggu mereka.”

“Aku baru saja menambahkannya. Namanya juga syarat tambahan.” Aku nyengir.

Dia menatapku tajam lalu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan tubuhku yang jatuh terduduk ke lantai. Aku meringis seraya susah payah berusaha berdiri. Dan dia sudah kembali duduk nyaman di sofa dengan tubuhnya yang solid.

“Bagaimana?” desakku seraya meraba leherku yang terasa sakit.

“Aku menerima kesepakatanmu.”

“Sungguh?” tanyaku dengan wajah berbinar senang.

Dia mengangguk lalu kembali berbaring nyaman dengan kepala bertumpu di salah satu lengan sofa seraya mengambil buku yang tergeletak di lantai.

Aku tersenyum lebar. “Terima kasih,” kataku dengan hati lega.

Sekarang aku bisa melanjutkan menulis beberapa paragraf sejenak dengan tenang sebelum waktu makan malam. Segera aku berbalik menuju kamar. Tapi baru saja menyentuh handle pintu, aku baru teringat sesuatu.

Dia belum mengatakan permintaannya!

Segera aku berbalik kembali menghadap sofa lalu bertanya, “Jadi apa permintaanmu?”

Buku yang lagi-lagi menutupi wajahnya perlahan turun, membuat kami bisa saling bertatapan.

“Yakin ingin tahu sekarang?” tanyanya misterius.

Aku mengangguk bersemangat tanpa rasa curiga. “Ya, tentu saja.”

Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dan seketika aku merasa waswas hingga bulu kudukku meremang, baru menyadari bahwa aku seolah melakukan kesepakatan dengan iblis.

“Aku menginginkan dirimu. Seluruh dirimu. Baik hati, jiwa, dan—tubuhmu.”

***

♥ Aya Emily ♥



 

My Ghost – Bab 5

14 Maret 2021 in Vitamins Blog

38 votes, average: 1.00 out of 1 (38 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


“Oke, sudah cukup. Aku menyerah!” seruku pada ruangan kosong itu dengan mata berkaca-kaca.

Sudah tiga hari sejak dia menghilang tanpa jejak. Benar-benar tak ada jejak. Aku sudah melakukan semua yang biasanya dia benci tapi dia tetap tidak muncul.

TV sudah kumatikan. Tirai jendela kubuka lebar dan membiarkan matahari masuk menerangi ruangan yang sudah mulai terasa pengap ini. Guling dan bantal yang biasanya di sofa kupindah ke dalam kamar. Dan aku menyalakan semua lampu saat malam tiba.

Tapi geraman marah yang kuharapkan tidak pernah terdengar. Kalau orang normal mungkin akan bersorak gembira mengetahui sosok yang menghantui kediamannya akhirnya pergi. Tapi tidak denganku. Kepergiannya menorehkan rasa sakit di dadaku yang tidak bisa hilang. Dan aku terus menerus merasa sesak. Jelas bukan karena rasa bersalah telah membuatnya pergi. Tapi karena—akh sial! Aku bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa kepergiannya terasa begitu menyakitkan.

Akhirnya dengan pasrah, aku menutup tirai jendela, tak peduli saat itu sudah malam. Kuambil guling dan bantal dari kamar lalu membawanya ke sofa. Tak lupa tv kunyalakan sebelum berbaring di tempat biasanya dia berbaring nyaman.

Cahaya tv menyilaukan mataku. Saat itu kusadari, ruangan ini tak pernah segelap sekarang. Selalu ada cahaya yang masuk meski suasana tetap remang. Tapi sekarang, kekontrasan antara ruangan gelap dan cahaya terang dari tv membuat mataku sakit.

Namun aku tak beranjak. Tetap berbaring di sana dengan pandangan mengarah ke tv. Padahal tidak ada satupun yang menarik perhatianku.

Otakku berkelana, mulai memikirkan apa arti hantu itu bagiku. Tidak lebih dari bahan cerita, tapi mengapa kepergiannya menyakitiku sampai seperti ini?

Ah, jangan bilang aku mulai menyukainya, atau bahkan memiliki perasaan khusus lebih dari sekedar suka. Bisakah seseorang jatuh cinta semudah itu? Hanya selang waktu sekitar dua minggu? Dalam novel mungkin saja. Tapi kenyataannya, apakah bisa?

Perlahan air mataku mengalir dan aku memeluk guling lebih erat. Seperti inikah rasanya berpisah dan tidak tahu cara bertemu kembali? Aku tidak merasa sakit saat berpisah dari orang tua karena aku tahu betul di mana mereka berada dan aku bisa menemui mereka kapanpun ingin. Tapi dengannya—aku tidak tahu bagaimana mencarinya dan meredakan rasa sesak di hati ini.

CTAARRR!

Aku tersentak kaget saat suara petir terdengar menggelegar di luar sana. Tak lama kemudian, diiringi hujan yang mengguyur deras. Belum cukup sampai di situ, mendadak tv mati yang menandakan listrik padam.

Seketika kegelapan nan pekat menyelubungiku. Aku menggigit bibir sambil memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelanku.

Seperti inikah yang dia rasakan selama ini? Bagaimana dia bisa bertahan? Hanya ditemani kegelapan. Hanya ditemani kesendirian.

Hatiku terasa teriris membayangkan posisinya. Memang benar dia bukan manusia. Mungkin dia ‘hanyalah’ hantu. Tapi dia juga memiliki perasaan. Dia juga bisa tertawa saat senang. Kesal saat merasa terganggu. Dan sedih saat terluka. Jadi, bagaimana aku bisa tidak bersimpati padanya?

Sepertinya aku sudah berada di antara alam mimpi dan alam nyata saat tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang. Tapi itu tak membuatku terjaga. Aku malah bergelung dan menikmati hawa dingin menyejukkan yang terasa membungkus tubuhku.

Beberapa saat kemudian kurasakan sesuatu yang empuk di belakang punggungku. Disusul kemudian lengan dingin yang perlahan semakin terasa hangat memeluk pinggangku. Aku menggeliat, menempelkan tubuhku lebih dekat pada apapun itu yang membuatku merasa hangat dan nyaman. Lalu aku mendesah nikmat dan tidur semakin lelap.

***

Aku menggeliat sambil menggeser tubuhku mendekati sesuatu yang hangat. Lengan dan kakiku melingkarinya seperti guling. Tapi itu terlalu besar, dan terlalu keras untuk menjadi guling.

Rasa penasaran berhasil menarik kesadaranku dari alam mimpi. Perlahan mataku terbuka dan aku berkedip bingung melihat leher seseorang di depan wajahku.

“Selamat pagi.”

DEG.

Suara itu—suara yang kurindukan tiga hari ini. Dengan jantung bertalu-talu di dada aku mendongak, dan mendapati sorot mata hitam yang kini terlihat lembut.

“Kau—” suaraku serak. Air mataku kembali mengalir. Aku heran kenapa stok air mataku masih banyak padahal aku sudah menumpahkannya sejak tiga hari lalu.

“Ya, aku.” Dia tersenyum manis seraya mengusap pipiku untuk menghapus air mata.

“Jahat,” kataku dengan isak tertahan. “Kau jahat sekali pergi seperti itu.” Kali ini aku mengatakannya diiringi pukulan lemah ke bahunya

“Aku tidak pergi.”

“Ah, jadi begitu. Kau sengaja membiarkanku mencarimu seperti orang gila. Biar kutebak. Kau pasti tertawa keras melihat tingkahku.” Aku semakin terisak.

“Tidak. Kupikir kau akan terbiasa tanpaku hingga dua bulan mendatang.”

“Setelah kau membuatku terbiasa dengan kehadiranmu, kau menghilang dan berharap aku terbiasa tanpamu?” Aku kembali memukul-mukul bahunya dengan lemah. “Kau benar-benar kejam.”

CUP.

Aku membeku merasakan kecupannya. Tatapan kami beradu. Aku dengan mata basahku dan dia dengan sorot menyesal.

“Maaf,” ucapnya lembut, sarat akan permohonan.

Aku tak bisa menahan diri lagi. Aku menerjangnya hingga dia jatuh telentang lalu aku memeluknya erat. Awalnya dia tampak kaget. Tapi lalu terkekeh geli. Pelukanku semakin erat. Wajahku terbenam di lekukan lehernya.

Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau bisa membuatku sekacau ini padahal kita baru saling mengenal?

“Aku juga tidak mengerti,” bisiknya. Seperti biasa menjawab pikiranku. “Kau bahkan sudah memikatku di hari pertama masuk ke apartemen ini.”

Ucapannya membuatku mengangkat kepala, menatapnya lekat. “Benarkah? Tapi waktu itu kau berniat membunuhku.”

“Sejak kau datang melihat apartemen, bagiku kau sangat menarik. Tapi itu tak menghentikan tekadku membuatmu pergi dan merasakan aura ketakutanmu. Bagiku ini rumahku dan manusia hanyalah pengganggu. Jadi kalian harus pergi—dalam keadaan takut seperti yang kusukai.

“Sayangnya kau berbeda. Bukannya takut, kau malah membayangkan hal-hal konyol tentang kita. Itu membuatku kesal. Dan aku semakin kesal begitu menyadari bahwa perlahan aku mulai penasaran. Penasaran jika yang kau khayalkan menjadi nyata. Lalu aku berhasil mencuri ciuman darimu dan kupikir—tidak ada salahnya membiarkanmu tinggal lebih lama. Toh kau bilang tidak akan menggangguku.”

“Apa itu ciuman pertamaku?” bisikku penasaran. Kini kedua tanganku terlipat di atas dadanya sementara daguku bersandar di atas punggung tanganku. Mataku menatap lekat ke wajahnya. Memperhatikan segala ekspresi yang melintas di wajah sempurna itu saat dia bercerita.

“Ya. Aku menciummu sambil menekan lehermu ke ranjang. Kau pingsan saat bibir kita baru bersentuhan. Mungkin karena kesulitan bernafas atau karena pukulanku ke dadamu yang sangat keras.”

“Pantas saja aku tidak ingat. Lagipula kau memang sangat kasar waktu itu. Kau membuat dadaku lebam.”

“Benarkah? Coba kulihat!”

Aku melotot seraya menutup bagian atas kaus yang kukenakan hingga membuatnya terkekeh geli. Lalu kedua lengannya melingkari pinggangku sementara aku menyandarkan pipi di dadanya, agak terkejut karena mendengar detak jantung.

“Jantungmu berdetak,” kataku takjub.

“Mungkin karena wujudku terlalu solid sekarang,” katanya lalu mengecup puncak kepalaku sekilas sebelum melanjutkan, “Kau harus makan.”

“Aku tidak ingin beranjak,” kataku, makin menempelkan tubuhku.

“Apa itu kode agar aku memasak untukmu?”

Aku terkekeh. “Kau mengerti kode manusia juga? Ya, anggap saja begitu.”

“Baiklah. Beri aku waktu beberapa menit.”

Lalu dia menghilang dan membuat tubuhku terhempas ke atas ranjang dengan posisi telungkup.

“Ugh! Hei, bilang-bilang kalau kau hendak menghilang!” seruku lalu terdiam sambil mengerutkan kening. “Ngomong-ngomong kenapa kau tidak mau memberitahuku namamu? Namaku Syafira. Kau bisa memanggilku Fira.” Kataku tanpa meninggikan nada bicaraku. Aku tahu dia bisa mendengarku dengan jelas.

Tidak ada sahutan, membuatku mengerucutkan bibir kesal.

“Baiklah, terserah.” Aku menggerutu kesal sambil menutup kepala dengan bantal lalu memejamkan mata.

Mungkin aku tertidur lagi karena aku tersentak kaget saat dia mengguncang pelan bahuku.

“Waktunya makan. Tapi di dapur hanya tersisa mie instan. Kau benar-benar harus pergi berbelanja.”

Aku menggeliat seraya duduk bersandar di kepala ranjang. “Ya, aku akan pergi berbelanja setelah mandi. Kau ingin kubelikan sesuatu?”

Dia tertawa geli mendengar pertanyaanku.

Aku merengut. “Memangnya kenapa? Toh kau bisa menonton tv. Jadi kupikir kau ingin membeli buku komik, novel, atau yang lain.”

Dia terdiam dengan raut serius, sepertinya memahami maksudku. “Aku ingin baca novelmu.”

“Hah?” Mendadak aku merasa tidak nyaman.

“Belikan aku novel yang kau tulis. Kau tidak bawa satupun novel karanganmu sendiri.”

“Kau memeriksa barang-barangku?” tanyaku penuh tuduhan.

Dia mengibaskan tangan. “Jangan mengalihkan perhatian. Belikan aku salah satu novelmu.”

Aku jadi gelisah. Memang, aku bukan penulis novel erotis. Tapi selalu ada beberapa adegan dewasa dalam novelku. Dan itu membuatku merasa tak percaya diri dan malu jika dibaca oleh lelaki yang kuanggap cukup dekat denganku.

“Aku akan carikan novel lain,” putusku kemudian seraya meraih mangkuk mie yang dia letakkan di atas nakas.

“Memangnya apa yang salah dengan novelmu? Kalau orang lain boleh membacanya, mengapa aku tidak?”

Aku mengabaikan pertanyaannya dan berpura-pura sibuk meniup mie yang sebenarnya sudah tidak terlalu panas.

“Padahal aku ingin baca novelmu,” katanya dengan nada sedih. “Terutama yang paling hot.”

Uhuukk!

Aku tersedak dan bukannya bersimpati, dia malah tertawa keras. Buru-buru kuambil gelas air putih di nakas dan meneguknya banyak-banyak.

“Aku tidak menulis novel seperti itu,” bantahku tegas setelah melegakan tenggorokan.

Dia masih tergelak. “Lucu sekali kau berusaha berbohong pada orang yang bisa membaca isi pikiranmu. Padahal tidak ada yang lebih tahu dariku bahwa isi otakmu penuh sampah.”

“Hei, novelku bukan sampah!” seruku tak terima.

“Kalau bukan sampah, seharusnya kau tidak malu menunjukkannya pada siapapun. Bahkan padaku.” Dia tersenyum manis, membuatku menatap curiga. “Oh, ayolah. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin mencari hiburan.”

Akhirnya aku mengalah. Tampang polosnya sangat menggemaskan dan membuatku tak sanggup menolak. “Akan kucarikan nanti.”

————————-

♥ Aya Emily ♥

My Ghost – Bab 4

26 Januari 2021 in Vitamins Blog

37 votes, average: 1.00 out of 1 (37 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Punya alergi itu gak enak, hiks…

Aku menatap pantulan diriku sendiri dalam cermin di kamar mandi. Lalu perlahan tanganku terangkat, menyentuh bibirku dan mengenang kejadian tadi.

Itu ciuman pertamaku. Siapa yang mengira aku akan mendapatkan ciuman pertamaku dengan hantu yang bahkan namanya pun tak kuketahui.

Lucu, kan? Meski aku penulis novel cinta, aku belum pernah berciuman. Bahkan pacaran pun tidak. Semua yang kutulis tidak ada hubungannya dengan pengalaman pribadiku. Aku mengumpulkannya dari cerita-cerita orang disekelilingku, lalu membayangkan seorang tokoh dalam situasi cinta dan kira-kira seperti apa reaksinya.

Ya, semua yang kutulis berdasarkan imajinasi. Bukan pengalaman pribadi. Dan setelah kurasakan sendiri sekarang, baru kusadari apa yang kutulis tidak bisa menggambarkan rasa nikmat ciuman yang sebenarnya.

Menelan ludah dengan gugup, aku segera menyalakan shower lalu mandi. Setelahnya aku membungkus diriku sendiri dengan bathrobe lalu keluar.

Perasaan gugupku semakin terasa saat melihatnya berbaring nyaman di sofa favoritnya. Saat ini aku berharap kamar mandinya terletak dalam kamar. Dengan begitu aku tidak perlu keluar kamar dengan tubuh yang hanya dibalut bathrobe dan berjalan melewatinya.

“Walau kamar mandinya ada di bawah ranjang, aku tetap bisa mengintipmu mandi dan kau tidak akan pernah tahu. Jadi berhenti berharap yang aneh-aneh. Aku tidak akan melepas pakaianmu tanpa seizinmu.”

Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar yang tertutup. Wajahku memerah mendengar ucapannya. Lalu perlahan aku menoleh, berusaha tampak segalak mungkin saat menatapnya. Tapi yang kudapati adalah seringai gelinya saat balas menatapku.

“Satu sama. Sekarang keadaan berbalik. Giliranku yang mengganggumu.” Dia nyengir lalu mengedipkan sebelah mata padaku.

Sial, dia pendendam!

“Jangan jadikan mengumpat sebagai kebiasaan,” tegurnya dengan nada bijak. Namun matanya masih berkilat jahil.

Aku mengangkat dagu dengan sikap menantang. “Itu sangat tidak sopan. Berhenti masuk ke pikiranku.”

“Aku tidak masuk ke pikiranmu. Yang kau pikirkan terdengar keras hingga sampai di telingaku. Jadi cobalah untuk mengecilkan volume suaranya.”

Aku melotot. “Bagaimana aku bisa melakukannya?”

“Mana aku tahu,” sahutnya enteng lalu tertawa geli.

Kesal, aku membuka pintu kamar lalu menutupnya dengan suara keras. Ah, untuk yang satu ini berani kuakui. Keadaan memang sudah berbalik. Biasanya dia yang suka menciptakan suara keras dan aku yang suka menggodanya. Sekarang kami seperti bertukar posisi.

Sambil menggerutu dalam hati, aku mengenakan pakaian lalu menyiapkan laptop, ponsel, dan buku-buku catatanku di lantai dekat kaki ranjang. Aku duduk bersandar ke sisi ranjang dengan kaki terjulur. Laptop sudah siap di pangkuan dan jemariku mulai bergerak lincah, menumpahkan apa yang kupikirkan.

Dia datang lagi.

Selalu seperti itu setelah lewat pukul dua belas malam.

Aku tidak tahu dari mana asalnya dan siapa namanya. Dia selalu datang bagai mimpi sejak aku menempati apartemen ini.

Seharusnya aku takut. Seharusnya aku berteriak lalu melarikan diri. Tapi yang kulakukan tetap berbaring telentang di ranjang, membiarkan sosok gelap itu mendekat lalu naik ke atas tubuhku.

Aku masih tetap tidak merasa takut dan diam. Seolah dia telah membuatku membeku. Bahkan tangannya yang menyentuh pahaku lalu menjalar naik ke pinggul, sisi tubuh, dan berhenti di lenganku, terasa familiar dan nikmat. Hingga tanpa bisa dicegah aku melenguh—

“Kau ingin aku melakukan itu?”

Aku tersentak kaget lalu menoleh ke ranjang di belakangku. Mataku melebar saat menyadari wajahnya berada tepat di depan wajahku, hanya berjarak dua inchi. Rupanya entah sejak kapan, dia sudah berbaring telungkup di atas ranjang dengan wajah dekat di belakang kepalaku.

CUP.

Mataku terbuka semakin lebar saat dia memangkas jarak di antara kami lalu mendaratkan kecupan singkat di bibirku. Hanya dua detik sebelum wajahnya menjauh kembali dengan seringai menyebalkan di bibirnya. Seketika wajahku terasa panas, menandakan pipiku merona yang pasti bisa dilihatnya meski suasana remang dan hanya cahaya bulan yang menyinari kamar.

“Kau—lagi-lagi menciumku! Ini sudah kedua kalinya!” seruku dengan mata melotot.

“Ah, kebetulan kau membahasnya jadi biar kujelaskan agar tidak ada kesalahpahaman. Yang tadi itu ciuman ketiga kita. Jadi di sofa depan tv adalah ciuman kedua,” jelasnya tenang.

Aku ternganga, tidak tahu sudah semerah apa wajahku sekarang. “Tidak mungkin! Itu ciuman pertamaku.”

“Hmm, sepertinya kau tidak ingat saat aku menciummu di pertemuan pertama kita. Yah, wajar sih. Kau pingsan setelahnya.”

Kapan? Aku benar-benar tidak ingat.

“Mau kubantu mengingatnya? Kau bisa telentang di sini seperti malam itu lalu aku—”

“Hentikan!” seruku seraya berdiri. Aku berkacak pinggang di depannya. “Keluar sekarang. Aku ingin tidur.”

Dia mengangkat kedua tangannya dengan senyum geli yang masih bertahan di bibir. “Baiklah, aku keluar. Selamat malam.” Dua detik kemudian dia sudah menghilang dari kamar.

Astaga, bagaimana aku bisa tidur malam ini dengan pikiran yang berputar mencoba mengingat momen ciuman pertamaku?

***

Esoknya, aku bangun dengan aroma lezat yang memenuhi indera penciumanku. Senyumku merekah, tahu betul dari mana aroma itu. Buru-buru aku turun dari ranjang lalu bergegas keluar. Tapi sesampainya di dapur, aku menampilkan raut kesalku.

Aku masih kesal karena kejadian semalam, ingat?

“Ya, aku ingat.” Dia mengalihkan perhatian dari kompor lalu mengedipkan sebelah mata padaku dengan seringai geli di bibirnya.

Sial! Aku selalu lupa dia bisa membaca pikiran.

“Hhh, lagi-lagi kau mengumpat.”

“Dan lagi-lagi kau mengintip isi kepalaku.”

“Aku tidak—”

“Oke, terserah.” Aku memotong ucapannya dengan kesal lalu berdiri di sebelahnya, mengintip ke atas wajan.

“Aku hanya bisa membuat sandwich sederhana. Kau harus menambah lagi isi kulkas,” sarannya.

“Aku juga berniat pergi belanja hari ini.”

“Setelah sarapan. Oh, bantu aku mengencangkan tali apron. Sepertinya akan lepas.” Dia menunjuk belakang lehernya.

Keningku berkerut, baru menyadari itu. “Kau bisa mengenakan apron?” tanyaku dengan nada tak percaya.

Dia menyeringai. “Aku tidak ingin pakaianku kotor.”

Aku menggeleng, tak habis pikir bagaimana dia bisa melakukannya. “Berbalik,” perintahku akhirnya.

“Berhadapan saja agar kau lebih mudah menjangkau. Aku akan menunduk.”

Sebelum aku menanggapi, dia menunduk hingga kepalanya sejajar leherku. Terpaksa aku mendekat, melingkarkan lenganku di seputar lehernya, tanpa sadar setengah memeluknya. Aku bahkan bisa mencium aroma tubuhnya yang baru kusadari, sangat segar. Seperti hutan hujan tropis.

“Aku masih tidak menyangka akan mendapat kesempatan langka melihat hantu memasak dan mengenakan apron.” Aku tidak bisa menahan nada geli dalam suaraku. “Nah, sudah selesai.”

Namun saat aku hendak mundur, kurasakan lengannya melingkari pinggangku dan menahannya agar tetap di dekatnya. Sementara kedua tanganku kini—anehnya—bisa memegang pundaknya dengan kepala kami berada di sisi leher satu sama lain. Sekarang kami benar-benar tengah berpelukan.

“Kau mau bersikap kurang ajar lagi, ya?” tanyaku berusaha terdengar galak padahal debar jantungku mendadak meningkat. Kurasa dia juga mendengarnya.

“Sebentar saja. Seperti ini.”

“Kupikir tanganmu kotor hingga kau tidak bisa membetulkan tali apron sendiri. Atau apa kau mengusap tangan kotormu ke bajuku?”

Dia terkekeh pelan sebagai tanggapan namun tidak mengatakan apapun. Pelukannya semakin erat dan kini sisi wajah kami menempel rapat.

“Jangan pergi,” bisiknya kemudian.

Aku mengerutkan kening tidak mengerti. “Memangnya aku mau pergi ke mana?”

“Dua bulan lagi kau akan pergi, kan? Ah, tidak. Sekarang sudah kurang dari dua bulan. Bisakah kau tidak melakukannya? Bisakah kau di sini bersamaku selamanya?”

Kali ini aku mendorong pundaknya dengan lebih tegas. Dia mengalah, melepas pelukan lalu menatapku dengan sorot penuh kesedihan yang nyata.

Aku tidak suka melihatnya. Karena itu membuat dadaku terasa sesak.

“Jangan bilang kau mulai jatuh cinta padaku,” godaku sambil menaikturunkan alis. Aku berharap itu bisa membuat sorot sedih menghilang dari matanya. Tapi ternyata tidak.

“Apa kau akan tetap tinggal jika aku jatuh cinta padamu?”

“Eh, entahlah.” Aku bergerak-gerak gelisah, tak menyukai topik ini.

Sorot sedihnya semakin terlihat jelas saat menatapku. “Maaf karena meminta hal yang mustahil.” Lalu dia berusaha tersenyum seraya membelai puncak kepalaku lembut. “Terbanglah bebas. Kejar mimpimu. Dua tahun memang sebentar. Tapi kau bisa dapat banyak hal jika memanfaatkan waktu dengan baik.”

Aku merengut. “Lagi-lagi kau mengintip isi kepalaku.”

Kali ini dia tidak menanggapi lalu berbalik kembali menghadap kompor. “Sebaiknya kau mandi. Sarapanmu akan siap begitu kau selesai.”

Aku tidak suka ini. Tampak jelas dia membuat jarak di antara kami. “Aku tidak sebau itu,” kataku, berusaha agar bisa lebih lama bersamanya.

Jujur, aku tidak mengerti bagaimana perasaannya terhadapku. Saat aku baru tinggal di apartemen ini, dia seolah bertekad untuk membuatku lari ketakutan dan tidak kembali. Tapi beberapa hari terakhir kami mulai merasa nyaman dengan kehadiran satu sama lain. Hingga ciuman itu terjadi. Ah, apa itu yang membuatnya bersikap seperti ini? Sebuah ciuman membuatnya ingin aku tinggal di sini selamanya? Apa dia ketagihan?

“Ciumanmu payah. Jadi tidak perlu terlalu menyanjung dirimu sendiri terlalu tinggi. Aku hanya agak melankolis pagi ini.”

Aku mengerucutkan bibir. Lagi-lagi dia membaca apa yang kupikirkan. Sambil menghentakkan kaki kesal, aku berjalan menuju kamar mandi.

Di bawah guyuran shower aku mulai bertanya-tanya sebaliknya. Apa arti hantu itu bagiku? Apa aku jatuh cinta padanya? Tidak, aku yakin tidak.

Apa, ya? Dia itu unik. Hantu yang bisa berinteraksi dengan manusia—bahkan secara fisik juga—dan sangat manusiawi. Dia menjadi menarik bagiku tapi lebih karena dia akan menjadi bahan cerita yang bagus. Kalaupun aku menerima ciumannya, lagi-lagi karena itu bisa menjadi sesuatu yang akan kutulis. Biasanya cerita berdasarkan pengalaman pribadi akan jauh lebih bagus hasilnya. Jiwaku akan benar-benar tenggelam dalam tulisanku.

“Di saat seperti ini—aku sangat menyesali kemampuanku bisa membaca pikiran manusia.”

DEG.

Aku tersentak kaget lalu berbalik. Mataku terbelalak melihat bayangan seseorang dibalik tirai penutup bilik shower. Niatku untuk meneriakinya urung saat mendengar nada sedihnya.

“Aku lebih suka tidak pernah tahu, bahwa aku tak lebih seperti hewan eksperimen bagimu. Aku lebih suka berpikir bahwa kau memang nyaman bersamaku di sini. Bahwa kau suka aku di sini menemani waktumu—seperti aku yang merasa senang karena tidak lagi sendirian. Karena ada seseorang yang bisa menembus dinding pertahananku dan mewarnai hari sepiku.”

Aku terpaku. Lidahku kelu. Sesak di dadaku berubah menjadi rasa sakit yang menyebar. Ucapannya sangat jelas menggambarkan perasaannya. Sesuatu yang tadi menjadi pertanyaan di benakku. Dan aku seolah bisa merasakan rasa sakitnya begitu mendengar apa yang kupikirkan.

“Asal kau tahu, aku juga senang karena tidak harus sendirian di sini. Aku senang karena ada seseorang yang bisa kuajak bercanda. Walaupun kau menyebalkan, kau adalah teman sekamar yang sangat sempurna.”

Tidak ada tanggapan. Bayangan hitam dibalik tirai juga sudah menghilang. Sepertinya dia sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Memang itu yang kupikirkan tentangnya.

Buru-buru kuselesaikan mandiku lalu keluar dengan hanya mengenakan bathrobe seperti biasa. Keningku berkerut dengan pandangan mencari-cari sosoknya saat tak menemukan dia di sofa depan tv dan dapur.

“Hei, kau di mana?” tanyaku. Dengar, bahkan aku tidak tahu namamu. Jadi bagaimana aku bisa menganggapmu lebih dari sekedar bahan cerita yang unik?

Aku mengutuki pikiranku yang tidak memiliki filter bagus. Selama ini aku tidak pernah membatasi apa yang kupikirkan. Lagipula aku penulis. Membiarkan pikiranku berkelana bebas adalah caraku mengembangkan imajinasi.

Tapi sekarang terpaksa aku harus menjaga pikiranku karena ada hantu pembaca pikiran yang mudah tersinggung dengan isi otakku.

Shit!

Aku melakukannya lagi. Dia pasti akan lebih tersinggung karena aku berpikir dia ‘hantu yang mudah teringgung’ meski kenyataanya memang iya. Nah, aku jadi kacau sendiri.

“Dengar, aku minta maaf karena telah menyinggungmu.” Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun karena aku butuh pikiran bebas untuk bisa merangkai kisah. “Sama seperti kau yang tidak bisa mencegah dirimu membaca pikiranku, akupun tidak bisa mencegah diriku memikirkan banyak hal. Bahkan sesuatu yang tidak berani kuungkapkan pada siapapun.”

Hening.

Aku menghela nafas. Rasanya kembali ke titik awal. Aku seperti orang gila yang berbicara sendiri. Mungkin dia butuh waktu. Jadi kuputuskan tidak mendesaknya terlalu jauh dan memilih kembali ke kamar untuk berganti pakaian lalu memakan sarapan yang sudah disiapkannya.

———————

♥ Aya Emily ♥

My Ghost – Bab 3

26 Januari 2021 in Vitamins Blog

32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Klek.

Terdengar pintu kamar terbuka pelan saat aku selesai membereskan laptop, ponsel, dan buku-buku catatanku. Aku duduk di tepi ranjang dan tersenyum manis melihat kabut hitam masuk dengan membawa nampan.

Kalau kau penasaran seperti apa wujudnya, kau bisa melihat bayangan hitam tubuhmu di dinding atau lantai. Ya, seperti itulah dia. Keseluruhannya hitam dan hanya bentuknya yang menyerupai orang dan berwujud tiga dimensi.

“Makan, habiskan!” perintahnya sambil meletakkan nampan di atas ranjang lalu mundur dan bersandar di dinding. Kali ini benar-benar terlihat seperti bayangan.

“Ya, tentu saja,” sahutku antusias. Mataku berbinar mendapati roti tawar dan semangkuk sup krim. Buru-buru aku menyendok sup krim lalu memakannya.

Hmm, lezat. Benar-benar lezat.

“Dari mana kau belajar masak?”

“Bukan urusanmu.”

Aku mengerucutkan bibir tapi lalu angkat bahu dan makan dengan lahap. Benar-benar masih tidak percaya bahwa hantu bisa masak dan makanan di hadapanku tidak berubah menjadi belatung serta daun kering seperti dalam film-film.

“Kau bilang bisa berwujud menyerupai apa yang dipikirkan orang yang kau takut-takuti. Kenapa kau tidak berwujud menjadi lelaki tampan seperti yang kupikirkan?” tanyaku setelah menghabiskan selembar roti. Masih ada dua lembar lagi dan aku tidak keberatan menghabiskannya.

Selama beberapa saat tidak ada tanggapan hingga kupikir si hantu tidak akan menjawab pertanyaanku. Tapi kemudian dia berkata dengan suaranya yang terdengar dalam dan—seksi?

Aku benar-benar sudah gila!

“Lagi-lagi kau melakukannya,” hantu itu mendengus.

Kupikir dia akan menjawab pertanyaanku. “Apa?”

“Sekarang kau berpikir suaraku seksi.” Nada kesalnya terdengar jelas.

“Jangan salahkan aku. Salahkan dirimu sendiri yang mengintip isi kepalaku.” Aku menyeringai. “Jadi, kenapa kau tidak berwujud seperti yang kupikirkan?”

“Karena itu artinya aku harus menampakkan wajah asliku di depanmu. Dan aku tidak mau melakukannya.”

Mataku berbinar. Kuletakkan kembali roti kedua yang sudah setengah kugigit lalu berdiri mendekatinya. Setelah cukup dekat, kuletakkan telunjuk di daguku sambil memperhatikannya seolah sedang berpikir.

“Apa itu artinya kau tampan? Kenapa aku ragu?” Kau pasti sangat jelek hingga tidak berani menunjukkan wajahmu.

Dia menggeram. “Kau benar-benar harus belajar menjaga mulut dan otakmu.”

Aku menaikkan dagu, menatap bagian yang kupikir adalah wajahnya dengan sikap menantang. “Kalau kau tidak setuju dengan apa yang kukatakan dan kupikirkan, sebaiknya tunjukkan wajahmu.”

“Aku benar-benar tidak suka manusia sepertimu. Kau terlalu berani, terlalu dekat, dan—”

“Dan?”

“Terlalu cantik.”

DEG.

Aku tersentak kaget mendengar ucapannya. Kurasa dia juga. Dan yang membuatku semakin terperangah, perlahan sosoknya kian padat, hingga akhirnya membentuk tubuh utuh dengan raut wajah yang memang rupawan.

Hidung mancung, bibir tipis namun berlekuk seperti ombak, dagu lancip, mata hitam yang tampak menyorot tajam, serta alis tebal yang nyaris lurus. Semua itu tampak sangat pas di wajahnya yang kini tampak gusar. Apa karena dia baru saja mengakui bahwa aku cantik?

“Tidak, bukan seperti itu,” ujarnya ketus dengan wajah yang lucunya—memerah.

“Hah?” Apa dia baru saja menjawab pertanyaan dalam benakku?

“Sudahlah, sana habiskan makananmu.” Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, dia berbalik keluar kamar.

Aku masih terdiam di tempatku berdiri dengan seringai bodoh di wajahku. Apa itu tadi? Apa dia benar-benar hantu dan bukannya vampir yang terkurung dalam apartemen ini? Yah, setidaknya menurutku vampir lebih manusiawi daripada hantu.

Dan tanpa bisa menahan diri, aku bertanya dengan suara keras ke arah pintu kamar yang terbuka. “Apa di sekitar sini ada Mall hantu? Pakaianmu cukup bagus.”

BRAKK.

Aku meringis melihat pintu tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Kurasa sudah cukup membuat hantu kesal hari ini.

***

“Kau suka acara kartun, ya?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari layar tv.

Dia tidak menyahut seperti biasa. Menganggap pertanyaanku hanya angin lalu.

Aku menoleh dan kali ini memperhatikan sosoknya dengan seksama. Sudah tiga hari dia terus menunjukkan sosok fisiknya yang sempurna. Hanya sesekali menghilang. Mungkin karena kesal padaku. Dan selama itu, aku tidak pernah melihatnya ganti pakaian. Hanya kaus polos pas badan dan jins belel. Apa itu pakaiannya saat meninggal?

Dia berdecak kesal lalu memperbaiki posisi berbaringnya. Kini satu tangan di bawah kepala. Satu kaki mengapit guling dan kaki lainnya menekuk lutut. Dia tampak nyaman berbaring telentang di sofa yang tidak sepenuhnya menampung tubuhnya yang tinggi.

Aku menahan senyum geli. Sepertinya dia lagi-lagi membaca pikiranku. Dengan jahil, kubiarkan mataku jelalatan memperhatikan fisiknya yang membuat liur menetes.

Mata hitam si hantu menatap sendu si wanita yang tengah tertidur nyenyak. Ada kerinduan dalam sorot matanya pada sang kekasih yang tak bisa lagi ia gapai. Lalu wanita itu datang, dengan segala kemiripannya dengan sang kekasih.

Perlahan si hantu mendekat, lalu dengan hati-hati duduk di tepi ranjang. Sejenak dia hanya diam. Memperhatikan si wanita yang terlihat sangat tenang dan lelap dalam tidurnya. Hingga akhirnya dia tak sanggup lagi menahan diri untuk menyentuh si wanita, merasakan kelembutan dan kehangatan kulitnya—

PLAK!

Bantal guling melayang tepat mengenai wajahku. Aku mengaduh seraya menyingkirkan guling itu lalu melotot ke arah si hantu yang juga balas menatapku dengan sorot kesal.

“Apa?” tanyaku kesal. Dasar pengganggu imajinasi!

“Aku tidak pernah punya kekasih dan kau tidak mirip siapapun dalam hidupku!” serunya kesal seraya duduk. “Dan satu lagi, aku tidak pernah menyentuhmu diam-diam!”

Bibirku membentuk seringai geli dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. “Tapi kau memang memperhatikanku saat tidur dan membayangkan ingin menciumku, kan?”

Dia terbelalak. “Bagaimana kau tahu?”

Aku pun terbelalak dan senyum jahilku lenyap. “Jadi benar?”

“Eh!” seketika wajahnya memerah. Resiko memiliki kulit putih bersih. “Dasar wanita menyebalkan. Kembali saja ke kamar! Aku bertekad ini terakhir kalinya aku berurusan dengan penulis romansa.”

Aku tertawa geli sambil memeluk guling yang tadi dia lempar padaku.

“Itu gulingku! Kembalikan!” mendadak dia berseru.

Aku semakin terbahak. “Tadi kau sudah memberikannya padaku.” Kupeluk guling itu semakin erat. Kedua pahaku juga menjepitnya.

Mendadak dia menghilang lalu kurasakan tarikan yang sangat kuat pada guling yang kupeluk. Aku tidak berhenti tertawa sambil mempertahankan guling itu tetap dalam dekapanku.

“Kembalikan!” terdengar geraman seperti dihembuskan angin menyapu telingaku.

“Tidak mau!”

Aku merasakan dorongan di sisi kepalaku hingga menempel di sandaran kursi. Bersamaan dengan itu, guling ditarik semakin kuat namun akupun memeluknya sangat erat. Kini tawaku sudah pudar namun seringai geli masih bertahan di wajahku.

“Aku akan meremukkan kepalamu!” geramnya lagi. Kali ini lebih jelas karena sosoknya kembali solid hingga utuh sepenuhnya.

Aku terkekeh. “Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Akan kukembalikan guling ini dan kau harus mengatakan siapa namamu.”

Dia mendesis marah. “Kesabaranku sudah habis.”

Refleks aku memejamkan mata merasakan tekanan di sisi kepalaku semakin kuat. Tapi yang kurasakan kemudian membuatku membeku.

Bibir yang empuk dan lembut terasa menekan bibirku. Awalnya hanya menempel rapat. Tapi kemudian bergerak, menghisap bibir atasku lalu beralih pada bibir bawahku. Lebih lama di sana. Perlahan lidahnya keluar. Menekan-nekan lembut di antara bibirku yang sedikit merekah, agar membuka lebih lebar.

Aku mengerang. Menerima undangannya dengan senang hati. Bibirku terbuka semakin lebar, membiarkan lidahnya masuk dan menjelajah kehangatan mulutku.

Tangannya yang semula menekan sisi wajahku pindah menyentuh sisi leherku. Ibu jarinya membelai lembut, menciptakan gelenyar panas yang terasa membakarku, dan membuatku bergetar nikmat.

Sentuhannya membuatku gatal ingin menyentuhnya juga. Tanganku bergerak hendak menyentuh pundaknya namun—

“Sial!” umpatku setelah berhasil melepaskan diri dari pagutannya. “Aku tidak bisa menyentuhmu,” kesalku sambil mencoba menyentuh wajahnya namun tubuhnya berubah transparan dan tanganku menembusnya.

Dia menyeringai. “Tapi aku bisa menyentuhmu,” ucapnya lalu kembali menyatukan bibir kami. Semakin menekanku ke kursi dan menciumku lebih dalam.

———————-

Aya Emily

My Ghost – Bab 2

26 Januari 2021 in Vitamins Blog

33 votes, average: 1.00 out of 1 (33 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Perlahan kelopak mataku terangkat. Suasana asing menyambut membuatku menutup mata kembali, mencoba mengingat di mana diriku berada. Lalu bayangan saat tubuhku terhempas ke ranjang dan pisau yang melayang di atasku membuat mataku terbuka lebar dan refleks aku bangkit duduk seraya menatap sekeliling.

Tidak ada apapun. Semuanya tampak normal. Apa yang semalam hanya mimpi?

Menggeleng pelan, aku turun dari ranjang. Kalau benar itu mimpi, aku harus segera menuliskannya sebelum lupa. Mimpi itu akan menjadi kisah seru yang mendebarkan. Dan tentu saja manis dengan sedikit bumbu di sana-sini.

Drrttt.

Langkahku terhenti tepat di belakang pintu. Itu suara ponselku. Aku menoleh dan tak mandapatinya di meja nakas, melainkan tergeletak di lantai dekat dinding. Aku tertegun sejenak, lalu buru-buru menghampirinya. Saat aku menunduk untuk mengambil ponsel itu, otakku kembali menghadirkan memori semalam.

Kalau ponsel ini tergeletak di sini seperti yang kuingat semalam, berarti hantu itu…

Aku kembali mengedarkan pandang ke sekeliling. Namun tak menemukan apapun kecuali cahaya matahari yang mengintip malu-malu di balik tirai jendela. Mungkinkah hantu itu hanya muncul saat malam tiba?

Drrttt.

Sejenak aku mengabaikan ingatan tentang kejadian semalam lalu menerima telepon. Telepon biasa dari ibuku yang menanyakan keadaanku. Tentu dia khawatir karena ini pertama kalinya aku jauh darinya untuk waktu yang tidak sebentar. Aku sangat mencintainya karena itu namun ada impian yang tidak bisa kuabaikan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya ibuku puas dan merasa yakin aku memang baik-baik saja. Dia juga tidak bisa terlalu lama menelepon pagi-pagi karena ada dua adikku—Sony dan Sofyan—yang harus bersiap ke sekolah sebelum ibu dan ayahku berangkat bekerja. Tiap pagi selalu menjadi hari sibuk.

Setelah menerima telepon, dengan asal kulempar ponsel ke atas ranjang lalu keluar. Lagi-lagi langkahku terhenti menyadari tv dalam keadaan menyala menayangkan berita pagi. Aku menoleh ke arah sofa panjang yang berhadapan dengan tv. Di sana tampak guling dan bantal yang seharusnya ada di kamar. Sesekali terlihat gulingnya bergerak dan jelas tidak benar-benar menyentuh sofa.

Ah, jangan bilang si hantu berbaring di sana sambil memeluk guling dan menonton berita pagi. Lelucon macam apa ini?

“Kau hantu yang semalam, kan?” tanyaku, merasa agak konyol karena berbicara pada sofa. Dan lebih konyol lagi karena tidak ada tanggapan.

Fira, balikkan tubuhmu dan menjauh dari situ! Semalam kau nyaris mati, ingat? Akal sehatku menggeram marah.

Ya, tentu saja aku ingat. Bahkan mungkin semalam aku bukan tertidur, melainkan pingsan. Suatu keajaiban aku tidak tewas dan tubuhku masih utuh.

Menuruti akal sehatku, aku berbalik menuju tirai jendela yang membuat suasana agak gelap. Namun belum sempat aku menyentuhnya, terdengar suara itu lagi. Bagai dibawa angin.

“Jangan. Atau aku akan melemparmu dari jendela.”

Aku merengut lalu menoleh ke arah sofa. “Kalau lampu? Boleh aku menyalakannya?”

“Tidak.”

Menghembuskan nafas, aku mengalah. Setidaknya dia tidak menyerangku lagi. “Kau mau sarapan? Aku akan makan sereal.”

Tidak ada tanggapan.

“Aku akan menyalakan lampu dapur agar tidak tersandung dan mengiris jariku sendiri.”

PRAANGG!

Aku tersentak mendengar suara keras dari arah dapur. Aku bergegas ke sana dan mendapati lampu dapur di langit-langit sudah menjadi pecahan yang berserakan di lantai.

Ckckck, sungguh tuan rumah yang tidak ramah.

Setelahnya aku segera membersihkan pecahan lampu dan menyiapkan sarapanku dalam suasana remang.

Setengah jam kemudian aku keluar dapur dalam keadaan kenyang. Dapur juga sudah dibersihkan. Aku mengabaikan sosok tak kasatmata yang mungkin masih berbaring sambil memeluk guling dan menonton film kartun tentang makhluk laut berwarna kuning dan berbentuk kotak, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sampai aku selesai berganti pakaian, tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada benda melayang. Tidak ada suara keras yang membuat jantungku melonjak. Dan tidak ada kekerasan fisik seperti semalam. Semua normal. Kecuali ruangan yang tetap remang. Bahkan tv yang menyala serta guling dan bantal di atas sofa juga terlihat normal. Itu membuatku bertanya-tanya, apa hantu itu sudah pergi? Mungkin mencari makanan. Meski aku tidak tahu apa yang kira-kira dimakan hantu.

Penasaran, aku mendekati sofa lalu menunduk. Mengulurkan tangan ke sisi kosong sofa dan membayangkan menyentuh tubuh seseorang. Tapi kemudian tanganku terasa ditepis kasar hingga membuatku buru-buru menegakkan punggung sambil meringis membelai tanganku.

“Kupikir kau sudah pergi,” ujarku ketus.

“Ini rumahku. Kalau ada yang akan pergi, itu pasti kau.” Sama seperti sebelumnya, suara itu tampak tak berasal dari sosok yang mungkin tengah berbaring di sofa. Tapi seperti dibawa angin yang berembus pelan.

“Ya, kau benar,” sahutku tak acuh. “Apa sekarang aku boleh mematikan tv? Aku harus bekerja.”

“Tidak.”

Aku menghembuskan nafas kesal. Tapi setidaknya volume tv tidak terlalu keras. Jadi aku akan tetap bisa berkonsentrasi mengetik di dalam kamar.

“Baiklah. Aku akan bekerja di kamar. Selamat menikmati waktumu.”

Aku melambai pada sofa lalu masuk kamar. Tak lupa pintu kututup untuk menghalau suara tv meski tidak sepenuhnya berhasil.

Sejenak aku berhenti di dekat pintu dengan pandangan menyapu ruangan lalu berhenti di tirai jendela yang masih tertutup rapat. Di belakang tirai ada pintu kaca yang mengarah balkon. Pemandangan di sana sangat indah.

Kalau tirai di sini dibuka, seharusnya tidak mengganggu si hantu tampan di luar sana, kan?

Tanpa menunggu lagi, aku berjalan mendekati tirai lalu membukanya. Seketika ruangan menjadi terang karena cahaya matahari berhasil masuk. Tapi itu hanya bertahan selama lima detik karena setelahnya tirai menutup kembali dengan sendirinya.

Sreeettt!

“Argh!” Aku memekik saat tubuhku mendadak terlempar ke ranjang dengan posisi telentang. “Oke… oke… aku mengerti. Tidak akan membuka tirai dan membiarkan cahaya masuk.” Aku meringis seraya berusaha bangun. “Seharusnya bilang saja,” gerutuku pelan. Beruntung makhluk itu hanya tidak suka terang dan membiarkan AC tetap menyala. Jika tidak, aku pasti akan mati karena gerah.

Setelah duduk di sisi ranjang, aku menatap sekeliling. Lagi-lagi semua tampak normal. Pasti dia sudah berbaring lagi di sofa. Atau memang tetap di sana dan hanya kekuatannya yang menutup tirai dan mendorongku. Entahlah. Yang jelas kami mulai saling mengerti. Setidaknya begitu dugaanku.

Akhirnya kuputuskan menikmati situasi ini lalu mengambil laptop dan buku catatanku. Tak lama kemudian, aku sudah tenggelam dalam jalinan kata dalam ceritaku.

***

Tak terasa sudah dua minggu aku tinggal di apartemen ini. Tubuhku masih utuh tanpa sedikit pun luka. Kecuali di hari pertama, aku mendapati memar sebesar kepalan tangan di bagian dada. Dari mana lagi kalau bukan ulah si hantu di malam pertama pertemuan kami?

Aku sendiri cukup kaget bisa berkompromi dengan hantu. Bahkan kami tinggal bersama. Dia tak lagi menggangguku dan akupun tidak mengganggunya. Sebagian besar waktu kuhabiskan dalam kamar sementara dia di depan tv. Tapi terkadang saat otakku terasa buntu namun malas keluar apartemen, aku memilih duduk di kursi tunggal samping sofa panjang tempat bersemayamnya si hantu lalu turut menonton tv.

Lucu, bukan?

Aku menonton tv bersama hantu—meski jika ada yang melihat, tampak jelas aku sendirian di ruangan itu. Orang tuaku pasti langsung pingsan jika mengetahui hal ini.

Kadang saat situasi sangat tenang hingga membuatku berpikir bahwa hanya aku dalam apartemen, sengaja kulakukan sesuatu yang tidak disukai si hantu. Seperti mengganti channel tv, membuka tirai, atau menyalakan lampu. Setelahnya pasti si hantu membuat suara keras yang mengagetkan atau mendorongku dengan kasar. Jika sudah demikian, aku akan menyeringai geli sambil mengangkat tangan mengisyaratkan perdamaian.

Hari ini ceritaku sudah mencapai babak akhir. Aku tak sabar untuk segera menyelesaikannya. Setelah sarapan semangkuk sereal—yang menjadi menu sarapan favoritku akhir-akhir ini—aku mengurung diri dalam kamar dengan hanya berbekal satu botol air putih.

Menjelang malam, aku semakin bersemangat. Tenggorokanku terasa kering namun aku mengabaikannya. Tiga halaman lagi dan cerita ini selesai. Aku berharap bisa segera menulis kisah hantu dan seorang wanita dalam apartemen yang sudah kubuat draftnya.

BRAAKKK!

“Astaga!”

Refleks aku mengubah posisiku yang sebelumnya telungkup di depan laptop menjadi duduk di tengah ranjang. Tanganku menangkup dada yang berdebar keras hingga terasa menyakitkan. Udara dingin yang tidak mengenakkan menyerbu masuk ke kamar melalui pintu yang terbuka, membuat bulu kudukku meremang. Saat itu juga, aku tahu dia di dalam sini.

“Kau bisa membuatku mati terkena serangan jantung,” keluhku sambil mengatur nafas yang memburu.

“Makan.”

Aku melirik sekeliling, tidak tahu harus mengarahkan penglihatan ke mana. “Kau mau makan?”

“Aku tidak pernah melihat manusia yang tidak makan.”

Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian tersenyum begitu paham. “Maksudmu aku? Kau menyuruhku makan?” Aku menyeringai. “Dibalik sikap kasarmu, ternyata kau sangat perhatian.”

Krriiuukkk.

Refleks aku memegang perut yang tiba-tiba mengeluarkan suara itu. Setelah diingatkan agar makan, barulah aku sadar bahwa aku memang lapar. Yah seharian ini, hanya sereal yang merupakan benda padat yang masuk ke dalam mulutku. Sisanya hanya air dalam botol yang kini sudah kosong.

Mengangkat kepala, aku tersenyum manis pada kegelapan. Oh, apa aku sudah bilang bahwa saat malam tiba, aku bisa membuka tirai? Ya, si hantu tidak melarangku membuka tirai jika langit sudah benar-benar gelap. Tapi aku tetap tidak boleh menyalakan lampu hingga satu-satunya penerangan berasal dari bulan dan bintang-bintang serta lampu-lampu dari gedung tinggi di luar sana.

“Terima kasih sudah mengingatkan. Sebentar lagi aku akan ke dapur untuk makan. Sekarang masih ada beberapa paragraf yang harus kutulis.” Lalu aku kembali menunduk, memusatkan perhatian pada laptop dan bersiap menarikan jemari di atas keyboard.

Mendadak layar laptopku tertutup. Beruntung tidak keras tapi itu tetap membuatku terbelalak kaget. “Hei, kau boleh menghancurkan barang-barang di sini tapi jangan laptop, ponsel, dan buku-bukuku!” seruku pada kegelapan.

“Makan!”

Kali ini suara yang dibawa angin itu terdengar lebih tegas diiringi geraman marah.

“Oke… oke…! Aku akan ke dapur.” Aku angkat tangan seraya turun dari ranjang. Untung aku sudah mensetting laptop agar otomatis dalam keadaan sleep saat layarnya ditutup.

Keluar dari kamar, aku menuju dapur. Mie instan sudah habis. Aku punya telur mentah dan sayuran tapi berpikir tidak cukup waktu untuk sekedar membuat omelet. Akhirnya kuraih kotak sereal dan mangkuk.

“Tadi pagi kau sudah makan itu.”

Geraman itu membuatku menoleh. Tapi seperti biasa, hanya ruang kosong yang menyambutku. Walau begitu, aku tetap mengulas senyum. “Tidak ada waktu untuk memasak. Aku harus segera menyelesaikan novelku sebelum idenya melayang.” Lalu aku kembali mengalihkan perhatian pada mangkuk dan sereal di depanku. “Harusnya kau biarkan aku menyelesaikan novelku dulu. Tinggal tiga halaman.”

Saat aku tengah berkutat untuk membuka bungkus karton sereal, mendadak kotak itu seolah dirampas dari tanganku. Namun bukan itu yang membuatku ternganga dan kelihangan kata-kata. Aku melihatnya, si hantu, berwujud. Hanya berupa kabut hitam yang membentuk gestur tubuh seorang lelaki. Tapi untuk pertama kalinya aku benar-benar melihatnya.

Takut?

Lucunya, aku malah senang. Aku bisa melihatnya setelah dua minggu hanya berbicara pada ruang kosong.

“Bisakah kau berubah lebih solid lagi? Menunjukkan wujud aslimu?”

Sepertinya aku benar-benar sudah gila. Tapi aku tak peduli. Senyumku merekah, tak bisa memalingkan wajah dari sosok hitam yang kini meletakkan kembali kotak serealku dalam lemari.

“Wujud asliku sangat mengerikan.” Suara itu tak lagi terdengar dibawa angin. Melainkan berasal dari sosok hitam itu.

“Tidak, kau sangat tampan,” tegasku yakin.

“Aku benci isi otakmu,” terdengar dia menggerutu.

“Kenapa?” tanyaku sambil terkekeh. Aku menyandarkan pinggul di meja pantri, memperhatikan sosok itu bergerak membuka-buka lemari seolah mencari sesuatu.

“Kau membuatku tidak bisa berwujud.”

Keningku berkerut tidak mengerti. “Maksudnya apa?”

“Saat seseorang ketakutan karena berpikir ada hantu, dia membayangkan yang terburuk dari sosok hantu itu. Sesuatu yang paling dia takuti hingga aku bisa berwujud menyerupai itu. Tapi kau—” nadanya berubah kesal. “kau malah yakin sekali bahwa aku tampan dan terus memikirkan adegan kita berciuman.”

Tanpa bisa dicegah, tawaku pecah. “Ternyata hantu bisa kesal juga.”

“Tutup mulutmu!” sergahnya jengkel seraya membuka kulkas lalu mengeluarkan sayuran, telur, dan daging sapi beku.

“Kau mau masak?” tanyaku takjub.

“Sana cepat selesaikan pekerjaanmu lalu kembali ke sini. Aku akan mencoba membuat sesuatu. Berharaplah aku tidak salah memasukkan garam dengan racun tikus.”

Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan seringai geli. “Apa makanannya bisa berubah menjadi belatung dan daun kering jika aku memberinya perasan jeruk nipis?”

KLONTANG!

Aku tersentak kaget saat dia melempar panci ke meja pantri lalu berjalan mendekatiku. Udara mendadak berubah dingin yang mencekam, terasa menggulung lalu memelukku dengan tak bersahabat.

Dia berhenti sekitar tiga puluh sentimeter di depanku, membuatku harus mendongak untuk menatap bagian kabut yang membentuk kepala meski tidak ada mata, hidung, mulut, dan bagian tubuh lain. Hanya kabut hitam. Dengan posisi sedekat ini, aku jadi tahu bahwa tinggiku hanya mencapai pundaknya.

“Aku sudah berbaik hati mengizinkanmu tinggal cukup lama dan merendahkan diri memasak untukmu. Tapi balasannya kau menghina masakanku,” dia menggeram pelan, namun sarat akan ancaman.

Lagi-lagi aku menggigit bibir bawahku. Kali ini karena merasa bersalah. Yah, ucapanku tadi memang terdengar keterlaluan, mungkin.

“Aku tidak bermaksud menghina. Hanya saja, aku tidak pernah mendengar hantu bisa masak.” Aku meremas kedua tangan seraya menampilkan raut menyesal.

Selama sepuluh detik yang menegangkan, dia tidak menanggapi ucapanku. Akhirnya dia berbalik kembali ke arah kompor seraya bergumam, “Kembali ke kamar.”

“Hmm, apa ada yang bisa ku—”

“Sekarang!”

Akhirnya aku tidak membantah lagi. Segera berbalik ke kamar dan kembali menyalakan laptop. Butuh waktu lama sampai otakku berhenti memikirkan si hantu dan kembali tenggelam dalam alur cerita.

—————————

♥ Aya Emily

My Ghost – Bab 1

26 Januari 2021 in Vitamins Blog

47 votes, average: 1.00 out of 1 (47 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Spesial buat temen-temen vitamins yang takut hantu. Babang ghost di sini jinak kok. Jadi gak perlu takut ☻

————————

Aku menyeret tas besarku ke dalam apartemen yang baru kusewa dengan harga murah. Ini langkah besar bagiku. Memutuskan hidup terpisah dari orang tua saat pikiran kami tentang masa depanku tak lagi sejalan.

Sebenarnya aku hanya seorang gadis desa. Seumur hidup kuhabiskan dengan bermain di sawah dan pantai. Tapi aku suka berkhayal. Berharap suatu saat aku akan pergi jauh, berkeliling Indonesia dan bahkan dunia. Hidup berpindah-pindah dengan penghasilan tak seberapa dari hobiku, yaitu menulis.

Orang tuaku sama sekali tidak menyetujui impian itu. Menurut mereka anak gadis sebaiknya di rumah saja. Melakukan pekerjaan yang membuatnya tidak harus lepas dari rumah seperti mengajar, menjadi guru. Yah, wajar mereka menginginkan hal itu karena profesi mereka adalah guru dan tumbuh besar dengan lingkungan pedesaan yang begitu menjaga wanita.

Tapi itu bukan aku. Bukan apa yang kuinginkan.

Aku ingin berpetualang. Memperkaya imajinasiku dengan berbagai pengalaman untuk karyaku berikutnya—dan berikutnya lagi. Tidak berharap muluk akan mendapat cinta selama perjalananku—meski aku adalah penulis novel romantis. Yang kuinginkan hanya pengalaman, lebih banyak teman, dan kisah-kisah yang mungkin mereka bagi.

Meminta izin pada orang tuaku adalah yang paling sulit. Aku menyampaikan keinginanku dengan tertunduk dan bercucuran air mata. Kutahan kekecewaan mereka karena aku tidak melakukan seperti yang mereka inginkan. Dan akhirnya setelah satu jam mendapat nasihat, ceramah, dan bentakan namun keputusanku tidak berubah, mereka memberi izin dengan syarat aku hanya pergi selama dua tahun. Setelahnya aku harus pulang dan mulai memikirkan untuk membangun rumah tangga.

Dua tahun jelas sebentar bagiku. Tapi itu sudah cukup. Dan aku sama sekali tidak menyia-nyiakannya. Dengan berbekal uang yang kukumpulkan dari penjualan novelku, aku mulai berburu apartemen di ibukota. Tempat yang bahkan belum pernah kudatangi.

Apartemen yang kudapat memang bukan apartemen kelas atas. Tapi bagiku sudah sangat mewah. Bahkan harga sewanya amat murah jika dibandingkan harga sewa apartemen kelas menengah pada umumnya.

Awalnya kukira akan mendapati ruangan kosong. Atau fasilitas yang menyedihkan. Tapi ternyata tidak. Tempat itu sudah siap dihuni dengan fasilitas lengkap, rapi, dan bersih. Satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu lengkap dengan tv serta dapur. Tempat yang nyaman dan tenang bagi seorang penulis. Aku yakin pasti betah meski hanya akan menyewanya sekitar dua bulan sebelum pindah ke kota lain.

Yah, setidaknya itu rencanaku.

Barangku tidak banyak. Hanya butuh dua tas besar untuk menampungnya. Semuanya adalah keperluan sehari-hari seperti pakaian, peralatan kosmetik, dan perlengkapan mandi. Lalu tentu saja, laptop, ponsel, serta buku-buku catatan yang tidak boleh tertinggal.

Satu jam di dalam apartemen, aku sudah menata semua barangku lalu menghempaskan diri di ranjang berukuran king size yang empuk. Bahkan seprai dan selimutnya wangi dan lembut yang menandakan baru diganti. Semakin lama, kelopak mataku semakin terasa berat dan alam mimpi berhasil menarikku.

BRAKKK!

Suara keras itu mengagetkanku dari tidur yang belum sepenuhnya lelap. Aku terperanjat bangun lalu duduk di tengah ranjang, menatap sekeliling untuk mencari tahu asal suara keras tadi.

Ah, apa mungkin hanya mimpi?

Mengangkat bahu tak peduli, aku turun dari ranjang dan merasa lapar. Jelas lemari pendinginku masih kosong. Jadi kuputuskan berbelanja bahan makanan di minimarket tak jauh dari gedung apartemen ini.

Setelah mengenakan jaket karena di luar lumayan dingin setelah hujan, aku keluar. Saat mengunci pintu, pintu apartemen di sebelahku terbuka, menampakkan seorang wanita awal empat puluhan yang tampak rapi hendak pergi bekerja.

Mungkin hanya perasaanku saja, tapi kupikir wanita itu kaget melihatku. Kutampilkan seulas senyum untuk menyapa, tak memedulikan ekspresinya yang masih membeku.

“Selamat pagi,” sapaku ramah.

Wanita itu tersentak lalu dengan ragu membalas sapaanku. “Pagi.” Hanya itu yang dia katakan sebelum buru-buru mengunci pintu apartemennya lalu membelakangiku dan bergegas menuju lift.

Aku mengerutkan kening, sedikit merasa tersinggung. Memangnya aku salah apa? Apa aku terlihat seperti orang gila yang harus dihindari?

Menghela napas, aku mengenyahkan pikiran buruk tentang wanita itu lalu melangkah tenang.

Tiba di lobi, aku tersenyum pada bagian penerima tamu dan satpam yang membukakan pintu. Tapi baru beberapa langkah keluar, seseorang menghampiriku. Ternyata dia adalah wanita yang tadi buru-buru pergi setelah melihatku.

“Hai. Aku minta maaf karena tadi langsung pergi begitu. Aku pasti menyinggungmu,” ujarnya tanpa basa-basi dengan raut bersalah.

“Eh,” aku tergagap. Bingung harus mengatakan apa tapi lalu memilih tersenyum. “Tidak apa-apa. Anda pasti terburu-buru.”

“Ah, iya. Seseorang sedang menungguku di sini. Setelah urusanku selesai, aku baru menyadari bahwa sikapku tadi kasar.”

“Tidak perlu dipikirkan lagi,” kataku tulus. Sekarang aku yang merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk tentangnya.

“Jadi, kau yang sekarang menempati apartemen itu?” tanyanya kemudian.

“Ya, baru pindah pagi ini.”

Dia mengangguk dan tampak—gelisah? Takut? Entahlah. Yang jelas semacam itu. Bahkan kupikir dia hendak mengatakan sesuatu namun ragu dan akhirnya batal mengatakannya.

“Eh, ngomong-ngomong namaku Syafira. Panggil saja Fira,” aku mengulurkan tangan.

Wanita itu tersenyum lalu menjabat tanganku. “Astrid. Dan tidak perlu terlalu formal padaku. Tapi kau memang masih terlihat sangat muda.”

“Sudah dua puluh empat. Tidak muda lagi.” Aku menyeringai.

Dia terkekeh geli. “Tapi aku lima belas tahun lebih tua darimu. Jadi kau jauh lebih muda.” Lalu dia menunduk menatap jam tangannya. “Aku harus pergi sekarang. Kantorku agak jauh. Jadi kalau tidak bergegas, aku akan terjebak macet dan terlambat.”

“Ya, hati-hati.”

“Kau mau ke mana?” tanya Astrid sebelum berbalik.

“Ke minimarket. Lalu mengurung diri di apartemen baruku.” Aku bermaksud melucu. Tapi merasa bingung karena yakin tadi Astrid meringis ngeri seraya bergidik.

“Oh.” Hanya itu tanggapan Astrid kemudian. “Dah, sampai jumpa lagi.” Dia melambai seraya berbalik lalu bergegas pergi.

Sejenak aku masih memperhatikan punggungnya yang kian menjauh. Tapi lalu angkat bahu dan bergegas ke minimarket. Mendung kembali menggantung di langit. Aku tidak ingin pulang dalam keadaan basah kuyup.

***

Pukul sembilan malam, aku menggeliat senang karena berhasil menyelesaikan empat bab. Ini prestasi baru bagiku. Biasanya aku hanya sanggup menulis paling banyak tiga bab sehari. Ini membuatku kian optimis. Pilihanku tidak salah. Suasana baru memang membantu melancarkan aliran ide dalam kepalaku.

“Oke, sekarang waktunya istirahat!” seruku pada diri sendiri. “Hmm, apa ya? Membaca mungkin?”

Yah tadi di minimarket aku tidak bisa menahan diri untuk membeli tiga novel terjemahan karya penulis favoritku. Sekarang aku amat tidak sabar untuk segera melahapnya.

BRAKK!

Aku terperanjat kaget lalu membeku di tempatku duduk. Ya, aku duduk di lantai antara sofa dan meja ruang tamu. Laptopku yang tergeletak di meja sudah ditutup dan kusingkirkan ke samping. Dan yang membuatku tidak bisa memalingkan wajah adalah novel yang tadi kupikirkan kini sudah tergeletak di atas meja tepat di depanku, seolah baru saja dijatuhkan dari langit-langit. Padahal aku ingat betul buku-buku yang tadi kubeli masih tergeletak di atas ranjang.

Seketika jantungku berpacu cepat. Adrenalin menguasai diriku. Perlahan aku mendongak, membayangkan akan melihat sesuatu yang mengerikan melayang di atasku. Tapi tidak ada apapun di sana.

Dengan gerakan cepat, aku menoleh ke sekeliling ruangan. Tidak ada apapun. Hanya aku. Sendirian.

“Oh, baiklah. Sepertinya aku punya bakat tersembunyi. Benda apapun yang kupikirkan akan langsung ada di hadapanku.”

BRAKKK!!

“Aaaa!!”

KLONTANG!!

Kali ini aku tidak bisa menahan teriakan kagetku. Kedua tanganku menangkup dada, berharap bisa meredakan debar jantungku yang menggila setelah sebuah panci jatuh ke atas meja lalu terguling ke lantai.

Mendadak kemarahan menguasaiku. Aku berdiri, berkacak pinggang, dan mendongak angkuh ke ruangan itu. “Hei, siapapun kau! Jangan harap bisa membuatku pergi dari sini dengan menakut-nakutiku. Aku tidak berniat mengganggu jadi kuharap kau juga tidak menggangguku.”

Aku bukan orang indigo. Tapi dari kecil aku percaya bahwa makhluk dari alam gaib memang ada meski aku tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan mereka kecuali saat ini. Tentu saja aku merasa sedikit ngeri saat buku tiba-tiba jatuh di hadapanku. Tapi kemudian yang kurasakan adalah kemarahan saat membayangkan panci itu jatuh ke atas laptop yang penuh dengan karyaku.

Ayolah, bagi seorang penulis, hasil tulisannya adalah anaknya. Jadi bagaimana aku tidak marah membayangkan anakku terluka?

Kalimatku tadi tidak mendapat tanggapan. Mungkin ‘dia’ sudah sepakat. Tapi saat aku hendak duduk kembali, mendadak lampu mati, menyala beberapa detik kemudian lalu mati lagi.

Takut?

Anehnya tidak.

Aku menjulurkan kedua kaki lurus melewati bawah meja. Punggung bersandar di tepi sofa dan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapanku mengarah lurus pada dinding putih di atas tv layar datar 24 in. Otak khayalku berputar, sama sekali tak terganggu dengan lampu yang terus berkedip.

Ada hantu di sini.

Dia berwajah tampan dan kesepian. Selalu mengganggu siapapun yang datang hanya untuk mencari teman. Tapi—

“Aku sama sekali tidak butuh teman.”

Aku tersentak, menoleh sekeliling mencari sumber suara. Tapi lagi-lagi tidak ada apapun. Bahkan suara itu hanya seperti desisan yang dibawa angin. Dan berhasil membuat bulu kudukku meremang.

Tapi lucunya, aku masih tidak takut. Dibayanganku saat ini hantu itu berwajah tampan. Dan itu malah membuatku penasaran ingin melihatnya.

BRAKKK!

Aku tersentak lalu menoleh ke arah pintu kamar yang tadi dibanting dengan keras hingga tertutup. Jantungku serasa akan lepas karena kaget.

“Bisakah kau tidak bersikap menyebalkan seperti itu?” tanyaku. “Mungkin kita bisa berteman.”

Siapa tahu aku bisa sedikit mengorek informasi darinya lalu membuat novel genre horor romantis. Pasti seru.

Dan gila!

Sebagai tanggapan, lampu mati sepenuhnya. Kegelapan yang pekat menyelubungiku. Aku berdiri seraya menyalakan senter di ponsel lalu menuju tombol lampu.

Klik.

Tidak ada yang terjadi. Suasana masih gelap. Aku mencobanya lagi, berkali-kali, dan tetap tak terjadi apapun.

“Kau tahu? Kau benar-benar tidak ramah. Seharusnya kau bilang baik-baik jika lebih suka kegelapan. Kita bisa berkompromi.”

Lihat! Baru sehari di tempat baru dan aku mulai terdengar gila. Mungkin dua tahun kemudian orang tuaku harus menyeretku ke rumah sakit jiwa.

Dengan pencahayaan minim dari senter di ponsel, aku menuju kamar yang pintunya masih tertutup. Begitu pintu terbuka, lagi-lagi kegelapan yang menyapaku.

“Hei, dengar. Aku hanya akan tinggal di sini selama dua bulan. Setelah itu aku akan pergi dan kau bisa tenang kembali. Tapi selama aku di sini, bisakah kita berdamai?”

Sebagai jawabannya, tubuhku terdorong ke atas ranjang. Aku jatuh telungkup dan ponselku terlempar jauh dengan senter yang masih menyala.

BRAKK!

Lagi-lagi suara pintu kamar yang dibanting hingga tertutup. Saat aku hendak bangkit, sesuatu yang berat terasa menindih punggungku.

“Kenapa kau tidak takut?”

Suara yang sama, desisan yang seolah dibawa angin terdengar menyapa telingaku.

“Entahlah… argh!”

Aku meringis saat belakang leherku terasa seperti dicengkeram tangan yang kuat lalu didorong ke ranjang hingga pipiku tertekan.

Baiklah, coret kata kesepian. Dia bukan kesepian, tapi hantu yang marah. Dia memergoki istrinya selingkuh di dalam rumahnya sendiri, di apartemen ini. Dia sudah siap menghabisi sang istri dengan selingkuhannya tapi gagal dan malah si selingkuhan berhasil menikamkan pisau ke perutnya. Akhirnya dia menjadi hantu dan selalu marah  tiap ada wanita yang masuk ke apartemen ini. Tapi kemudian seorang wanita berhasil memikatnya dan membuatnya jatuh—

“Aku tidak pernah mendengar omong kosong sejenis itu di kepala seseorang yang ajalnya sudah mendekat.”

Nada kesal dalam kalimat itu membuatku tidak bisa menahan tawa geli. Ternyata hantu bisa kesal juga. “Kau yakin sekali bisa membunuh orang? Apa sudah pernah melakukannya?”

“Tidak. Tapi semua penghuni apartemen ini sebelumnya selalu berakhir sekarat di minggu pertama kedatangannya.”

“Hebat.” Aku membiarkan nada mengejekku terdengar jelas di antara perjuanganku untuk tetap bisa bernapas.

“Dan kau akan berakhir malam ini juga. Kau berhasil membuatku sangat marah.”

Lucu, aku akan jadi hantu perawan. Ah, tapi sepertinya itu bagus juga. Hantu perawan dan hantu perjaka terjebak dalam apartemen ini. Awalnya saling membenci. Tapi kebersamaan mereka yang dipaksakan membuat keduanya saling jatuh cinta dan—

“Apa tidak ada lagi yang bisa kau pikirkan selain cinta-cintaan?”

Suara makhluk itu yang sebelumnya berupa desisan kini berubah menggeram marah. Lalu mendadak, sesuatu yang terasa menindihku menghilang, bersamaan dengan cengkeraman di belakang leherku.

“Hah… hah… hahhh…”

Aku buru-buru menarik nafas, merasa lega karena leherku tidak patah. Lalu perlahan aku bangkit, duduk di tengah ranjang dengan pandangan mengarah ke pintu kamar.

Tidak ada yang bisa kulihat di antara kegelapan dan sedikit cahaya dari senter ponsel di sisi lain ruangan. Dan tidak ada pergerakan apapun yang bisa menjadi petunjuk bahwa bukan hanya aku dalam ruangan itu. Tapi aku yakin, dia ada di dekatku. Memperhatikanku dengan seksama dan mencari ide lain untuk kembali menggangguku.

“Aku serius ingin berteman denganmu. Aku akan menghormatimu sebagai pemilik tempat ini dan kau juga harus menghormatiku sebagai teman sekamar. Itu tidak sulit, kan?”

Hening.

“Apa itu artinya kita sepakat?”

Tetap tidak ada jawaban.

Aku melirik sekeliling. Semuanya terlihat normal. Kegelapan yang biasa.

“Apa aku sudah boleh menyalakan lampu?”

Tak ada tanggapan.

“Aku anggap itu jawaban iya.”

Aku menggeser tubuhku ke tepi ranjang. Tapi saat hendak menurunkan kaki, mendadak bayangan hitam berkelebat lalu menghantam tubuhku, membuatku jatuh telentang di atas ranjang.

Astaga, ini sakit sekali!

Dadaku seperti baru saja ditendang, membuatku susah nafas dan terbatuk-batuk. Saat rasa sakitnya mulai reda, aku menyadari ada benda panjang yang tampak berkilat di antara gelap. Benda itu melayang di atasku, seolah digenggam kegelapan. Kengerian menguasai diriku saat aku menyadari benda apa itu.

Pisau.

Tatapanku terpaku pada ujung pisau yang tajam dan mengarah ke wajahku. Jaraknya semakin dekat, membuat bulu kudukku kian meremang.

Pisau itu semakin dekat ke jantung si wanita. Dia memejamkan mata, siap menerima rasa sakit dengan kengerian yang nyata di wajahnya. Namun bukan rasa sakit yang ia rasakan kemudian. Melainkan bibir lembut yang menyentuh bibirnya pelan, semakin lama semakin liar hingga nafas keduanya tersengal…

“Itukah yang kau inginkan?”

Suara itu lagi, membelai telingaku bagai nyanyian merdu.

“Eh, apa?” Aku tidak bisa langsung mencerna kalimat itu. Tatapanku masih terpaku pada mata pisau dan otakku mulai berkelana lebih liar, membayangkan ciuman itu berubah semakin panas.

“Kau ingin kucium?” Kali ini suaranya terdengar lebih pelan, dalam, dan menggoda.

Aku mulai mengerti. Makhluk ini membaca apa yang kupikirkan. Dan itu membuat wajahku memerah malu. Setelah dipikir lagi, sebelumnya makhluk itu juga melakukannya. Tapi aku tidak benar-benar memperhatikan.

“Tidak, bukan aku. Dari situasi ini, aku membayangkan sebuah kisah yang bisa kutulis.”

“Dan kau mejadikan kita berdua sebagai tokohnya.”

“Ya, kau. Dan wanita dalam khayalku. Aku tidak pernah menjadikan diriku sendiri sebagai tokoh dalam ceritaku.”

“Omong kosong. Aku melihatmu—dan aku, dalam otakmu.”

“Ah, baiklah. Terserah.” Lagipula itu bukanlah yang paling penting dalam situasi ini. “Kalau kau bisa membaca otakku, jadi aku yakin kau sudah tahu bahwa aku tidak memiliki niat buruk. Aku hanya ingin tinggal selama dua bulan. Dan sebagian besar waktuku hanya untuk menulis. Aku benar-benar tidak ada niat mengganggumu.”

“Tapi kehadiranmu sudah mengganggu. Aku tidak suka ada orang di tempatku. Dan siapapun yang berani membuatku kesal, tidak akan selamat.”

Itu memberiku ide lain…

Hantu itu tidak suka ketenangannya terusik. Kehadiran seorang wanita dalam apartemen ini membuatnya terganggu. Dia ingin menyingkirkan si wanita namun—

Kegelapan di atasku terdengar menggeram lalu terasa dia menindihku, lagi.

“Apa hanya itu isi otakmu?”

Kali ini suaranya menggema, mengirimkan gelenyar tak nyaman ke seluruh tubuhku. Tapi lagi-lagi, aku masih tidak merasa takut. Hanya semakin bersemangat dengan ide-ide yang mengalir deras, tak sabar untuk segera dituangkan.

“Wajar… hhh… aku… penulis…” Aku kesulitan bernafas. Dadaku terasa sesak.

“Itu membuatku penasaran…”

Aku tak lagi memperhatikan suara itu. Rasa sakit di dadaku berkembang menjadi pedih. Nafasku semakin tersendat.

“Apakah yang kau pikirkan cukup menyenangkan untuk dipraktekkan? Lebih menyenangkan dari sekedar mendengar teriakan dan rasa takut…”

Kegelapan semakin mendekat, membuatku tenggelam. Lalu tidak ada lagi yang bisa kupikirkan.

————————-

♥ Ay ♥

Kasih Yang Tak Terucap – Bab 3

11 September 2018 in Vitamins Blog


13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Beberapa Tahun Kemudian

***

Sepanjang perjalanan aku tersenyum bahagia. Aku mengucap syukur sambil memegang erat amplop tebal berisi gaji pertamaku. Setelah lulus dengan predikat Summa Cum Laude aku langsung mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah Perusahaan yang cukup bergengsi. Aku mendapat gaji yang lumayan besar sebagai Programmer. Dan seperti yang sudah aku impikan selama ini, gaji pertamaku akan kugunakan untuk membuatkan Rumah Ibu.

Aku sudah membicarakan hal ini kepada Tante Ninis. Seperti dugaanku, Tante Ninis yang memang berhati Malaikat langsung setuju. Aku membayangkan wajah kaget Ibu dan binar kebahagiaan akan kembali menghiasi wajahnya.

Rumah Tante Ninis mulai tampak dari becak yang aku tumpangi. Yang membuatku heran, banyak sekali orang yang berkeliaran di sekitar bahkan keluar masuk rumah Tante Ninis. Setelah aku turun dari becak dan membayar, aku berjalan perlahan sambil diliputi keheranan dan anehnya, juga perasaan gelisah.

Makin mendekati rumah, perasaan gelisah dan cemas makin meremas dadaku. Dan entah bagaimana, aku tahu.

Aku terus berjalan perlahan melewati orang-orang yang lalu lalang. Hatiku terasa hampa, benakku kosong. Tangan yang menggenggam amplop tebal, lunglai di samping tubuhku. “Tidak ya Allah, tidak. Kumohon Jangan. Tidak, tidak, tidakkkkkk!!” jeritku dalam hati. Kuulang-ulang kalimat itu seperti mantra.

Tampaknya orang-orang memperhatikanku yang melewati ambang pintu dengan gontai, tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak peduli ketika orang-orang bermata sembab memenuhi ruang tamu. Pandanganku hanya tertuju ke ruang tengah yang tampak jelas dari ambang pintu karena kebanyakan perabot rumah sudah dikeluarkan. Sebuah tikar terhampar di ruang tengah dan sesosok tubuh terbaring kaku di atasnya.

Aku terduduk dengan lunglai di samping tubuh itu. Menatap kosong wajah keriput itu sambil terus merapalkan mantra, berharap bahwa aku akan segera terbangun dari mimpi buruk ini. Sebuah tangan memegang bahuku lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya. Aku tidak menoleh, hanya terus menatap wajah keriput Ibu yang tampak lelap.

“Dia sangat mencintai kamu, Ana.” Suara Tante Ninis membelai telingaku. “Mungkin karena dia menikah dan menjadi janda di usia yang terlalu muda membuatnya gagal menjadi Ibu yang baik. Walau dia berpikir kamu tidak akan mungkin memaafkannya, dia tetap ingin meminta maaf atas semua kesalahannya di masa lalu. Dia juga minta maaf karena tidak bisa lagi menemani kamu di masa depan.” Tante Ninis berusaha menghiburku di sela tangisnya.

Kenapa dia harus menghiburku? Aku hanya bermimpi.

Tiba-tiba telingaku terasa sakit akibat suara jeritan yang menyayat hati. Aku baru sadar itu suara jeritanku ketika aku mengangkat kepala Ibu dan merangkulnya dengan keras. Aku mengayunkan tubuhnya seperti Ibu yang menimangku ketika bayi. Aku menatap wajahnya, mengusap rambut dan pipinya untuk menghilangkan dingin yang tidak normal di sekujur tubuhnya. Mataku buram oleh air mata yang tidak mau berhenti mengalir.

Ya Allah, kenapa aku terlambat? Kenapa tidak Kau berikan sedikit waktu lagi. Aku belum mengatakan bahwa ‘Aku Mencintainya’. Aku belum mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya. Aku bahkan belum sempat memberikan hadiahku. Aku belum sempat memberinya apapun kecuali rasa sakit karena aku telah mengabaikannya. Padahal dia sudah menahan rasa sakit demi mengandung dan melahirkanku. Dia juga yang telah mengajarkanku berbicara, berjalan.

Ya Allah, tolong jawab aku. Kenapa aku terlambat?

END


Cerita Ay yang lain bisa dibaca di wattpad @AyaEmily2

~~>> Aya Emily <<~~

Kasih Yang Tak Terucap – Bab 2

11 September 2018 in Vitamins Blog


9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Beberapa Tahun Lalu

***

“Ibu mau ke mana?” tanyaku sambil membuntuti Ibuku yang berpakaian rapi dan indah. Aku jadi ingat seorang tetangga pernah berkata bahwa baju-baju Ibu seindah putri tapi bajuku seperti pembantu. Dia tidak menjawab pertanyaanku malah sibuk menekan-nekan benda kecil yang kata teman-temanku namanya Hp.

Aku hanya berdiri memperhatikannya lalu kembali mengikutinya ketika ia beranjak ke pintu depan. Dia belum jawab pertanyaanku dan aku tidak ingin ditinggal lagi olehnya. Aku menggenggam rok cantiknya untuk mencegahnya pergi.

“Astaga Ana!!!” kata Ibuku sambil menepis tanganku. “Kamu sudah kelas 2 SD, masa belum ngerti juga. Ibu mau kerja, cari uang buat makan dan buat kamu sekolah. Sampai kapan Ibu harus mengulangnya terus, hah!!” Air mataku tumpah mendengar Ibu marah. Aku tidak mau Ibu marah. Aku hanya tidak ingin ditinggal.

“Kata teman-teman, kalau orang kerja di siang hari. Kalau malam waktunya tidur.” Kataku sambil sesenggukan.

“Jangan dengarkan kata teman-teman kamu, mereka semuanya bodoh.” Tegasnya masih sambil memencet Hp. Aku ingin merasakan pelukan hangatnya apalagi saat aku sedih seperti sekarang.

Sebuah mobil biru terang berhenti di depan rumah kami. Ibuku tersenyum lebar dan berlari kecil ke mobil itu. Aku sudah sering melihatnya pergi dengan mobil bagus, tapi aku tidak pernah diajak ikut.

Ibu berbalik menatapku sebelum masuk mobil, “Jangan lupa kunci pintunya dan matikan lampu! Dan jangan bukakan pintu kalau bukan Ibu.” Aku hanya mengangguk samar mendengar pesannya. Pesan yang selalu diulangnya tiap hendak pergi, siang ataupun malam.

Aku menunggu hingga mobil biru itu tidak terlihat lagi. Lalu aku masuk dan menutup pintu. Aku menarik kursi kayu ke depan pintu. Naik ke atasnya lalu mengunci pintu. Selanjutnya seperti tiap malam jika Ibu tidak ada, aku menarik kursi ke tiap sekelar lampu dan mematikannya satu persatu. Dan dengan lelah aku meringkuk di balik selimut, membayangkan pelukan hangat Ibuku.

***

Aku melompat dengan gembira ketika Tante Ninis datang dan membawakanku sepeda. Katanya sudah saatnya aku belajar mengendarai sepeda. Warnanya merah muda dan cuma punya dua roda. Tante Ninis mengajariku cara mengendarainya dengan sabar. Ternyata susah sekali, tapi sangat menyenangkan.

Tak terasa sudah waktunya Tante Ninis pergi. Aku menatapnya dengan kecewa. Dia menghiburku dan mengatakan bahwa Ibu juga bisa mengajariku. Aku tersenyum mendengarnya.

Setelah kepergiannya, aku langsung menemui Ibu dan memintanya mengajariku. Tapi dia malah memarahiku dan mengatakan kalau Tante Ninis terlalu memanjakanku. Aku sedih dan sejenak hanya berdiri mematung menatap pintu kamar yang baru saja ditutupnya dengan kasar.

Aku kembali ke halaman dan belajar mengendarai sepeda sendirian. Sambil duduk di sadel, kakiku sudah bisa menapak tanah, tinggal bagaimana cara menjalankannya. Berkali-kali aku terjatuh hingga beberapa luka yang tampak mengerikan menghiasi sekujur tubuhku terutama di bagian lutut dan siku. Tapi aku tidak merasakan sakit, malah bahagia dan bertekad untuk segera bisa mengendarainya.

Tak terasa hari sudah sore. Ibu keluar dan sepertinya baru bangun tidur. Dengan bangga aku menunjukkan padanya bahwa aku sudah mulai bisa mengendarai sepeda. Tapi dia malah mendelik dan membanting sepedaku. Sambil mengomel bahwa aku mirip gembel, dia menyeretku dan memandikanku dengan kasar. Aku menangis keras merasakan perih yang mendera seluruh tubuhku, tapi dia tidak peduli.

***

Sudah tiga hari aku memamerkan kalung dan sepasang anting cantik yang di belikan Tante Ninis padaku. Ini adalah kalung pertamaku dan sudah lama aku hanya memakai tangkai buah cabai untuk mengisi lubang antingku agar tidak tersumbat.

Hari itu, dengan wajah sedih Ibu memanggilku ke kamarnya. Dia mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari lemari dan memperlihatkan padaku sambil berlinang air mata. Aku tidak mengerti apa yang tertulis di atas kertas-kertas itu.

“Ini surat tagihan hutang Ibu,” jelasnya membuatku makin bingung. “Kalau Ibu tidak segera melunasinya, Ibu akan masuk penjara.” Aku mengerti arti penjara. Seperti di film-film, itu adalah tempat seperti kandang dan penjaganya adalah polisi yang membawa pistol sungguhan. Aku menangis membayangkan Ibu akan dikurung di penjara dan tidak bisa bertemu denganku lagi. Aku langsung memeluknya dan berharap bisa menolongnya.

Selang beberapa saat, Ibu melepaskan pelukanku. “Ana mau kan membantu Ibu supaya Ibu tidak dipenjara?” Aku langsung mengangguk. “Ibu mau pinjam kalung sama anting Ana untuk bayar hutang Ibu. Kalau hutang Ibu lunas, Ibu tidak akan dipenjara.”

Sejenak aku ragu. Bagaimana caranya aku menjelaskan pada Tante Ninis nanti? Sepertinya Ibu memahami kegelisahanku.

“Kalau Tante Ninis tanya, bilang saja perhiasannya hilang. Tante Ninis pasti akan menggantinya dengan yang baru.” Aku makin ragu mendengar penjelasan Ibu, “Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Mungkin besok Ibu tidak bisa pulang lagi.” Tangisku makin keras. Akhirnya aku mengangguk bersedia menyerahkan perhiasan itu.

Esoknya aku mengalami demam tinggi. Tante Ninis menjengukku dan sambil menangis aku menjelaskan tentang hadiahnya yang hilang. Tante Ninis bilang tidak apa-apa, dan dia menemaniku hingga tertidur. Hal terakhir yang kudengar hanya suara Tante Ninis dan Ibu yang saling berteriak.

***

Hari ini Ibu mengantarku ke rumah Nenek. Katanya Ibu tidak bisa pulang ke rumah selama beberapa hari karena pekerjaan. Jadi aku harus menginap bersama Nenek.

Sekarang Ibu sudah berangkat sedangkan Nenek sedang tidur siang. Nenekku sudah sangat tua, jadi tubuhnya cepat lelah dan harus sering tidur. Aku duduk sambil bermain kerikil di depan rumah dengan perasaan bosan. Aku kaget ketika Tante Ninis juga datang ke sini dan langsung mencari Nenek. Lalu dia menyuruhku berpamitan pada Nenek dan langsung mengajakku pergi. Aku tidak berani bertanya setelah melihat matanya yang bengkak dan merah. Aku tahu dia habis menangis.

Ternyata aku di ajak ke rumahnya dan dia mengatakan mulai saat itu aku akan tinggal bersamanya. Barang-barangku juga sudah tertata rapi di kamar yang katanya untukku.

Seiring bertambahnya usia, aku makin mengerti. Sebenarnya tiap bulan Ibu memiliki tunjangan pensiunan Almarhum Bapak. Walau Ibu tidak bekerja, kami masih bisa hidup berkecukupan. Tapi Ibu malah menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Mencari hiburan ke sana-sini bersama Pria-pria yang kebanyakan sudah beristri. Dan yang paling buruk, dengan gampangnya Ibu menebar hutang hingga akhirnya rumah warisan Almarhum Bapak juga dijualnya. Sekarang Ibu tidak lagi memiliki harta bahkan rumah pun tidak punya.

Semua kenyataan tentang Ibu seolah menghantamku. Aku amat kecewa selama bertahun-tahun Ibu mengabaikanku hanya untuk memenuhi hasratnya sendiri. Hatiku lebih hancur lagi setelah tahu kenyataan ketika Ibu menitipkanku di rumah Nenek hanya agar dia bisa ikut liburan bersama salah satu kekasihnya. Saat itu aku sadar kalau Ibu tidak pernah mencintaiku. Dia hanya mencintai harta dan semua hasrat duniawi. Aku membencinya, tapi dia tetap Ibuku. Aku berhutang karena dialah yang melahirkanku. Dan aku bertekad sebisa mungkin melunasi hutangku dengan apa yang dia suka, yaitu harta. Setidaknya aku akan membuatkan rumah untuknya.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

Kasih Yang Tak Terucap – Bab 1

11 September 2018 in Vitamins Blog


9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Aku menutup pintu kamar dengan letih. Tugas kuliah yang menumpuk telah menguras tenagaku sejak pagi tadi. Sekarang aku hanya ingin istirahat sejenak untuk menghapus lelah.

Ketukan samar di pintu kamar membuatku mendesah, tapi aku tetap beranjak membuka pintu. Tubuh kurus Ibuku menyambutku di balik pintu. Rambut putihnya seolah meneriakkan betapa tua dirinya. Hatiku perih menatap wajah keriputnya yang berusaha menampilkan senyum.

“Nduk, tolong bantu Ibu jemur kerupuk ya…..!!” suara seraknya menusuk telingaku dan mengirimkan perasaan perih yang makin menyayat hatiku.

Aku ingin sekali menghambur kepelukannya dan memintanya berhenti bekerja. Tapi otakku berpikir lain. Tidak sanggup memaafkannya karena kenangan buruk yang tidak bisa terhapus dari memoriku. Ironisnya, tubuhku lebih memihak otakku dibanding hatiku.

“Masa Ibu tega nyuruh Ana jemur kerupuk siang-siang begini. Apalagi Ibu kan tau kalau Ana baru pulang kuliah.” Hatiku menangis mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari bibirku, tapi otakku tidak peduli malah mengangguk setuju. “Ana ingin istirahat Bu……!!” tegasku membuat mata cerah Ibuku sejenak memudar.

“Ya sudah, nduk. Kalau kamu capek Ibu tidak akan memaksa.” Ucapnya sambil tersenyum mengerti. Tapi bahunya lunglai ketika beranjak meninggalkanku yang berdiri di ambang pintu.

Aku berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Lalu senyumku merekah ketika suara lembut Tante Ninis memanggilku. Aku berlari kecil ke dapur tempat suaranya berasal. Dia tersenyum sambil meminta tolong padaku membantunya membuat kue. Aku langsung mengiakan permintaannya.

Ya, apapun akan kulakukan untuk Malaikat sekaligus Dewi penyelamatku ini. Adik Ibuku ini telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Saat ini Ibuku memiliki tempat berteduh pun atas kemurahan hatinya. Dengan riang aku mengikuti instruksinya dan tanpa sadar, kenangan menyakitkan beberapa tahun lalu mengisi benakku.


 

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 13. Tidak Ada Lagi Rahasia

3 September 2018 in Vitamins Blog

31 votes, average: 1.00 out of 1 (31 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Dua minggu yang lalu, Miranda memintaku membawa Alin ke tempatnya dirawat. Aku menyingkir begitu kedua wanita itu bertemu diiringi tangis. Setelahnya Alin bercerita padaku bahwa Miranda adalah wanita yang telah menolongnya beberapa tahun silam dan kemudian mereka bersahabat.

Ternyata aku telah menorehkan luka yang begitu besar di hati Miranda. Padahal selama itu pula, dia sudah menanggung penyakit seorang diri.

Mengingat Miranda dengan Erlan saja hatiku sudah begitu sakit meski dia sudah menjelaskan kejadian itu. Lalu bagaimana sakitnya hati Miranda melihatku bersama Alin?

Sekarang kondisi Miranda memburuk. Rambut indahnya perlahan rontok. Tubuhnya semakin kurus dengan wajah yang selalu pucat.

Selama dua minggu ini, aku hanya ke kantor tiga kali. Itupun hanya beberapa jam. Aku tahu Miranda tidak akan bisa bertahan lebih lama. Dan seperti yang kubilang padanya, kalau dia pergi akupun akan pergi bersamanya.

“Mas.”

Aku hanya menggeliat mendengar panggilan Miranda. Kubenarkan posisi kepalaku di dadanya. Lenganku semakin kuat memeluk pinggangnya.

“Mas, bangun! Sebentar lagi waktunya dokter memeriksaku. Bisa-bisa kau diomeli lagi.”

Aku sama sekali tidak tidur. Hanya memejamkan mata dan menikmati kedekatan kami.

Seperti inilah yang kulakukan tiap hari bersamanya sejak ia dirawat di rumah sakit. Saling berbagi cerita, bermanja-manja dalam pelukan satu sama lain, atau kalau dia bosan di dalam kamar, aku akan mengajaknya ke taman rumah sakit.

Sudah tak terhitung berapa kali dokter wanita yang merawat Miranda mengomeliku yang dengan nyamannya menjadikan kamar ini sebagai tempat penginapan dan berbagi ranjang dengan pasien. Yah, sebenarnya dokter itu berani mengomeliku karena kami adalah teman semasa SMA. Kalau aku orang lain, mungkin dia hanya akan mengingatkan sekali dan memaki dalam hati.

“Mas.”

Aku mendongak lalu mendaratkan kecupan singkat di bibirnya. “Istriku mulai cerewet. Biarkan saja dokter itu. Kalau dia lelah, dia akan berhenti mengomel.” Ucapku santai sambil kembali merebahkan kepalaku di dadanya.

Miranda yang dalam posisi duduk bersandar bantal, membelai rambutku dengan lembut. Rasanya sungguh nyaman.

“Rambutmu semakin panjang.” Dia berkomentar.

“Itu karena rambutmu pindah ke kepalaku, Sayang.”

Dia tertawa kecil. “Apa aku semakin terlihat jelek?”

Aku mendongak lagi untuk memperhatikan wajahnya. “Mirandaku tidak pernah terlihat jelek.”

Dia tersenyum lebar lalu memberikanku sebuah kecupan di kening. “Suamiku terdengar manis sekali.”

“Astaga, Ryan! Berapa kali harus kukatakan? Kau membuat ranjang pasienku semakin sempit. Dia harus istirahat dengan nyaman.”

Aku mengerucutkan bibir lalu kembali merebahkan kepala di dada Miranda tanpa menghiraukan dokter dan suster yang berdiri di ambang pintu.

Dengan mata tertutup, aku mendengar langkah dokter dan suster mendekat lalu berdiri di samping ranjang.

“Ryan, pergilah! Aku harus memeriksa pasienku.”

Aku tidak mengubah posisi dan berpura-pura tidak mendengar ocehannya.

“Tolong biarkan saja, dok. Aku merasa nyaman seperti ini.”

Aku tersenyum tanpa membuka mata. Memang sangat nyaman.

Nilam, nama dokter itu, masih terus menggerutu. Tapi dia menuruti permintaan istriku. Nilam melakukan pemeriksaan rutin yang kutahu sedikit sulit dengan adanya diriku dalam pelukan Miranda.

Selesai dengan pemeriksaan, sarapan dan obat untuk Miranda datang. Aku bangkit dari posisi semula dan bersiap menyuapi Miranda ketika pintu kamar rawat terbuka.

“Kak Ira, ada buket bunga untukmu dari tetangga.” Alin menjelaskan sambil menyerahkan rangkaian bunga yang begitu wangi.

Sebenarnya aku semakin merasa bersalah pada Alin. Sejak Miranda dirawat, aku mengabaikan semua hal di luar kamar rawat Miranda. Pakaian untukku Alin yang membawakannya. Aku hanya pernah mengantarnya sekali ke rumah, lalu menyerahkan kunci rumah besar itu.

Toh nantinya seluruh kekayaanku akan diwariskan kepada Ardian. Biarlah Alin belajar mengurus semua itu.

Aku tahu Alin kesulitan. Dia seperti memikul beban berat yang aku timpakan. Tapi sungguh aku tidak sanggup berpura-pura baik-baik saja lalu membantu Alin beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lagipula kami memang tidak pernah akrab sebelumnya.

Seperti biasa, Alin tidak pernah mengeluh. Dia pasti kelelahan mengurus Ardian serta rumahku, lalu bolak-balik ke rumah sakit. Belum lagi para tetangga tentu mulai bergosip. Tapi seperti biasa, senyum ceria selalu ia tampilkan untuk menyembunyikan luka hatinya.

“Cantik sekali.” Puji Miranda.

“Sarapan untukmu, Mas.” Ucap Alin sambil meletakkan bungkusan di atas meja samping ranjang.

“Terima kasih. Aku akan memakannya setelah Miranda selesai makan.” Sahutku sambil berusaha mengulas senyum.

“Kemarilah, Alin. Duduk di sini!”

Aku menatap tidak suka pada Miranda tapi istriku itu sengaja menghindari tatapanku. Selalu saja seperti itu. Dia masih berusaha mendekatkan aku dengan Alin. Dia pikir aku bercanda akan menyusulnya kalau dia mati.

Memang aku terdengar seperti melangkahi takdir Tuhan. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada gairah hidup jika dia tidak ada di sampingku.

“Maaf, Kak. Aku harus segera kembali ke sekolah Ardian.” Jelas Alin seraya berbalik lalu meletakkan tas berisi pakaianku yang sudah dicuci. Setelahnya dia mengumpulkan pakaian yang sudah kukenakan lalu membawanya keluar kamar.

“Mas, bunuh diri bukan jalan agar kita bisa tetap bersatu.”

Aku memilih diam dan menyibukkan diri dengan sarapan Miranda. “Buka mulutmu!” perintahku.

Miranda mengabaikan perintahku. “Bunuh diri adalah dosa besar. Kalau kau melakukan itu, mungkin kita tidak akan bisa bersatu lagi.”

DEG

Aku menatapnya dengan mata yang mulai terasa panas.

Tuhan, kau yang paling tahu seberapa besar aku mencintai Miranda. Apa setelah aku memilih kematian kau masih akan memisahkan kami?

“Biarkan semua berjalan seperti ini sampai tiba waktunya nanti. Aku ingin menikmati tiap detik bersamamu.” Jelasku sambil membelai pipinya.

Lama dia menatapku lalu akhirnya mmengangguk dengan air mata yang menetes Dia meraih tanganku yang masih bertengger di pipinya lalu mengecup telapak tanganku berulang-ulang.

“Sekarang makan.” Ucapku dengan suara serak.

Segera dia menghapus air matanya lalu mulai menghabiskan makanan rumah sakit yang aku suapi.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 12. Kenyataan

2 September 2018 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Istri Anda mengidap penyakit kanker rahim stadium empat.”

DEG.

Tubuhku terasa limbung hingga tanpa sadar aku mundur dua langkah menjauhi dokter.

“Apa sekarang waktunya bercanda, Dok?” tanyaku dengan geram. Kedua tanganku sudah mengepal kuat, siap menghajar dokter itu sewaktu-waktu.

“Maafkan kami, tapi itu hasil pemeriksaan.” Ungkap dokter itu dengan raut iba. “Pasien sudah sadar sekarang. Anda bisa langsung menemuinya. Tapi tolong jangan buat dia tertekan.”

Sepeninggal dokter, aku masih berdiri mematung di depan pintu ruang rawat Miranda.

Pikiranku kalut.

Butuh waktu beberapa menit hingga aku berhasil membuka pintu lalu masuk. Dengan langkah yang terasa bisa ambruk sewaktu-waktu, aku mendekati ranjang dimana tubuh Miranda tergolek lemah.

Dia menatapku dengan raut bersalah. Air matanya tidak berhenti mengalir hingga membasahi bantal.

Aku duduk di tepi ranjang. Memperhatikan wajahnya yang semakin tirus dengan air mata berlinang. Perlahan kuraih salah satu tangannya lalu kugenggam kuat. Mengabaikan nasihat ibu yang selalu berkata ‘lelaki tidak boleh menangis, aku menangis tersedu. Kubungkukkan tubuhku di atas tubuh Miranda hingga kening kami menempel. Air mataku jatuh ke pipinya dan berbaur dengan air matanya. Dia menangis tanpa suara sedangkan aku terisak seperti anak kecil.

“Sayang, maafkan aku! Seharusnya aku tahu kalau kau sakit. Seharusnya aku menemanimu melawan penyakit ini. Tapi apa yang kulakukan? Aku malah menikah dengan wanita lain.”

Aku tahu permintaan maaf tidak akan mengembalikan waktu. Tapi aku ingin memohon ampunan darinya.

Kurasakan tangan Miranda yang bebas menangkup pipiku. Rasanya sungguh nyaman hingga membuatku berharap dia tidak akan pernah melepaskannya.

“Maafkan aku juga karena tidak jujur padamu.” Ucap Miranda dengan suara lembutnya. “Andai aku mengatakannya, kau pasti tidak akan pernah pulang terlambat hanya untuk pergi makan-makan bersama rekan-rekanmu hingga malam itu harus terjadi. Andai aku mengatakannya, kau pasti tidak akan menikahi wanita lain secara diam-diam dengan alasan apapun.”

Aku tertawa ironis.

Sementara aku tidak tahu tentang penyakit parah yang dideritanya, dia tahu semua yang terjadi padaku.

“Aku tidak akan bertanya kau tahu darimana.” Ucapku seraya mengecup bibirnya sekilas lalu kembali menyatukan kening kami.

“Kalian terlihat sangat serasi. Aku senang kau tidak akan sendirian ketika aku pergi.”

“Apa kau mau mendengar apa yang terjadi begitu kami hanya berdua atau bertiga dengan Ardian tanpa orang lain melihat?”

Tidak ada gunanya lagi menyimpan rahasia. Miranda sudah tahu cukup banyak. Kenapa tidak sekalian saja kuceritakan semua?

“Kalau kau tidak keberatan menceritakannya.”

Aku bisa melihat luka di matanya yang buru-buru ia hapus. Dia memasang senyum untuk meyakinkanku.

“Aku menikahi Alin hanya karena rasa bersalah dan tanggung jawab. Kuberi dia nafkah layaknya seorang suami. Tapi yang tidak bisa kulakukan, memadu kasih dengannya seperti ketika bersamamu. Tiap aku datang, aku tidur di kamar tamu dengan pikiran yang selalu kembali padamu. Kumakan apapun yang dia masak namun nyaris tidak ada interaksi di antara kami. Aku lebih banyak diam dan dia tampak tidak berani memulai percakapan.

“Semakin lama, aku semakin merasa bersalah. Alin wanita yang baik dan tidak pantas diperlakukan seperti seonggok tubuh tanpa perasaan. Sikap dinginku berimbas pada kesehariannya. Tetangga mulai berkomentar. Akhirnya aku memutuskan akan bersikap manis layaknya suami padanya di luar rumah. Tapi begitu pintu rumah tertutup, kami kembali menjadi asing.

“Semakin besar kandungan Alin, dia terlihat semakin ingin di dekatku. Mungkin bawaan bayi. Tapi itu tidak mengubah sikapku. Karena itu dia hanya bisa memeluk dan menciumku di luar rumah. Setelah Ardian lahir, kami sepakat untuk saling membantu mengurusnya. Tapi itu tetap tidak bisa membuatku nyaman berada di dekatnya.”

Bahkan hingga kini perasaan tidak nyaman itu belum juga hilang padahal sudah lima tahun aku menikahi Alin.

“Kamar tamu yang biasa kutempati dijadikan kamar Ardian. Kami sempat berdebat tentang hal itu. Tapi kemudian kami sepakat. Selama Ardian masih meminum ASI, dia akan tidur bersama Alin. Tapi setelah itu, dia akan tidur bersamaku. Selanjutnya hanya keberadaan Ardian yang membuatku bertahan di rumah itu. Aku yakin tidak akan ada yang tahu betapa tidak normalnya pernikahan kami karena Alin selalu bersikap ceria di luar rumah.

“Lalu beberapa bulan ini perasaan bersalah kembali datang. Kewajiban suami memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Tapi aku hanya memenuhi salah satu nafkah dan mengabaikan nafkah lainnya. Alin sendiri tidak pernah mengeluh. Dia selalu menerima perlakuanku. Itu membuat rasa bersalahku semakin besar hingga aku mencoba untuk mendekatinya lebih dari yang selama ini kami lakukan. Tapi seperti yang kuduga, aku tidak bisa. Jika bukan dirimu, aku tidak bisa melakukannya. Bahkan aku sudah mengurungkan niat ketika baru berdiri di depan kamar Alin.

“Hingga suatu hari, aku mengetahui bahwa obat perangsang dalam dosis tertentu bisa membuat orang amat bergairah dan sedikit hilang kesadaran sekaligus kendali. Aku memberanikan diri mencobanya demi menebus rasa bersalahku kepada Alin. Tapi ternyata apa yang kulakukan lebih parah setelah menelan obat itu. Aku memperkosa Alin. Walau tidak sadar sepenuhnya, aku masih ingat dengan jelas bagaimana Alin menolak tapi kalah dengan tenagaku. Dia menangis dan mengeluh kesakitan sepanjang malam. Bahkan dia masih terus menangis hingga keesokan harinya. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghiburnya selain menghindarinya. Setelah itu, kami kembali bersikap seperti biasa. Asing satu sama lain begitu tidak ada orang yang melihat.”

Aku berhenti. Tidak tahu harus melanjutkan apa lagi. Sudah kuceritakan semua. Kini aku diam menunggu reaksi Miranda.

“Berjanjilah kau akan berhenti bersikap seperti itu pada Alin.”

“Apapun yang kau minta, akan kuturuti. Bahkan jika kau meminta aku memotong lidahku sendiri, akan kulakukan. Tapi tolong jangan memintaku bermesraan dengan wanita lain meski dia istriku. Aku sudah cukup tersiksa karena tidak sanggup jujur padamu dan terus menerus bersama wanita yang tidak kucintai.”

“Hidupku tidak lama lagi. Aku tidak mau kau sendirian.”

“Aku akan pergi bersamamu. Bahkan kematian pun tidak akan bisa memisahkan kita.” Aku berkata serius.

“Mas, Ardian membutuhkanmu.” Dia kembali terisak.

“Tapi aku juga membutuhkanmu.” Aku berkata dengan suara parau.

Tidakkah dia mengerti bahwa dialah nafasku?

Tidakkah dia mengerti bahwa dialah pemilik hatiku?

Tidakkah dia mengerti bahwa jantungku hanya berdetak untuknya?

Tidakkah dia mengerti bahwa otakku hanya mendamba dirinya?

Kalau dia pergi, aku hanya akan menjadi seonggok tubuh dengan organ yang telah membeku. Karena itu, tidak. Tidak akan kubiarkan dia pergi sendirian. Aku akan selalu mendampingi di tiap langkahnya.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 11. Pengadilan

2 September 2018 in Vitamins Blog


Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

 

Akhirnya hari ini tiba juga. Sidang pertama perceraian kami.

Sempat kupikir suamiku tidak akan datang. Tapi ternyata dia datang.

Hatiku sakit melihat keadaannya. Penampilannya memang rapi seperti biasa. Tapi bakal janggut didagu dan rahangnya dibiarkan tumbuh bebas. Matanya merah dengan rambut acak-acakan. Bahkan ujung hidungnya memerah menandakan bukan hanya aku yang melewati malam-malam dengan tangis.

Aku ingin sekali berlari ke arahnya lalu bersimpuh di kakinya. Memohon maaf atas semua kebohonganku. Memohon maaf atas semua ketidakjujuranku. Dan terutama memohon maaf atas semua luka yang kutorehkan di hatinya.

Tapi aku menahan diri.

Setelah sidang selesai, aku keluar tanpa menoleh ke arahya. Kini aku sudah berada di lobi dan sedang menuju pintu keluar gedung pengadilan. Mendadak seseorang mencekal pergelangan tanganku hingga membuatku memekik kaget.

Ternyata orang itu adalah suamiku. Dia tidak berhenti untuk menjelaskan maksudnya, tapi malah menarikku masuk ke salah satu ruangan.

“Apa yang kau lakukan, Mas? Kita masuk tanpa izin.” Tegurku sambil berusaha melepaskan tangannya.

“Aku sudah mendapat izin.” Jelasnya singkat.

Genggaman tangannya semakin kuat hingga akhirnya aku menyerah.

“Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Seharusnya kau biarkan aku pergi.” Ucapku dengan suara lemah.

Dia diam dengan mata tajamnya menelusuri wajahku. Tak kusangka tetesan air mata jatuh membasahi pipinya hingga akhirnya dia menangis.

Lalu yang lebih membuatku kaget, dia menekuk kedua lututnya di hadapanku tanpa melepas genggaman tangannya.

“Mas, berdiri! Aku tidak suka kau seperti ini.” Air mataku juga bergulir deras.

Begitu dalamkah luka di hatinya hanya karena perceraian ini?

Lalu bagaimana caranya dia bisa melewati kehidupan selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang kusembunyikan darinya?

“Mas, kumohon!” rengekku di antara isak tangis.

“Apa kau tahu bahwa aku menikah lagi?”

DEG.

Aku tidak menyangka dia akan menanyakan itu. Aku juga tidak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap.

“Jadi itu alasannya kau meminta cerai dariku?” dia menyimpulkan karena aku tidak kunjung bersuara.

“Tidak, aku—”

“Seharusnya kau marah, sedih atau kecewa. Bukannya malah berkata ‘tidak’ dengan nada seperti itu. Berarti tebakanku memang benar.” dia mendongak menatap wajahku dengan mata yang berlumur luka dan rasa bersalah. “Baiklah, aku akan bercerai. Tapi bukan denganmu. Katakan saja aku egois. Namun aku memang tidak sanggup berpisah darimu. Seluruh hatiku telah kuserahkan padamu. Aku akan mati tanpa dirimu.”

“Tidak, kita akan tetap bercerai.”

“Kau memang benar-benar ingin berpisah dariku?” dia bertanya dengan suara bergetar.

Aku mengangguk mantap. Aku tidak sanggup lagi berkata ‘ya’ dengan bibirku.

“Baiklah.” Ucapnya dengan nada kalah. Senyum manis terukir di bibirnya di antara air matanya yang masih mengalir. “Aku melepasmu, cintaku. Pergilah dan raih kebahagiaanmu. Maaf karena aku telah membuatmu terluka.”

Dia berbalik membelakangiku sebagai isyarat agar aku pergi. Tapi sebaliknya, tubuhku malah membeku. Aku merasa ada yang salah dengan ucapannya.

Perlahan aku mendekatinya lalu menarik jaketnya dengan kasar hingga dia kembali menghadap ke arahku.

DEG.

Pistol? Dia memegang pistol?

“Kau mau apa, Mas?” tanyaku setengah berteriak. Segera tanganku menepis dengan kasar pistol itu hingga terlepas dari genggamannya.

Dia hanya tertunduk. Seperti tidak punya tenaga untuk melawanku. Lalu tubuhnya ambruk ke atas lantai. Layaknya anak kecil, kedua lututnya ditekuk dan dia menangis tersedu di atas kedua tangannya yang terlipat.

Akhirnya aku menyerah.

Aku berlutut di sampingnya lalu menarik kepalanya ke dalam dekapanku. Kini dia menangis di dadaku untuk pertama kalinya. Karena biasanya dia tidak pernah menangis.

Perih hatiku ketika melihatnya menangis dan tampak begitu rapuh. Rasa bersalahku yang semakin besar karena aku tidak sanggup melukainya semakin jauh jika berkata jujur.

Semua itu membuat kepalaku terasa amat nyeri hingga pandanganku menjadi gelap.

End of Miranda’s POV


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 10. Murka

1 September 2018 in Vitamins Blog


27 votes, average: 1.00 out of 1 (27 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Air mataku bergulir tanpa bisa dicegah ketika mobil suamiku memasuki halaman rumah. Segara kuhapus air mata lalu menyingkir dari jendela kamar.

“Dia sudah datang.” Lirihku pada Erlan.

“Belum terlambat untuk berubah pikiran.” Erlan menasihati.

Aku menggeleng seraya melepas gaun tidurku, menyisakan bra dan celana dalam. Sebenarnya aku malu setengah telanjang di depan Erlan. Tapi aku menekan perasaan itu kuat-kuat.

Erlan sendiri juga langsung melepas T-shirt dan celana jeansnya. Tubuhnya yang hanya dibalut boxer, merangkak ke atas ranjang. Dia langsung meletakkan kedua lututnya dia antara pinggulku begitu aku rebah.

Kami dia dalam posisi itu. Aku menatap kosong ke arah lehernya sedangkan Erlan menatap wajahku dengan penuh kasih sayang. Aku tahu tidak ada gairah di matanya. Hanya seperti sikap seorang kakak yang berusaha menenangkan adiknya.

“APA-APAAN INI??!!!”

Kami langsung menjauhkan diri lalu turun dari ranjang. Aku sungguh tidak pandai berakting. Tapi melihat wajah suamiku yang memerah murka, perasaan takut dan sedih melingkupi diriku. Air mataku kembali bergulir. Kali ini aku tidak menutupinya.

“Sayang—”

“DASAR BAJINGAN!! Sudah kuduga dari dulu kau bernafsu pada istriku!!!”

Melihat gelagat suamiku, aku tahu dia hendak menghajar Erlan. Segera kuposisikan diri di depan Erlan tanpa mempedulikan tubuhku yang masih setengah telanjang.

“Mas, jangan! Aku mencintai Erlan.”

Mata suamiku memerah. Berbagai emosi tercetak jelas di wajahnya. Marah, sedih, kecewa.

Aku ingin sekali menghambur ke pelukannya. Membenamkan wajahku di dadanya. Lalu membiarkan jemari panjangnya membelai rambutku dengan penuh cinta. Tapi sekarang semua itu hanya akan jadi khayalan. Aku harus merelakan dirinya.

“Miranda, apa yang kau bicarakan? Menyingkir dari situ agar aku bisa menghajar lelaki yang telah menggodamu ini!”

Bukankah suamiku sangat lucu?

Sudah jelas apa yang aku dan Erlan tampakkan di depannya. Tapi rasa cintanya padaku membuatnya tutup mata dan hanya menumpahkan kesalahan sepenuhnya pada Erlan.

“Bukan Erlan yang memulai. Tapi aku yang sudah menggodanya.” Kuhapus air mataku dengan punggung tangan.

“Tapi kenapa, Miranda?” suara suamiku berubah begitu pelan seperti dia tidak sanggup menanyakannya.

“Karena aku—aku sudah tidak mencintaimu lagi.” Berat rasanya mengatakan kebohongan itu. Tapi terpaksa kulakukan.

Jemari suamiku mengepal dengan begitu eratnya. Rahangnya mengetat menahan emosi. “Lalu apa yang kau inginkan?”

Pertanyaan yang kutunggu.

Pertanyaan yang akan meruntuhkan rumah tangga kami.

“Kita bercerai.” Ucapku dengan nada bergetar.

Kupikir hatiku tidak bisa lebih sakit lagi. Tapi melihat air mata suamiku yang tumpah sejak pertama kali aku mengenalnya di bangku kuliah, rasanya jantungku yang sudah koyak diremas dengan begitu kuatnya.

“Tolong jangan seperti ini, Miranda. Kalau aku punya salah, hukum aku sepuasmu. Kalau kau marah padaku, pukul aku sepuasmu. Tapi jangan pernah meminta cerai dariku.”

Kini suamiku menangis. Lelaki yang sanggup tidak meneteskan setitikpun air mata di saat kematian ibunda yang begitu dicintainya, bisa menangis karena keinginanku untuk bercerai darinya.

Tuhan, bisakah kau mengampuni dosaku ini? Aku sungguh tidak berniat menyakitinya. Aku hanya ingin dia bahagia bersama wanita yang pantas mendampinginya.

“Jangan persulit semua ini, Mas. Aku tidak mau lagi hidup bersamamu.”

Seketika raut wajah suamiku kembali berubah. Kemarahan memenuhi matanya. “Baiklah, kalau itu maumu. Kirimkan saja surat cerainya ke kantorku.”

Setelahnya suamiku langsung berbalik. Suara pintu yang ditutup dengan keras menandakan betapa murkanya suamiku.

Suara mobilnya yang menderu keras adalah pertanda bahwa ia telah meninggalkan rumah kami. Seketika tubuhku terasa lemas. Aku jatuh terduduk di atas lantai. Isak tangisku begitu keras memenuhi seluruh penjuru kamar.

Erlan yang sejak tadi hanya menjadi penonton meraih selimut kemudian dililitkan ke sekeliling tubuhku. Setelahnya dia juga duduk di lantai lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Dia membiarkan aku menumpahkan air mata di dadanya.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 9. Rencana

1 September 2018 in Vitamins Blog


Dua minggu sudah berlalu sejak Alin mengungkapkan semua. Sekarang suamiku sudah kembali ke dalam pelukanku.

Tidak mungkin suamiku mau berpisah begitu saja tanpa alasan yang jelas. Aku tahu seberapa besar cintanya kepadaku. Karena itu aku memikirkan banyak skenario. Sampai akhirnya aku memilih untuk membuatnya membenciku.

Mungkin Tuhan memang merestui pilihanku. Secara kebetulan sahabat baikku, Erlan, yang tinggal di luar kota datang berkunjung. Hubungan kami sangat akrab layaknya saudara. Namun kedekatan itu sering kali membuat suamiku cenburu.

Dengan hati masih terluka parah, aku menceritakan semua. Bisa kulihat tatapan marah yang ia tujukan kepada suamiku. Tapi setelah aku menjelaskan berulang-ulang dan memohon, akhirnya dia mau mengerti meski sorot matanya tidak bisa berhenti menyalahkan suamiku.

Yang paling sulit adalah meminta Erlan untuk membantu rencanaku. Dia berpikir sebaiknya aku berkata jujur daripada menciptakan kebohongan ini. Tapi aku tidak bisa. Jika aku jujur, maka suamiku tidak akan pernah mau melepaskan diriku.

Aku merasa senang sekaligus terluka ketika Erlan setuju. Senang karena rencanaku bisa berjalan. Tapi terluka karena aku akan menyakiti hati suamiku.

Yah, begitulah perasaan yang telah menemaniku sejak lima tahun terakhir.

Bahagia sekaligus terluka.

Tawa bercampur tangis.

Tapi aku selalu percaya Tuhan tidak memberi cobaan di luar kemampuan hambanya.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 8. Kisah

31 Agustus 2018 in Vitamins Blog


Mereka tidak melanjutkan pembicaraan karena sadar masih di sekolah Ardian. Baru setelah kembali ke rumah Alin dan Ardian pergi bermain, kedua wanita itu duduk berdampingan di ruang tamu.

“Aku bertemu Mas Ryan ketika masih bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan.” Alin memulai ceritanya. “Hari itu Mas Ryan datang bersama rekan-rekan sekantornya untuk merayakan sesuatu. Yah, rumah makan itu memang menjual minuman beralkohol yang biasa dipesan untuk acara-acara khusus.”

Keningku berkerut. Aku tahu dengan baik bahwa suamiku tidak bisa minum alkohol. Dia pasti tidak tahu kalau rekan-rekannya hendak memesan alkohol. Kalau tahu dia tidak mungkin mau ikut.

“Sosok Mas Ryan yang tampan dan gagah sudah menarik perhatianku sejak pertama rombongan itu datang. Tapi pelayan sepertiku tentu hanya bisa mengagumi dari jauh.” Alin tersenyum ironis. “Aku sempat memperhatikan rekan-rekan Mas Ryan memaksanya untuk minum. Aku mendengar penolakan darinya. Tapi karena bujukan mereka yang tiada henti, akhirnya Mas Ryan menyerah.”

Otakku mulai mereka-reka kejadiannya. Tanpa bisa dicegah, perasaan lega memenuhi dadaku. Ternyata suamiku tidak mengkhianatiku secara sengaja.

“Hanya satu teguk. Tapi minuman itu sudah berhasil merenggut kesadaran Mas Ryan. Aku sampai merasa geram mendengar rekan-rekannya menertawakan dirinya yang sudah terkulai dengan kepala di atas meja. Lalu yang lebih parah lagi, Mas Ryan dibiarkan begitu saja disana sementara rekan-rekannya mulai pulang satu per satu.”

“Apa rekan-rekannya memiliki dendam tertentu?” aku tidak sanggup menahan pertanyaan itu. Sekarang dadaku terasa panas karena marah. Aku tidak menyangka rekan-rekan suamiku tega melakukan hal itu.

“Sepertinya tidak. Mereka juga sudah mabuk. Mungkin mereka tidak sadar telah meninggalkan Mas Ryan di rumah makan itu.” Lalu Alin melanjutkan ceritanya. “Sampai waktu tutup, Mas Ryan tetap tidak beranjak. Salah satu pelayan laki-laki yang merasa kesal karena jam pulangnya tertunda, membangunkan Mas Ryan dengan kasar. Dia berhasil bangun, tapi jelas dalam keadaan mabuk berat. Dia bahkan tidak bisa keluar dari rumah makan tanpa dibantu. Tapi setelah sampai di luar, dia dibiarkan jalan sempoyongan tak tentu arah sendirian. Aku sungguh tidak tega melihatnya. Karena itu aku berinisiatif membawanya ke rumahku yang hanya berjarak seratus meter dari rumah makan itu.

“Aku harus berusaha keras untuk memapah tubuhnya sementara dia meracau tidak jelas. Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan tubuhnya di kamar yang tidak kutempati.” Alin menghela nafas sebelum melanjutkan. “Kesalahanku dimulai saat itu. Seharusnya kubiarkan saja dia berbaring di sana. Tapi aku berpikir untuk menemukan ponselnya lalu menghubungi keluarganya. Dengan ragu aku menyentuh saku celananya. Mendadak jemarinya mencekal pergelangan tangannya. Dia terkekeh dengan pandangan aneh ke arahku. Dia pasti mengira aku orang lain. Tapi karena terlalu terkejut dengan kedekatan kami, aku hanya diam mematung.” Alin tertawa namun air matanya bergulir. “Aku sama sekali tidak berpikir akibatnya. Aku sama sekali tidak berpikir kalau kemungkinan dia adalah suami orang. Bahkan bisa dikatakan pikiranku sedang kosong. Aku hanya diam membiarkan dia merenggut mahkotaku.”

Masih saja jantungku berdenyut sakit walau aku sudah mendengar kenyataannya

“Paginya, dia terlihat begitu kacau. Bukan hanya karena baru tersadar dari kondisi mabuk, tapi juga karena kesadaran akan apa yang telah dilakukannya padaku. Berkali-kali dia meminta maaf. Lalu yang membuatku juga merasa buruk dan kotor, dia berkata bahwa dirinya sudah menikah dan sangat mencintai istrinya.”

Perasaan bahagia itu muncul. Aku tahu suamiku tidak akan pernah menyakitiku secara sengaja. Sedari tadi aku juga berusaha mengingat kejadian itu. Pasti suamiku tidak pulang tanpa memberi kabar. Namun aku sama sekali tidak ingat.

“Setelahnya kami tidak pernah bertemu lagi. Hingga suatu hari aku menyadari bahwa diriku hamil. Sempat terlintas dalam benakku untuk melakukan aborsi. Tapi lalu pemikiran itu kutepis jauh-jauh. Kesalahanku lah hingga malam itu terjadi. Kenapa calon bayi tidak berdosa dalam perutku yang harus menjadi korban? Karena itu aku tetap mempertahankan Ardian. Walau ketika kandunganku semakin besar aku dipecat dari perkerjaan, walau para tetangga mencemooh dan menghinaku, walau keberadaanku tidak diterima lagi dalam keluarga besarku karena dianggap mencoreng nama baik keluarga, aku tetap mempertahankan Ardian.

“Semua tekanan itu membuatku terpaksa pindah ke sini. Kebetulan saat itu daerah ini masih jarang penduduk. Aku bisa tinggal dengan nyaman tanpa perlu ada tetangga yang bertanya macam-macam. Masih butuh satu bulan bagiku berkeliling-keliling daerah ini dalam keadaan hamil besar untuk mencari pekerjaan. Uang tabunganku sudah semakin tipis sedangkan waktu kelahiran tinggal sebentar lagi. Lalu aku mendapat pekerjaan dari pemilik rumah makan yang baik hati. Dia bahkan memberiku perkerjaan sebagai kasir karena keadaanku.

“Tak disangka, aku kembali bertemu dengan Mas Ryan. Entah karena insting atau apa, dia langsung menduga bahwa kehamilanku karena kejadian malam itu. Aku mengelak dan beralasan sudah menikah. Dia terlihat percaya, tapi ternyata dia membuntutiku pulang. Setelah didesak berkali-kali, akhirnya aku menyerah dan mengakui. Aku mengiyakan pertanyaannya sambil menangis. Semua penderitaanku selama berbulan-bulan seakan luruh bersama air mata itu. Mungkin karena akhirnya aku bisa berbagi cerita pada seseorang.

“Seminggu setelahnya kami telah resmi menikah. Aku sadar dia menikahiku hanya karena rasa bersalah dan bertanggung jawab. Tapi itu sudah cukup membuatku senang karena ada yang mau menerimaku dan Ardian di saat orang lain menolak kami.” Alin mendongak menatapku lalu menggenggam jemariku kuat. “Dan sekarang ada Kak Ira yang juga mau menerimaku. Aku merasa sangat beruntung.”

Mata kami sudah sembab sekarang. Aku menangisi semua yang telah dilalui Alin. Aku juga menangisi hatiku yang sudah hancur. Terutama aku menangis bahagia karena Alin memang wanita yang pantas mendampingi suamiku menggantikan diriku.

Ya, tekadku semakin bulat setelah mendengar cerita Alin. Walau akulah istri pertama, namun julukan orang ketiga memang pantas ditujukan kepadaku. Karena kebahagiaan mereka masih terhalang dengan adanya diriku.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 7. Pengakuan

31 Agustus 2018 in Vitamins Blog


Aku kembali ke tempat Alin berada. Sama sekali tidak ada bekas air mata di wajahku. Aku sudah terlalu sering menangis dan menyembunyikannya hingga tahu dengan tepat cara merias wajahku untuk menutupi jejak air mata. Karena itu, alat make-up lengkap tidak pernah lupa kubawa.

“Kakak sakit?” tanya Alin dengan nada khawatir.

“Mendadak sakit perut. Sepertinya tamu bulananku akan datang.” Dustaku.

Alin mengangguk tanpa curiga. Aku kembali duduk di sebelah Alin di bangku panjang.

“Kak, boleh aku menceritakan sesuatu padamu?” tanya Alin tiba-tiba.

“Biasanya kau selalu bercerita apapun.” Jawabku sambil mengulas senyum.

“Mungkin setelah menceritakan ini, Kakak akan benci padaku.” Ujar Alin dengan wajah tertunduk.

Aku mengerutkan kening tidak mengerti arah pembicaraan Alin.

Dia melirikku sesaat sebelum melanjutkan. “Aku istri kedua. Mungkin juga pantas disebut perebut suami orang.”

DEG.

Apa aku siap mendengarkan semua ini?

Pandanganku jatuh ke arah jemari Alin yang saling menggenggam. Dia terlihat gelisah dan cemas. Pasti butuh keberanian ekstra untuk menyampaikan hal ini.

Aku tidak tahu akan seberapa dalam lagi luka di hatiku. Tapi aku tidak sanggup menahan rasa penasaran.

Bagaimana mereka berjumpa?

Apakah ada rasa bersalah di hati suamiku ketika melakukannya untuk pertama kali?

Dengan tangan gemetar, aku meraih jemari Alin yang ternyata sangat dingin namun berkeringat.

“Apa kau butuh tempat bercerita? Kalau iya, aku siap mendengarkan.”

Alin mendongak menatap wajahku dengan raut terkejut. “Kakak tidak benci padaku setelah aku mengatakan itu?”

“Kenapa aku harus melakukannya?”

“Karena semua orang benci padaku.” Suara Alin bergetar.

Aku trenyuh mendengarnya. Selama ini dia terlihat sebagai wanita yang periang dan bersemangat. Tapi sekarang dia terlihat begitu hancur dan menahan kepedihan. Seperti raut wajahku ketika tidak sedang memasang topeng pura-pura baik-baik saja.

Kini air mataku menggenang. Entah karena apa. Mungkin untuk Alin yang terlihat begitu menderita. Atau mungkin juga untuk hatiku yang sudah koyak.

“Aku membuat kesalahan, Kak. Satu kesalahan yang berakibat fatal dan tak termaafkan.”

Semakin kuat genggamanku di tangan Alin.

Ya, kesalahan.

Katakan padaku siapa yang tidak pernah melakukan kesalahan?

Aku pun pernah melakukannya. Kesalahan yang menurutku tidak fatal. Tapi siapa yang bisa menebak hidup siapa yang hancur karena kesalahanku.

Berhakkah kita menghakimi seseorang karena sebuah kesalahan?

Pantaskah seseorang menjadi tokoh antagonis karena sebuah kesalahan?

Kalau begitu, kenapa manusia bisa memaafkan kesalahan fatal yang dilakukan Hawa? Padahal dialah yang merayu Adam agar memakan buah terlarang hingga manusia harus tinggal di bumi daripada di surga.

Tidak.

Tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan. Yang membuatnya berbeda hanya alasan kesalahan itu terjadi. Sengaja atau tidak?

Aku mengangkat dagu Alin lalu tersenyum lembut. “Ceritakan padaku apapun yang ingin kau ceritakan. Aku siap menjadi pendengar.”


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 6. Keputusan

30 Agustus 2018 in Vitamins Blog


“Ardian akan punya adik.”

Aku terdiam.

Rasanya seluruh tubuhku berubah menjadi patung yang sewaktu-waktu bisa hancur.

“Kak?”

Aku tersentak lalu segera memalingkan wajah agar Alin tidak melihat mataku yang berkaca-kaca.

Pedih.

Oh Tuhan, berapa lama lagi aku sanggup menahan siksaan ini?

“Kakak kenapa?” tanya Alan sambil menyentuh punggungku. Nada suaranya terdengar begitu khawatir.

“Ah, aku—aku sakit perut. Aku harus ke toilet sebentar.” Ucapku seraya berdiri lalu bergegas ke kamar mandi.

Di salah satu bilik toilet, air mataku tumpah. Aku menangis tanpa suara dan membiarkan saja air mataku mengalir.

Kalah.

Aku benar-benar sudah kalah.

Sementara aku tidak sanggup memberi seorang anak pun, sekarang Alin sudah mengandung anak keduanya.

Kini untuk pertama kalinya sejak aku mengetahui bahwa suamiku memiliki wanita lain, kata ‘perceraian’ melintas di benakku.

Apakah ini akhirnya?

Mungkin ini pertanda dari-Nya. Waktu bagiku untuk melepas suamiku dan membiarkan dia bahagia bersama Alin, wanita yang sanggup memberinya keturunan.

Aku duduk di atas kloset dengan jemari meremas dada.

Sanggupkah aku melepasnya dan sanggupkah dia melepasku?

Mungkin tidak.

Tapi harus.

Aku tidak bisa lagi berada di antara mereka. Mereka berhak bahagia. Ardian berhak bersama Papanya setiap hari. Alin juga berhak didampingi suami sepanjang kehamilannya.

Air mataku semakin deras ketika aku teringat masa-masa dulu. Ketika suamiku masih milikku seorang. Aku sering membayangkan akan semakin manja padanya begitu hamil. Aku akan menempel padanya tiap hari dan meminta banyak hal.

Tapi semua itu hanya bayangan.

Sebagai sesama wanita, aku bisa membayangkan bahwa Alin juga menginginkan hal yang sama.

Jadi, masih pantaskah aku bersikap egois dengan memaksa suamiku tetap di sampingku?

Tidak.

Aku tidak bisa membuatnya bahagia. Yang kulakukan hanya memberinya luka. Lagi dan lagi. Dan dengan tetap bertahan di sampingnya, luka yang akan kutimbulkan akan semakin parah dan sulit disembuhkan.

Karena itu aku harus segera pergi. Menyingkir dari kehidupan suamiku dan membiarkannya bahagia.


TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 5. Berita Bahagia??

30 Agustus 2018 in Vitamins Blog

 

Kue buatan Alin memang sangat lezat. Ada sedikit kepedihan dalam hatiku menyadari kenyataan itu. Lagi-lagi aku merasa kalah darinya.

Aku tidak bermaksud bersaing. Namun tanpa bisa dicegah, aku selalu membanding-bandingkan kami. Dan tiap kali aku menemukan kelebihan dalam dirinya, aku semakin terpuruk.

Aku pastilah wanita paling bodoh di dunia.

Rela berbagi meski itu menyakitkan.

Terus saja menjadi pengamat secara diam-diam meski itu menyakitkan.

Selalu membandingkan diri dalam segala hal, meski lagi-lagi itu menyakitkan.

Kadang aku berpikir, apa hidupku dulu terlalu bahagia sehingga sekarang kepedihan datang bertubi-tubi?

Tuhan Maha Adil, kan?

Dimana ada suka, pasti akan ada duka. Dimana ada tawa, pasti akan ada tangis.

Mungkin aku sudah menghabiskan jatah bahagiaku. Dan sekarang tinggal jatah sedihku yang masih tersisa.

“Kak Ira, ini untukmu.”

Aku tersenyum sambil menerima segelas jus buah yang disodorkan Alin. “Terima kasih.” Ucapku. Sekarang kami masih di Taman Kanak-kanak tempat Ardian belajar.

Alin hanya mengangguk lalu duduk di sebelahku di bangku panjang yang terletak beberapa meter dari kelas Ardian.

Ini bukan pertama kalinya aku ikut menemani Ardian ke sekolah. Bahkan beberapa kali aku sendirian yang menemani bocah itu. Biasanya setelah pulang sekolah, aku akan memanjakan Ardian. Membelikan mainan atau pakaian apapun yang Ardian inginkan. Dan sesampainya di rumah, Alin pasti mengeluh karena aku terlalu memanjakan Ardian.

“Pulang sekolah, kita ajak Ardian ke taman bermain dekat sini. Sepertinya ada arena permainan baru yang belum Ardian coba.” Usulku.

“Kak Ira, kau mulai memanjakan Ardian lagi.” Alin berdecak. “Kau sangat menyukai anak-anak. Seharusnya kau memiliki anak sendiri.”

Sakit.

Jantungku seperti diiris.

Tapi aku tahu Alin berkata demikian tidak bermaksud menyakitiku. Dia bahkan tidak tahu kehidupan rumah tanggaku yang kacau balau. Aku hanya pernah berkata bahwa aku sudah menikah tapi belum memiliki anak.

“Tapi Tuhan belum mempercayaiku untuk memiliki anak.” Jawabku santai untuk menyembunyikan sakit di hatiku.

“Atau mungkin kau kurang rajin melakukannya.” Goda Alin. Dia bermaksud bercanda. Namun tanpa dia sadari, kata-katanya makin menyakitiku.

Aku tidak menjawab dan berpura-pura sibuk mengaduk jus di gelasku.

“Ngomong-ngomong, aku punya berita bahagia dan Kak Ira adalah orang pertama yang kuberitahu.”

Aku kembali menatap Alin dengan penasaran. “Berita apa?”

Alin tersenyum lebar dengan wajah berbinar. “Ardian akan punya adik.”

———————-

TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband – 4. Kenangan

29 Agustus 2018 in Vitamins Blog

 

Suamiku berbohong.

Aku terlalu mencintainya dan terlalu mengenalnya hingga dengan mudah bisa mengetahui kenyataan itu.

Dengan jantung berdegup kencang, aku mengikutinya. Dia mengaku hendak melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Dan memang saat ini mobil yang dikendarai suamiku semakin mendekati perbatasan kota.

Aku pasti salah!

Kalimat itu kuulang-ulang dalam hati seperti mantra.

Baru saja memasuki pinggiran kota, mobil suamiku berbelok ke sebuah jalan menuju area perumahan yang baru dibangun.

Aku memarkir mobil di bawah pohon di seberang rumah mungil yang dituju suamiku. Begitu mobilnya berhenti di halaman rumah, seorang wanita dengan perut buncit keluar.

Jantungku serasa lepas lalu melompat dan menyumbat kerongkonganku ketika kulihat suamiku yang baru keluar mobil mendapat pelukan mesra dari wanita itu. Bahkan beberapa ciuman tampak menghujani wajah suamiku. Dari tempatku berada, aku bisa mendengar tawa geli yang khas terlontar dari bibir tipis suamiku.

Aku ingin sekali keluar. Mendatangi mereka lalu mencakar wajah suamiku dan menjambak rambut wanita selingkuhannya.

Namun niatku terhenti ketika pandanganku tertuju pada perut buncit wanita itu. Akhirnya dengan hati terluka berdarah-darah, aku hanya bisa melihat punggung mereka menghilang dari balik pintu rumah.

Selama bermenit-menit yang tidak sanggup lagi kuhitung, aku menangis tanpa suara. Lenganku dilipat di atas kemudi dan kepalaku terbenam di atasnya. Jemariku bergetar ketika mengelus perutku yang rata dan sepertinya tidak akan pernah bisa berisi.

Aku marah.

Aku kecewa.

Dan tentu saja aku cemburu.

Tapi di sini aku yang salah. Aku bukan perempuan sempurna. Jadi, bagaimana bisa aku menyalahkan suamiku?

***

Berminggu-minggu setelah itu, diam-diam aku selalu membuntuti suamiku dan wanita selingkuhannya, terutama ketika suamiku beralasan ke luar kota lagi. Sakit memang. Tapi aku mulai terbiasa dengan rasa sakit itu.

Katakan saja aku gila!

Aku sungguh tidak tahu apa yang kuharapkan. Aku hanya tidak suka meratapi nasib di rumah sambil mengira-ngira apa yang dilakukan suamiku bersama wanita itu.

Suatu hari, seperti biasa aku membuntuti wanita itu yang sedang berbelanja sendirian. Memang beberapa kali aku membuntutinya walau seorang diri sambil membanding-bandingkan diri kami.

Saat itu tanpa sengaja aku melihat seorang lelaki sedang mengawasi wanita itu. Walau wajahnya tertutup pinggiran topi, tapi aku bisa mengetahui dengan jelas lelaki itu mengincar tas wanita itu.

Aku yang semula bertekad tidak akan pernah menunjukkan diri, akhirnya memilih keluar dari persembunyian ketika melihat lelaki itu mulai mendekati si wanita.

Aku berteriak mengingatkan sambil menunjuk belakang wanita itu. Namun terlambat karena si lelaki sudah menarik tasnya. Alhasil, terjadilah aksi tarik-menarik di antara mereka berdua.

Kekhawatiran melingkupi diriku saat melihat perut buncit wanita itu. Ada anak suamiku di sana.

Dengan kesal aku melepas sepatu hak tinggi yang kugunakan lalu memukulkan dengan keras di punggung dan lengan lelaki itu yang masih berusaha merebut tas.

Lelaki itu tampak kewalahan dan  terlihat cemas ketika warga mulai berdatangan untuk membantu. Dengan panik dan menahan sakit akibat amukanku, lelaki itu mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur. Kepalaku sempat pening selama beberapa saat sampai kulihat wanita itu telah berlutut di sampingku dengan wajah berlinang air mata.

Itu adalah pemandangan terakhir yang kulihat sebelum semuanya gelap. 

***

Tanpa membuka mata, aku sudah tahu dimana diriku berada.

Rumah sakit.

Perlahan kuangkat kelopak mata dan mendapati wanita selingkuhan suamiku sedang duduk di kursi samping ranjang yang kutempati.

“Akhirnya Anda bangun juga.” Ucapnya dengan nada lega namun tidak berhasil menutupi kecemasannya. “Saya sangat berterima kasih. Tapi karena menolong saya, Anda jadi celaka.”

Aku tersenyum menenangkan. “Tidak masalah.” Sahutku lemah.

“Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?”

Dimana tasku?

Itu yang langsung kupikirkan karena didalamnya ada dompet lengkap dengan KTP, SIM dan lainnya. Terutama yang kukhawatirkan adalah ponselku yang menggunakan wallpaper fotoku dan suamiku.

Lalu aku teringat bahwa aku keluar mobil tanpa membawa apapun kecuali kunci mobil di saku rok dan beberapa lembar uang.

“Apa Anda bisa mengingat nama Anda?” wanita itu mulai terlihat panik.

Aku kembali tersenyum. “Panggil saja Ira.”

Sebenarnya nama panggilanku Miranda. Tapi aku tidak bisa memberitahukan nama itu. Cepat atau lambat, wanita itu pasti akan menceritakan kejadian ini pada suamiku.  

“Aku Alin. Sayangnya Anda tidak membawa apapun sehingga saya tidak bisa menghubungi keluarga Anda. Tapi Anda jangan khawatir. Suami saya sebentar lagi akan datang. Biar dia yang mengantar Anda pulang.”

DEG.

Aku menelan ludah dengan panik. Kupaksa diriku duduk dan mengabaikan protes Alin yang melarangku.

“Sebenarnya aku terburu-buru dan aku membawa mobil.” Ujarku sambil berusaha turun dari ranjang.

“Tapi—”

“Jangan khawatir. Aku baik-baik saja.” Lalu mataku beralih pada perut buncit Alin. “Apa bayimu baik-baik saja?”

Kerongkonganku tercekat ketika menanyakan itu. Tapi aku berusaha menguatkan diri.

“Iya, berkat Anda.” Alin tersenyum sambil membelai perutnya. “Setelah dia lahir nanti, aku akan mengajarinya memanggil Anda Bunda. Karena Anda adalah wanita yang telah membuatnya berhasil bertahan di dunia ini. Jadi, apa Anda bersedia berkunjung ke rumah kami?”

DEG.

Anak suamiku akan memanggilku Bunda?

Dengan mata berkaca-kaca, aku mengangguk. “Aku akan datang. Tapi tidak tahu kapan.”

“Tidak masalah. Aku akan menuliskan alamatku.” Alin keluar. Tak lama kemudian dia datang sambil membawa sobekan kertas. “Ini alamatku. Dan suamiku bilang sudah hampir sampai. Bagaimana kalau Anda menunggu sebentar?”

“Maaf, aku sungguh terburu-buru.” Jelasku sambil menerima kertas itu. Setelahnya aku segera pergi dan berdoa semoga tidak berpapasan dengan suamiku.

***

Begitu kelopaknya terangkat, bocah itu langsung menatapku lekat. Sedetik kemudian senyum lebar menghiasi bibir mungilnya lalu secara tiba-tiba dia bangkit dan mengalungkan lengannya di sekeliling leherku.

“Bunda!”

DEG.

Selalu seperti ini padahal sudah empat tahun berlalu sejak pertama kali Alin mengajarinya memanggilku Bunda. Namun jantungku tidak pernah berhenti berdebar kencang tiap kali bibir mungilnya memanggilku begitu.

———————-

TBC.

~~>> Aya Emily <<~~

DayNight
DayNight