Vitamins Blog

My Ghost – Bab 7

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register


32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Happy Reading!!

“Aku menginginkan dirimu. Seluruh dirimu. Baik hati, jiwa, dan—tubuhmu.”

Aku melongo mendengar ucapannya lalu tiba-tiba merasakan desakan untuk tertawa. Saat akhirnya kubiarkan tawaku lepas, kulihat dia mengerutkan kening, tampak tak mengerti alasan tawaku.

“Apa ada yang lucu?” tanyanya dengan nada jengkel.

“Sepertinya aku tidak menulis kalimat semacam itu dalam novelku,” kataku kemudian, masih dengan sisa tawa. “Darimana kau mempelajarinya? Jangan bilang dari Spongebob. Karena kalau iya, aku akan mengajukan keluhan film itu tidak pantas ditonton anak kecil.”

Matanya menyipit tajam. Sepertinya dia tersinggung. “Kau pikir aku bercanda?”

Mendadak senyumku berubah kecut dan aku bergerak tak nyaman dengan satu tangan meremas handle pintu. “Hmm, memangnya tidak?”

“Aku serius. Kalau kau tidak setuju, jangan sampai orang-orang itu masuk atau kumakan mereka.”

Mataku melebar. “Kau makan manusia?!” tanyaku dengan nada tinggi.

“Kadang-kadang.”

Seketika aku merengut melihat ada kilat geli di matanya. “Tidak lucu.”

“Kapan aku membuat lelucon?”

Aku berdehem, tahu jika dibiarkan pembicaraan ini tidak akan berujung ke manapun. “Jadi, bagaimana?

“Apanya?”

“Yah, tentang kesepakatan kita.”

“Permintaanku tidak akan berubah,” katanya dengan salah satu alis terangkat seraya menyandarkan punggung ke sofa. “Setuju atau tidak?”

“Kupikir kita teman,” kataku akhirnya. “Teman tidak akan meminta hal itu.”

“Kupikir kita lebih dari teman.” Dengan santai dia membalas ucapanku. “Mana ada teman sampai ciuman? Bukan hanya sekali, tapi sampai berkali-kali.”

Seketika wajahku memerah malu sekaligus kesal karena dia melemparkan fakta tak terbantahkan ke depan wajahku. Belum cukup sampai di situ, dia menunjuk pergelangan tangannya dengan gaya menyebalkan.

“Waktu terus berjalan. Kesempatanmu memilih semakin tipis. Setuju atau tidak?”

Apa seharusnya aku bilang ‘iya’ saja? Siapa tahu aku bisa membujuk mengganti permintaannya di lain waktu?

Dia terdengar mendesah dengan gaya berlebihan. “Kalau begitu kesepakatan batal. Aku tidak bisa membuat kesepakatan dengan orang yang tidak bisa memegang ucapannya. Begitu kau bilang ‘iya’, tidak ada jalan untuk mengatakan ‘tidak’ lagi.”

Sial! Aku lupa dia bisa membaca pikiran.

Dia mengangkat bahu. “Jadi?”

“Bagaimana kau bisa meminta hal itu pada seorang gadis tanpa menikahinya?”

“Kalau begitu kita akan menikah.”

Aku terbelalak. “Bagaimana cara kita menikah?”

“Tidak tahu.”

Lama-lama aku pasti akan gila berbicara padanya.

“Dengar,” katanya kemudian sambil menegakkan tubuh, fokus padaku. “kau itu mempersulit semuanya. Kalau kau tidak setuju dengan permintaanku, tinggal batalkan kesepakatan di antara kita. Tapi kalau kau bersikeras membiarkan orang-orang itu masuk ke dalam apartemen ini, maka kau harus menyetujui permintaanku,” tegasnya. “Kalau kau menginginkan sesuatu, Fira, kau harus mengorbankan hal lain. Jangan sampai aku menuduhmu egois karena kau menginginkanku berkorban membiarkan orang-orang itu memasuki tempat tinggalku tapi kau menolak untuk berkorban.”

Untuk pertama kalinya dia menyebut namaku. Dan entah bagaimana itu menimbulkan gejolak aneh dalam dadaku yang menjadi satu dengan rasa malu. Aku merasa ucapannya benar. Tapi di sisi lain aku tetap berpikir permintaannya berlebihan jika dibanding dengan permintaan sederhanaku.

“Ya, bagimu memang permintaanmu sederhana. Tapi bagiku kau sedang berusaha memintaku telanjang di depan orang banyak.”

Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depanku, begitu dekat hingga membuatku terpaksa mundur dan mendongak menatapnya namun punggungku terhalang daun pintu kamar yang masih tertutup.

“Ini tempatku, Fira. Kadang-kadang kau harus memahami arti peribahasa ‘di mana bumi kita pijak, di situ langit kita junjung’.”

Aku tertegun kehilangan kata. Mataku terpaku pada mata hitamnya. Lalu kepalanya bergerak semakin dekat, membuat hidung kami nyaris bersentuhan.

“Setuju atau tidak?” desaknya.

Selama beberapa detik aku membiarkan pertanyaannya tak terjawab. Hingga akhirnya kepalaku mengangguk, menyetujui pertanyaannya.

“Bagus,” katanya kemudian seraya menegakkan tubuh, memutus kedekatan kami sebelumnya. “Kalau begitu kita sepakat.”

Dia mengulurkan tangan. Sejenak aku hanya menatap tangan itu sebelum menjabatnya dengan enggan. Otakku masih berputar dengan berbagai macam pikiran. Apa iya aku akan menyerahkan diriku padanya hanya demi—

Aku memekik kaget saat tiba-tiba tanganku yang masih dalam genggamannya tersentak lalu aku tertarik ke arahnya hingga berakhir dalam pelukannya. Belum cukup sampai di situ, tiba-tiba bibirnya sudah menempel di bibirku dengan amat lembut.

“Jangan terlalu banyak berpikir,” gumamnya dengan bibir kami masih menempel, membuatku bisa merasakan gerak bibirnya. “Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu di luar kehendakmu.” Lalu dia menekan bibirnya dan mulai menciumku semakin dalam.

Akhirnya aku memejamkan mata, melepas semua rasa khawatir dari pikiranku akan masa depan dengan kesepakatan aneh ini, lalu menikmati ciumannya.

***

Ibu-ibu itu benar-benar datang pas pada waktu makan malam. Mereka mengetuk pintu dan saat aku membukanya, tampak ragu-ragu untuk masuk. Beruntung aku sudah menyalakan semua lampu dan membuka semua tirai jendela. Jika tidak, mungkin mereka semua akan langsung balik kanan melarikan diri.

“Ayo masuk,” ajakku dengan senyum merekah. “Oh, sini aku bantu bawa ini.”

Aku langsung mengambil alih keranjang piknik yang dibawa Dewi lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Kuletakkan keranjang itu di meja depan sofa yang biasa si hantu tempati dan begitu mengangkat kepala dari meja, aku tersentak kaget melihat ternyata si hantu duduk di sana sambil menatap keranjang piknik itu seolah penasaran apa isinya.

Aku terbelalak. Kupikir dia di kamar seperti yang kuminta tadi. Saat dia mendongak membalas tatapanku, aku melotot memperingatkan.

“Hmm, ada apa, Dek?”

Mendengar pertanyaan bernada takut itu, buru-buru aku menegakkan tubuh lalu berbalik menghadap ibu-ibu yang berjalan bergerombol ke dalam rumah. Mereka tampak seperti menempel satu sama lain, dengan sesekali melirik ke sekitar ruangan.

“Oh, tidak apa-apa,” kataku menjawab pertanyaan Vivi tadi lalu dengan segera memutar otak mencari alasan. “Tadi aku kaget karena merasa seperti melihat serangga di sofa. Tapi ternyata tidak ada. Maklum aku agak takut pada serangga.”

“Kau pikir aku serangga?”

Tentu aku mengabaikan pertanyaan bernada kesal itu dan tetap memusatkan perhatian pada tamu-tamuku yang ternyata berjumlah enam orang. Semuanya adalah ibu-ibu yang kutemui di lift.

“Oh, begitu.” Vivi manggut-manggut. Lalu dia berinisiatif meletakkan barang bawaannya juga dan segera diikuti yang lain.

“Apa ada yang perlu dimasak?” tanyaku.

“Tidak ada. Semuanya siap dimakan,” sahut seorang Ibu dengan rambut ikal yang dibiarkan tergerai. Aku lupa siapa namanya.

“Kalau begitu, langsung makan apa masih ada susunan acara tertentu?”

Mereka saling pandang mendengar pertanyaanku. Lalu seketika tawa mereka pecah. Padahal aku tidak merasa pertanyaanku lucu hingga aku hanya bisa tersenyum memamerkan gigi dengan ekspresi tak mengerti.

“Seperti rapat warga saja masih ada susunan acaranya,” kata Dewi dengan sisa tawa.

Lalu tiba-tiba dia menuju sofa dan menempatkan diri duduk di sudut sofa, membuat si hantu yang ternyata masih duduk nyaman di sana terbelalak hingga terpaksa buru-buru menyingkir berdiri di dekat tembok sebelum tubuhnya tertindih tubuh berisi Dewi.

“Aku sudah lapar,” kata Dewi. “Ayo makan. Tidak ada apapun di sini. Sama seperti apartemen lainnya.”

Yang lain mengangguk setuju dan segera mengambil tempat. Tapi sayang sofaku tidak bisa menampung mereka semua hingga ada yang memilih duduk di lantai.

“Maaf aku tidak punya kursi tambahan,” kataku dengan nada menyesal.

Vivi mengibaskan tangan tanda tak peduli. Dia termasuk yang duduk di lantai. “Tidak apa-apa. Kami sudah biasa makan bersama dan duduk lesehan. Apartemen kami sama seperti ini, sempit. Kecuali punya Bu Dewi. Dia tinggal di apartemen mewah di atas.”

“Oh ya?” tanyaku dengan nada tak percaya. Aku juga duduk di lantai samping Vivi. “Kukira gedung apartemen ini seluruhnya apartemen kelas menengah.”

“Gedung apartemen ini dibagi jadi dua bagian, Dek. Empat belas lantai ke bawah adalah apartemen kelas menengah. Lalu dari lantai di atas kita, apartemen mewah. Dan di bagian puncak gedung—apa itu namanya?” Vivi bertanya pada yang lain.

“Penthouse,” sahut Bu Dewi sambil membuka penutup makanan di meja.

“Ah, iya itu.”

“Katanya sih ditempati pemilik gedung apartemen ini,” si Ibu berambut ikal menambahkan.

Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan mereka. “Kupikir gedung apartemen ini seluruhnya untuk kelas menengah.”

Vivi menggeleng. Lalu dia beralih pada Dewi. “Bu Dewi, mungkin kapan-kapan kita bisa makan bersama di rumah Ibu. Dek Fira harus ikut.”

Dewi mengangguk. “Iya. Sudah lama kita tidak berkumpul di apartemenku.”

Suasana terasa begitu akrab. Kami mengobrol berbagai hal. Meski terkadang kuperhatikan sesekali mereka masih melirik kanan-kiri, seolah khawatir sesuatu yang janggal tiba-tiba muncul.

Sementara itu si Hantu tampak begitu tenang di sisi ruangan, memilih berdiri diam sambil menyandarkan punggung pada dinding.

Tiba-tiba Dewi berdiri sambil bergumam bahwa dia akan menyalakan tv. Dia melewati tempat sempit di mana si hantu bersandar hingga tubuhnya menembus tubuh si hantu.

Aku terbelalak. Tapi memilih tetap tenang, mengingatkan diri sendiri bahwa mereka tidak bisa melihat keberadaan si hantu. Namun Dewi membeku lalu menoleh ke belakang sambil menggosok lengannya pelan.

“Bu Dewi, ada apa?” tanya Ibu berambut ikal.

Aku menahan napas. Kini posisi Dewi tepat berhadapan dengan si hantu yang terlihat sedang marah karena tubuhnya dilewati tadi.

“Hmm, entahlah. Tadi aku merasa agak aneh saat melewati bagian sini.” Dewi menunjuk tepat ke dada si hantu.

“Aneh bagaimana?” tanya Vivi. Yang lain mulai bergeser merapatkan diri, terlihat gelisah sekarang.

“Terasa lebih dingin. Seperti hawa dingin dari kulkas saat kita baru membuka pintunya.”

Kali ini para ibu itu tidak menyembunyikan ketakutannya. Padahal makan malam belum mereka makan, tapi dari bahasa tubuh mereka, tampaknya mereka ingin segera keluar dari apartemen ini.

Tidak seperti yang lain, Vivi masih berusaha bersikap berani padahal aku juga bisa melihat sorot khawatir di matanya. “Ah, Bu Dewi ini bagaimana? Kan di atas situ ada AC, Bu.”

Bu Dewi melotot. “Kalau di bawah AC, apalagi posisi AC setinggi itu, bagian bawahnya tidak akan dapat semburan hawa dingin secara langsung.”

Buru-buru aku mengibaskan tangan. “Mungkin hanya perasaan Bu Dewi karena sedang takut. Kalian kan memang takut dengan apartemen ini karena rumor hantu itu.”

Sepertinya penjelasanku cukup bisa mereka terima. Mereka mengangguk setuju sementara Bu Dewi melanjutkan langkah menuju tv.

Dengan sorot mata dan pikiran, aku meminta hantu itu menyingkir dari sana. Sejenak dia melotot padaku dengan sikap keras kepala. Tapi akhirnya mengalah lalu menghilang. Saat Dewi kembali melewati tempatnya tadi, tidak ada apapun yang terjadi.

Tapi baru saja Dewi kembali duduk di sofa dengan tv menyala, mendadak lampu mati. Seketika keenam ibu itu berteriak keras lalu tanpa permisi berlari keluar dari apartemenku.

“Aaaaaa!!”

Suara mereka masih menggema dengan aku yang berdiri bingung di tengah ruangan, tidak tahu harus melakukan apa.

“Mereka kenapa?”

Suara dengan nada tak bersalah itu membuatku buru-buru berbalik. Meski dalam suasana gelap gulita, aku masih bisa melihatnya jelas karena permukaan tubuhnya bagai bercahaya.

“Kau yang kenapa? Kita sudah sepakat,” geramku.

“Memangnya apa yang kulakukan?” Sekarang dia berkacak pinggang.

“Memadamkan lampu.”

“Aku bukan pembangkit listrik. Tanya saja pada mereka kenapa lampunya mati.”

Aku mengerutkan kening. Apa ini padam yang normal? Maksudku—padam yang biasa terjadi. Bukan karena ulah hantu?

“Kau yakin tidak ikut campur?” tanyaku memastikan.

Terdengar dia menggeram marah. “Kalau kau berniat mencari alasan untuk membatalkan kesepakatan, kuperingatkan kau tidak akan berhasil, Fira.” Lalu dia menghilang.

Aku berkedip beberapa kali, masih berusaha menduga kira-kira dia berbohong atau tidak. Kemudian aku berseru keras, membela diri. “Aku sama sekali tidak berniat mencari alasan!”

Namun hening, tidak ada tanggapan.

***

Aya Emily



 

Aya Emily

HIDUP untuk MENULIS dan MENULIS untuk HIDUP

20 Komentar

  1. Penasaran” jangan lama2 up thor :menantiadegankiss

  2. Kyuuto Rizna menulis:

    thorr jgan lama2 up dong pliss,, lgi seru nih sma babang hantu😭😭😭

  3. Seru bnget,😍😍plise jangn lma up ya😘

  4. oviana safitri menulis:

    jangan lama2 up nya thor :kumenangismelepasmu lagi seru2 nya nihh

  5. etherealdeen menulis:

    WA UPDATE KAGET

  6. etherealdeen menulis:

    thanks kakkkk kangen bgtttt :kumenangismelepasmu

  7. Bruan thor up ya klamaan :DUKDUKDUK

  8. Kiara julian menulis:

    Ko blm up jga thor..

  9. kaaaangen aaa

  10. indana lazulfa menulis:

    :DUKDUKDUK

  11. indana lazulfa menulis:

    :sebarcinta

  12. etherealdeen menulis:

    semangat kak :DUKDUKDUK

  13. farahzamani5 menulis:

    Mas hantu salah terossss dah pokoknya 🤭

  14. Safliza Murdani menulis:

    😍😍😍

  15. So, hari ini aku baru tahu kalau My Ghost ini sudah publish sebagai e-book di Google Playbook guyysss~ :DUKDUKDUK

  16. Indah Narty menulis:

    Playbook??

  17. duh,,semakin penasaran nih thor :berikamiadegankiss! :berikamiadegankiss! :berikamiadegankiss!