****
Hanya dalam waktu sekejap saja, Tiara dan Norman telah berpindah tempat dari ruang kamar yang tak begitu luas tadinya hingga kini berakhir berdiri berdampingan di depan sepasang daun pintu gerbang bernuansa kayu oak yang menjulang tinggi, kokoh, dan megah. Gagang pintunya seperti cincin besi berdiameter sangat besar yang berlapis emas berkilau hingga silau matahari seperti berkilau dalam pantulan lengkungannya, dan terdapat lempengan besi yang menunjukkan gambar lambang yang asing bagi Tiara, namun Tiara tahu itu semacam lambang negara karena Tiara sangat yakin bahwa di balik pintu gerbang raksasa tersebut adalah tempat yang disebut Kota Thames.
Tiara terkesima bukan kepalang ketika mendapati di kanan dan kiri pintu gerbang tersebut terdapat patung berbaju zirah dari besi baja yang mengkilap dan besarnya tak kalah menjulang dari pintu gerbang yang terkesan sedang mereka jaga dengan seluruh jiwa raganya, terlihat dari cara mereka berdiri tegak dengan dagu yang terangkat angkuh, seolah mereka tengah menantang langit serta mereka terlihat menggenggam erat sebuah tongkat tombak yang berasal dari besi yang kokoh dengan ujung tombak seperti bilah pisau yang begitu tajam mengkilap. Tombak tersebut mereka silangkan di depan pintu gerbang dengan tegas, memberi tanda bahwa mereka takkan membiarkan sembarangan orang untuk masuk ke balik pintu gerbang tersebut.
Tiara menoleh ke arah Norman dan mendapati raut wajah Norman yang begitu terlihat santai dan menatap penuh percaya diri kepada dua patung raksasa di depan mereka. Sedikit mengernyitkan dahinya, Tiara mencoba mencari raut wajah kedua patung tersebut namun ia tak mendapati apapun kecuali ruang hampa gelap di dalam topeng baja bahkan tak ada sepasang sorot mata bisa dirasakannya. Menyadari hal itu, Norman segera melempar pertanyaan kepada Tiara dengan nada ringan, “Apa kau penasaran dengan wajah mereka?”
Tiara sedikit terkejut, ia terlalu serius mencari apa yang tak bisa ia temukan hingga pertanyaan Norman membuatnya tersadar dari kegiatannya yang terlalu fokus sendiri dan wajahnya segera menoleh ke arah wajah Norman dengan tatapan bingung karena pertanyaan sederhana dari Norman seperti angin lewat baginya, “Yaa?” katanya dengan nada penuh tanda tanya memastikan, bukan hanya tentang memastikan wajah di balik topeng melainkan juga ingin memastikan apakah Norman sedang bertanya sesuatu padanya? Tiara tak mendengarnya dengan baik karena terlalu sibuk sendiri.
“Apa kau penasaran dengan wajah mereka, Nona Manis?” ulang Norman lagi lebih perlahan mengucapkan pertanyaannya sembari tersenyum kecil karena merasa lucu dengan sikap yang sedang ditunjukkan Tiara. Seketika raut wajah Tiara merona malu karena menyadari bahwa rasa penasarannya tertangkap dengan gamblang oleh Norman hingga ia hanya dapat menjawab dengan tawa kecil yang terdengar canggung.
“Mereka tak punya wajah.” tukas Norman dengan singkat dan nada yang datar namun berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang menorehkan senyum ramah hingga sepasang matanya sampai sedikit menyipit karena terdesak oleh tulang pipi yang terkembang oleh senyumnya sendiri. Untuk sesaat Tiara seakan mendapat keyakinan diri bahwa Norman memiliki potensi sebagai psikopat yang manis tapi tetap berbahaya karena beberapa kali tak bisa memaknai dengan baik ketidaselarasan antara raut wajah, kata-kata, serta nada yang dibuat oleh Norman kepadanya.
“Mereka tak punya wajah karena mereka bukan manusia, bahkan mereka juga bukan patung, melainkan hanya ruang hampa yang dilingkupi oleh lempengan besi-besi baja berbentuk baju zirah, tak bernyawa namun mereka menjaga pintu gerbang Kota Thames dengan sepenuh hati.” terangnya.
Keheningan tercipta untuk beberapa saat karena Tiara masih menatap lekat secara bergantian kepada sepasang baju zirah tak bertuan yang berdiri di hadapannya sembari mencerna baik-baik penjelasan Norman.
“Oh, maksudku bukan sepenuh hati secara sebenarnya, tentu saja mereka selain tak bernyawa, juga tak punya hati.” tukas Norman lagi buru-buru memperbaiki penjelasannya yang baginya terkesan ambigu dan sama seperti sebelumnya, Norman mengatakannya dengan nada datar namun raut wajahnya terlalu ramah untuk kata-katanya sendiri.
Tiara tak ingin menanggapi Norman, ia memilih menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya dan seakan tahu dengan bahasa tubuh Tiara yang ingin segera beralih dari topik pembicaraan sepihak yang dilakukan Norman, maka tanpa aba-aba Norman menengadahkan wajahnya dan menatap lurus ke depan sembari berkata dengan tegas, “Bukalah!”.
Mendengar perintah Norman, seketika saja para penjaga pintu gerbang langsung mengangkat tongkat tombak yang mereka silangkan dengan kokoh di depan pintu hingga menciptakan suara desau tajam yang membelah udara hampa, lalu berujung dengan dentuman keras menghentak bumi yang berasal dari dasar ujung tongkat yang ditancapkan ke samping para penjaga. Tiara melangkahkan kakinya mundur beberapa langkah kecil karena terkejut tak siap dengan suara-suara yang tercipta. Angin berhembus lembut di wajah Tiara ketika pintu gerbang mulai terbuka perlahan, sangat pelan dan menciptakan derit-derit yang terdengar berat. Degup jantung Tiara berdetak kencang memenuhi seluruh aliran pembuluh darah di tubuhnya, menanti dengan harap-harap cemas atas apa yang akan tersaji di depan matanya. Ia sudah cukup banyak melihat keanehan sejak ia datang di sebuah taman kosong yang dinamai sebagai Taman Rosetta sehingga ia tak berani lancang berpikir bahwa Kota Thames adalah kota biasa yang sama seperti kota-kota modern yang ada di dunia yang ia kenal.
Apa yang ada di depan sana?
Sembari menanti pintu gerbang terbuka lebar, Tiara hanya bisa berkali-kali menelan ludahnya sendiri dan bola matanya membulat penuh dengan binar-binar tak sabar menanti pemandangan kota seperti apa yang akan tersaji di hadapannya. Norman sendiri terlihat menahan senyumnya karena merasa ekspresi wajah Tiara saat ini begitu menggemaskan.
“Selamat datang di Kota Thames, Nona Manis.” sambut Norman dengan menawarkan tangannya untuk disambut oleh Tiara ketika pintu gerbang telah terbuka sempurna dan gemerisik derap langkah yang berima teratur serta suara-suara manusia saling berbicara sayup-sayup mulai menelusup di telinga Tiara. Ada hiruk pikuk manusia di depan sana.
Norman masih menengadahkan telapak tangannya untuk menanti Tiara menyambutnya. Senyumnya yang manis juga turut menyambut dan menunggu Tiara. Setelah beberapa saat dikuasai oleh rasa takjub akan apa yang telah dilihatnya, Tiara tanpa ragu menyambut tangan Norman sebagai tanda setuju untuk melangkah lebih jauh ke dalam Kota Thames.
“Terima kasih, Norman.” ucap Tiara dengan senyumnya yang sumringah setelah menggenggam erat tangan Norman dengan penuh semangat.
Norman menggeleng cepat dan mendekatkan pucuk bibirnya ke daun telinga Tiara seraya berbisik manis, “Oh, masih terlalu cepat untuk berterima kasih.”
Tanpa aba-aba, Norman menarik genggaman tangannya hingga tubuh Tiara terhuyung sedikit karena mendadak harus mengiringi langkah Norman. “Ayo, mari berpetualang.” ucapnya dengan wajah jenaka dan mengedipkan sebelah matanya kepada Tiara. Tiara lantas hanya patuh menerima ajakan Norman dengan wajah bersemu merah. Pipinya yang membulat penuh karena senyumnya yang begitu sumringah, bagai tomat segar yang siap panen.
****
Keramaian serupa pasar tradisional yang pernah Tiara kunjungi di dunianya sendiri, dipenuhi deret-deret tenda berwarna-warni yang di bawahnya bernaung para pedagang dengan berbagai dagangan unik dan asing. Hiruk pikuk manusia dengan pakaian dari kain-kain lusuh bagai jubah berbahan pintalan bulu-bulu domba kotor yang semuanya menggunakan tudung seolah-olah tak ingin menampakkan wajahnya terlihat menyebar di segala arah. Mereka seolah sedang mengawasi manusia-manusia lainnya yang berpenampilan lebih santai dengan pakaian kain-kain tipis berwarna-warni, yang sibuk bertransaksi jual beli tanpa terganggu sedikitpun dengan sekelompok manusia-manusia berjubah kumal tersebut. Memperhatikan hal tersebut membuat Tiara tak bisa menyembunyikan kernyit tipis di keningnya lantaran keheranan.
“Mereka tidak berbahaya, hanya para kaum penyihir yang tak suka tampil mencolok dan bertugas menjaga para manusia.” terang Norman sembari tetap melangkah santai membawa Tiara menyusuri jalan-jalan setapak.
“Tak ingin tampil mencolok? Bukankah malah sebaliknya mereka semua terlihat mencolok dengan jubah dekil itu?” pikir Tiara.
Belum sempat terlalu hanyut oleh rasa heran yang menggelayuti, Tiara terdistraksi oleh anak laki-laki yang berdiri di salah satu kotak kayu dengan penuh percaya diri dan tersenyum lebar hingga menampakkan baris-baris giginya yang tak utuh di bagian depan, membuat Tiara terkekeh. Suara anak laki-laki itu melengking tinggi begitu dipenuhi kobaran semangat meneriakkan dagangannya, padahal tubuhnya terlihat rapuh dan kurus kering yang hanya terbalut oleh kaos putih tipis tanpa lengan.
“Tuan! Tuan! Belilah batu permata kami!” teriaknya tiba-tiba mendapati Tiara dan Norman sedang berdiri di kejauhan dan tengah memperhatikannya. Buru-buru ia mengambil kotak berisi deretan permata berwarna-warni lalu tergopoh-gopoh mendekat dengan semangat yang tak tertinggal, binar matanya sangat jelas dipenuhi keyakinan bahwa ia menemukan pembeli yang tepat. Tentu saja hanya melihat dari penampilan Norman saja, anak laki-laki itu tahu, Norman tampak seperti seorang calon pembeli yang bisa membeli seluruh permata di dalam kotak yang ia genggam.
“Tuan! Tuan! Belilah batu permata kami!” ulangnya lagi dengan nada masih berteriak penuh semangat. Ia membuka kotak permatanya dan menunjukkan dengan berapi-api kepada Norman dan Tiara. Kotak berlapis kain beludru berwarna hitam mengkilap, ketika dibuka terdapat alas kain satin berwarna emas menyala yang di dalamnya terdapat berderet-deret permata sebanyak dua belas permata.
kalung yang sedang Nona kenakan dan- Wow! kalung nona sangat aneh!”
Alih-alih melanjutkan kalimat penawarannya, anak laki-laki itu terkesiap melihat kilau bandul Ratnaraj milik Tiara. Tentu saja hal itu wajar, kilat dari Ratnaraj yang berwarna merah delima dengan kilau yang mistis sangatlah berbeda dari sekian banyak batu permata yang selalu dilihatnya dalam kotak-kotak dagangannya sendiri. Lagipula seumur hidupnya, Ia tak pernah melihat dan menemukan batu permata berwarna merah sebab konon katanya batu permata merah hanya ada tiga di Kota Thames dan merupakan batu permata yang sangat terkutuk. Ada kalanya saat menjelang waktunya tidur dan ia sedikit tak patuh untuk segera berangkat tidur, Ibunya yang saat ini sedang berada di rumah dan memasak makanan yang ia sukai sembari menunggu suami dan anaknya pulang dari berdagang permata selalu menceritakan tentang batu permata merah terkutuk yang kutukannya akan menghantui anak-anak yang tak menuruti perintah orang tua di malam hari. Seringkali anak tersebut hanya menganggap cerita tersebut hanya dongeng untuk menakutinya, hanya saja terkadang ia terganggu dengan kenyataan bahwa ia tak pernah melihat sekalipun batu permata berwarna merah di kotak dagangan orang tuanya bahkan di kotak-kotak dagangan milik orang lain yang berjualan berdampingan dengan tenda-tenda mereka.
Apakah mungkin cerita ibunya memang benar?
“Wow! Nona memiliki kalung yang aneh! Permatanya berwarna merah menyala!” teriaknya lagi dengan nada melengking yang khas nyaris mencuri perhatian beberapa orang yang berada di sekitar mereka.
Tiara segera menggenggam erat bandul permata miliknya. Instingnya seakan memberitahunya bahwa ia harus segera menepi dari kerumunan dan tidak menarik perhatian. Bergeming dengan detak jantung yang seakan terhenti sesaat membuat Tiara tak menyadari bahwa Norman pun sedang bersikap waspada dan segera menarik Tiara menjauhi kerumunan. “Nona Manis, ayo pergi.” bisiknya lembut dan segera membawa Tiara menjauhi tempat itu.
Derap langkah mereka berdua lambat laun semakin cepat, Tiara membiarkan dirinya melangkah dengan patuh mengikuti Norman. Dengan ragu Tiara menoleh ke belakang dan mendapati anak laki-laki yang kini berada jauh di balik punggungnya masih berdiri mematung terbujur kaku dengan pandangan yang begitu lekat kepadanya. Mulutnya ternganga dengan raut wajah polos tak percaya. Baris-baris giginya yang tak utuh tak lagi terasa lucu, malah membuat Tiara sedikit takut.
“Kenapa? Kenapa ia memandangku seperti itu?” pekik Tiara dalam hatinya.
Tiara mendapati manusia-manusia lainnya masih menyibukkan diri mereka dengan transaksi jual beli yang seakan abai dengan yang baru saja terjadi antara Tiara dan anak laki-laki tersebut, padahal tadi mereka semua tersentak sepersekian detik, kecuali para manusia-manusia berjubah, Tiara mendapati tatapan mereka yang tersembunyi di balik tudung, sudut-sudut mata mereka sedang menatap tajam ke arah Tiara, namun mereka tak ada yang mengejar Tiara dan Norman.
“Permisi, Nona Manis, ada tempat yang sebaiknya segera kita kunjungi.”
Norman menghela tubuh Tiara ke dalam pelukannya, membuat mereka berdua menyaru dengan cahaya yang tiba-tiba muncul dari jentikkan jemari Norman. Mereka lenyap dari tempat itu dalam sekejap.
****
Keseimbangan Tiara sedikit terdistorsi ketika Norman telah membawanya ke sebuah dataran dengan hamparan rumput hijau subur yang lapang dan sejuk. Mereka berada di area perbukitan dengan deru angin yang berbisik tapi berisik di kedua gendang telinga Tiara. Norman sendiri tiba-tiba dengan acuh merebahkan tubuhnya di hamparan rumput sembari tersenyum puas.
“Ahh, aku tak begitu suka keramaian, berbaringlah Tiara, cuaca sejuk seperti ini pantas untuk dinikmati.”
“Haa?” Tiara tak bisa menahan mulutnya untuk tak membuka lebar dan dipenuhi kebingungan.
Untuk sesaat Tiara teringat pertemuan pertamanya di halaman belakang rumah saat berada di makam Bibi Meredith. Tiara nyaris lupa Norman ini sangat aneh! Belum lenyap seutuhnya seluruh rasa cemas yang baru saja melingkupi Tiara, tapi Norman bersikap seakan tak ada masalah, lantas berbaring dengan santai?
Rasa kesal menggelayuti hati Tiara, bibirnya mengerucut dan timbul hasratnya untuk melangkah pergi meninggalkan Norman yang aneh itu. Meski ia menyadari bahwa sejauh mata memandang hanya ada hamparan rumput dikelilingi pohon-pohon tinggi menjulang bagai pagar alam yang membatasi area perbukitan yang luas itu, Tiara dengan egonya yang kambuh menghentakkan kakinya dengan kasar dan derap langkah tergesa mulai menjadi kawan dalam perjalanannya yang tanpa tujuan.
Baru beberapa langkah menjauh dari tubuh Norman yang berbaring, Tiara segera berbalik dan buru-buru menghampiri Norman yang terlihat abai dengan kepergian Tiara.
“Hei, Tuan Muda!” celetuk Tiara yang membuat Norman yang sedang memejamkan mata dengan wajah damai perlahan membuka sebelah matanya dan melirik ke arah Tiara, “Yaa, Nona Manis?”
Tiara berkacak pinggang dan berdecak kesal, Ia ingin Norman segera berdiri dan peka untuk membawanya pergi dari tempat itu.
“Aku tak suka di sini!” celetuknya.
“Apa kau suka berada di kerumunan tadi dan menikmati tatapan semua orang yang tak ramah kepadamu?” ucap Norman dengan santai tanpa memperhitungkan perasaan Tiara yang tersinggung.
“Kau mau kembali ke sana?” timpalnya lagi.
Tiara terdiam sejenak, menimbang-nimbang di bawah emosi yang berkecamuk, jawaban apa yang sebaiknya ia lontarkan kepada Norman.
Belum sempat Tiara menemukan deretan kata-kata yang tepat untuk mewakili emosinya yang ingin bebas meluap, angin kencang berhembus sederas aliran darahnya yang tiba-tiba terasa mengaliri tubuhnya hingga memberi sensasi kewaspadaan si tengkuknya yang jenjang, ada bahaya melingkupi mereka berdua.
Norman terhenyak, ia sangat kenal aroma anyir yang segera semerbak merajai indera penciumannya. Udara yang tadinya sejuk berubah dingin menusuk bagai kehampaan yang tak bernyawa. Langit yang menaungi mereka berubah gelap gulita seakan malam hari tiba tanpa aba-aba.
Puluhan manusia bertopeng putih polos dengan tubuh berbalut kain hitam yang memenuhi dengan sempurna bagai boneka berdiri mengelilingi mereka. Tiara tersengal, dadanya sesak hingga ia ingin meremas jantungnya sendiri. Tubuhnya merinding ketakutan hingga memaksanya untuk berlutut tanpa daya.
Norman yang segera bangkit dari pembaringannya tanpa mempedulikan seluruh boneka bertopeng yang bergeming mengelilingi mereka segera berlutut dihadapan Tiara karena lebih mengkhawatirkan keadaan Tiara yang nampak menahan sakit. “Tiara! Tiara!” pekiknya.
Tak ada jawaban, satu patah katapun tak bisa Tiara utarakan. Tiara terus tersengal dengan sekelibat kenangan yang mulai berputar sepenggal demi sepenggal di ingatannya. Dari sekian banyak rasa takut yang mungkin bisa terjadi saat ini, Tiara tak mengerti mengapa harus topeng-topeng putih itu? Topeng-topeng yang menatapnya penuh penghakiman dan menelanjangi seluruh tubuhnya.
Tanpa memberi kesempatan kepada Tiara untuk menenangkan diri, boneka-boneka bertopeng itu mulai maju mendekat perlahan dengan menguarkan hawa yang mengintimidasi. Tanpa pikir panjang Norman segera berdiri waspada dan bersiap melindungi Tiara dengan segala jentik sihir yang dimilikinya.
Cepat, semua berputar cepat dari sudut matanya, keringat dingin terus membasahi tubuhnya hingga menggigil sembari tetap bertumpu pada kedua lututnya. Tangannya masih terus meremas dadanya sendiri dengan susah payah. Tiara tak dapat menghitung berapa banyak detik yang berlalu sejak Norman mulai melawan semua boneka-boneka bertopeng yang tak ada habisnya. Norman berusaha keras membangun parameter agar tak ada yang bisa mendekati Tiara, namun Tiara tak bisa menenangkan dirinya sendiri, bahkan sorot matannya mulai kosong karena kelelahan. Ia semakin merasa payah ketika mencari sosok Norman yang bergerak bagai cahaya kesana kemari namun tertangkap oleh matanya mulai kepayahan.
“Norman.” rintihnya diujung lelah yang mulai tak dapat ditahannya lagi, Tiara merasa ia akan sampai pada hilangnya kesadarannya.
Tiara seorang calon dokter, setidaknya sebelum ia muncul di Taman Rosetta itu pada malam itu, ia tengah menunaikan tugasnya menghadapi ujian sebagai seorang yang layak disebut ahli dalam bidang kesehatan, ia tahu batas tubuhnya, ia juga sangat tahu apa yang sedang oa derita sejak dulu kala, ia akan hilang kesadaran dalam waktu beberapa saat lagi, peluhnya bersimbah membasahi pelipisnya, sebelum ia berpasrah dengan keadaannya, ia ingin melihat sosok Norman sekali lagi, dan ketika melihat sosok Norman yang mulai tertahan oleh beberapa boneka-boneka tersebut bagai kunang-kunang yang tertangkap oleh telapak tangan hingga cahayanya meredup menuju kematian.
****
Rasa benci terhadap dirinya sendiri mulai menguasainya. Tiara benci dirinya yang menjadi beban untuk orang lain. Melihat Norman bertekuk lutut di hadapannya dengan nafas yang terengah-engah dengan kedua tangan terlentang ke belakang dengan kuncian yang kuat oleh para boneka bertopeng di sisi kanan kirinya namun pandangannya tetap tajam meyakinkan Tiara bahwa ia takkan berhenti melindungi Tiara sampai akhir, membuat perasaan Tiara begitu murka.
Langit di atas mereka yang begitu kelam tiba-tiba dipenuhi gemuruh yang menderu bersahut-sahutan hingga membuat para boneka bertopeng tersentak begitupun Norman. Itu adalah pertanda dari suasana mencekam yang tak biasa, bahkan Norman yang terbiasa dengan berbagai hawa menusuk yang berbeda-beda selama hidupnya menyadari saat itu ada sebuah energi terkutuk yang begitu asing dan mistis. Bola matanya yang berwarna hijau zamrud terbelalak dengan apa yang ada di hadapannya saat ini, para boneka bertopeng yang menahan kedua tangannya pun tanpa sadar mengendorkan pegangannya. Seluruh tatapan mereka tertuju pada satu sosok di tengah-tengah mereka, Tiara.
Gemuruh di atas langit bersahut-sahutan dengan semakin liar, petir menyambar dengan kilat bernuansa kemerahan yang membabi buta seperti teror bagi semua yang sedang menapak di tanah lapang tersebut. Bandul permata Ratnaraj milik Tiara memancarkan cahaya yang begitu terang hingga terasa bagai sinar merah darah yang menyengat, menyaru pada wajah Tiara hingga sepasang bola matanya yang berwarna amber telah menjelma menjadi sepasang mata berwarna merah terang nan bengis persis seperti sebelah mata milik Wildan dan Wilona tapi ini bersinar penuh di kedua matanya.
“Tiara….” ucap Norman lirih dipenuhi rasa takjub dan takut secara bersamaan.
Tiara perlahan berdiri dari posisinya yang bertekuk lutut dengan sangat kesulitan lantaran menahan sesak di dadanya. Ia berdiri tegak dengan angkuh seolah sosoknya yang begitu lemah sebelumnya telah lenyap entah kemana. Tatapannya nyalang, menyisir sekelilingnya dengan tatapan penuh penghakiman bahkan melihat Norman seperti sosok asing yang tak masuk dalam hitungannya.
Para boneka bertopeng tak bernyawa itu dilingkupi ketakutan hingga mereka yang tadinya bergeming mulai melangkah mundur dalam hitungan satu dua langkah seakan tak ingin menjadi sasaran kebengisan Tiara yang terlihat jelas siap membunuh siapapun di hadapannya. Tubuh Tiara dipenuhi aura halus berwarna merah terang yang menguar dari dalam tubuhnya seperti anak-anak api yang sedang berarak-arak di lapisan kulitnya yang mulus. Kilat petir kemerahan yang berputar-putar bagai teror yang mengawasi di atas langit berkumpul dan menarik garis dari ujung langit hingga berlabuh di dalam kedua genggaman Tiara yang menyambut dengan seringai penuh arti. Seketika saja seluruh kilat di atas sana lenyap seolah terserap ke dalam seluruh telapak tangan Tiara hingga menyisakan arus-arus kecil yang berputar-putar di seluruh sela jemarinya.
Dari bawah tanah yang dipijaknya seakan ada arus hawa panas berwarna kemerahan melesak ke permukaan dan terserap di kedua telapak kakinya yang perlahan membuat tubuh Tiara terangkat melayang beberapa jengkal dari tanah. Langit dan bumi tengah menyambut sosok Tiara dengan suka cita, sebuah kebangkitan yang telah lama dinanti-nantikan.
Suara Tiara terdengar lirih namun tegas menggema memecah kesunyian dengan pengucapannya yang dipenuhi jeda dalam setiap penggal kata yang keluar dari mulutnya dan dihiasi seringai yang jauh lebih buruk dari seringai serigala yang tengah melolong di bawah rembulan pada malam hari.
“Dunia ini adalah aku. Aku adalah dunia ini. Tidak ada pengampunan bagi mereka yang tak pantas tinggal di dalamnya.”
Kemudian sosok Tiara telah menjelma bagai bola sinar merah terang yang haus nyawa dengan hasrat membunuh yang begitu nyata. Secepat kilat menyambar satu persatu puluhan boneka bertopeng di beberapa barisan paling depan, tertangkap oleh mata Norman dengan tatapan tak percaya bahwa Tiara bergerak ke sana ke mari dengan sangat lincah dan kedua tangannya dengan ayunan ringan menembus sisi sebelah kanan dada para boneka bertopeng dan dengan sangat pasti menyadari ada sebutir batu magis yang bersemayam dalam setiap tubuh para boneka. Setiap Tiara merenggutnya, ia meremukkannya hingga menjadi butiran debu yang kemudian lenyap terbawa angin tanpa sisa lantas diikuti oleh tubuh boneka bertopeng itu segera retak menjadi kepingan-kepingan kecil yang terbakar membara, lalu meresap ke dasar tanah tanpa jejak sekalipun seakan tak pernah ada. Lenyap begitu saja di telan bumi.
Berapa kalipun Tiara melakukannya, tak ada sedikitpun jeda dalam gerakannya, bahkan semakin lama Tiara semakin beringas tak terkendali, ia melakukannya dengan suka cita penuh perayaan. Tatapannya begitu menghakimi dan merendahkan kepada seluruh boneka bertopeng yang berdiri mematung tak punya kesempatan bergerak apalagi untuk melindungi diri.
Masih terngiang-ngiang di kepala Norman yang terus memperhatikan Tiara yang telah menjadi sosok yang begitu asing. Ia teringat suara Tiara yang mengucapkan kata-katanya yang menggema lebih menakutkan dari gemuruh yang menggelegar di langit.
“Dunia ini adalah aku. Aku adalah dunia ini. Tidak ada pengampunan bagi mereka yang tak pantas tinggal di dalamnya.”
Norman masih bertekuk lutut meski tak ada lagi boneka bertopeng yang menahan kedua tangannya dan dirinya kini diliputi kecemasan hingga tanpa sadar menggantungkan harapan pada takdir alam semesta bahwa ia takkan menjadi satu dari sekian banyak boneka bertopeng milik Paman Marvin yang bernasib sial saat ini.
Inikah jiwa yang bersemayam di balik Ratnaraj sesungguhnya? Jiwa terkutuk yang kejam dan bengis.
****
Bersambung~
With Love,
ROSETTA
Sosok itu seperti wujud di video klip lagu Royalty. Tinggi Besar nyaris seperti raksasa, jubah bertudung dan membawa tongkat sabit panjang yang amat sangat runcing.