Vitamins Blog

Pinkie Promise: 6. Dejavu

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

****

10 tahun kemudian….

“Tap, tap, tap, tap!”

Derap langkah kaki jenjang milik Tiara terdengar mengetuk ubin lantai secara bergantian dengan cepat. Di sepanjang koridor yang sepi, suara ketukan dari hak sepatu setinggi lima senti pada alas kaki Tiara yang berwarna hitam legam dan mengkilap terdengar menggema dan mengudara bebas tanpa distraksi dari suara-suara lainnya, kecuali keheningan.

Perempuan itu tengah terburu-buru, sangat tergesa karena sedang berusaha secepat mungkin dan penuh harap mampu menggapai panel pintu sebuah ruangan tepat waktu untuk membukanya, tidak terlambat. Sebuah ruangan yang di dalamnya telah dipenuhi tidak lebih dari lima sosok manusia lanjut usia yang menunggu tanpa kesabaran yang bisa diajak berdamai bila Tiara terlambat barang sedetik saja. Hidup mereka sudah terlalu dipenuhi kejenuhan lantaran usia yang senja, sehingga kegiatan menunggu adalah hal yang tak mampu ditolerir lagi. Terlebih mengingat kasta mereka sebagai dosen-dosen senior, terlalu tinggi untuk sekedar berbaik hati memberi waktu mereka yang berharga kepada seorang mahasiswi biasa seperti Tiara yang begitu berani menyodorkan dirinya untuk ujian skripsi tunggal. Hanya dia sendiri, tanpa rekan-rekan senasib seperjuangan untuk ikut meramaikan momen penting tersebut.

Yaa, Tiara. Gadis berusia 23 tahun itu tengah berada pada penentuan nasibnya sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir yang telah selesai berjuang menciptakan sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang menjadi tolak ukur kelayakannya untuk menyandang gelar sarjana.

Keberuntungan memang selalu berpihak pada Tiara. Meski tadinya ia harus berlomba dengan waktu, sebab meskipun ia sudah menyiapkan segalanya, ia terlupa kelengkapan berkas sepele yang memaksanya untuk izin sejenak keluar dari ruangan. Pada akhirnya Tiara mampu kembali tepat waktu dan setelahnya semua yang terjadi di dalam ruangan berjalan mulus hingga akhir tanpa cela sedikitpun. Tiara yang tampil menggunakan dress terusan selutut berwarna peach dengan nuansa pastel nan lembut yang mengintip dari balik jas almamater berwarna putih tulang yang dikenakannya, menambah kesan anggun pada diri Tiara yang memiliki rambut hitam lurus kecokelatan dengan ujung surainya hampir mencapai batas pinggangnya dan sengaja ia gerai polos tanpa hiasan apapun untuk mengesankan penampilan yang sederhana dan elegan. Penampilan yang mencerminkan pribadi Tiara seutuhnya.

Selesai, satu kewajiban telah terlaksana.

Setelah beramah tamah ala kadarnya  dan selesai membereskan sisa-sisa kegiatan sidang skripsi hingga ruangan yang dipakainya kembali rapi seperti sedia kala, kini Tiara hanya ingin segera pulang. Hari juga sudah malam, hitam pekat telah menyelimuti bentangan langit yang membuat Tiara rindu rumah agar ia bisa menata hatinya yang masih menyisakan degupan tak terkendali saat tampil di depan para dosen serta melepas penat dari tubuh yang sudah sangat memberontak mengingat berhari-hari ia menguras energinya terlalu banyak untuk mempersiapkan diri menghadapi sidang skripsinya hari ini.

Ah, aku rindu kamarku!

Tiara melepas jas almamaternya dan mengampitnya pada lengan kanannya kemudian kini melangkahkan kakinya dengan semangat untuk menuju lahan parkir tempat ia memarkir mobilnya. Lahan parkir berada di seberang gedung di mana Tiara tengah berada. Terdapat jalan raya yang membelah area keduanya di mana jalan tersebut seringkali ramai dengan kendaraan mahasiswa yang lalu lalang.

Baru saja Tiara hendak melangkahkan kakinya untuk menyeberangi jalan, langkah Tiara terhenti dan perhatiannya tertuju pada seekor kucing hitam kecil yang terlihat linglung dan berada hampir mendekati area tengah jalan yang tak berada jauh dari dirinya. Kucing kecil malang yang berdiri dengan susah payah hanya untuk sekedar bertumpu pada keempat kaki mungilnya hingga menunjukkan tubuh gemetar halus, membuat hati luluh ketika melihatnya, “Ya ampun, kucing itu bisa saja tertabrak kendaraan kalau tetap berada disitu, warna hitamnya nyaris serupa malam,” gumam Tiara lalu buru-buru mendekat untuk memindahkan kucing tersebut.

Kucing itu mungkin tidak berada tepat di tengah jalan, namun kesialan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, bukan?

Terlebih lagi bukan hal baru, di jalan itu, seringkali terdapat beberapa mahasiswa yang merasa keren ketika mengendarai motor-motor besar yang mereka miliki. Mereka secara tak tahu diri melesat dengan kecepatan tinggi seolah jalan tersebut diciptakan hanya untuk mereka saja. Tiara tak bisa membayangkan bagaimana nasib kucing tersebut bila tertabrak salah satu dari mereka yang Tiara yakini bahkan jika mereka menyadari kehadiran sosok kucing kecil tersebut, kemungkinan terlambat untuk menghentikan kuda besi yang mereka banggakan pastinya sangat besar.

Kadang semesta terkesan tidak adil atau naas yang digariskan untuk suatu makhluk menular pada makhluk lainnya yang mencoba peduli.

Baru saja Tiara selesai berjingkat perlahan untuk kemudian berjongkok agar dapat menggendong kucing kecil malang tersebut, salah satu kuda besi yang sudah ada dalam kekhawatiran Tiara sebelumnya melesat tajam ke arahnya, sangat dekat hingga Tiara hanya bisa memeluk kucing malang dalam dekapannya tersebut sembari memejamkan matanya erat-erat. Sebuah usaha konyol yang seakan dipercaya Tiara secara ajaib mampu menolong situasinya saat itu, terhindar dari marabahaya hanya dengan menutup mata!

“KYAAAA!!!” hanya teriakan melengking tercekat yang mampu dilakukan Tiara dengan tubuh yang tak dapat bergerak sedikitpun, mematung bagai batu.

Tubuh Tiara terasa melayang, tidak merasa sakit, hanya merasa seakan jiwa raganya tertarik oleh suatu daya tarik yang dalam sekejap saja membuat tubuhnya melesak pada suasana yang asing menyapa indera peraba miliknya.

Apa aku tertabrak?

Tidak sakit.

Apa aku baik-baik saja?

 

Tanda tanya besar berkecamuk dalam diri Tiara yang masih mempertahankan kedua mata hazelnya untuk tetap terpejam. Hening, tidak ada satu suarapun yang tertangkap oleh kedua telinga Tiara. Tiara takut untuk membuka mata dan memastikan kenyataan yang tengah ia hadapi saat ini.

“Wanita, bisa engkau berdiri?”

Suara berat seorang pria yang terasa dekat di tengkuknya membuat Tiara terperanjat hingga ia dengan cepat membuka matanya dan terbelalak.

Tiara segera berdiri dengan sigap dan mendapati pemandangan yang begitu asing tersaji di depan matanya.

Tempat apa ini?

Pekat malam yang sama seperti terakhir kali Tiara berada dalam kesadarannya sepenuhnya sebelum menutup rapat-rapat pelupuk matanya, namun hawa di tempat itu terasa asing. Rasa asing yang sepertinya pernah dirasakan Tiara untuk waktu yang sudah sangat lama. Bukan! Setelah memindai secepat kilat, Tiara seperti kembali ke dalam mimpi yang selama ini terus menghantuinya. Mimpi yang sama hampir setiap malam sejak sepuluh tahun yang lalu, menampilkan sebuah taman kosong nan sepi yang hanya menggaungkan suara seseorang yang terus memanggil namanya.

Aku bermimpi lagi?

“Hei, siapa kau?”

Tiara tersentak ketika mendapati suara berat itu lagi-lagi menyapanya dari belakang tubuhnya. Tiara membalikkan badannya secepat kilat dan keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat sosok pria bertubuh kokoh tengah duduk menyandarkan seluruh tubuhnya pada bangku taman yang ia duduki seolah pria tersebut berusaha menghapus lelah tak terperi bila dilihat dari nafasnya yang tersengal.

Tiara tertegun, tak dapat mengucapkan sepatah kata apapun.

Pria itu adalah Wildan, ia memang terlalu lelah setelah menumpas seluruh makhluk boneka sialan yang mengejarnya dengan nafsu membunuh tak terkendali. Wildan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk bertarung hingga penat setelah melepas kepergian Tiara.

Wildan sejatinya merasa heran dengan manusia tamak yang mengirim boneka-boneka laknat miliknya untuk terus menghadapi Wildan sepanjang malam.

Bukankah Si Tua Bangka brengsek itu sudah sangat tahu bahwa mengharapkan kematian Wildan dan Wilona adalah sesuatu yang mustahil?

Apa akal sehatnya semakin tumpul karena menyadari ajalnya semakin dekat?

Manusia bodoh!

Wildan menegakkan kepalanya, memindai cepat pada sosok perempuan di depan matanya. Setelah ia melepas kepergian gadis kecil lugu yang dengan putus asa dipercayakan Wildan untuk membawa Ratnaraj bersamanya entah kemana ia pergi menghilang, kali ini siapa lagi yang muncul?

Sepasang bola mata amber milik Wildan terpaku saat mendapati pancaran kalung berbandul permata merah yang melingkar di leher jenjang perempuan dihadapannya.

“Kau, Tiara?” tanyanya singkat dengan penuh keheranan yang sangat mengganggu logikanya.

Bola mata amber itu memiliki keterikatan yang mendalam dengan kekuatan magis Ratnaraj yang bersemayam di dalam kalung milik Tiara, sehingga Wildan mampu menyadari keberadaan Ratnaraj hanya dengan sekali pandang.

Tiara yang merasa terintimidasi dengan pertanyaan singkat Wildan, hanya mampu mengangguk pelan sebagai tanda mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan Wildan.

Mengingat kehadiran Tiara sebelumnya dalam wujud gadis kecil belasan tahun yang secara ajaib muncul di Taman Rosetta, Wildan tak merasa aneh jika kali ini Tiara ternyata kembali sebagai sosok wanita dewasa. Tidak ada waktu untuk terlalu penasaran tentang bagaimana cara semesta menghadirkan Tiara secara ajaib dengan takdir yang membelenggunya sebagai jiwa yang terpilih untuk menggenggam Ratnaraj terakhir.

Hanya saja, itu tak membuat Wildan mampu menahan diri untuk bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Tiara dengan langkah perlahan tapi pasti, lalu meloloskan sebuah pernyataan yang mengejutkan.

“Aku baru saja melepasmu beberapa jam yang lalu dalam wujud gadis kecil polos nan lugu. Sungguh ajaib sekali kau muncul kembali sebagai sosok perempuan dewasa yang memesona, Tiara. Kau cantik.”

Semburat rona merah memancar halus di kedua pipi Tiara. Pria yang mendekatinya saat ini meskipun terasa menakutkan dan asing dengan tampilannya yang aneh, terlebih lagi pria itu terlihat sedikit kacau dipenuhi peluh dan lelah yang tergambar di sana-sini, tak dapat dipungkiri tetap saja menguarkan pesona yang tak dapat dijelaskan Tiara dengan kata-kata. Tiara seperti merasa sedang kagum pada pria tersebut bukan untuk pertama kalinya. Terlebih lagi pria itu mengatakan hal manis yang membuat jiwanya seakan melayang bebas di udara untuk sesaat. Memujinya.

Wanita mana di muka bumi ini yang tak suka dengan pujian? Bahkan jika pujian itu adalah dusta, wanita akan memilih memungkirinya dan menelan bulat-bulat pujian yang diterimanya sebagai kesejukan bagi jiwanya yang selalu haus akan kasih sayang.

Tubuh wildan semakin mendekat hingga memangkas jarak dengan tubuh Tiara. Tepat di depan matanya, Tiara dapat mengamati bibir tipis milik Wildan bergerak kembali untuk mengucapkan kata-kata.

“Berapa usiamu sekarang? Kenapa dadamu terlihat rata?” tanya Wildan lagi tanpa rasa sungkan, bahkan ekspresi wajahnya terlihat datar dan terasa menyebalkan.

JLEB!

Ekspresi wajah Tiara seketika saja langsung menegang dan menggelap. Tanpa aba-aba, kedua tangannya segera berayun bebas di udara untuk mendorong tubuh Wildan menjauh darinya.

“Pria tak bermoral!” bentak Tiara lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong tubuh tegap milik Wildan hingga Wildan yang tenaganya belum pulih seutuhnya nyaris kehilangan keseimbangannya untuk berdiri kokoh.

“Hei, apa salahku? Aku hanya bertanya,” ucap Wildan lagi masih tak merasa berdosa sedikitpun.

“Dengar, aku tidak kenal siapa dirimu. Aku juga tidak tahu bagaimana kau tahu namaku. Pergi dari hadapanku, dasar pria mesum!” celetuk Tiara dengan ketus lalu beranjak melangkah serampangan menuju jalan setapak satu-satunya yang ia sadari ada di tempat itu.

“Tiara! Apa kau tidak tahu siapa aku? Apa kau tahu dimana kau berada?” tanya Wildan dari balik punggung Tiara yang membelakanginya namun pertanyaan itu berhasil merantai langkah kaki Tiara.

Mendapati langkah kaki Tiara yang terhenti dengan ragu, membuat Wildan segera sadar bahwa Tiara yang kali ini dilihatnya sepertinya tidak mengingat apapun yang terjadi beberapa jam waktu yang lalu. Ini tidak boleh dibiarkan, Wildan harus mengulang kembali penjelasan mengenai sebab keberadaan Tiara di Taman Rosetta, dan satu-satunya cara adalah dengan membawa Tiara kembali ke rumahnya.

“Tiara, ikutlah denganku,” ajak Wildan tegas.

“Tidak mau! Memangnya kau siapa?” bantah Tiara yang masih mematung di tempatnya berdiri.

Wildan melangkah tegas mendekati Tiara kembali sembari mengucapkan beberapa kata, “Dengar, namaku Wildan. Aku rasa kau terlupa apapun yang baru saja terjadi di tempat ini. Ikut denganku, tempat ini tidak aman untukmu. Aku tidak ada pilihan lain selain memaksamu.”

Baru saja Tiara akan kembali melakukan aksinya untuk tegas menolak, tubuhnya sudah berada dalam dekapan Wildan dan dibawa berlari dengan cepat menyusuri jalan setapak satu-satunya di Taman Rosetta itu.

De Javu!

Tiara merasakan ingatan sekelebat muncul dalam pikirannya, keadaan ini tidak asing!

“Jangan bergerak, aku akan sangat cepat! Kalau kau memberontak, kau akan jatuh dan terluka!” ancam Wildan yang membuat nyali Tiara menciut saat mencoba menggeliat dari dekapan Wildan.

Pada akhirnya Tiara hanya bisa, pasrah!

****

Bersambung~