****
Di suatu pagi yang cerah, ketika matahari telah bersinar hangat dan bersahabat sehingga begitu menyenangkan untuk disambut dengan jiwa yang bersemangat, dari sebuah rumah bernuansa putih dan dikelilingi hamparan rerumputan hijau sehingga terkesan kontras satu sama lain, terlihat seorang gadis belia yang berusaha keras menggeser pintu rumahnya yang lebih mirip seperti bingkai kaca berbentuk persegi empat berukuran besar layaknya sisi-sisi dinding lainnya.
Dari dalam rumah, dengan terburu-buru seorang wanita paruh baya menghampirinya dan membantunya menggeser pintu lalu kemudian menuntun gadis tersebut untuk duduk di kursi putih yang tersusun elegan di teras rumah.
Perempuan paruh baya itu kemudian mengambil sepatu mungil berwarna cokelat dari rak sepatu di sudut teras untuk dikenakannya ke sepasang kaki jenjang milik gadis belia yang tengah duduk manis sambil memainkan kunci dalam genggamannya.
“Bibi, aku bisa memakainya sendiri. Terimakasih bantuannya,” ujar gadis belia itu dengan santun sebagai bentuk penolakan halus atas bantuan yang akan diberikan oleh asisten rumah tangganya, Bibi Paula.
Bibi Paula membalas dengan anggukan hormat lalu kemudian segera kembali masuk ke dalam rumah.
Gadis belia yang kini sedang sibuk mengenakan sepatunya itu bernama Tiara. Tiara adalah seorang gadis berusia tiga belas tahun dan saat ini Ia sedang berada dalam masa liburan setelah selesai menuntaskan masa pendidikan dasarnya.
Tubuhnya terlihat kurus dan rapuh dengan tangan mungilnya yang kini terlihat bersusah payah mengenakan sepatunya. Penampilannya terlihat polos dan bersih, bahkan jari-jemarinya terlihat halus, seakan Ia adalah salah satu manusia yang beruntung tak pernah mencicipi sulitnya kehidupan. Rambut hitam lurusnya tergerai bebas dan sesekali menghalau pandangannya ketika angin sedikit nakal berhembus di depan wajahnya hingga Ia tak henti-hentinya menyibak rambutnya ke belakang telinganya.
Tiara menatap awan yang berarak bebas di langit, begitu indah dan menenangkan seolah hari minggu kali ini akan menjadi cerah sepanjang hari.
Ia tak sabar untuk segera beranjak dari tempat duduknya dan menikmati langkah-langkah kecil yang akan menuntunnya ke sebuah tempat yang belakangan ini menjadi tempat favorit baginya menghabiskan masa liburan, Perpustakaan Mini.
Diliriknya jam tangan berwarna hitam polos yang melingkar manis di pergelangan tangannya yang kini telah menunjukkan pukul 08.30 waktu setempat. Tiara harus segera pergi untuk memastikan ruangan perpustakaan mini yang akan dibukanya tepat dipukul 09.00 telah bersih dan nyaman untuk didatangi pengunjung.
Tiara mengambil tas selempangnya dan menyampirkan di pundaknya. Tas tersebut terlihat sangat lebar dan diisi dengan sebuah buku besar serta alat tulis yang dikemas dalam satu kotak kecil, juga seikat tumpukan kartu keanggotaan dan hal lainnya yang diperlukan untuk keperluan administrasi perpustakaan.
Baru saja Tiara akan melangkah pergi meninggalkan halaman rumahnya, seorang wanita yang terlihat lebih muda dari wanita paruh baya sebelumnya muncul di ambang pintu dengan sebuah kotak bekal di tangan kanannya dan sebuah botol minuman di tangan kirinya.
“Tiara…!” teriaknya sambil mengangkat kedua tangannya, memastikan Tiara yang sudah melangkah agak jauh dari batas halaman rumah dapat melihat apa yang ada dalam genggamannya.
“Ah… Lupa!” Tiara berbalik dan menepuk jidatnya sendiri ketika menyadari bahwa dirinya telah melupakan bekal untuk menemaninya menghabiskan waktu di perpustakaan.
Tiara sedikit berlari kecil menyusuri jalan setapak yang terbuat dari susunan paping block dari batas halaman hingga kembali ke teras rumahnya. Tas selempangnya ikut bergoyang bersama dengan gaun merah mudah polos yang menggantung di bawah lututnya ketika Ia tengah sibuk berlari.
“Hati-hati, Tiara…” tegur Ibunya yang kemudian menyerahkan kedua benda di tangannya untuk kemudian dimasukkan Tiara ke dalam tas selempangnya.
“Roti keju dan susu cokelat, kan?” tebak Tiara dengan senyum riang.
“Iya. Jangan lupa perpustakaan tutup jam 2 yaa….”
Tiara mengangguk tanda mengerti dan kemudian kembali melangkah kecil menyusuri sepanjang jalan di pemukiman perumahan tempat dimana Ia tinggal untuk segera mencapai perpustakaan mini yang berada tidak jauh dari rumahnya.
Tiara tinggal di sebuah kawasan elit yang merupakan perumahan khusus fasilitas milik karyawan sebuah perusahaan besar milik negara.
Sebagai salah satu perusahaan yang sangat menunjang investasi negara khususnya dalam bidang sumber daya alam, sangat pantas bagi seluruh karyawan yang mengabdi di perusahaan ini untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan terjamin serta terisolir dari hiruk pikuk kota metropolitan yang terlalu caruk maruk dengan ketimpangan sosial masyarakatnya.
Di perumahan ini, terdapat banyak fasilitas yang dapat dinikmati oleh karyawan beserta keluarga yang mereka miliki seperti sekolahan, perpustakaan, lapangan tenis, lapangan golf, lapangan basket, kolam renang, gedung fitness, rumah sakit, taman, dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Para karyawan perusahaan ini benar-benar hidup dengan layak dan tak perlu bersusah payah keluar dari zona aman mereka di kawasan elit ini jika hanya ingin menikmati gaya hidup yang berkelas.
Ayah Tiara merupakan salah satu karyawan yang telah cukup lama mengabdi di perusahaan ini, setidaknya sejak dua tahun sebelum menikah dengan Ibunya. Cukup lama untuk paling tidak sangat layak menduduki jabatan berpengaruh dalam perusahaan.
Kedudukan Ayah Tiara kali ini menjadikan sang Ibu yang secara otomatis menjadi bagian dari kesatuan unit yayasan yang notabene diurus oleh para istri karyawan mendapati amanah untuk mengurus fasilitas perpustakaan mini di pemukiman mereka yang memang selama ini berada di bawah kendali yayasan.
Mengingat Ibu Tiara yang masih harus mengurus adik Tiara yang merupakan seorang bayi laki-laki berusia dua tahun, maka Tiaralah yang menggantikan Ibunya untuk mengurus perpustakaan yang harus dibuka setiap hari minggu.
Ini bukanlah hal yang membebani Tiara dan Ibu Tiara pun tak menyangka mendapatkan kemudahan ini dalam menjalani amanah yayasan.
Tiara yang masih belia begitu bersemangat dan antusias serta sangat ahli dalam mengurus perpustakaan. Kecintaannya akan apa yang dilakukannya begitu terpancar dari binar matanya yang selalu muncul setiap akan pergi berangkat di hari minggu pagi menuju perpustakaan.
Dan seperti minggu-minggu ceria Tiara sebelumnya, kali ini Tiara melangkah dengan riang menyusuri jalan di pemukiman rumahnya. Perumahan yang begitu luas dan sejuk dengan pepohonan yang rimbun di setiap sisi jalan membuat Tiara merasa nyaman melangkahkan kakinya walaupun Ia sedang berjalan sendirian. Perpustakaan mini yang ditujunya tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya berada di ujung jalan yang menghabiskan waktu semenit dua menit untuk Tiara sampai disana.
Langkah kaki Tiara terhenti, Ia telah sampai di sebuah gedung kecil yang lebih mirip ruang kantor bernuansa putih hampir sama dengan desain eksterior rumah tinggalnya. Sebuah papan plang berwarna putih bertulisan deretan huruf cetak berwarna hitam tebal hingga membentuk kata PERPUSTAKAAN MINI berdiri tegak di halaman.
Tiara menghampiri pintu utama yang hanya terdiri dari satu daun pintu dengan kaca yang memenuhi hampir separuh pintu dan sisanya berbentuk ventilasi yang membantu sirkulasi udara keluar masuk ruangan. Dari balik pintu kaca tergantung papan yang bertuliskan “TUTUP”.
Buru-buru Tiara merogoh kantung gaunnya yang berada di sisi kanan dan kiri. Tiara sedikit cemas mengingat dirinya sempat memainkan kunci pintu perpustakaan ketika sedang duduk di teras rumahnya. Terlalu panik hingga Ia mulai membuang tas selempangnya ke lantai dan berjongkok untuk merogoh seluruh isi dalam tasnya. Beruntung akhirnya Ia bisa menemukan kuncinya di dalam tas selempangnya yang terselip di dalam buku besar miliknya.
“Huffh….” Tiara menghela nafas panjang dan mendekap kunci di dadanya sebagai rasa syukur karena Ia tak melupakan benda paling penting pagi ini.
Tiara segera membuka pintu perpustakaan, masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum waktu buka untuk Tiara melakukan persiapan dan memastikan kebersihan dan kenyamanan ruang perpustakaannya untuk para pengunjung.
Tiara membuka jendela yang hanya ada sepasang dalam ruangan 4×4 meter itu. Meskipun perpustakaan mini tersebut merupakan ruangan yang memiliki fasilitas mesin pendingin untuk menyejukkan ruangan, Tiara memilih membuka pintu dan jendela terlebih dulu untuk mengurangi aroma debu yang menguar di segala penjuru ruangan.
Lantai ruangan ditutupi oleh karpet bulu beludru tebal berwarna hijau zamrud, dan terdapat empat rak buku besar menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri ruangan, memenuhi dinding hingga tak ada celah kosong sedikitpun. Di sisi depan adalah sepasang jendela yang tadi dibuka oleh Tiara juga pintu untuk memasuki ruangan.
Di sisi dalam terdapat meja dan kursi tempat Tiara duduk dan melangsungkan kegiatan administrasi dan mengawasi kondisi perpustakaan. Disampingnya ada sebuah pintu untuk menuju ke ruangan kecil yang merupakan toilet umum.
Para pengunjung nantinya bisa duduk lesehan di bentangan karpet yang juga menyediakan empat meja kecil dan beberapa bantal empuk. Perpustakaan mini ini pada dasarnya merupakan fasilitas kegiatan membaca yang diperuntukkan bagi anak-anak di bawah usia dua belas tahun, biasanya hanya segilintir wanita dewasa yang merupakan para ibu dari pengunjung anak-anak yang masih harus berada di bawah pengawasan orangtua yang ikut bertandang.
Tak banyak yang perlu Tiara rapikan untuk buku-buku yang berderet rapi di rak, semua sudah di lakukannya setiap kali Ia mau menutup perpustakaan. Sehingga ketika tiba waktu buka seperti saat sekarang ini, Tiara tak perlu kerepotan dengan buku-buku yang berantakan.
Ketika dirasa semua sudah tertata rapi, Tiara menutup kembali sepasang jendela yang sudah dibukanya, merapikan tirainya, menyampirkan di sudut kedua bingkai jendela dengan lengkungan yang presisi satu sama lain sehingga terlihat indah menghias jendela. Tiara lalu menutup pintu dan membalik papan yang bertuliskan “TUTUP” menjadi “BUKA”.
Kini Ia menghempaskan tubuh mungilnya di kursi tempat dimana semestinya dia berada, meraih remote mesin pendingin ruangan, menyalakannya, lalu mulai membuka buku besarnya untuk diisi laporan kegiatan perpustakaan hari ini.
Tiara memperhatikan sekeliling ruangan perpustakaan mini yang lebih mirip seperti sebuah kamar pribadi kelas deluxe dalam sebuah hotel. Hanya saja lebih mirip seperti kamar pribadi istimewa bagi seorang pecinta buku.
Rasa bahagia begitu meliputi Tiara yang menyukai keheningan dan kerapian yang diciptakannya sendiri di perpustakaan mini ini.
Seringkali Tiara berharap tidak ada pengunjung yang tertarik untuk datang, entah karena malas, acara keluarga, atau apapun yang menghambat rencana akhir pekan mereka untuk berkunjung ke perpustakaan mini ini hingga Tiara dapat menikmati sendiri semua kenyamanan di dalamnya.
Ya, sesekali Tiara juga berpikir seegois itu, ingin perpustakaan itu untuk dirinya sendiri.
****
Bersambung~