Vitamins Blog

Pinkie Promise: 2. Solitude

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

****

Ya, sesekali Tiara juga berpikir seegois itu, ingin perpustakaan itu untuk dirinya sendiri.

 

Tiara melihat jam sudah menunjukkan pukul 09.15 waktu setempat. Sudah lima belas menit berlalu dari jadwal buka perpustakaan, tapi Tiara belum melihat satupun pengunjung mendatanginya. Padahal biasanya akan ada segelintir anak yang mulai berdatangan bahkan sebelum Tiara sempat mempersiapkan segalanya terlebih dulu. Karena itulah, Tiara selalu menyempatkan diri untuk berbenah ruangan sebelum pulang sehingga ketika ia harus menghadapi situasi kehadiran anak-anak yang lebih awal dari jadwal buka perpustakaan, ia tak perlu khawatir dengan kelayakan ruangan yang memang sudah dibersihkan sebelumnya. Cerdik sekali.

 

Tiara menghampiri pintu, memastikan bahwa dia tidak salah memasang papan di depan pintu masuk. Barangkali papan tersebut masih bertuliskan “TUTUP” hingga para pengunjung yang mungkin sudah datang akhirnya kembali pergi karena kelalaian Tiara. Tiara berharap ia tidak melakukan kesalahan fatal semacam itu, meski terkesan sepele, namun memupuskan harapan pengunjung yang datang karena kelalaian semacam itu akan membuat Tiara dihantui rasa bersalah.

 

“Hmm… Tulisan di papan sudah benar,” gumam Tiara.

 

Tiara melihat ke arah luar, membuka pintu dan mendongakkan kepalanya ke langit. Tiara melihat awan yang setahunya sangat cerah telah berubah gelap. Sangat gelap dalam sekejap hingga rasanya mustahil tak akan turun hujan.

 

Benar saja, belum sempat Tiara masuk kembali ke dalam ruang perpustakaan, hujan turun bergerilya tanpa aba-aba, langsung menghujam ke bumi dengan angin yang ikut berhembus riang seolah menambah kekacauan saat itu.

 

Tiara segera masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu rapat-rapat. Meski hujan tak mungkin membuka gagang pintu dengan tangan kosong, Tiara tetap mengunci pintunya dari dalam.

 

Dilihatnya dari balik kaca pintu perpustakaan, suasana di luar sudah menjadi basah, dingin, dan agak kacau. Pepohonan yang berdiri kokoh berdampingan di pinggir jalan meliak-liuk diterpa angin, sebagian dedaunan beterbangan tak mampu lagi berpegangan dengan dahannya. Jalanan terlihat tergenang sedikit air yang aktif bergerak mengikuti arus kelandaiannya.

 

“Astaga, bagaimana mungkin ini terjadi?” Tiara berdecak heran, hanya bicara dengan dirinya sendiri.

 

Tiara kembali duduk di kursinya. Tiara duduk menopang dagu sembari melihat sekeliling ruangan perpustakaan yang rapi dan nyaman meskipun sebenarnya dari balik pintu kaca perpustakaan Dia masih bisa melihat suasana yang agak kacau di luar sana akibat ulah nakal si hujan deras dan angin ribut.

 

“Hmm… Aku harus mengabari Ibu di rumah,” gumam Tiara lalu kemudian menggunakan telepon yang ada di meja administrasi, sebuah telepon berwarna abu-abu rokok berbentuk kotak dan memiliki tombol putar memenuhinya.

 

Kemudian Tiara memutar beberapa angka yang akan menyambungkannya pada telepon yang sama baik bentuk dan warnanya yang saat ini bertengger manis di meja sudut ruang tamu rumahnya.

 

Syukurlah tak perlu menunggu lama hingga Ia bisa mendengar suara parau milik Bibi Paula yang mengangkat teleponnya.

 

“Halo, kediaman Keluarga Ferdinan,” sapa Bibi Paula dengan suara yang dibuat lembut dan santun.

 

“Halo, Bi… Ini, Tiara….” sambut Tiara dengan sedikit menaikkan volume suaranya agar Bibi Paula dapat mendengarnya dengan jelas mengingat suaranya yang memang kecil ditambah dengan gemerisik suara derasnya hujan dari luar perpustakaan yang berhasil meredam suaranya.

 

“Iya, Non… Mau dijemput?” tanya Bibi Paula, mencoba menebak maksud dan tujuan Tiara menelepon ke rumah dari ruang perpustakaan.

 

“Bukan… Tolong sampaikan sama Ibu, kalau Tiara baik-baik aja. Tiara disini saja sampai hujan reda dan pulang sendiri,” cercah Tiara terburu-buru menjelaskan dan merasa ingin segera mengakhiri telepon karena merasa sangat tak nyaman dengan suara berisik hujan di luar ruangan.

 

“Baik, Non….” Jawab Bibi Paula dengan nada kepatuhan yang santun.

 

Tiara buru-buru menutup teleponnya dan tersenyum riang setelahnya. Ia merapikan gaunnya yang agak lembab terkena cipratan halus dari rintik hujan yang sempat tertiup angin ke arahnya ketika tadi menengok awan gelap di luar ruang perpustakaan mininya.

 

Gaun merah mudanya mungkin agak sedikit lembab tapi Tiara tahu itu bukan masalah besar, suhu tubuhnya akan membantu mengeringkan pakaiannya dengan sendirinya jika hanya sebatas lembab.

 

Tiara berdiri di tengah ruangan, berkacak pinggang, menghembuskan nafas pendek, tersenyum riang dengan sedikit menampilkan raut wajah yang kocak. Bola matanya berputar dan menyisir seluruh ruangan perpustakaan.

 

Hening, tenang, nyaman, dan suasana hujan di luar bukanlah sesuatu yang menakutkan baginya melainkan ini adalah momen yang menyenangkan untuk Tiara.

 

Tiara mengangkat kedua tangannya setinggi mungkin, melepaskan perasaan riang yang meronta-ronta di dalam dadanya dengan memekik kegirangan tanpa tahu malu sebab ia sadar takkan ada orang lain yang akan menyadarinya tingkahnya saat ini. Tiara, sendirian.

 

“Yeayy, Aku sendirian!” soraknya penuh rasa gembira yang membuncah seakan sepasang sayap kupu-kupu tengah berkepak-kepak di balik punggungnya.

 

“Sendirian, di perpustakaan mini, hujan lebat, akhirnya aku mendapatkan momen ini!” pekiknya dalam hati dan yang terlihat hanyalah telapak tangannya yang kurus menutupi mulutnya yang dipaksanya terkatup menahan tawa cekikikan yang mencoba keluar dari pita suaranya.

 

Tiara memeluk tubuhnya sendiri, mengusap kedua lengannya, dan secara sadar merasakan suhu di dalam ruangan sudah terlalu dingin. Diambilnya remote mesin pendingin kemudian menaikkan suhunya sedikit untuk memperoleh kesejukan yang tepat untuk tubuhnya saat ini.

 

Tiara merogoh tas selempang yang sedari tadi Ia gantungkan secara asal di sandaran kursinya. Tiara mencari kotak bekal dan botol minuman yang sudah dibawanya dari rumah. Membawanya dengan hati-hati dan meletakkannya di salah satu meja baca.

 

Kali ini Tiara mengambil beberapa buku secara acak dari dalam rak. Tiara mengambil masing-masing satu buku dari kedelapan rak yang berdiri kokoh memenuhi sisi kanan dan kiri dinding ruangan hingga kini tangan kecilnya telah memeluk delapan buku dengan agak kewalahan. Tiara kembali membawanya dengan perlahan, meletakkannya di meja baca dimana Ia letakkan bekalnya sebelumnya.

 

Tiara duduk bersimpuh, mencari posisi duduk senyaman mungkin dan mulai membuka bekalnya terlebih dulu. Suhu dingin pada akhirnya membuat tubuhnya terlalu banyak mengubah kalori menjadi energi untuk menghangatkan tubuhnya dari dalam sehingga Tiara harus kembali mengisi lambungnya dengan asupan makanan untuk menggantikan kalori-kalori sebelumnya yang telah hilang atas jasanya menguatkan suhu tubuh Tiara.

 

Pada intinya, Tiara lapar.

 

Dua buah roti panggang berbentuk segitiga hasil dari cetakan mesin toaster memenuhi ruang kotak bekal Tiara. Roti panggang dengan isian parutan keju cheddar dan krimer kental manis adalah favorit Tiara. Tiara melahap bekalnya dengan riang.

 

Selesai melahap habis semua roti panggang di dalam kotak bekal, Tiara membuka botol minumnya yang lebih mirip seperti termos mini. Botol tersebut mampu mengawetkan suhu panas cairan di dalamnya, sehingga susu cokelat milik Tiara masih hangat seperti baru saja diseduh. Tiara menenggak minumnya tanpa jeda, membiarkan sensasi hangat dari susu cokelat dengan perisa manis yang menerobos kerongkongannya kini terasa nyaman di lambungnya.

 

Kenyang. Puas.

 

Tiara mengemas bersih seluruh peralatan makannya, memasukkan kembali ke dalam tas selempangnya dan kemudian kembali duduk untuk menikmati buku-buku yang sudah di ambilnya dari rak buku.

 

Satu persatu Tiara mulai membaca buku pilihannya, ditemani hujan lebat yang seolah tak jenuh untuk bertahan dengan gemerisiknya.

 

Tak ada tanda-tanda hujan akan reda, namun Tiara tak peduli. Semua keadaan yang terjadi saat ini seperti momen sempurna bagi Tiara.

 

Hari minggu, sendirian di perpustakaan mini, ditemani hujan lebat yang menyenangkan bagi Tiara. Tiara sungguh menikmati kesendirian yang tercipta.

 

Tiara takkan bosan membunuh waktu dengan diam di dalam ruangan perpustakaan mini bertemankan buku-buku yang siap menghantarnya dalam imajinasi tanpa batas atau sekedar memasukkan wawasan-wawasan baru sebagai santapan lezat untuknya yang haus berbagai ilmu pengetahuan.

 

Ya, membaca adalah suatu kesenangan tersendiri bagi Tiara.

 

Pada akhirnya, meskipun rasa bosan tak mungkin menyerang Tiara, namun sejuknya ruangan, rasa nyaman dalam kesendirian, dan alunan gemerisik hujan yang berdentum tiada habisnya sukses menciptakan rasa kantuk yang hebat untuk Tiara. Di buku keempat yang dibacanya, Tiara merasa matanya mulai lelah.

 

Tiara mengambil bantal lesehan yang besar dan empuk. Meletakkan kepalanya di atas bantal dan membaringkan tubuhnya di karpet bulu beludru yang empuk dan membuatnya merasa semakin mengantuk. Semakin berat hingga Ia menyingkirkan buku yang sedang di bacanya, diletakkan tepat di samping tubuhnya secara sembarangan.

 

“Tutup mata sejenak sepertinya tidak masalah….”

 

****

Bersambung~