Vitamins Blog

Pinkie Promise: 3. Asing

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

****

Tiara merasakan seluruh tubuhnya terasa sejuk berlebihan seolah semilir angin yang begitu dingin sedang menusuk hingga menembus seluruh tulang belulang yang dibalut oleh kulit tipis dari tubuh mungilnya.

“Dingin,” batin Tiara yang masih tetap memejamkan kedua matanya dan memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Tiara merasa sangat enggan untuk terbangun dari tidurnya dan membutuhkan kehangatan.

Lambat laun Tiara semakin merasa tidak nyaman, ia mulai menggigil. Suara denting bertalu-talu yang berasal dari dentuman hujan deras di luar perpustakaan mini yang tadinya terasa begitu berbaik hati menjadi lagu pengantar tidurnya, kini terasa lenyap tak berbekas, begitu hening dan hanya meninggalkan jejak rasa dingin yang menusuk dan seakan tak jenuh mengusik tidur Tiara.

Tubuh Tiara terasa sedikit ngilu. Seingat Tiara, ia sedang membaringkan tubuhnya di atas karpet beludru lembut dengan ketebalan yang empuk sehingga sangat nyaman disaat terakhir ia akan sampai pada kondisi terlelap. Tapi, saat ini Tiara merasakan tubuhnya seperti sedang terbaring di atas papan kayu keras yang terasa lembab dan sekali lagi, dingin.

Sayup-sayup sembari mengumpulkan kesadaran, Tiara bahkan bisa merasakan rintik hujan seakan menjelma menjadi percikan halus yang meskipun terasa jarang-jarang namun sepertinya sedang menghujam langsung mengenai kulit tipis tubuhnya.

Aku di dalam ruangan kan?

Apa ada atap yang ternyata bocor?

 

Tiara mulai merasa ada yang ganjil dan perlahan-lahan ia memaksakan diri membuka kedua pasang matanya. Samar-samar Tiara dapat menangkap pemandangan yang terasa berbeda dari yang seharusnya ia kenal sedang terpampang nyata di depan mata kepalanya. Kedua bola mata Tiara membulat penuh, ia terbelalak seketika.

Semuanya gelap, dingin, lembab, dan asing!

Tiara terperanjat, ia segera bangkit dari tidurnya dan terduduk, “Hah! Aku ada di mana?” pekiknya dalam hati.

Ini tempat apa?

Tiara mendapati dirinya tengah duduk di sebuah bangku taman yang sepi, pada malam hari yang pekat dan hanya diterangi sorot sebuah lampu taman yang enggan bersinar terang, lebih redup dari sinar rembulan, dan Tiara juga sendirian. Hanya gerimis halus yang turun terus menerus setia menemaninya. Tiara terus mempertanyakan keadaan yang sedang menimpa dirinya, adakah semua ini nyata atau ia sedang bermimpi?

Tiara menepuk kedua pipinya dengan kedua telapak tangan mungil nan halus miliknya, berpikir bahwa itu akan membuatnya terbangun dari ilusi alam bawah sadarnya yang sedang mempermainkan logikanya.

Ini mimpi, ‘kan?

Tak kunjung tersadar dan merasa sudah lelah menepuk halus kedua pipinya yang dikhawatirkan Tiara hanya akan menimbulkan memar tak wajar bila ia menambah lagi dan lagi tepukan pada wajahnya, Tiara memutuskan menghentikan apa yang sudah ia lakukan.

Tiara memperhatikan suasana sekitar taman dari posisi duduknya. Taman itu seperti akhir dari sebuah jalan setapak. Area dari tempat dimana ia duduk adalah sebuah taman air mancur berbentuk lingkaran yang dibatasi oleh pagar tanaman hidup semacam semak belukar berupa dedaunan kecil yang rimbun berwarna hijau segar, terlihat indah dengan bunga-bunga berwarna putih bersih yang memancarkan cahaya tersendiri di bawah sorot lampu taman. Sedikit ragu memastikan tapi Tiara berpikir bebungaan yang dilihatnya adalah sejenis mawar putih.

Mungkin?

Sisi luar dari batas lingkaran taman hanyalah memperlihatkan sekumpulan pohon-pohon rimbun tinggi menjulang seolah membentuk seperti hutan buatan dalam kota. Tiara tidak begitu berani menelisik lebih jauh menembus kegelapan diantara pepohonan yang melingkupi area taman. Sepintas lalu ia takut menemukan banyak sepasang mata berkilat dari hewan-hewan nokturnal penghuni hutan yang barangkali tengah mengintainya dari dalam sana.

Tempat apa ini?” batin Tiara dengan menyimpan rasa kalut dan takut yang sulit ia gambarkan.

Di tengah area taman terdapat kolam air mancur dengan diameter yang tidak cukup besar, yang pada bagian pemancar air di tengah-tengah kolam tampak berbentuk seperti bunga besar yang tengah merekahkan kelopaknya namun tak memancarkan air sedikitpun. Sepertinya bagian pemancar air tersebut sudah tidak berfungsi untuk waktu yang cukup lama.

Tempat di mana Tiara duduk adalah sebuah bangku taman satu-satunya di tempat itu. Tiara memperhatikan bangku taman yang tengah didudukinya memiliki ukiran-ukiran pada keempat kakinya yang terbuat dari besi berwarna hitam, begitupun pada bagian lengan bangku. Tidak ada yang istimewa dari bangku tersebut, biasa saja. Hanya sedikit aneh mengetahui bangku tersebut hanya ada satu-satunya di taman itu, serta hanya bisa digunakan oleh sepasang manusia saja. Seperti bangku taman yang biasa digunakan para pasangan untuk bermesraan di taman umum tanpa tahu malu.

Sepasang kekasih yang mengira dunia tercipta hanyalah sebagai milik mereka berdua saja, semacam itu.

Tiara menghela nafas panjang sebagai cara untuk menenangkan dirinya sendiri. Tiara memang terlihat tenang dan seakan masih berada di titik linglung atas apa yang sedang menimpanya. Tiara tidak berpikir untuk lari menghambur pergi secara membabi buta, pun tidak tahu apakah duduk diam di tempat itu akan memberi dia jalan keluar. Ia hanya masih merasa percaya bahwa ia sedang bermimpi, mungkin setengah bermimpi, mungkin juga ini sebuah petualangan yang tak bisa dicerna dengan logika. Entah, Tiara tidak tahu. Ini seperti distorsi baginya.

 

Tiara mulai beranjak dari duduknya. Gerimis halus masih menemaninya malam itu. Insting Tiara mulai aktif dan menyadari bahwa berdiam diri di tempat itu tidak akan memberikan pencerahan apapun. Ia tahu ia sedang berada di ujung sebuah jalan setapak dan lebih baik ia berjalan perlahan menyusuri jalan setapak tersebut hingga mencapai ujung lainnya. Barangkali di ujung jalan lainnya ia akan menemukan sesuatu yang lebih berarti. Toh, jalan itu walaupun hanyalah sebuah jalan kecil yang tampaknya hanya mampu memuat dua manusia bila berjalan bersisian, setidaknya dipenuhi oleh lampu sorot di tepi kanan-kirinya, meski redup.

Manusia terkadang lebih baik berjalan menuju cahaya, bukan berdiam diri apalagi semakin jauh memasuki kegelapan.

Tiara tidak mau terlalu berpikir banyak lagi, tubuhnya sudah tidak tertarik terus-terusan dihujam gerimis halus yang lambat laun akan menjadikannya tubuhnya semakin basah. Ia harus pergi dari tempat itu dan berharap ada persinggahan lain yang memiliki tempat untuk berteduh atau lebih baik lagi sebuah jalan pulang, kembali ke tempat di mana seingatnya raganya tengah berbaring pulas di karpet beludru lembut dalam perpustakaan mini.

Barangkali ini memang mimpi yang masih ingin Tiara bermain peran di dalamnya, masih enggan mengembalikan jiwa Tiara kembali bersatu bersama raganya.

 

****

Baru saja Tiara mulai membuat langkah pertama untuk menyusuri jalan tersebut, mendadak ia merasa ingin memetik satu saja bebungaan yang menurutnya adalah sejenis mawar putih. Alangkah cantiknya menyusuri jalan setapak dengan langkah-langkah kecil yang menggemaskan sembari memainkan sekuntum bunga putih bersih dengan kedua telapak tangannya. Tak lupa senyum ceria yang tersungging indah selama sepanjang perjalanan, pastilah akan menyenangkan.

Begitulah khayalan Tiara.

Rasa takutnya sedikit mulai sedikit mulai sirna setelah ada harapan yang menyelimuti Tiara akan sumber cahaya di ujung jalan, ditambah dengan khayalannya yang sedang memuja dirinya sendiri.

Tiara membelokkan langkah kakinya menuju tepi taman, mendekati salah satu bunga putih yang terlihat paling merekah indah di matanya, begitu menggoda untuk dimiliki.

Telapak tangan mungil Tiara telah berayun bebas di udara dan siap untuk memetik bunga tersebut bersamaan dengan tiba-tiba saja sebuah tangan yang terlihat kekar dan lebih besar dari ukuran tangannya dibalut oleh sarung tangan hitam pekat dari bahan lateks telah berhasil menepisnya dengan cara memukul punggung telapak tangan Tiara dengan kasar, “Plak!”

Tiara terperanjat dan dengan cepat menoleh ke sisi kanannya di mana telah berdiri sosok tinggi menjulang berjubah hitam yang lagi-lagi terasa asing.

“Aaah!” pekik Tiara yang kemudian dengan cepat memaksa mulutnya untuk terkatup dengan kedua telapak tangan mungilnya.

Langkah Tiara pun mundur ke belakang beberapa langkah hingga ia akhirnya tersungkur di lantai karena tak mampu mengendalikan keseimbangan tubuh lantaran terpengaruh kepanikan yang berhasil memberi benturan keras pada tulang ekornya.

“S-s-siapa?” gumam Tiara lirih, menggantikan reaksi meringis yang seharusnya ia lakukan untuk menunjukkan bahwa ia tengah kesakitan.

Sepasang mata hazel milik Tiara bersirobok dengan mata amber yang kini tengah menatap tajam ke arah Tiara dari sudut ekor matanya. Tiara terbelalak dan jantungnya tak bisa berhenti berdegup kencang. Berdetak seperti dentuman-dentuman keras yang menguasai seluruh jiwa raganya hingga seluruh panca inderanya terasa mengalami disfungsi sesaat.

Kenapa saat dia sendirian sebelumnya rasanya tidak semenakutkan saat sekarang ia bertemu dengan sosok seorang manusia?

Seorang pria dewasa, seorang Tuan?

Sosok pria itu tidak buruk rupa, bukan sejenis pangeran yang menjelma menjadi makhluk buas atau apapun yang mengerikan dari beberapa buku dongeng yang pernah dibaca oleh Tiara. Itu sosok pria seperti manusia pada umumnya, bahkan meskipun Tiara masih seorang gadis kecil berusia 13 tahun, ia bisa menilai dengan baik bahwa pemilik mata amber itu adalah pria yang terlihat berpenampilan menarik, tampan dan rupawan, hanya saja auranya lebih menakutkan daripada ancaman lainnya yang mungkin bisa menghampiri Tiara saat ini.

Pria itu tidak bergeming dari tempatnya berdiri, pun tak menoleh sedikitpun ke arah Tiara yang masih tersungkur bahkan mematung sempurna seakan siap mati mendadak, seakan ia merasa sudah cukup melihat Tiara hanya dengan lirikan tajam saja. Dalam kepanikannya, hanya sebuah gerakan kecil yang bisa dilakukan Tiara, menenggak air liurnya sendiri.

“Berani sekali kau berniat merusak taman ini?” ucap suara berat yang berasal dari pria di depan mata Tiara. Suara itu terdengar lirih namun terasa mencekam di telinga Tiara. Rasanya Tiara ingin menangis, kali ini ia benar-benar merasa berada di tempat yang tak seharusnya.

“Bangun!” perintahnya.

 

****

Bersambung~

1 Komentar