****
Tiara hanya bisa tertegun, tak sedikitpun ingin bangkit dari tempatnya terduduk kaku. Rasa sakit yang terasa pada tulang ekornya kini dalam pengabaian Tiara, sebab saat ini ia lebih tertarik untuk memperhatikan dengan saksama penampilan pria asing di depan matanya.
Pria itu memakai pakaian serba hitam dan tak terlihat seperti model pakaian yang biasanya Tiara temukan selama ini. Pria pemilik rambut pendek berwarna hitam legam lurus yang setiap surainya nampak menyentuh sedikit pada kedua daun telinganya itu menggunakan semacam kaos ketat berwarna hitam yang kemudian dilapisi semacam mantel kulit berwarna senada. Mantel lengan panjang yang ujung bawahnya mencapai lutut itu menyembunyikan sebuah sarung pedang yang sabuknya disampirkan pria itu pada lingkaran pinggangnya. Celana panjang yang dikenakannya pun juga berwarna hitam, dipadukan dengan sepasang sepatu boots selutut yang terlihat tebal, kokoh, bahkan mungkin berat jika diperhatikan dari alasnya yang merupakan sol karet yang cukup tebal. Penampilannya yang serba hitam terkesan misterius dan kontras dengan kulit tubuh yang tak tertutup pada bagian leher dan wajahnya yang tergolong pemilik pigmen kulit putih cerah.
“Hei! Bangun!” bentak Pria itu lagi ketika melihat Tiara tak bergeming sedikitpun.
Jantung Tiara berdegup kencang seakan siap melompat dari rongga dadanya. Pria yang tengah berdiri di hadapannya tak sedikitpun melunakkan sikapnya meski Tiara hanyalah seorang gadis kecil bertubuh kurus dan terlihat lemah serta jelas sekali menunjukkan rasa takut yang begitu kuat.
Raut wajah Tiara begitu mendung, air matanya tak bisa dipertahankan lagi. Alih-alih mematuhi perintah si pria untuk segera berdiri, Tiara malah mulai menangis sesenggukkan. Dan tak sampai sepersekian detik berlalu, tangisnya mulai pecah menjadi raungan yang tak terkendali. Tiara ketakutan!
“Hei, diam!” bentak pria itu.
Pria itu terlihat kesal. Sepasang mata hazel milik Tiara segera menutup rapat ketika ia mendapati Pria itu mulai menghampirinya dengan gusar seakan ingin menyerangnya tanpa belas kasihan.
“BUKK!”
Bunyi dentuman keras membuat Tiara menjerit tertahan masih dengan matanya yang setia terpejam seakan kelopak matanya memiliki kekuatan ajaib untuk melindungi seluruh tubuhnya dari serangan hanya dengan cara sederhana, menutup mata!
Tiara menunggu rasa nyeri yang diperkirakannya akan segera muncul dari bagian tubuhnya yang terkena pukulan.
Tapi….
“WADAWWW! SAKIT!”
Sebuah jeritan yang terdengar keras membuat Tiara terkejut hingga memaksanya kembali membuka mata karena terserang rasa penasaran dari asal suara yang menggelegar itu. Ia tak merasakan sentuhan apapun mengenai tubuhnya dan rintihan rasa sakit yang baru saja didengarnya berasal dari pria yang tadinya akan menyerangnya.
Mata Tiara seketika terbelalak melihat pemandangan tak masuk akal di depannya. Pria itu kini tengah terduduk sembari memegang kepala dengan kedua tangannya, persis seperti anak kecil yang sedang kesakitan. Itu benar-benar tak seperti dugaan, pria itu meringis!
“Sialan! Wilonaaaaaaaa….!” pekiknya.
Kali ini mata Tiara tertarik untuk menatap ke arah sosok manusia lain yang berdiri angkuh di samping pria itu dan sekilas membuat Tiara merasa terpukau.
Seorang wanita!
Wanita yang sangat cantik!
Wanita itu terlihat sebaya dengan si pria berjubah hitam. Berbeda dengan si pria, kali ini secara tidak langsung Tiara dapat menyimpulkan nama wanita itu kemungkinan adalah Wilona.
“Bodoh, apa yang kau lakukan? Cukup bercandanya!” ucap wanita itu tegas sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Hei, tadi kau bilang aku boleh menyapa dengan caraku!” ucap pria itu yang kini sudah berdiri tegak membusungkan dadanya di hadapan si wanita.
Pria itu memang tinggi menjulang. Wanita yang tengah berdiri di hadapannya bahkan hanya sejajar dengan bahunya saja. Tapi, tatapan mata wanita itu seakan tidak gentar dengan gertakan si pria. Wanita pemilik mata amber yang sama dengan si pria, bahkan mereka rasanya terlihat serupa, begitu berani melemparkan sorot pandang yang lebih tajam dan menusuk kepada si pria.
Mereka kini tengah asyik berdebat ringan dan seakan mengabaikan kehadiran Tiara yang masih diam termangu tak tahu harus mengambil sikap bagaimana atas kejadian yang baru saja tersaji di depan matanya. Sepertinya sepasang manusia di hadapannya itu adalah saudara kembar, hanya saja yang satu pria dan satunya wanita. Tapi mungkin saja Tiara salah menduga. Yang bisa Tiara pastikan adalah keduanya berparas nyaris mewakili kesempurnaan penciptaan manusia.
Tampan dan cantik!
Tiara si gadis kecil merasa bingung, ada apa sebenarnya?
Dalam benaknya tak kunjung berhenti mempertanyakan, siapa mereka?
Kendati Tiara tengah dalam titik kebingungan, rasa takut yang sebelumnya melingkupinya kini telah menguar, lenyap begitu saja sejak kemunculan si wanita. Wanita itu seperti malaikat penolong untuk Tiara. Setidaknya ia tak merasa sendirian lagi.
Wanita cantik, sungguh mempesona. Sepasang mata ambernya terlihat lebih bersinar dari si pria. Mata itu tak setajam mata si pria yang sekarang Tiara tak bisa memastikan mau menyebutnya sebagai pria yang menakutkan atau pria yang kekanak-kanakkan setelah adegan yang baru saja tertangkap olehnya. Wanita itu memiliki aura yang lembut bahkan meskipun saat ini ia terlihat tengah melontarkan berbagai omelan tak berujung untuk si pria.
Wanita itu memiliki surai rambut berwarna hitam kecokelatan, panjang bergelombang mencapai batas siku kedua lengannya. Samar-samar di bawah sinar rembulan, kesan warna kecokelatan pada rambutnya terlihat berkilauan. Pakaiannya sendiri tak jauh berbeda dengan si pria, hanya saja sepatu bootsnya terlihat lebih feminim serta sabuk yang melingkar di pinggangnya tidak digunakan untuk membawa sarung pedang tunggal, melainkan pada sisi kiri dan kanan pinggangnya terdapat seperti dua pedang kecil yang berbentuk seperti garpu tala. Melihat mereka berdua berdiri berhadapan sembari masih sibuk berdebat membuat Tiara semakin yakin keduanya adalah saudara kembar. Mereka terlalu serupa jika ingin dikatakan sebagai sepasang kekasih atau sekedar kakak beradik.
Satu hal yang masih menyisakan tanda tanya besar bagi Tiara, mengapa mereka harus memiliki senjata tajam pada diri mereka? Untuk apa?
“Jaga sikapmu, Wildan!” ucap wanita itu tegas mengakhiri perdebatan.
Oh, ternyata namanya Wildan.
Wanita itu kini mengabaikan Wildan yang menunjukkan wajah bersungut-sungut kesal. Sepertinya pukulan yang dihadiahkan Wilona pada kepalanya sangat tidak bisa ia terima sedikitpun seakan itu sangay meruntuhkan harga dirinya. Wilona melangkah perlahan tapi pasti untuk menghampiri Tiara. Ia mendekat dan menunjukkan senyum manis yang menghangatkan perasaan Tiara lalu diulurkan tangannya agar dapat membantu Tiara kembali berdiri.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan lemah lembut, jauh berbeda dari caranya bersikap terhadap Wildan.
Tiara hanya mengangguk pelan lalu tanpa ragu menyambut telapak tangan berbalut sarung tangan lateks berwarna hitam milik Wilona. Terasa dingin ketika kulit telapak tangan Tiara bersentuhan langsung dengan bahan sarung tangan milik Wilona.
“Siapa namamu?” tanyanya lagi setelah Tiara telah berdiri sembari menepuk-nepuk rumbai rok selututnya yang agak kotor oleh dedaunan kering di lantai taman.
“T-t-tiara, Tante….” ucap Tiara agak ragu memberi sapaan yang pantas untuk wanita cantik dihadapannya. Tapi wanita itu jauh lebih tua darinya sehingga ia merasa memanggilnya tante merupakan sebuah sikap tepat untuk menghormati Wilona.
“BWAHAHAHAHA!” tawa Wildan mendadak meledak tak terkira mendengar ucapan Tiara. Raut wajahnya menunjukkan kepuasan tak terperi.
Wilona sendiri kini menekuk wajahnya yang kemudian menunjukkan rona gelap karena merasa terintimidasi oleh gelak tawa penuh kepuasan dari Wildan yang berdiri sedikit berjarak di belakangnya.
“Tiara, gadis kecil yang baik, apa aku terlihat seperti seorang tante-tante untukmu?” ucap Wilona memaksakan diri tetap bertutur lemah lembut dengan nada bergetar nan lirih hampir tak tertangkap oleh kedua telinga Tiara, terlebih lagi ucapan Wilona terdistraksi oleh tawa terbahak-bahak milik Wildan yang masih terus membahana tanpa jeda.
“Diam!” rutuk Wilona yang kemudian menolehkan kepalanya ke arah Wildan sembari memberi tatapan membunuh.
Wildan segera berdiri tegak seolah siap melakukan hormat bendera, namun tangan kanannya lebih digunakan untuk menarik garis pada bibirnya yang terkatup rapat tanda patuh oleh perintah Wilona. Tentu saja itu tidak bertahan lama sebab Wildan kini masih berusaha menahan cekikikan yang nyaris lolos dari kerongkongannya.
Wilona menjadi kesal.
Tiara jadi merasa bersalah.
“Maaf nona, saya tidak bermaksud mengatakan hal yang tidak menyenangkan. Saya hanya bingung,” ucap Tiara berusaha bersikap sopan dan berharap permintaan maafnya dapat memperbaiki suasana hati Wilona.
Wilona menghela nafas panjang, ia kini memilih tidak memperpanjang pembahasan yang dirasa tidak penting untuk terus dilanjutkan, “Sudahlah, lupakan saja,” ujarnya.
“Tiara, kenalkan aku Wilona dan pria bodoh yang kau lihat di belakang itu adalah Wildan,” ucap Wilona memperkenalkan diri dengan ramah.
“Wilona, Wildan,” ucap Tiara mengulang kedua nama yang didengarnya agar ia dapat mengingatnya dengan baik.
“Benar sekali,” ucap Wilona lagi mengapresiasi perilaku sederhana yang dilakukan Tiara.
“Panggil saja aku Wilona yaa,” tambahnya lagi. Tiara hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kalau dia, kau bisa memanggilnya sesukamu, bahkan jika kau ingin kau boleh memanggilnya bodoh sekalian!” rutuk Wilona sambil melirik Wildan yang terlihat tidak peduli dengan apapun yang dikatakan Wilona untuknya.
“Apa, apakah kalian kembar?” tanya Tiara kemudian mencoba menemukan jawaban dari rasa penasaran yang masih mengganggunya.
“Benar sekali gadis cantik, kami kembar,” jawab Wilona mengiyakan pernyataan Tiara.
“Hei, sebaiknya kita segera pergi dari sini.” celetuk Wildan yang kini memperlihatkan raut wajah waspada.
Wilona mengangguk tanda mengerti dengan ucapan Wildan. Kali ini Wildan melangkah maju mendekati Tiara, “Gadis kecil, kita harus pergi dari tempat ini, agar lebih cepat, sebaiknya kau ikut denganku saja.”
Tiara yang sedikit bingung dan baru saja ingin mengajukan pertanyaan kini harus terkejut untuk kesekian kalinya. Wildan tanpa aba-aba segera menggendongnya dan mereka kini melesat pergi menyusuri jalan setapak dengan kecepatan yang tak seperti milik manusia pada umumnya sebelum Tiara sempat bereaksi melakukan penolakan atau memberi sikap apapun yang pantas atas apa yang dilakukan Wildan.
Tak ada sepatah kata apapun yang terlontar dari ketiga manusia yang hanya terus melesat dalam kegelapan malam. Tiara sendiri tak dapat melihat pemandangan apapun disekitar yang tengah mereka lewati. Mereka begitu cepat!
Tiara hanya bisa membenamkan wajahnya dalam-dalam di dada bidang milik Wildan dan melingkarkan erat kedua tangannya pada tengkuk Wildan sebagai usahanya menjaga diri agar tak lepas dari pegangan Wildan yang terlihat menggendongnya tanpa kesulitan meskipun tengah berlari sangat kencang. Wilona sendiri sama cepatnya dengan Wildan dan berusaha tetap menjaga agar dirinya terus melesat berdampingan bersama kembarannya itu.
Ini, mau kemana?
****
Bersambung~
Penasaran seecc…
Hmmm menarik