Vitamins Blog

Pinkie Promise: 5. Ratnaraj

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

****

Jalan setapak satu-satunya di area taman tersebut ternyata begitu panjang, sehingga dapat dipastikan akan membutuhkan waktu yang agak lama untuk mencapai ujungnya. Beruntung Tiara saat ini sedang berada dalam dekapan Wildan yang mampu melesat dengan sangat cepat. Perlahan-lahan Tiara bisa melihat mereka semakin mendekati titik terang. Cahaya yang tadinya hanya tertangkap dari sorot lampu taman yang berjejer rapi di tepi jalan dengan pancaran sinarnya yang redup kini berganti dengan sumber cahaya yang lebih terang. Sekumpulan cahaya yang sangat terang, seakan mampu mengalahkan kegelapan malam.

Ini, dimana?

Wildan dan Wilona telah berhenti berlari. Mereka telah sampai di ujung jalan lainnya dan kali ini menatap lurus pada sekumpulan cahaya terang yang berasal dari lampu-lampu pijar rumah penduduk. Mereka sedang berada di pinggiran kota.

Wildan menurunkan Tiara dengan hati-hati, memberi waktu untuk Tiara mengumpulkan keseimbangan agar dapat berpijak sempurna pada hamparan bumi. Kepala Tiara memang sedikit pusing karena sudah mengalami guncangan halus terus menerus selama berada di dalam dekapan Wildan.

“Apa sudah merasa lebih baik?” tanya Wilona masih dengan caranya yang begitu lemah lembut dalam bertutur kata.

Tiara hanya tersenyum simpul dan mengangguk lemah.

“Tiara, kita sudah sampai di pinggiran Kota Thames. Sementara ini kami akan membawamu ke rumah kami yang berada tidak jauh dari sini. Kau masih kuat untuk berjalan kaki sedikit?” tanya Wilona memastikan keadaan Tiara yang memang sedikit meragukan dari sosoknya yang begitu kecil dan kurus, terkesan sangat rapuh dan lemah.

Sekali lagi Tiara hanya mengangguk. Tidak ada tanda-tanda keraguan dari diri Tiara terhadap apapun yang disampaikan Wilona. Saat ini baginya Wilona adalah tempat ia menuju ketika tak tahu lagi harus bagaimana di tempat asing yang sepertinya sangat jauh dari tempat ia seharusnya berada.

Gadis kecil tak berdaya yang memilih untuk meletakkan kepercayaan kepada orang asing yang dalam sekejap mampu membuatnya merasa nyaman.

 

Rasa nyaman yang bagi Tiara sudah cukup untuk menghapus keraguan apapun yang bisa muncul  dalam benaknya. Tiara lebih mendengar kata hatinya. Saat ini hati Tiara berbisik padanya bahwa ia harus ikut dengan Wilona dan Wildan untuk menemukan jalan pulang dari tempat asing ini.

 

****

“Kita sudah sampai,” ujar Wilona ketika mereka telah berada di pekarangan luas sebuah rumah yang berada terpisah dari sekumpulan rumah penduduk yang Tiara lihat selama dalam perjalanan.

Apa yang dikatakan Wilona memang benar, mereka hanya perlu berjalan sedikit memutari tepian batas kota yang terbuat dari dinding bata kokoh yang tidak begitu tinggi, hanya sebatas tinggi dada manusia, hingga mereka menemukan sebuah bangunan rumah sederhana yang berdiri kokoh, tidak begitu luas, dan agak sedikit aneh karena letaknya terasing dari lingkungan dalam kota. Satu hal yang membuat Tiara kagum, pekarangan rumah yang luas itu terlihat rapi dan terawat serta dihiasi berbagai tanaman bunga berbagai jenis.

“Kenapa rumah ini tidak berada di dalam dinding yang membatasi kota kecil itu?” tanya Tiara tiba-tiba.

Yaa, gadis kecil yang jiwanya masih sangat haus pengetahuan dan hal-hal baru beserta rasa ingin tahu yang berlebih tak bisa menahan diri untuk mempertanyakan apapun yang mengganggu benaknya.

“Kami bukan penduduk kota, kami berbeda.” celetuk Wildan singkat yang kemudian melengos pergi melewati Tiara untuk segera masuk ke dalam rumah.

“Apa maksudnya?” batin Tiara. Tapi kali ini Tiara berhasil menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Sosok Wildan agak membuatnya tak nyaman. Tiara tak mau bermasalah dengannya.

“Sudahlah, ayo kita masuk,” ujar Wilona kemudian menggandeng tangan Tiara seperti seorang kakak yang sedang menuntun adik perempuannya. Sekali lagi, Tiara hanya patuh tanpa rasa waspada sedikitpun. Yaa, karena memang tidak perlu.

Tiara kini tengah duduk manis di kursi ruang tamu. Meskipun ia ingin lebih jauh mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan hingga menelisik ke dalam ruangan-ruangan lainnya, ia masih ingat tata krama yang diajarkan oleh ibunya ketika sedang bertamu di dalam rumah orang lain.

Tiara, kalau bertamu harus duduk manis yaa, tidak boleh ingin tahu apapun kecuali yang diperlihatkan oleh sang tuan rumah,” kata ibunya pada suatu waktu kala Tiara begitu tidak menjaga diri untuk menghindari bersikap lancang memasuki kamar-kamar di rumah salah satu keluarga mereka yang membuatnya terpukau. Sejak saat itu Tiara selalu mengingat kata-kata ibunya setiap kali ia diajak bertamu dimanapun.

Wilona telah kembali dari sebuah ruangan yang sepertinya merupakan dapur dan membawakan tiga cangkir teh panas di atas nampan. Salah satu cangkirnya diletakkan di atas meja tepat di hadapan Tiara sebagai pertanda minuman tersebut sengaja dibuat untuk disuguhkan padanya. “Minumlah, kau pasti haus,” ucap Wilona mempersilahkan Tiara. Tiara sekali lagi mengangguk dan segera meraih cangkir teh tersebut untuk kemudian meminumnya.

Wilona kini duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan tempat dimana Tiara tengah duduk. Ia memberi waktu untuk Tiara menikmati teh terlebih dulu, sebelum kemudian mengajaknya bicara. Wildan sendiri memilih duduk menjauh di sudut ruangan, pada sebuah kursi goyang yang terbuat dari kayu jati nan kokoh berwarna cokelat tua. Tempat dimana Wildan tengah duduk tepat berada di dekat jendela besar yang membuatnya mudah melihat ke arah luar untuk mengawasi situasi di pekarangan depan rumah.

“Tiara, apa kau tahu kenapa kau bisa berada di taman tadi?” tanya Wilona tiba-tiba.

Tiara hanya menggeleng lemah. Ia mencoba mengingat apapun tapi tidak ada satupun hal yang membuatnya memahami sebab keberadaannya sekarang. Bahkan Tiara masih berpikir bahwa saat ini ia tengah bermimpi dan sedang menerima dengan pasrah peran yang harus dijalani dalam mimpinya ini. Mimpi aneh yang terasa nyata.

Wilona meletakkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kaca tebal dan terlihat berkilauan di atas meja. Ia menyodorkan kotak tersebut pada Tiara agar Tiara dapat melihatnya lebih dekat dan saksama.

“Aku rasa ini yang membawamu kemari,” ucap Wilona singkat sembari mempersilahkan Tiara untuk membukanya.

“Ini, apa?” tanya Tiara begitu dikuasai rasa ingin tahu ketika telah membuka kotak tersebut. Kilau merah nan cantik dari sebuah batu kecil seukuran pupil matanya membuat Tiara begitu tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Bahkan batu itu seakan sengaja memancarkan sinar yang menyilaukan ketika jari-jemari Tiara tak dapat bertahan untuk tidak menyentuhnya.

“Wah!” Tiara begitu terkesima ketika mendapati batu tersebut bercahaya tiba-tiba. Tidak begitu terang namun menyilaukan sepasang pupil milik Tiara.

“Hah? Yang benar saja!” keluh Wildan dari tempatnya duduk sembari mendengus kesal saat memperhatikan interaksi antara Wilona dan Tiara. Ia tidak percaya akan batu bertuah yang mereka jaga selama ini bereaksi terhadap gadis kecil nan rapuh yang bahkan mungkin tidak mengerti apapun meskipun dijelaskan seribu kali tentang apa yang sedang mereka hadapi.

“Tiara, aku dan Wildan hidup di rumah ini sejak kami berusia sepuluh tahun di bawah asuhan Bibi Meredith. Beliau telah tiada beberapa hari yang lalu. Beliau-lah yang menjaga batu ini agar tidak jatuh di tangan orang yang salah. Sebelum meninggal, Bibi Meredith berpesan dalam hitungan beberapa hari kedepan, seseorang akan muncul di Taman Rosetta, jiwa terpilih untuk memiliki batu ini,” terang Wilona sembari kedua mata ambernya terlihat berkaca-kaca mengenang kepergian Bibi Meredith yang ia sayangi. Tiara mendengarkan dengan saksama meskipun ia masih tidak begitu paham akan penjelasan Wilona.

Batu apa?

Jiwa terpilih apa?

Kenapa?

 

“Sial!” hardik Wildan tiba-tiba ketika Wilona akan melanjutkan ceritanya untuk Tiara.

“Ada apa?” tanya Wilona sedikit khawatir dan segera meningkatkan kewaspadaannya.

“Mereka datang. Aku rasa mereka sudah mengetahui hal ini,” ujar Wildan masih tetap menatap ke arah jendela kaca.

Wilona segera menyimpan kotak kaca ke dalam saku mantelnya yang isinya telah dikembalikan Tiara dengan terburu-buru. Segera ia melihat ke arah luar melalui jendela lainnya yang berada tak jauh dari jangkauannya. Tiara sendiri ikut mengintip karena rasa penasaran sekali lagi menguasainya.

Mata Tiara terbelalak, membulat penuh menemukan apa yang mengalihkan perhatian Wilona dan Wildan. Di pekarangan rumah yang luas telah berbaris rapi belasan manusia yang berpenampilan aneh. Pekarangan yang tadinya indah kini terasa suram. Mereka semua terlihat serupa dengan tubuh yang terbungkus kain ketat berwarna hitam. Tiara pikir mereka bukan manusia, sebab mereka terlihat seperti boneka kain hitam polos yang mampu bergerak sendiri. Tidak ada bedanya satu sama lain, bahkan dari satu tubuh hanya bisa dibedakan sisi depan dan belakang melalui topeng putih polos yang terkesan sebagai penutuh wajah. Tiara bahkan tidak yakin mereka semua memiliki wajah.

“Para boneka. Si tua bangka itu pasti mengirim mereka setelah menyadari ajalnya sudah semakin dekat,” ucap Wildan dengan sinis. Sorot matanya begitu tajam dengan aura membunuh.

“Kita tidak boleh lengah, mereka bisa saja sangat buas sekarang,” ucap Wilona lalu beranjak dari jendela.

Wilona membawa Tiara ke sebuah pintu lemari di ruang tamu tersebut yang sejajar dengan dinding. Itu adalah lemari yang menyatu langsung dengan dinding rumah.

“Tiara, tetaplah di sini. Apapun yang terjadi, kau harus tetap di sini hingga salah satu dari kami membawamu keluar. Apa kau mengerti?” ucap Wilona terburu-buru. Tiara hanya mengangguk cepat, ia begitu gugup saat ini.

Segala sesuatu terjadi begitu cepat. Sesaat setelah Wilona menutup pintu tersebut, suara berisik dan serangan-serangan bertubi memecah keheningan ruangan. Tiara tidak berani mengintip dari balik celah pintu lemari. Ia menutup kedua matanya dan berlutut sembari terus berdoa Wilona dan Wildan akan baik-baik saja.

Tiara begitu ketakutan. Keributan dari balik pintu lemari terasa begitu kacau. Ketika Tiara merasakan sebuah cairan lengket dan hangat mengenai lututnya yang tengah bersimpuh, ia segera membuka mata dan terkejut mendapati sebuah cairan berwarna hitam pekat masuk dari celah pintu. Itu membuat Tiara mendadak berteriak.

Tiba-tiba saja pintu lemari terbuka dan Wildan segera menggendong Tiara lalu melesat pergi meninggalkan tempat tersebut. Tiara sempat melihat tubuh Wilona terkapar di depan pintu lemari tempatnya bersembunyi. Cairan pekat berwarna hitam itu dari tubuh Wilona! Dia, terluka!

Tiara tak tahu harus bersikap apa, ia hanya membiarkan dirinya pasrah dalam gendongan Wildan yang semakin menjauh dari kekacauan lalu mereka kini sudah kembali berada di taman tempat semuanya bermula, Taman Rosetta.

“Pergilah Tiara….”

Tiara tercenung, hanya bisa diam mematung masih tak berhenti menatap sepasang mata amber yang kini menatapnya dengan kilatan tak bersahabat.

 

Pria dihadapannya itu tak mau mengulang kata-katanya untuk kedua kalinya, mendekatinya dengan bahasa tubuh yang diliputi kegeraman hingga membuat Tiara sedikit melangkah mundur dari tempatnya berdiri.

 

Tubuh tegap dan kokoh itu kini hanya berjarak beberapa senti dari tubuh mungil Tiara. Melingkupinya, hingga Tiara harus sedikit mengangkat dagunya agar tetap dapat menatap lekat sepasang iris amber yang terlihat didera kecemasan.

 

Tiara merasakan telapak tangannya digenggam dengan cepat, meninggalkan sebongkah batu kecil berkilauan berwarna merah darah di telapak tangan mungilnya.

 

“Itu adalah Ratnaraj, satu-satunya yang tersisa. Bawalah bersamamu, hanya Kau yang bisa menjaganya, Tiara.”

 

Ketika sosok dingin itu mulai beranjak pergi meninggalkannya, Tiara segera menyusulnya lalu menggenggam tangan kekar di hadapannya, membuat jari kelingking tangan kanan mereka saling bertautan.

 

Bola mata amber itu kembali menatapnya, kali ini dengan diliputi oleh tanda tanya besar atas tindakan Tiara. Sebelum sebuah pertanyaan lolos dari kerongkongannya, Tiara segera angkat bicara.

 

“Ini disebut sebagai Pinkie Promise. Aku sedang berjanji padamu,” ucapnya cepat.

“Aku berjanji bahwa aku akan kembali dan Aku berjanji akan menjaga Ratnaraj untukmu.”

“Tiara, ratnaraj akan membawamu kembali pulang ke tempatmu berasal, duduklah di bangku itu, genggam ratnaraj dengan kedua tanganmu, berpikirlah untuk kembali ke tempat terakhir kau berada. Sekarang! Kita tidak punya banyak waktu!” perintah Wildan yang segera dipatuhi Tiara.

Meskipun masih banyak pertanyaan yang mengganjal seperti keadaan Wilona dan apapun yang tengah menimpa mereka dengan sangat cepat, Tiara memilih memikirkan kembali jalan pulang. Semoga semua ini hanya mimpi.

Sebuah gaya tarik seperti menyedot jiwa dan raga Tiara yang tengah duduk di bangku taman sembari memejamkan matanya. Dan ketika Tiara membuka mata perlahan, jarak pandangnya kini telah berbatas oleh atap ruangan yang ia kenal sebagai plafon ruang perpustakaan mini.

Hujan di luar sudah reda dan mendung telah berganti cerah. Tiara bangkit dari tempatnya berbaring, segera merapikan semua buku yang tergeletak serampangan di sekitarnya lalu bercermin sebentar di depan cermin yang tergantung di dinding samping pintu toilet.

Tiara meyakinkan dirinya bahwa ia hanya tengah bermimpi. Wajahnya bersih, tak ada noda kotor sedikitpun melekat pada tubuhnya. Tiara rasa semua itu memang hanya mimpi. Tiara menarik nafas lega dan beranjak keluar dari perpustakaan untuk kembali pulang ke rumahnya.

Tapi Tiara tak menyadari sebuah kalung hadiah ulang tahun dari orangtuanya, berbandul batu permata merah yang melingkar di lehernya, kini memiliki pancaran sinar yang berbeda. Disitulah ratnaraj bersemayam.

Dan semesta dimana ratnaraj berasal telah mendengar janji Tiara.

Akan tiba saat di mana Tiara harus kembali dan menepati pinkie promise yang telah ia ucapkan, bahkan jika itu hanyalah janji gadis kecil yang tak mengerti apapun.

 

****

Bersambung~

1 Komentar

  1. Selingan menyentuh :ohyeaaaaaaaaah!