Bab 6
Bening mengetuk pintu rumah itu pelan. Melangkahkan kakinya kembali.
“Halo, Bi Surti.”
“Non Bening! Ya ampun non, kenapa kurusan sekali. Non baik-baik aja kan yah?”
Bening tertawa mendengarnya. “Bening baik-baik saja kok Bi, sekarang lagi diet biar kayak artis korea.”
“Ah Non bisa aja. Eh ayo masuk-masuk hehehe. Mau minum apa Non?”
“Enggak Bi, aku mau ke ruang kerja Kak Guntur aja. Ada berkas yang ketinggalan.” Bening masuk ke ruang kerja Guntur dan mencari dimana surat nikah beserta kartu keluarga yang Guntur simpan.
Berkas-berkas seperti itu yang dibutuhkan untuk mengajukan gugatan. Bening mengambil foto dari beberapa berkas tersebut. Untuk meminimalisir keheranan Guntur akibat berkas-berkasnya hilang.
Bening bergerak cepat, membuka laci, mengeluarkan berkas-berkas yang ia butuhkan untuk menggugat Guntur. Tidak luput Bening dengan tanda tangan Guntur, ia percaya Guntur pasti tidak ingin menandatangani surat perceraian mereka. Bening akan memanipulasi tanda tangan Guntur. Semuanya, Bening sudah memikirkan semuanya.
“Tidak kusangka, ada penyusup kecil di ruangan kerjaku.”
Brak….
Ponsel Bening terjatuh, ia menengadah. Guntur berdiri gagah dihadapannya. Berlutut, mensejajarkan tinggi badannya.
Bening tiba-tiba merasa mulas. Kenapa Guntur sudah pulang, padahal masih jam dua siang. Ia sangat ketakutan sekarang.
“Tidak baik menyelinap di ruang kerja seseorang.” Bening tetap diam, ia tidak berani bergerak seinci pun.
Guntur merapikan semua berkas yang sudah berhamburan di lantai. Melihat Guntur yang sibuk menyusun semua berkas, Bening berdiri untuk melarikan diri dari hadapan Guntur. Sebelum mencapai pintu, tangannya sudah digenggam Guntur erat.
“Ingin melarikan diri, Bening?” Guntur menghimpit Bening, mengurungnya dengan kedua lengan kekarnya tanpa ada celah sedikitpun. Bening menggenggam ponsel seakan itu adalah pegangannya atas jurang antara Guntur. Menjatuhkan ke dalam pusaran yang sulit untuk keluar. Bening tidak berani untuk menatap mata kelam itu, tatapan yang diberikan Guntur membuat Bening sulit untuk bernafas dengan benar.
Lengan kekar yang mengelilinginya mengingatkan Bening pada malam itu, malam di saat ia kehilangan mahkota yang telah ia jaga. Ingatan itu terus berputar, selayaknya kaset tua rusak. Keinginan Bening untuk menjauh dari pusaran sangat kuat, tapi dinding menghalangi apa yang ada dipikirannya.
“Apa yang kau cari?” Tanya Guntur mendekatkan wajahnya ke arah Bening yang menunduk. Bening semakin terdesak. Dengan sisa keberanian, Bening menatap mata kelam Guntur. Seakan memberitahukan Guntur jika ia tidak lemah seperti yang dulu. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan Guntur. Ia tidak ingin dikasihani. Tidak sebagai ibu yang gagal menjaga benih dari pria ini.
“Tentu saja berkas untuk perceraian kita, Guntur.” Bening menyeringai, menutupi rasa gugup yang menggerogotinya hingga ke tulang. Tanpa Guntur sadari, tangan Bening mengeluarkan keringat dingin. Ia harus menyembunyikan semua hal yang membuat Guntur sadar, bahwa sebenarnya ia hanyalah gadis rapuh yang masih mencintainya dengan sepenuh hati. Menahan sakit, untuk terbebas dari belenggu cinta yang membuatnya semakin bodoh. Bahkan, mengorbankan bayi yang bahkan tidak bisa terlahir ke dunia karena kebodohannya.
Guntur terkejut dengan jawaban Bening, bagaimana wanita ini dengan beraninya menatap matanya langsung bahkan memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Kak’ seperti biasanya. Rahangnya mengetat, wanita yang dulunya selalu menurut sekarang bisa seberani ini, adalah pencapaian luar biasa untuk Bening.
“Menurutmu, apakah kita akan bercerai?” Pancing Guntur.
“Tentu saja, aku yang akan menggugat. Tenang saja.” Guntur tertawa, terbahak-bahak mendengar pernyataan dari Bening.
Sedangkan Bening, memperhatikan lengkungan bibir itu. Guntur tidak pernah tertawa tulus lagi saat bersamanya. Hanya ada tertawa palsu yang dimaksudkan untuk menekan Bening, membuat Bening takut.
“Menurutmu, kau mempunyai uang untuk membayar pengacara Bening? Aku tidak akan membuatnya menjadi mudah. Ingat, perusahaan Monika membutuhkan bantuanku. Atau…” Guntur semakin mendekatkan wajahnya ke arah Bening, sedikit lagi bibir mereka akan bersentuhan.
Bening menahan nafas saat aroma mint tercium dengan sangat jelas.
“Atau aku hancurkan perusahaan Monika sampai tidak bersisa. Aku hancurkan semua orang yang membantumu, sehingga tidak ada jalan lain selain berpulang pada pelukanku. Ingat itu Bening.” Ancaman Guntur membuat Bening terdiam mematung.
Guntur mengambil ponsel Bening, menghapus semua foto berkas yang sudah Bening himpun. Tidak bersisa, semua usahanya tidak bersisa.
Guntur mengembalikan ponsel milik Bening dan kembali menghilang dari balik pintu.
Bening menghembuskan nafas keras. Bersandar pada dinding, tubuhnya sangat lemas. Tanpa terasa, air matanya jatuh.
“Maafkan Mama Nak, maafkan Mama.” Isak Bening.
Bening terdiam, kejadian di rumah Guntur membuatnya berpikir. Entah apa yang diinginkan oleh Guntur, ia hanyalah ingin menjauh dari pria itu. Ia tidak akan lagi menempel pada Guntur seperti yang ia lakukan saat dulu. Ia hanya ingin memulai kehidupan yang baru, kehidupan tanpa adanya Guntur.
Suara pintu kamarnya mengagetkan Bening dari lamunannya. Monika berjalan perlahan.
“Persediaan makanan sudah habis, berbelanjalah.” Monika memberikan kartu kepada Bening, sedangkan Bening hanyalah menatap lekat.
“Carilah kesibukan untuk mengobati lukamu, tidak ada gunanya berdiam diri dan merenung. Waktu tidak bisa diputar. Carilah kegiatan yang membuatmu bahagia.” Sekarang ia tahu maksud dari Monika. Peralihan rasa sakit yang ia tanggung.
Air matanya menggenang, rasanya sakit sekali mengingat bagaimana rasa cintanya terhadap Guntur. Saat Guntur membuatnya menangis, saat Guntur tidak memperdulikan, sampai ia menyerah dan akhirnya kehilangan bayi yang ia kandung. Rasanya, semua yang ia miliki sengaja dirampas darinya. Tidak ada satu pun yang tersisa.
Bening hanya ingin melarikan diri, tapi apalah arti melarikan diri. Permasalahan tidak akan selesai.
Bening mengambil kartu itu. Menggenggamnya, sepertinya berbelanja akan sedikit mengalihkan rasa sakit yang ia rasakan.
“Apakah Guntur mengancammu, Kak?” Tanya Bening, ia mengalihkan pandangannya. Melihat perubahan gerak tubuh Monika.
“Tenang saja, bisa teratasi kok. Berbelanjalah.” Bening memandang lekat Monika dengan raut wajah putus asa.
“Aku terlalu nyusahin ya Kak? Terlalu membuatmu sulit ya?” Ia meringis, menggenggam kartu dan memainkannya untuk menutupi rasa sesaknya.
Monika terdiam, menatap Bening yang menunduk. Ia hanya bisa terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Guntur mengancam ‘kan?”
“Bening, kau tidak perlu risau. Fokus pada pemulihanmu saja.” Bening mengangkat wajahnya, dan memaksa wajahnya untuk tersenyum. Meski terlihat aneh, ia memaksakan diri.
Monika tersenyum dan membalikkan badan. Menghilang dari balik pintu.
Bening menghela nafas, beranjak dari tempat tidur. Sepertinya tidak buruk untuk berbelanja.
Bening mengelilingi etalase, memilih apa yang ia butuhkan. Saat memilih saus, ada tangan lain yang meraih botol saus yang ia pilih.
“Ini cukup bagus.” Guntur mengambil troli belanja Bening, bukan mengambil lebih ke merampas.
“Kau!”
“Apa? Mari belanja, mau apa lagi. Buah?”
“Kau membuntutiku ya!”
“Kalau aku jawab iya, bagaimana? Ada masalah?” Bening mau tidak mau mengikuti langkah kaki Guntur, ia tidak habis pikir Guntur membuntutinya sampai sebegininya. Saat Guntur memilih-milah apel, tidak sengaja Bening menatap lekat buah strawberry yang ada di dekatnya.
“Mau strawberry?” Tanya Guntur. Bening menyentuhnya dengan lembut.
“Dulu, aku pernah ngidam strawberry saat di desa, tapi saat itu cukup sulit mendapatkan buah ini.” Guntur terdiam, menatap Bening. Menggenggam tangannya, yang membuat Bening terkejut akan perlakuan Guntur.
“Baiklah, kita ambil tiga bungkus.”
“Tapi sekarang aku tidak ingin buah strawberry.”
“Tiba-tiba aku jadi ingin, sudah lama rasanya tidak memakan buah ini.” Bukan sudah lama, tapi Guntur tidak menyukai strawberry. Bahkan, saat menikah Bening tidak pernah membeli buah ini. Guntur lebih sudah buah pisang atau apel yang ada di genggamannya tadi.
“Tapi, bukankah ini terlalu banyak?” Gumam Bening.
“Tidak, ayo kita lanjutkan belanjanya. Sepertinya belanja kebutuhan dapur sudah selesai, ayo kita berbelanja pakaian.”
“Tapi, aku tidak membutuhkannya.”
“Apa aku tadi bertanya pendapatmu?”
“Karna kau tidak pernah bertanya pendapatku, lebih baik kau saja yang berbelanja pakaian. Sehabis ini aku akan pulang.” Bening merebut troli dan bergegas untuk membayar ke kasir. Apa-apaan ia, memaksanya untuk mengikuti sepanjang hari. Bening tidak sudi. Lebih tepatnya ia tidak bisa menciptakan kenangan yang begitu intim bersama Guntur. Tidak, sudah cukup. Ia takut tidak bisa membendung rasanya lebih dari ini. Dasar wanita bodoh. Sudah disakiti berkali-kali tapi tetap saja mencintai sebegitunya.
Bening mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Monika.
“Pakai yang ini saja Mbak.” Bening menatap Guntur dengan tatapan bertanya, apa maksud dari lelaki ini.
“Aku harus menafkahi istriku, bukan? Jangan berdebat.” Membuat Bening tidak bisa mengeluarkan kalimat yang sudah ingin ia keluarkan sejak tadi. Lebih baik ia memilih diam daripada berdebat dan dilihat oleh banyak orang, itu cukup memalukan.
Setelah menyimpan belanjaannya, Guntur menarik Bening untuk berjalan beriringan.
Mereka bergerak ke arah toko pakaian. Entah apa yang ingin dilakukan oleh Guntur, Bening hanya mengikuti langkah kaki lelaki itu saja. Berdebat pun rasanya percuma, lelaki keras kepala.
Pramuniaga mendekat mendatangi mereka, sesuai dengan SOP yang sudah ada.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Carikan pakaian yang cocok dengan istri saya ya Mbak, kalau bisa cari yang model gaun sederhana ya, saya suka melihat istri saya memakai gaun.” Guntur memandang ke arah Bening, sedangkan wanita itu hanya mengernyitkan dahi. Kenapa lelaki ini menjadi selembut dan semanis ini? Kemana Guntur yang selalu membentaknya dan selalu memandangnya rendah, bukan pandangan penuh kelembutan seperti sekarang.
“Ah… Ternyata Bapak pasangan yang romantis juga, mari Bu. Kita akan lihat-lihat baju yang cocok dengan Ibu.” Layaknya robot, Bening mengikuti saja semoga segalanya cepat selesai dan ia bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya dengan tentram.
Guntur menyaksikan Bening membuntuti pramuniaga, hatinya merasa menghangat. Saat ini, mereka berdua layaknya sepasang suami istri pada umumnya. Bening menekuk wajahnya, wajah yang sangat imut. Sepertinya Guntur benar-benar telah masuk ke jurang pesona Bening. Selalu saja, ada hal baru yang ada pada Bening yang membuat ia jatuh cinta. Bukan, ia jatuh cinta dengan Bening bersama semua sifat dan tingkah imutnya.
Entah apa yang akan Guntur lakukan jika ia berpisah dari Bening, tidak ia tidak sanggup untuk membayangkannya. Penyesalan selalu menghantuinya sepanjang malam, tidak pernah sekalipun ia melewati malam tanpa mimpi buruk lalu terbangun di tengah malam.
Ketakutan, rasa bersalah, penyesalan menjalar di tubuh Guntur. Tidak, ia tidak bisa melepaskan Bening. Ia tidak sanggup.
Tanpa sadar arah mata Guntur mengarah ke manekin ada tiga pasang baju couple ayah, ibu dan anak yang sangat lucu. Guntur menyentuhnya dan membayangkan betapa cocoknya jika ia dan Bening memakai baju ini bersama anaknya kelak. Tanpa sadar ia tersenyum.
“Mbak, saya beli yang ini juga ya.” Ia memanggil pramuniaga yang lain.
“Baik Pak.” Setelahnya, Bening mendekat ke arahnya dengan wajahnya yang kuyu.
“Capek?” Pertanyaan seperti apa yang diajukan oleh Guntur, tentu saja ia sangat kelelahan sekarang.
“Bisa dilihat secara jelas melalui wajahku.”
“Tentu saja.” Lalu, kenapa bertanya jika sudah tahu.
Guntur, mendekat ke arah Bening mengelus kepalanya dengan sayang. “Mari kita istirahat setelah ini.”
“Tidak, antar aku pulang!” Bening mengikuti Guntur saat membayar di kasir dan ia terkejut dengan nominal yang dikeluarkan Guntur untuk membeli pakaiannya. Meskipun ia juga orang berada, ia tidak pernah berbelanja semahal yang dilakukan oleh Guntur.
“Dari wajahku sudah terlihat jelas, bukan?” Tidak, ia tidak akan diantar ke rumah Monika melihat isyarat dari Guntur. Bening harus melarikan diri, wanita itu mengecek apakah ia bisa memesan ojek online. Sepertinya itu ide yang bagus sekarang. Karena ia adalah spesialis untuk melarikan diri, khususnya melarikan diri dari Guntur dan segala yang berkaitan dengan lelaki itu.
Bening tetap mempertahankan wajah kuyu dan datarnya. Berharap Guntur tidak menyadari ada yang aneh padanya.
Guntur menahan tawanya dengan menutupi mulutnya dengan tangan, melihat Bening mencuri-curi pandang ke arahnya. Bagaimana ia tidak gemas sekarang, bisakah ia menculik istrinya ini dan menghabiskan waktu bersama.
KONTEN PREMIUM PSA
Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.
Download dan install PSA App terbaru di Google PlayFolow instagram PSA di @projectsairaakira
Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira
Guntur jadi bucin