Babang Ghost comeback!!
***
Jemariku sudah menyentuh daun pintu namun mendadak aku ragu. Perlahan aku berbalik, membuat tatapanku terarah padanya yang ternyata juga tengah menatapku dari sofa depan tv tempatnya duduk.
“Saat aku kembali, kau tetap akan ada di sini, kan?” tanyaku ragu. Aku takut dia menghilang tanpa jejak lagi.
“Aku tidak akan beranjak dari sofa ini,” janjinya dengan senyum merekah.
Aku tertular senyumnya lalu melambai dan keluar apartemen. Tiba di lift, aku bertemu sekelompok wanita yang sepertinya hendak berbelanja dan berangkat bekerja. Senyumku tersungging sebagai sapaan lalu bergabung di antara mereka.
“Dek Fira, ya?” tanya seorang wanita dengan tubuh agak berisi.
“Eh, iya,” kataku.
“Saya Dewi,” dia mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan ramah. “Tinggal di lantai atas,” lanjutnya.
Tak kuduga, yang lain juga mengenalkan diri hingga membuatku kebingungan untuk mengingat nama mereka. Maklum, aku bukan orang yang gampang ingat nama.
“Dek, maaf kalau menyinggung,” kata Dewi kemudian. “Tapi kamu saat ini jadi pembicaraan seluruh penghuni gedung apartemen ini.”
“Hah? Kenapa?” tanyaku bingung. Memangnya apa yang sudah kulakukan?
Dewi saling pandang dengan yang lain sebelum kembali menatapku. “Para penghuni sebelumnya di apartemen yang kamu tempati, tidak pernah bertahan lebih dari seminggu. Katanya di sana angker. Bahkan beberapa sampai masuk rumah sakit karena gangguan hantu itu. Tapi kamu kok…” Dewi menggantung kalimatnya, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana.
Aku meringis dalam hati. Orang-orang ini pasti akan berlari menjauh sambil menjerit ketakutan begitu tahu aku malah menangis sedih karena hantu penghuni apartemenku pergi.
“Apa tidak ada yang mengganggumu? Kuperhatikan juga kamu jarang keluar apartemen. Atau kamu punya semacam jimat penangkal hantu?” tanya ibu-ibu yang lain yang tampaknya pekerja kantoran seperti Astrid. Tapi aku sudah melupakan namanya.
“Tidak ada yang aneh,” kataku dengan kening berkerut pura-pura bingung.
“Lalu apa yang kamu lakukan di dalam apartemen? Katanya kamu bahkan bisa sampai berhari-hari tidak keluar apartemen.”
Katanya. Aku pasti sudah menjadi artis dadakan di gedung apartemen ini dan semua orang memperhatikan tiap kegiatanku, berusaha mendapat bahan gosip.
“Aku penulis,” kataku malu-malu. Entahlah. Aku selalu kurang percaya diri dengan sebutan itu. Penulis bagiku adalah seseorang yang karyanya jadi best seller dan dikenal semua orang. Tapi aku—sudah sangat bersyukur ada penerbit mayor yang bersedia menerbitkan bukuku. Dan bercita-cita suatu hari aku akan menerbitkan sendiri karyaku.
“Wah, itu hebat sekali,” puji seorang ibu dengan bibir merah manyala.
“Karena itu aku sering mengurung diri dalam apartemen.” Aku buru-buru mengembalikan topik pembicaraan pada apartemenku. Tidak ingin mereka bertanya lebih jauh mengenai karyaku dan berakhir kecewa karena ternyata aku hanya penulis kalangan bawah. “Aku selalu dikejar deadline.”
Mereka manggut-manggut menerima alasanku. Tapi tampak jelas masih belum puas. Masih tidak mengerti mengapa aku tidak mendapat gangguan hantu seperti penghuni-penghuni apartemen sebelumnya. Lalu mendadak si ibu dengan bibir merah manyala mengacungkan tangan seolah mendapat ide.
“Ah, bagaimana kalau nanti malam kita makan malam di tempat Dek Fira?” usulnya yang seketika membuatku dan Ibu-Ibu yang lain melongo.
“Hah?” aku tak bisa menahan rasa terkejutku.
Ibu itu tersenyum menenangkan. “Jangan khawatir, Dek Fira. Kami yang menyiapkan makanannya. Kamu hanya menyiapkan tempat. Setuju, kan?”
Kami semua tampak ngeri dengan pandangan ke arah si ibu berbibir merah manyala. Tentu aku juga ngeri membayangkan mereka masuk ke apartemenku. Meski saat ini aku dan si hantu sudah—hmm, apa yah? Rasanya teman saja tidak cukup untuk menggambarkan hubungan kami. Tapi apa iya sampai tahap—kekasih?
Ah, lupakan!
Pokoknya meski aku dan si hantu dalam masa genjatan senjata, tapi tetap saja aku tahu betul dia bukan sosok yang ramah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan dengan kehadiran orang-orang yang pasti akan dianggapnya mengganggu teritorialnya.
“Hmm, entahlah,” kataku ragu, bingung mencari alasan. “Aku orang yang cenderung penyendiri. Jadi tidak tahu bagaimana mengadakan makan malam bersama.”
Si Ibu berbibir merah manyala—yang baru kuingat bernama Vivi karena Dewi menyebut namanya tadi—mengibaskan tangan. “Santai saja, Dek. Bukan acara formal juga. Hanya makan-makan bersama tetangga. Kami memang sering melakukannya. Anggap saja pesta penyambutan tetangga baru,” katanya bersemangat lalu menoleh pada yang lain yang masih tampak ngeri. “Setuju, kan?”
“Hmm…”
Jelas sekali ibu-ibu yang lain berniat menolak. Tapi saat salah seorang mengangguk, yang lain pun ikut mengangguk setuju. Sepertinya rasa penasaran mereka pada apartemenku lebih besar dari rasa takut. Dan pepatah mengatakan, rasa penasaran bisa membunuhmu. Astaga!
Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga rasa penasaran tidak membuat mereka terluka, apalagi sampai terbunuh.
Oh, sial! Apa aku yang akan dituduh sebagai tersangka?
Oke, cukup! Aku terlalu jauh berpikir. Mungkin aku hanya perlu berbicara dengan si hantu dan membujuknya mengizinkan mereka bertamu selama beberapa jam. Seharusnya dia tidak keberatan menunggu di dalam kamar yang suasananya remang seperti kesukaannya. Tapi… apa kira-kira dia mau disingkirkan sebentar dari tempat persemayamannya di sofa depan tv?
“Dek!”
“Hah?” aku tersentak karena panggilan tiba-tiba itu.
“Malah melamun,” Vivi tertawa kecil. “Nanti malam kami akan ke rumahmu bawa makanan.”
“Oh, tentu.” Memangnya apa lagi yang bisa kukatakan? Mungkin seharusnya aku pura-pura tertekan saja agar tidak ada yang penasaran datang ke apartemenku. Tapi sekarang sudah terlambat untuk melakukannya.
Hhhh!
***
Aku baru selesai mandi lalu keluar dengan pakaian santai dan handuk melilit kepala. Entah mengapa tadi aku membawa pakaian lengkap ke kamar mandi alih-alih mengenakan bathrobe ke kamar tidur seperti biasa. Mungkin karena aku perlu buru-buru bersiap—
“Untuk apa?”
Aku menoleh ke arah sofa depan tv. Seperti biasa, si hantu berbaring di sana dengan tv menyala dan sekarang ditambah buku karyaku di depan wajahnya. Semakin lama tubuhnya semakin solid hingga membuatku nyaris berpikir bahwa dia manusia sungguhan. Hanya saja di permukaan tubuhnya masih tampak samar yang membuatnya malah seperti bersinar. Seolah ada lampu di permukaan tubuhnya, bahkan di atas pakaian yang dia kenakan.
Buku yang sedari tadi berada di depan wajahnya tiba-tiba bergeser turun hingga tak ada penghalang bagi mata hitam itu untuk menatapku.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” tegurnya.
Kurasa ini saatnya, pikirku membuat si hantu mengerutkan kening. Cukup aneh juga dia tidak tahu bahwa aku gelisah sejak pagi. Apa mungkin karena dia fokus pada buku yang dibacanya hingga kemampuannya membaca pikiran jadi teralihkan?
“Mungkin. Aku memang tidak menyadari bahwa kau gelisah.” Seperti biasa dia menanggapi isi pikiranku. “Jadi apa yang mengganggumu?”
Menghela napas, aku memilih menghampirinya lalu duduk di sofa panjang tempatnya berada. Mau tidak mau dia menarik kakinya agar aku memiliki tempat. Aku duduk menghadapnya yang tengah bersandar di salah satu lengan sofa. Satu kaki kulipat di bawah tubuh sementara kaki lain menjuntai menyentuh lantai.
“Maukah kau mengabulkan satu permintaanku?” tanyaku buru-buru sebelum dia lebih dulu membaca isi pikiranku.
Keningnya berkerut. “Katakan dulu apa permintaanmu.”
“Apa kau tidak bisa langsung bilang iya saja?”
Dia melotot. “Kau pikir aku bodoh?”
“Tidak.” Lalu aku menyatukan kedua tangan di depan dada dengan sikap memohon. “Hanya tolong kabulkan saja.”
“Katakan dulu apa!” dia bersikeras.
Akhirnya aku menghela napas menyerah. “Beberapa tetangga kita akan mampir makan malam.”
Seketika matanya melebar, bahkan manik hitamnya membesar hingga tampak memenuhi keseluruhan matanya. Bahkan di saat itu aku masih tidak merasa takut. “Tidak!” serunya lantang.
Sudah kuduga. Tapi tentu aku tidak akan menyerah begitu saja. Apalagi aku sudah terlanjur mengiyakan.
“Kumohon,” pintaku memelas. “Hanya beberapa jam.”
“Tidak!” serunya lagi. Kali ini sambil menjulurkan kakinya yang dia gunakan mendorong bahuku agar menyingkir dari sofa kesayangannya. Sama sekali tidak menyakitkan. Tapi efektif membuatku menjauh dengan kondisi tidak siap.
Aku merengut seraya berdiri. “Pokoknya mereka akan tetap datang,” kataku keras kepala.
Tapi baru sedetik kalimat itu keluar dari bibirku, mendadak aku memekik kaget saat tubuhku seperti melayang terdorong keras ke arah dinding lalu menempel di sana dengan kaki tidak menjejak lantai. Aku mengerang karena bukan hanya punggungku yang menyapa dinding yang sakit tapi juga leherku yang kini terasa seperti ditekan kuat, namun tidak sampai menutup jalur pernapasanku.
“Aku tidak menerima kehadiran manusia selain kau di sini.”
Seperti awal kedatanganku, suara itu bagai dihembuskan angin. Tidak ada sosoknya yang tertangkap indera penglihatanku. Hanya rasa sakit di leherku yang membuatku menyadari posisinya.
“Aku… sudah terlanjur bilang… iya.”
Perlahan sosoknya memadat bagai kabut. “Kalau begitu temui mereka dan katakan kau berubah pikiran.”
“Aku… tidak bisa….”
“Kenapa tidak?”
“Mereka… semua penghuni gedung apartemen ini… bertanya-tanya mengapa aku betah. Mereka heran… mengapa aku tidak mendapat gangguan hantu. Mereka mungkin sempat berpikir aku aneh… atau gila…. Jadi kurasa membiarkan mereka bertamu adalah keputusan yang tepat.”
“Untuk apa?” geramnya. “Untuk membuktikan bahwa tempat ini memang tidak berhantu? Dan akhirnya mereka akan datang lagi dan lagi?”
“Tidak ada… lain kali…. Aku janji.”
Astaga, ini semakin menyakitkan, meski aku masih bisa tetap bernapas normal. Pasti leherku akan lebam nanti.
“Jangankan lain kali, yang pertama pun tak akan kuizinkan. Jika mereka memaksa masuk, mereka semua akan berakhir di rumah sakit atau kuburan sekalian.”
“Kumohon.” Aku menampilkan tampang yang paling memelas. “Aku hanya ingin mereka berhenti bertanya-tanya dan mengawasiku. Itu sangat tidak nyaman.”
“Berpura-puralah tidak mendengar. Bahkan hindari pertemanan. Kau juga tidak tahu kan bahwa dirimu menjadi bahan pembicaraan sebelum ada yang memberitahumu?”
“Tapi aku sudah terlanjur tahu!” teriakku frustasi seraya menggeliat berusaha melepaskan diri yang ternyata sia-sia. Aku tidak bisa menyentuhkan dan tubuhku seperti menempel di dinding. “Aku… tidak akan bisa tenang lagi setelah ini….” Kali ini suaraku lemah.
“Tidak ada negosiasi. Mereka tetap tidak boleh masuk. Kecuali kau memang ingin mereka terluka.”
Aku sudah nyaris menyerah saat dia mengucapkan kalimat itu. Tapi sebuah ide melintas di otakku.
“Bagaimana kalau kita melakukan kesepakatan?” tawarku tiba-tiba. “Izinkan mereka berkunjung—sebenarnya makan malam—hanya untuk malam ini, dengan semua lampu menyala dan jendela terbuka. Sebagai gantinya kau boleh minta apapun padaku. Tapi hanya satu permintaan.”
Kumohon, terimalah. Ini cara terakhir yang kupikirkan. Dan kuharap bisa berhasil.
Kali ini dia tidak langsung menolak seperti sebelumnya, membuat harapan tumbuh di hatiku. Perlahan tubuhnya semakin solid hingga aku bisa melihat keningnya berkerut tampak berpikir.
Kau akan menerima, kan?
“Aku hanya mendapat satu permintaan sementara kau punya banyak permintaan?”
“Itu… itu bukan permintaan. Syarat tambahan. Permintaanku izinkan para tetangga berkunjung dan makan malam di sini. Menyalakan lampu, membuka jendela, dan kau tidak boleh mengganggu mereka adalah syarat tambahan.”
Dia melotot. “Sepertinya di syarat yang pertama tidak ada larangan aku mengganggu mereka.”
“Aku baru saja menambahkannya. Namanya juga syarat tambahan.” Aku nyengir.
Dia menatapku tajam lalu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan tubuhku yang jatuh terduduk ke lantai. Aku meringis seraya susah payah berusaha berdiri. Dan dia sudah kembali duduk nyaman di sofa dengan tubuhnya yang solid.
“Bagaimana?” desakku seraya meraba leherku yang terasa sakit.
“Aku menerima kesepakatanmu.”
“Sungguh?” tanyaku dengan wajah berbinar senang.
Dia mengangguk lalu kembali berbaring nyaman dengan kepala bertumpu di salah satu lengan sofa seraya mengambil buku yang tergeletak di lantai.
Aku tersenyum lebar. “Terima kasih,” kataku dengan hati lega.
Sekarang aku bisa melanjutkan menulis beberapa paragraf sejenak dengan tenang sebelum waktu makan malam. Segera aku berbalik menuju kamar. Tapi baru saja menyentuh handle pintu, aku baru teringat sesuatu.
Dia belum mengatakan permintaannya!
Segera aku berbalik kembali menghadap sofa lalu bertanya, “Jadi apa permintaanmu?”
Buku yang lagi-lagi menutupi wajahnya perlahan turun, membuat kami bisa saling bertatapan.
“Yakin ingin tahu sekarang?” tanyanya misterius.
Aku mengangguk bersemangat tanpa rasa curiga. “Ya, tentu saja.”
Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dan seketika aku merasa waswas hingga bulu kudukku meremang, baru menyadari bahwa aku seolah melakukan kesepakatan dengan iblis.
“Aku menginginkan dirimu. Seluruh dirimu. Baik hati, jiwa, dan—tubuhmu.”
***
♥ Aya Emily ♥
kok makin penasaran yaa suka sekali sama ceritanya semangat up nya kak
Kpan up thor
Kompensasi babang ghost ga seimbang
Duhhh bikin dag dig dug aje nih mas hantu 🤭
thorr pliss up
astaganagaaa my gooodnesss