Light Layers of The Day

Light Layers of The Day Ep 4: Darah Pertama, Salah Paham, Cahaya Hati

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

projectsairaakira Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

803 votes, average: 1.00 out of 1 (803 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Ikuti terus Novel Essence Of The Light (EOTL) yang dapat dibaca gratis sampai tamat hanya di projectsairaakira.com. Temukan Novel Romantis Fantasi berkualitas lain hanya di Project Sairaakira

Baca Parts Lainnya Klik Di sini
803 votes, average: 1.00 out of 1 (803 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

7862  words

Eps 4A: Darah Pertama

Jemari  Xavier yang memegang pergelangan tangan Akram langsung mengencang. Dia memang sudah menanti dan memperkirakan saat-saat seperti ini. Tetapi, sama sekali tidak diduganya bahwa dia akan menghadapi ini bersama Akram yang muncul di saat tidak tepat.

“Apakah kau datang bersama kelompokmu?” Xavier bertanya sambil menggertakkan gigi. Bagaimanapun juga, dia harus mengatasi ingatan mengerikan yang langsung membanjir begitu dirinya berhadapan langsung dengan pemimpin penculik itu. Meskipun sekarang sedang mengenakan pakaian yang bagus dan perlente, wajah penculik itu masihlah sama mengerikannya seperti dalam ingatan Xavier di masa lampau.

Pemimpin penculik itu terkekeh. “Tentu saja aku datang bersama mereka semua. Mereka menunggu di bawah karena aku hanya berhasil mendapatkan satu saja undangan untuk memasuki pesta ini. Lagipula, hanya aku yang paling tampan sehingga akulah yang paling pantas menyamar untuk memasuki pesta ini,” mata pemimpin penculik itu menelusuri Xavier dari atas ke bawah dengan sikap melecehkan yang kejam. “Sebenarnya aku ingin langsung membunuhmu. Tetapi, rasanya akan menyenangkan jika kita mengadakan ‘reuni’ lebih dahulu, bukankah begitu?” tanyanya dengan sikap melecehkan yang kentara.

Tubuh Xavier gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi lebih karena menahan rasa marah dan jijik.

“Jika aku berteriak. Kau akan ketahuan dan ditangkap,” ucapnya mengancam.

Ancaman Xavier itu sama sekali tak membuat pemimpin penculik itu gentar. “Di balkon ini sangatlah sepi, aku sudah memeriksanya. Jika kau berteriak, pun suaramu yang berasal dari tempat jauh ini, akan terkalahkan oleh suara musik orkestra yang dimainkan di bawah sana. Bahkan jika ada yang mendengar suaramu pun, mereka akan terlambat datang karena aku sudah membunuh kau dan adikmu,” tangan pemimpin penculik itu keluar dari belakang tubuhnya dan langsung menodongkan pistolnya, membidik ke arah Xavier. “Aku akan senang menembakmu dan membawa adikmu bersamaku. Dia mungkin lebih menyenangkan untuk diculik dibanding dirimu,” pemimpin penculik itu sengaja mengucapkan kalimatnya secara tersirat, membuat darah Xavier mendidih oleh kemarahan hingga hampir saja menguasai logika dan emosinya.

Tetapi beruntung di titik dirinya hampir meledak, Xavier bisa menguasai dirinya. Dia berpikir keras, lalu akhirnya memutuskan untuk mempertaruhkan dirinya.

Xavier melepaskan genggamannya dari tangan Akram, sementara tatapan matanya memberikan isyarat tegas supaya Akram berdiam dan menunggu sampai diberikan instruksi selanjutnya. Tubuhnya lalu maju, sengaja menutupi Akram dari pandangan dan menggunakan dirinya sebagai tameng. Langkah kaki kecilnya dengan berani membawa tubuhnya mendekat semakin dekat hingga hanya sejangkauan tangan dari pemimpin penculik yang tertegun karena tak menyangka kalau Xavier akan seberani itu mendekatinya.

“Aku belum membuka mulutku ke polisi dan ayahku, itulah yang membuat kalian bisa berkeliaran dengan bebas sampai detik ini. Tetatpi, aku sudah menulis ciri-ciri dan gambaran wajah kalian semua di laci khusus di kamarku. Jika sampai terjadi sesuatu kepadaku, kedua orang tuaku cepat atau lambat akan menemukan catatan itu dan mengejar kalian,” tatapan Xavier tampak mengejek, dilakukan dengan sengaja karena dia tahu betapa narsisnya pemimpin penculikan ini dan betapa mudahnya emosinya tersulut jika diremehkan. “Apakah kau tahu jika ayahku, Baron Night sudah menjentikkan jarinya, maka dia akan mendapatkan apa yang dia dapatkan? Apalagi yang dihadapi ayahku hanyalah kecoak kotor semacam kalian, bahkan untuk menculik seorang anak saja kalian tidak becus dan berbuat kesalahan.”

“Wajah pemimpin penculik itu memerah marah karena perkataan meremehkan Xavier.

Anak sekecil ini, berani-beraninya mengata-ngatai dirinya yang dewasa? Sungguh kurang ajar! Persetan dengan segala rencana! Ternyata segala siksaan yang diberikannya kepada Xavier masihlah belum cukup! Dia akan memberi anak kecil bermulut tajam ini pelajaran!

“Kau bocah kecil kurang ajar sok berani!” pemimpin penculik itu menurunkan pistolnya, lalu menggunakan tangannya untuk mencengkeram kerah pakaian Xavier. Seketika itulah Xavier menggerakkan tangannya yang sejak tadi tersembunyi di saku celananya. Sebuah suntikan berukuran sangat kecil yang dia modifikasi sendiri, berisi racun hasil percobaannya. Sebelum pemimpin penculik itu sempat menghindar, Xavier segera menancapkan jarum itu ke lengan penculik tersebut, membuat penculik itu mengaduh karena rasa menusuk yang tajam di sana.

“Kurang ajar!” Penculik itu berteriak dengan kasar. Pistolnya terjatuh dari tangannya, sementara matanya melirik ke arah lengannya. Matanya melihat jarum kecil yang jatuh dekat kakinya. Bibirnya lalu membentuk seringai mengejek ke arah Xavier. “Kau sedang mainan apa, anak kecil? Kau pikir jarum sekecil itu bisa melukaiku?” tangan pemimpin penculik itu mencengkeram ke arah leher Xavier, lalu mencoba mencekik lehernya yang kurus itu.

Xavier yang tahu jika perhatian pemimpin penculik itu sudah teralihkan, dengan cepat, kaki kecilnya menendang pistol si pemimpin penculik yang jatuh di dekat kakinya, menendangnya sejauh mungkin dari jangkauan si pemimpin penculik tersebut. Lalu, sebelum si pemimpin penculik itu sempat berbuat sesuatu, Xavier segera menoleh ke arah Akram yang masih terpaku di tempatnya dengan wajah pucat ketakutan.

“Lari! Cari bantuan!” teriak Xavier keras, membuat Akram terkesiap dari posisinya berdiri.

Sejenak, Akram masih tampak ragu, matanya berkaca-kaca menahan tangis bercampur ketakutan. Tetapi, Xavier menguatkan hati dan kembali membentak adiknya itu supaya bergerak menyelamatkan diri dan menjauh dari situasi berbahaya ini.

“Lari, Akram! Lari!”

Lecutan bentakan Xavier yang kedua itu akhirnya mampu menggerakkan tubuh Akram. Anak itu mundur dengan gemetaran, lalu dengan berurai air mata, Akram membalikkan tubuh  dan berlari menjauh dari lorong itu, lepas dari jangkauan.

Melihat mangsa berharganya lepas menjauh hanya karena dia telah kalah dari emosinya, membuat pemimpin penculik itu mengumpat-umpat tak karuan, segala kalimat kotor membanjir dari mulutnya, dan cengkeraman tangannya di leher Xavier semakin kuat, menggunakan anak yang dianggapnya sampah itu sebagai pelampiasannya.

“Sialan! Sampah sepertimu harusnya sudah membusuk dari dulu!” teriaknya penuh kemurkaan. Lupa akan ancaman Xavier dan juga segala rencananya, pemimpin penculik itu memutuskan untuk membunuh Xavier saat itu juga.

Tetapi, ada sesuatu yang aneh yang mengusik dirinya. Ekspresi Xavier saat berada dalam cekikannya saat ini benar-benar mengganggunya. Bukannya ketakutan atau kesakitan, Xavier malahan tersenyum lebar dengan tatapan mengejek ke arah pemimpin penculik itu.

Ekspresi wajah Xavier, entah kenapa mengirimkan sinyal mengerikan yang membuat bulu kuduk pemimpin penculik itu berdiri.

Anak itu masih kecil… tetapi entah mengapa mengeluarkan aura pembunuh yang sangat kental dari tubuhnya.

“Apa… Kenapa kau malah tersenyum? Apa kau sudah gila?” Pemimpin penculik itu mencoba mengetatkan cengkeraman tangannya di leher Xavier. Tetapi, entah kenapa tenaganya seolah-olah disedot oleh kekuatan tak kasat mata. Tangannya terasa lunglai dan tubuhnya terasa melemas tak terkendali, dan bukannya berhasil mengetatkan cengkeramannya ke tubuh Xavier, tangannya malah jatuh tak berdaya di samping tubuhnya, disusul dengan kakinya yang kali ini merasakan hal yang sama, tak mampu lagi menopang tubuhnya.

Pemimpin penculik itu memelototi Xavier, tubuhnya bergerak mundur, bersandar di dinding supaya tak jatuh.

“Apa… apa yang terjadi?” pemimpin penculik itu masih berhasil mengeluarkan suara sebelum kemudian tubuhnya merosot jatuh ke lantai, napasnya mulai tersengal-sengal akibat panas tubuhnya yang meningkat drastis. Lalu, tak lama kemudian pandangan  matanya mulai berkunang-kunang diikuti oleh darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya.

Xavier menegakkan tubuh, mengusap dan menepuk-nepuk tuxedonya untuk merapikannya dengan gerakan angkuh. Dia lalu berjalan ke depan pemimpin penculik itu, berdiri tepat di sana dan menunduk tanpa belas kasihan ke arah pemimpin penculik yang telah sekarat itu.

“Kau tahu apa yang tadi kusuntikkan kepadamu?’ Xavier berucap lambat-lambat dengan suara dingin. “Suntikan itu berisi bakteri Bacillus anthracis, penyebab penyakit anthraks. Bakteri itu sudah kumodifikasi hingga bermutasi menjadi lebih ganas dan lebih membunuh berkali-kali lipat dari aslinya. Kau akan mengalami gatal dan melepuh di sekujur kulitmu sebentar lagi, lalu disusul dengan radang otak dan pendarahan hebat dari seluruh tubuhmu dalam beberapa menit ke depan,” Xavier terkekeh puas. “Aku sudah memastikan bahwa kau akan mengalami rasa sakit luar biasa sebelum kematian menjemputmu,”

Mata pemimpin penculik itu melotot. Dia tidak percaya bahwa seorang anak kecil bisa melakukan ini semua pada orang dewasa sepertinya. Tetapi, apa yang dikatakan oleh Xavier kini terasa tepat seperti apa yang dikatakan oleh Xavier. Seluruh tubuhnya sakit dan terasa panas terbakar, darah yang amis tak henti-hentinya mengalir dari hidung dan mulutnya, membanjir hingga menetesi pakaiannya. Si pemimpin penculik itu bahkan mulai terbatuk-batuk karena tersedak oleh darah yang mengucur dari kerongkongannya. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dan merasakan sakit luar biasa yang membuat tubuhnya tak berdaya.

Xavier melirik ke arah tubuh si pemimpin penculik yang sebentar lagi mampus itu. Rasa puas bercampur lega melingkupi hatinya. Tetapi, ini semua belum selesai. Masih ada empat orang lagi yang harus dihabisinya.

Xavier meninggalkan tubuh penculik itu dengan sikap tak peduli. Petugas keamanan akan menemukan mayatnya dan mengurusnya nanti. Dia sendiri juga sudah memastikan bahwa bakteri yang menyerang tubuh si pemimpin penculik, hanya akan efektif di tubuh inang terinfeksi dan akan mati seketika setelah inangnya mati. Hal itu untuk memastikan bahwa jasad si pemimpin penculik itu tidak akan menginfeksi dan menularkan bakteri di tubuhnya kepada orang sehat lain yang nantinya akan menangani jasadnya.

Tanpa melihat lagi ke arah si pemimpin penculik yang masih mengerang-erang kesakitan, Xavier melangkah pergi meninggalkan area balkon itu. Dia hendak turun menuju area parkir untuk menghabisi empat yang sisanya.

Jika sesuai dugaannya, bahwa empat orang yang lain lagi sedang menunggu di dalam mobil, maka hal itu akan menjadi lebih mudah bagi Xavier.

Karena dia memiliki alat berbentuk semprotan, berisi spora bakteri Bacillus anthracis yang bisa efektif membunuh manusia dalam ruang yang tertutup rapat.

***

“Bagaimana kondisinya?”

Baron yang baru saja sampai rumah setelah mengurus segalanya, melepas jasnya dengan ekspresi lelah sambil menatap ke arah Marlene yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Tidak disangkanya Marlene malahan sedang menunggunya sampai larut begini di ruang tamu, bersama Xavier yang tampaknya sudah terlelap sejak lama.

Xavier tampak berbaring miring di atas sofa dengan berbantalkan paha Marlene. Anak itu terlihat tidur pulas dengan jemari lentik Marlene mengusap-usap rambutnya. Mata Baron mencari-cari ke seisi ruangan, tetapi tidak menemukan Akram di sana. Kemungkinan besar, Akram sudah diantarkan tidur di kamar bersama pengasuhnya.

Hari ini luar biasa melelahkan bagi Baron. Insiden matinya lima orang di pestanya dengan cara mengerikan, dimana yang satu mati di balkon atas dan yang lainnya mati di dalam mobil di tempat parkir, sungguh membuat pihak kepolisian kerepotan luar biasa. Baron jadi sibuk mengurus segala sesuatunya dari mengawal hasil penyelidikan polisi, sampai dengan menangani media massa supaya berita menyangkut insiden ini tetap terkendali dan tidak berkembang menjadi gosip raksasa. Dia sudah membungkam yang perlu dibungkam, dan bekerjasama dengan orang-orang di berbagai posisi untuk menyelesaikan semua hal. Karena itulah, baru tengah malam menjelang dia baru bisa pulang ke rumah.

Semalam, hingar bingar pesta diruntuhkan oleh Akram yang berteriak sambil menangis ke tengah pesta, mencari bantuan karena ada orang jahat yang ingin melukai kakaknya.

Situasi jadi tak terkendali karena bukan hanya Baron yang menghambur ke balkon atas, tetapi juga diikuti oleh petugas keamanan dan juga para tamu yang ingin tahu. Kehebohan langsung terjadi ketika mereka malahan menemukan pemandangan mengerikan di sana, sesosok mayat laki-laki yang mati mengenaskan tergenang darah dengan sekujur tubuh dipenuhi benjolan dan lepuhan warna hitam yang mengerikan.

Seolah satu mayat itu belum cukup mengerikan, petugas keamanan yang menyisir lokasi untuk mencari keberadaan Xavier malahan menemukan empat mayat lagi yang mati mengenaskan dalam kondisi yang sama di dalam mobil yang tertutup rapat di tempat parkir.

Hasil dari laboratorium menunjukkan bahwa mayat-mayat itu terpapar oleh bakteri mematikan yang sama, hanya saja cara mereka terinfeksi di area berbeda. Yang mati di balkon terinfeksi di aliran darahnya dan yang lainnya sepertinya terinfeksi di saluran napas dimana bakteri itu masuk dalam wujud spora yang dihirup.

Yang lebih aneh lagi, bakteri itu sepertinya dimodifikasi untuk langsung mati setelah inangnya juga mati, sementara yang berwujud spora di udara juga dimodifikasi untuk langsung  mati setelah beberapa menit tidak menemukan inang untuk ditempati. Hal itu membuat, meskipun bakteri itu memiliki efek mengerikan, dia tidak bisa menyebar dan menulari orang lain.

Sistem kerja bakteri itu benar-benar seperti mesin pembunuh yang dibuat hanya untuk melukai orang atau sasaran yang dituju saja

Tangan Marlene masih mengusap rambut Xavier yang lembut, ekspresi wajahnya sangat sedih.

“Aku sangat bersyukur karena Xavier berhasil melepaskan diri dari penculik itu dan bersembunyi di salah satu ruang kamar hotel milik kita. Tetapi yang membuatku terkejut adalah ketika Xavier akhirnya membuka mulutnya pertama kali setelah sekian lama dan mengidentifikasi bahwa yang mati di balkon itu adalah pemimpin dari gerombolan penculiknya. Tak lama polisi menyatakan bahwa empat lain yang mati di mobil adalah rekannya juga. Mereka sudah pasti datang ke pesta itu dengan niat buruk kepada Xavier, beruntung akhirnya mereka semua menemui ajal sebelum mencapai maksudnya,” Marlene mendongakkan kepala dan menatap ke arah Baron dengan sikap polos. “Menurutmu, kenapa mereka semua mati bersamaan? Apa yang terjadi?”

Baron langsung menatap ke arah Xavier yang masih tertidur pulas, lalu matanya kembali mengawasi wajah Marlene.

Istrinya itu memiliki hati yang begitu tulus dan selalu berpandangan baik pada semua orang. Itu semua tampak dari bagaimana cara Marlene mencintai Xavier seperti anak kandungnya sendiri dengan tulus tanpa membedakan. Tetapi, sampai dengan detik ini, Marlene tetap memandang Xavier sebagai malaikat kecilnya yang tanpa dosa…

Bagaimana jika pandangan Marlene ternyata salah?

Baron menelan ludahnya, mencuri-curi pandang ke arah Xavier sambil berupaya menghilangkan pikiran buruk yang menggayuti dirinya.

Berdasarkan hasil forensik, polisi akhirnya menyatakan bahwa kemungkinan besar, kelima penculik itu telah terkontaminasi oleh bakteri yang telah bermutasi di suatu tempat sebelum datang ke pesta itu. Jadi, merupakan sebuah kesialan ketika akhirnya bakteri itu menyerang di kondisi puncaknya dan membuat mereka semua mati dalam sekejap hampir bersamaan waktunya. Mereka semua malahan sibuk mensyukuri bahwa bakteri yang mengkontaminasi itu bukanlah jenis bakteri yang menular dan menyebabkan pandemi.

Baron berpikir bahwa polisi buru-buru menutup kasus ini, karena korbannya adalah para penculik yang melakukan tindak kejahatan keji yang saat itu sedang dalam masa pengejaran.Mereka orang jahat, jadi tidak ada yang bersedih dan menuntut keadilan atas kematian mereka yang aneh.

Bukankah dengan begini, maka sekali tepuk dua ekor lalat langsung mati? Polisi berhasil menemukan pelaku penculikan, dan mereka tidak perlu memperpanjang proses lagi karena para pelaku kejahatan itu sudah mati secara bersamaan.

Tentu saja ada berbagai kecurigaan yang muncul, terutama menyangkut situasi kebetulan yang berkaitan dengan kondisi Xavier. Tetapi, ketika mata semua orang terarah kepada Xavier dan melihat bagaimana rapuhnya anak itu, semua orang dewasa pasti langsung berpikir, bahwa tidak mungkin seorang anak kecil bisa menjadi dalang di balik semua peristiwa.

Tetapi, mereka semua tidak mengetahui kemampuan Xavier seperti yang diketahui oleh Baron. Jika mereka mengetahui sedikit saja dari kemampuan otak Xavier, mereka semua pasti akan ketakutan seperti yang dia rasakan saat ini.

Mata Baron beralih ke pintu kaca ruang laboratorium mini yang dibuatkannya untuk anak itu. Jantungnya berdegup diiringi dengan firasat tak enak menyusup ke dalam jiwanya.Apakah dia berbuat kesalahan dengan menyediakan lab mini itu untuk Xavier?

Apakah benar dugaannya bahwa Xavierlah yang mengatur semua rencana balas dendam yang sangat mengerikan ini?

***

Eps 4B: Salah Paham

Insiden kematian lima orang penjahat itu berlalu. Dan hari demi hari, orang-orang akhirnya melupakan insiden itu dan menjalani hari mereka seperti biasa.

Xavier juga telah benar-benar pulih. Beruntung dirinya masih muda ketika menjalani semua hajaran dan siksaan itu, karena tubuh mudanya masih memiliki regenerasi sel yang baik untuk memperbaiki diri dan menyembuhkan cideranya secara alami. Dia mulai membuka diri, mau berbicara meskipun hanya sepatah-sepatah kata singkat kepada keluarganya.

Tetapi, ada satu hal yang sangat mengganggu Xavier, itu adalah ketika ayahnya memberi hadiah Akram satu set mainan robot yang bisa meninju dan menendang jika digerakkan dengan remot kontrol. Mainan itu merupakan mainan edisi terbatas yang dibeli oleh Baron dari luar negeri, dan mainan itu membuat Akram sangat senang.

Begitu senangnya sampai dia tak mau bermain lagi bersama Xavier.

Layaknya bocah kecil yang memperoleh mainan baru nan menarik, Akram terus bermain dengan robot mahalnya itu setiap ada kesempatan. Dia seperti lupa pada Xavier. Setiap pulang sekolah, Akram tidak lagi berlari mencari Xavier atau mengekori kemanapun Xavier pergi, tetapi malah sibuk dengan mainannya.

Hal itu membuat Xavier sangat terganggu, hingga sampai di batas kesabarannya.

“Akram,”

Xavier mencoba memanggil Akram yang tengah sibuk di ruang bermain, seperti biasa tengah membuat kedua set robotnya saling meninju dan menendang dalam pertarungan yang luar biasa asyik di mata seorang anak berumur lima tahun.

Tentu saja, karena keasyikannya, Akram tak menjawab pertanyaan Xavier, permainan di depannya terlalu menarik jika dibandingkan dengan panggilan kakaknya.

“Akram,” suara Xavier menajam, sedikit menaikkan nada suaranya untuk menarik perhatian Akram. “Kakak hendak bermain di kolam renang belakang, kita bisa berenang dan…”

Suara Xavier terhenti ketika Akram menggelengkan kepala kuat-kuat, sementara matanya masih fokus menatap robotnya.

“… tak mau berenang,” sahut Akram sambil lalu.

Kesabaran Xavier habis sudah. Dia langsung merangsek masuk ke dalam ruang bermain, merenggut remot kontrol di tangan Akram dan membantingnya sekuat tenaga ke dinding hingga hancur berantakan. Tak cukup melakukan itu, Xavier bahkan mengarahkan kakinya untuk menginjak-injak kedua robot Akram hingga tercerai berai, lebur tak berbentuk lagi.

Suara tangisan Akram langsung membahana begitu melihat mainannya dihancurkan oleh Xavier. Hal itu membuat Marlene dan beberapa pelayan serta pengasuh Akram langsung tergopoh-gopoh berdatangan memasuki ruang bermain itu.

Marlene tertegun, begitupun yang lainnya. Di depan mata mereka, tampak Xavier yang berdiri tanpa rasa bersalah dengan Akram yang menangis di kakinya.

Mata Marlene tertuju pada robot mainan Akram yang rusak dan perempuan itu mengerutkan kening, antara bingung bercampur sedih.

“Kenapa kau merusak mainan Akram, Xavier?” Marlene mengulurkan tangannya ke arah Akram yang menangis, dan anak kecil malang itu langsung lari ke pelukan ibunya, tersedu di sana menumpahkan air mata.Xavier mendongakkan dagu dengan sikap angkuh.

“Aku tak suka mainan itu. Akram jadi tidak mau bermain denganku.”

“Tapi itu adalah hadiah ulang tahun Akram dari ayah, kau tidak seharusnya….”

“Aku diculik untuk menggantikan Akram,” Xavier menyahut dengan sikap dingin, dan perkataannya itu begitu telak hingga membuat apapun yang hendak dikatakan oleh Marlene langsung tertelan di tenggorokannya. “Dan aku tidak meminta apapun sebagai balasannya. Aku hanya meminta Akram mau bermain denganku dan tidak sibuk sendiri dengan mainannya. Apakah itu terlalu berlebihan?” tanyanya telak.

Marlene tertegun, matanya menatap ke arah Xavier yang seperti malaikat tanpa dosa. Seketika, dia berlutut supaya kepalanya bisa sejajar dengan Akram, lalu meraih pundak mungil Akram yang masih menangis, dan sedikit menjauhkannya dari tubuhnya supaya anaknya itu bisa menatap langsung ke wajahnya.

“Akram, mulai sekarang, kau harus bermain dengan kakakmu. Jangan sibuk dengan mainan-mainanmu sendiri, oke?”

***

Sayangnya, situasi dalam keluarga tidak membaik setelah insiden pertama itu. Xavier mulai berlebihan dalam menuntut perhatian Akram, mainan apapun yang dimiliki oleh Akram selalu direbut dan dirusakkannya.

Kejadian itu terus dan terus berulang, sementara Marlene tidak bisa berbuat apa-apa. Dia selalu lemah diliputi oleh rasa bersalah ketika Xavier menatapnya dengan matanya yang bening dan mengatakan bahwa yang diinginkannya hanyalah bermain bersama Akram.

Permintaan itu tentu saja tidak berlebihan. Bagaimanapun… Akram bisa hidup bahagia di rumah ini dengan tenang tanpa ada satu trauma pun yang menggayuti, itu semua karena Xavier. Karena Xavier telah menggantikan Akram dalam penculikan itu.

“Aku hendak mengajak Akram dan Xavier ke petshop hari ini. Aku sudah berjanji kepada mereka bahwa kita akan mengadopsi seekor anak anjing lucu untuk teman bermain mereka.”

Pemberitahuan Marlene itu membuat tangan Baron yang hendak mengarahkan cangkir kopi ke bibirnya langsung membeku. Mereka tengah duduk bersama di meja makan untuk sarapan pagi sebelum Baron berangkat bekerja.

“Apakah menurutmu itu bijaksana, Marlene?” Suara Baron pekat oleh keraguan. Lelaki itu meletakkan cangkirnya, kehilangan selera untuk menyesap minumannya.

“Memangnya kenapa?” Marlene mengangkat alis, bingung melihat sikap Baron.

“Kau tahu bagaimana Xavier selalu merebut dan merusak mainan Akram, bukan? Bagaimana jika…”

“Mereka akan membesarkan anak anjing itu bersama-sama, aku yakin anak anjing itu akan tumbuh besar menjadi sahabat dan penjaga mereka berdua,” Marlene tersenyum polos dan tanpa prasangka. “Jangan khawatir, Baron. Aku mengadopsi anak anjing karena kelihatannya Akram masih sedih ketika anak kucing yang dipungutnya ditemukan mati karena dimangsa oleh kucing yang lebih besar, kuharap hal ini akan menghiburnya. Lagipula, kedua anak kita sudah cukup besar untuk mengadopsi dan merawat seekor anak anjing, malahan itu akan mambuat mereka berlatih untuk mengemban tanggung jawab dalam merawat makhluk hidup yang diserahkan ke tangan mereka.”

Baron tidak membantah. Dia hanya menyimpan kecemasan itu bagi dirinya sendiri. Marlene memang tahu bahwa anak kucing yang dipungut Akram mati mengenaskan. Tetapi, istrinya itu tidak tahu bahwa anak kucing itu ditemukan mati oleh tukang kebun mereka dengan leher tercekik tali dan digantung dengan kejam di langit-langit gudang.

Baron berhasil membuat semua orang yang mengetahui tentang insiden itu menutup mulut dari Marlene untuk menjaga perasaan istrinya. Tetapi, tetap saja dia tak bisa menyembunyikan kengeriannya akan perubahan perilaku Xavier yang makin tak terkendali.

Oh, Xavier memang tak mungkin melukai mereka. Meskipun anak itu dari kehari semakin menyibukkan diri di lab mininya untuk membuat segala jenis ramuan kimia mengerikan yang tak teridentifikasi, tetapi Baron tahu bahwa Xavier sangat menyayangi keluarganya.

Setidaknya, Xavier sangat menyayangi Marlene dan Akram. Sedangkan dirinya? Entahlah. Sejak peristiwa penculikan itu, Xavier sangat menjaga jarak dengannya. Anak itu hampir tidak pernah berbicara dengannya, tetapi selalu mengucapkan terima kasih dengan tulus ketika Baron memberinya hadiah, contohnya adalah ketika Baron membuatkan lab mini itu untuknya.

Mungkin Xavier masih menyimpan dendam kepadanya karena memilih mengorbankannya dan tidak menebusnya dari tangan para penculik itu… Yah, bagaimanapun, Baron tidak bisa menyalahkan Xavier karenanya.

Mata Baron diam-diam melirik ke arah Marlene, sementara benaknya mendesiskan doa dalam hati.

Semoga… semoga saja, anak anjing itu baik-baik saja dan tidak terjadi insiden mengerikan lagi di rumah ini.

***

Doa Baron hanya bertahan seminggu lamanya. Kali ini, mereka tidak bisa menyembunyikan segala kehebohan itu dari Marlene.

Pada pagi hari, rumah mereka dikejutkan oleh suara teriakan ngeri pelayan yang menemukan anak anjing adopsi mereka telah termutilasi di kebun belakang. Teriakan itu membuat semua orang waspada, tergopoh-gopoh berkumpul hanya untuk melihat pemandangan mengerikan di depan mata mereka.

Akram menangis keras ketika melihat anjing kesayangannya sudah dalam wujud tak karuan, sementara Xavier bersikap dewasa, hanya merangkul Akram supaya tidak melihat pemandangan traumatis itu, lalu mengajak Akram masuk ke dalam rumah untuk menghiburnya.

Marlene sendiri begitu syok, hingga ketika Baron mengambilkannya air minum di dalam kamar mereka, dia hanya bisa terduduk di tepi ranjang, menerima gelas air itu, tetapi hanya meletakkannya di pangkuan dan tidak meminumnya.

“Kita harus menyewa pemburu hewan liar untuk memeriksa kebun belakang. Siapa yang tahu, mungkin ada musang atau hewan buas lainnya yang bersembunyi di sana?” ucap Marlene dengan suara bergetar.

Baron menghela napas panjang. Dia lalu berlutut di depan Marlene, menatap mata istrinya itu dalam-dalam.

“Sayang. Apakah kau tidak pernah berpikir…. Kalau bukan binatang buas pelakunya?”

Mata Marlene melebar. “Apa maksudmu?” tanyanya bingung.

Baron tampak ragu, tetapi akhirnya memutuskan untuk berterus terang dan mengungkapkan kenyataan kepada istrinya.

“Kucing Akram yang mati itu, dia tidak dibunuh oleh binatang buas. Tukang kebun menemukannya digantung di langit-langit gudang belakang. Dan anak anjing itu… apakah kau tidak melihat kalau tubuhnya terpisah dengan rapi? Hewan buas akan mencabik-cabiknya hingga berantakan. Tetapi yang ini…”

“Oh… astaga!” Marlene meletakkan sebelah tangannya di mulut untuk mengekspresikan keterkejutannya. Matanya semakin melebar, menatap Baron dengan syok yang amat sangat. “Astaga, Baron! Maksudmu… maksudmu… kau menuduh… menuduh Xavier melakukan ini? Teganya… teganya kau!”

“Marlene. Aku bukan menuduh tanpa alasan. Tidakkah kau melihat ini sebagai suatu kebetulan? Xavier selalu merusak dan menghancurkan mainan-mainan Akram. Sekarang, dua binatang peliharaan kesayangan Akram, semuanya mati mengenaskan. Apakah kau tetap ingin menutup mata dari semua ini?” sahut Baron dengan nada tak sabar.

Pernyataan Baron itu membuat benak Marlene berpikir. Dan mau tak mau, dia menyadari kebenaran di balik perkataan Baron tersebut. Seketika, air matanya tumpah ruah tak terkendali, membuat Baron harus mengambil gelas air yang tadi diberikannya dari tangan Marlene yang gemetaran dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu duduk di tepi ranjang di sebelah Marlene, dan memeluk istrinya yang menangis.

“Xavier tidak seharusnya tumbuh menjadi anak yang sekejam itu… dia… dia pasti begitu karena penyiksaan yang dialaminya. Kitalah yang menyebabkan dia menderita seperti ini. Penculikan itu terjadi karena kita mengambil Xavier sebagai anak angkat kita!” Marlene mendongakkan kepala dan menatap Baron dengan penuh tekad. “Mulai sekarang, kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi binatang peliharaan di rumah ini, dan tidak ada lagi mainan-mainan atau segala sesuatu yang menarik perhatian Akram terlalu jauh sehingga membuat Xavier merasa ditinggalkan. Kau setuju denganku kan?”

Pertanyaan Marlene membuat Baron terperangah, lidahnya kelu hingga tak ada suara apapun yang bisa dikeluarkan dari mulutnya. Sementara itu hatinya tersayat pedih.

Marlene selalu menempatkan Xavier di atas segalanya. Tidakkah istrinya itu sadar, bahwa di atas semua rasa bersalah yang ingin ditebusnya, Akram adalah anaknya juga?

***

Tahun demi tahun berlalu dengan pola yang sama. Ketika Akram tertarik kepada sesuatu, Xavier akan menghancurkannya. Itu terus terjadi berulang hingga akhirnya membentuk kepribadian Akram menjadi sosok yang tidak pernah menunjukkan emosinya.

Ya, itu semua karena Akram tahu, sedikit saja dia menunjukkan emosi tertarik pada sesuatu, maka Xavier akan merebut dan menghancurkannya. Akram bahkan tampaknya telah terbiasa dinomorduakan oleh Marlene, ibu kandungnya sendiri, yang selalu memprioritaskan Xavier di atas segalanya.

Semua orang sendiri sudah lupa akan motivasi Xavier melakukan itu semua, mereka lupa bahwa yang diinginkan oleh Xavier adalah perhatian Akram sepenuhnya sebagai kakak beradik yang akrab, sama seperti sebelum insiden penculikan itu terjadi.

Sayangnya, semua tindakan Xavier di masa lampau telah membekaskan trauma di jiwa Akram. Bukannya semakin dekat kepada Xavier, Akram malah semakin jauh hingga nyaris bisa dibilang dia membenci dan menghindari interaksi dengan kakaknya yang mengerikan itu. Mereka bahkan hampir tidak pernah berbicara meskipun mereka tinggal serumah.

Situasi menegangkan dalam keluarga mereka itu, tak luput dari perhatian Baron yang selama ini hanya bisa diam mengawasi. Suatu malam, sebelum mereka beranjak tidur, Baron akhirnya mengutarakan rencananya kepada istrinya.

“Tinggal sebulan lagi Akram lulus dari sekolah menenahnya. Aku sudah mendaftarkan Akram untuk masuk ke sekolah asrama terbaik di luar negeri supaya anak kita bisa belajar mandiri sekaligus mendapatkan ilmu terbaik baginya. Bagaimanapun, Akramlah yang akan menjadi penerus Night Corporation nantinya.”

Marlene yang hendak bersiap-siap tidur langsung membuka matanya lagi, menatap ke arah Baron dengan terkejut.

“Kenapa begitu mendadak? Kau bahkan hendak mengirim anak kita tinggal di luar negeri tanpa membicarakannya denganku dulu?” serunya cepat. Tiba-tiba, ekspresi Marlene berubah sendu ketika dirinya seolah-olah menyadari sesuatu. “Apakah kau tidak memikirkan tentang Xavier? Selama ini dia sudah tak punya teman karena menjalani home schooling sehingga dia tak pernah keluar rumah. Dia akan sangat sedih kalau kau sampai mengirim Akram ke luar negeri.”

Baron menghela napas panjang. “Kau tahu aku sudah memikirkannya sejak lama. Tidak sehat bagi Akram untuk tinggal di rumah ini. Apakah kau tak pernah memperhatikan anakmu itu? Dia menjadi pendiam dan tanpa emosi, kau tidak lihat kenapa dia melakukannya? Sebab dia takut jika dia menunjukkan ketertarikannya sekecil apapun kepada sesuatu, kakaknya akan merebut dan menghancurkannya. Selama ini kau sengaja menutup mata dan aku sendiri tidak lebih baik, aku hanya diam dan memperburuk segalanya. Tetapi, kita belum terlambat, kita masih bisa memperbaikinya. Ada yang salah dengan mental Xavier. Penculikan itu telah mengganggu kondisi psikologisnya dan kita tak bisa membiarkannya terus-terusan begini. Xavier bisa menjadi pembunuh kejam kalau kita menutup mata terhadap hal ini.”

Baron menatap mata Marlene dengan sungguh-sungguh. “Aku tahu kau tak mau memaksa Xavier. Tetapi, bisakah kau membujuk Xavier untuk menjalani terapi dan konseling untuk memantau kesehatan mentalnya? Dia selalu lemah terhadap permohonanmu, aku yakin Xavier akan mau melakukan itu jika kau yang memintanya. Maukah kau melakukannya?”

Sejenak, Marlene tampak ragu. Tetapi melihat betapa seriusnya masalah yang mereka hadapi saat ini, Marlene akhirnya menganggukkan kepala.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Baron, direngkuhnya tangan Marlene dan digenggamnya erat-erat.

“Aku tak mau Akram tumbuh dalam ketakutan dan tertekan jiwanya. Aku ingin Akram mendapatkan kebebasan, bisa memiliki apa yang dia suka dan bisa berteman dengan siapapun dan apapun yang dia mau,”

Baron kembali menatap Marlene, pandangannya bersungguh-sungguh dan penuh tekad. “Kali ini kumohon kepadamu untuk sekali saja memikirkan tentang Akram, Marlene. Aku tahu Xavier adalah prioritas pertamamu. Tetapi, Akram adalah anakmu. Anak kandungmu yang kau kandung dan kau lahirkan ke dunia ini dengan kekuatanmu, dia adalah buah cinta kita yang seharusnya menerima limpahan cinta kita sepenuhnya. Aku mohon, Marlene, satu kali ini saja, pikirkanlah kepentingan Akram terlebih dahulu di atas Xavier.”

***

“Tuan muda sudah datang!”

Seruan bersemangat para pelayan membuat Xavier yang asyik membaca buku di ruang tengah menolehkan kepalanya dengan tertarik.

Ya, setelah tiga  tahun lamanya Akram bersekolah di luar negeri dan tak pernah pulang ke rumah, adiknya itu akhirnya menyelesaikan pendidikannya dan pulang kembali.

Selama tiga tahun Akram bersekolah, memang Xavier sama sekali tak pernah bertemu dengan Akram. Ketika hendak menemui Akram, kedua orang tuanyalah yang datang berkunjung ke sekolah Akram. Mereka beralasan bahwa sekolah Akram sangatlah ketat sehingga tidak mengizinkan murid sekolahnya berlibur dalam waktu lama.

Tetapi, Xavier bukanlah orang bodoh. Dia jelas tahu bahwa tidak ada sekolah seketat apapun itu yang sampai meminimalisir waktu liburan untuk murid-muridnya.

Kedua orangtuanya, mungkin diprakarsai oleh ayahnya, memang sengaja menghindarkan Akram darinya.Tetapi bukan masalah, karena Xavier tahu, bahwa Akram tidak bisa terus menerus bersekolah di luar negeri. Adiknya itu, mau tak mau harus pulang ke rumah karena dia harus belajar langsung di Night Corporation untuk mengemban tugas sebagai penerus utama perusahaan ayahnya.

Ketika semua orang dengan bersemangat berkumpul di halaman luar bersama Marlene yang tak sabar menyambut kepulangan Akram, Xavier meletakkan bukunya diam-diam dan melangkah menuju jendela, mengintip dengan ketidaksabaran yang sama.

Yang ditunggu akhirnya tiba juga. Mobil hitam yang membawa Akram akhirnya tiba di halaman rumah dan tak lama kemudian, Baron Night turun diikuti oleh anak lelakinya. Para pelayan tampak sibuk membuka bagasi dan mengangkat barang-barang Akram, dan Xavier terus mengawasi sosok Akram yang saat itu tengah dipeluk oleh Marlene ibunya.

Tiga tahun tidak bertemu, Akram telah tumbuh menjadi sosok yang tinggi dan atletis, bahkan bisa dibilang adiknya itu lebih tinggi darinya. Sosok Akram jelas merupakan cerminan lebih muda dari Baron Night yang memiliki ketampanan ningrat yang khas. Dan Xavier yakin bahwa Akram akan tumbuh menjadi pemimpin yang hebat dan berkharisma seperti Baron Night nantinya.

Ketika dilihatnya sosok Akram bersama kedua orang tuanya mulai membalikkan tubuh dan melangkah kembali memasuki rumah, Xavier segera menjauh dari jendela dan berdiri menanti.

Tak perlu menunggu lama hingga pintu terbuka dan Akram melangkah masuk. Seketika, tatapan mereka berdua langsung bersirobok, dan ekspresi Akram yang tadinya lembut dan penuh tawa, langsung berubah tegang serta terkendali.

“Selamat datang kembali di rumah,” Xavier tersenyum lebar, berusaha menunjukkan ketulusannya dalam menyambut kedatangan adiknya itu.

Tetapi, tanggapan Akram benar-benar di luar harapan. Adiknya itu menatapnya dengan saksama dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu menganggukkan kepalanya sedikit sebagai tanggapan dan langsung melangkah pergi seolah-olah merasa muak untuk berinteraksi meskipun hanya setitik dengan kakaknya.

***

Sudah terlalu sering gadis itu datang bertandang ke rumah sejak makan malam terakhir yang diadakan oleh kedua keluarga dekat yang saling bertetangga.

Gadis itu bernama Anastasia, mereka sama-sama tinggal di kompleks perumahan mewah ini dengan jarak hanya beberapa blok saja.

Karena keluarga mereka bertetangga dan ayahnya adalah rekan bisnis Baron Night, maka sudah menjadi hal yang wajar jika kadang kedua keluarga saling mengunjungi untuk makan malam bersama.Tetapi, pada makan malam yang terakhir, Xavier sudah merasa curiga, karena tidak biasanya, keluarga Dawn datang membawa anak perempuan mereka ke rumah ini.

Sudah jelas mereka membawa anak perempuan mereka dengan harapan lebih karena mendengar bahwa pewaris utama keluarga Night telah pulang dari sekolahnya di luar negeri. Dan harapan keluarga Dawn sepertinya tak sia-sia, karena Akram langsung terpesona dan tergila-gila pada Anastasia sejak pandangan pertama.

Anastasia sangatlah cantik, dengan tubuh indah dan wajahnya yang luar biasa, perempuan itu memiliki keindahan alami seorang perempuan yang bisa membuat para lelaki – terutama lelaki seperti Akram yang sangat polos dan menghabiskan hari-harinya di asrama pria tanpa pengalaman degan perempuan – tergila-gila dengan mudahnya.

Tentu saja Xavier tidak termasuk di antara lelaki polos itu. Dia terlalu cerdas dan berpengalaman, dan sekali lihat saja, dia sudah langsung tahu bahwa Anastasia adalah rubah betina jalang yang bersembunyi di balik penampilan polosnya untuk menipu Akram.

Saat ini, Xavier mengawasi diam-diam ketika melihat Anastasia datang berkunjung kembali, membawakan kue dan berbasa-basi dengan Marlene, sebelum kemudian Akram datang dan mengajak Anastasi pergi dari rumah ini. Lebih sering, Akramlah yang datang ke rumah Anastasia, lalu adiknya itu menghabiskan waktu begitu lama di sana dan baru pulang hingga larut malam.

Ya, Xavier tahu bahwa Akram sudah menjalin hubungan dengan Anastasia. Dan Akram juga tahu bagaimana Akram menghindarkan Anastasia dari dirinya. Bahkan, semua orang di rumah ini juga menutup mulut mereka, seolah-olah nama Anastasia sangat tabu untuk diucapkan.

Semua orang memang memperlakukannya dengan baik, terutama Marlene dan Baron. Para pelayan dan pegawai ayahnya juga bersikap baik kepadanya. Tetapi, Xavier tahu pasti bahwa mereka semua menyimpan rasa takut dengan kadar berbeda-beda kepada dirinya. Sebagian besar dari mereka pasti menganggapnya sebagai orang gila karena harus menjalani konseling tanpa henti dengan berbagai psikiater dan dokter jiwa. Belum lagi, sikap Xavier yang pendiam dan misterius serta lebih sering menghabiskan waktu di lab pribadinya, membuat semua orang semakin enggan mendekatinya.

Yah, semua orang berusaha menyelamatkan Anastasia dari dirinya yang dianggap gila. Tetapi, tidak ada satupun yang sadar dan bergerak untuk menyelamatkan Akram dari cengkeraman Anastasia.

Dia tidak akan membiarkan adiknya jatuh ke dalam tangan keluarga Dawn yang materialistis dan sengaja memanfaatkan anak gadisnya untuk menjerat Akram.

Dia tidak akan membiarkan Anastasia, perempuan palsu nan licik itu mengambil hati adiknya sebelum kemudian menghancurkan hati Akram hingga berkeping-keping.

Xavier tahu bahwa saat ini, sudah saatnya bagi dirinya untuk bertindak sebagai seorang kakak yang melindungi adiknya.

***

Eps 4C : Cahaya Hati

“Kenapa kau berjalan kaki?”

Xavier mengangkat kaca mata hitamnya dan membuka kaca jendela mobilnya yang berjalan lambat melalui jalan besar yang menjadi jalan utama di komplek perumahan mewah itu. Matanya yang indah tertuju pada Anastasia yang tampak susah payah berjalan di trotoar jalan dengan sepatu hak tingginya.

Perempuan itu tampak berantakan dan kesal, tetapi ketika dia menolehkan kepala ke arah sosok yang menyapanya, matanya melebar berisi keterkejutan bercampur kekaguman.

Ya, bukan hanya Akram yang tumbuh menjadi sosok memesona di dalam keluarga Night. Xavier Night juga tumbuh dengan keindahan fisik dan wajah yang bisa membuat para malaikat tersaingi. Lelaki itu sekarang bahkan menambahkan ketampanan wajahnya dengan senyuman manis hingga membuat siapapun yang berhadapan dengannya langsung meleleh karenanya.

“Aku…” Anastasia tersipu, memasang senyumnya yang paling cantik. “Mobil kami mengalami kendala di rumah, dan karena tidak sembarang kendaraan bisa masuk ke dalam komplek ini, aku memilih untuk berjalan kaki ke gerbang depan di mana taxi yang kupesan sudah menunggu,” jawabnya perlahan dengan suara dibuat sangat lembut.

Perumahan mereka memang dijaga sangat ketat. Hanya kendaraan berlisensi dan sudah didaftarkan sebelumnya yang boleh masuk ke dalam. Jadi, karena Anastasia memesan taksi secara mendadak, otomatis taksi itu hanya bisa menunggu di gerbang komplek dan tak bisa masuk lebih jauh.

Xavier sendiri tertawa dalam hati melihat Anastasia yang tampaknya tak menyadari bahwa rusaknya mobil-mobil di rumah Anastasia terjadi atas campur tangan dirinya.Ya, Xavier tidak mungkin mendekati Anastasia di rumah. Mendekati perempuan ini secara kebetulan, meskipun itu adalah manipulasinya, adalah cara terbaik untuk memulai rencananya.

“Berjalan di bawah terik matahari ini tidak cocok untuk perempuan secantik dirimu. Ayo masuklah, aku akan mengantarmu,” ucap Xavier dengan nada ramah.

Ketika Anastasia tampak ragu, Xavier terkekeh perlahan dan kembali membujuk.

“Ayolah, bukankah kau berteman baik dengan Akram dan keluarga kita sudah kenal akrab? Kau tak perlu merasa sungkan denganku.”

Suara Xavier yang lembut ditambah dengan wajah tampannya rupanya adalah senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati perempuan manapun, Anastasia bukanlah pengecualian. Meskipun dia memiliki Akram yang luar biasa dalam genggamannya, tetap saja, pesona Xavier terlalu menggoda untuk ditolak.

Perempuan itu dengan senang hati langsung masuk ke dalam mobil Xavier dan membiarkan lelaki itu mengantarkannya kemanapun dia mau.

Keberhasilan sekali lagi seolah menjadi takdir Xavier. Sesuai dengan rencananya, pertemuan tak sengaja yang direncanakannya itu menjadi jalan baginya untuk merebut hati Anastasia dan membuktikan bahwa perempuan itu hanyalah jalang yang tak setia.

Hanya perlu beberapa kali pergi bersenang-senang untuk kencan di belakang punggung Akram, dan hanya dengan beberapa hadiah mahal yang romantis, Anastasia akhirnya menyerah pada rayuan Xavier dan memberikan sepenuhnya jiwa dan raganya yang ternyata tak murni lagi, tak peduli bahwa status Anastasia pada waktu itu adalah kekasih Akram.

Dengan kejam, Anastasia berselingkuh di belakang Akram yang begitu setia dan tergila-gila kepadanya. Perempuan jalang itu bahkan tanpa rasa berdosa berkali-kali menyerahkan tubuhnya untuk ditiduri oleh Xavier, mengumbar ketidaksetiaannya sampai pada tahap menjijikkan yang membuat Xavier harus menahan muak setiap kali merayu dan menidurinya.

***

Xavier Night selalu berhasil menjalankan rencananya. Semua sudah diatur dengan rapi sehingga dia hampir tidak mungkin menemui kegagalan. Tetapi, setelah beberapa bulan dia mengorbankan diri untuk terus menerus merayu Anastasia supaya jatuh ke dalam pesonanya dan meninggalkan Akram, malam ini Xavier akhirnya berhadapan dengan apa itu kegagalan.

Di dalam kamar hotel tempat mereka bercinta sebelumnya, Anastasia yang masih tak berpakaian di balik selimutnya mengungkapkan informasi yang membuat Xavier terkejut luar biasa.

“Akram akan melamarku. Dia bahkan sudah membeli cincin tadi pagi,” Anastasia tersenyum lebar tanpa rasa bersalah, menatap ke arah Xavier dengan berbangga diri. “Akram sungguh menggemaskan, kau lihat bagaimana dia begitu tergila-gila kepadaku, bukan?”

Meskipun wajahnya sedikit memucat karena mengutuk kebodohan Akram yang begitu dalamnya terjerumus ke dalam pesona palsu perempuan jalang di depannya ini, Xavier berusaha menguasai diri dan memasang seringai di bibirnya.

“Dan kau, apakah kau akan tetap menikahinya meski kau tidak mencintainya?” tanyanya lambat-lambat, penuh dengan rasa ingin tahu.

Anastasia tergelak, tatapan matanya berubah merayu ketika lengannya mengelus lengan Xavier yang berbaring di sebelahnya.

“Kalau boleh memilih, aku pasti akan memilihmu. Kau luar biasa tampan dan kau sangat pandai bercinta…. Tapi sayangnya, aku tidak mungkin bisa menikahimu. Keluargaku sangat ingin aku menikahi Akram Night. Dia adalah pewaris Night Corporation, sementara kau hanyalah anak angkat.”

Anastasia menatap Xavier dengan kedipan menggoda, “Bukannya aku mengejekmu, aku hanya mengungkapkan kenyataan, sayang. Bahkan, sebenarnya aku bosan berpacaran dengan Akram Night yang sangat polos dan tidak tahu bagaimana menyenangkan wanita, dia gugup bahkan ketika kami hanya berciuman saja sehingga tidak bisa mencium dengan benar,” Anastasia mendesahkan suaranya dengan sensual. “Tidak seperti dirimu. Kau… luar biasa,”

Xavier menipiskan bibir, menahan rasa jijik di dalam jiwanya.

Demi Akram dia bersedia meniduri perempuan jalang ini. Dan sekarang, Anastasia malahan menjelek-jelekkan Akram di belakangnya?

“Kalau begitu, aku berasumsi bahwa kau akan menikahi Akram, segera. Jika memang itu terjadi, apakah kau berniat menjadi istri yang setia dan memutuskan hubungan denganku?” tanyanya perlahan.

Sekali lagi Anastasia tergelak geli, seolah-olah pertanyaan Xavier itu begitu lucu untuk diterimanya.

“Aku sama sekali tidak berniat menjadi istri yang setia. Itu semua karena dirimu, Xavier. Jika aku menikah dengan Akram dan menjadi Nyonya Night nanti, itu berarti aku akan tinggal di rumah megah keluarga Night, tempat kau tinggal juga,” suara Anastasia merendah penuh rayuan. “Aku membayangkan betapa menyenangkannya jika kita bisa menyelinap pada malam-malam penuh rahasia untuk bercinta. Kau juga pasti tak keberatan, bukan?”

Xavier hanya diam. Tetapi pada malam itu, rasa jijik, muak, dan kemarahan yang selama ini ditahannya begitu memuncak hingga membuat darahnya mendidih tak terkendali.

Hingga di titik dirinya meledak, Xavier akhirnya tak mampu mengendalikan logikanya lagi. Dia akhirnya menghubungi para penjahat di dunia hitam yang sudah dia selami diam-diam, mencari orang-orang yang bersedia bersekutu dengannya demi uang, dan membayar mereka untuk menghancurkan Anastasia hingga sehancur-hancurnya.

***

Keputusan yang diambil oleh Xavier menimbulkan malapetaka beruntun yang menggoncangkan keluarga mereka.

Para penjahat yang disewanya menculik Anastasia, mereka bukan hanya menyekap dan menghajarnya, mereka bahkan melecehkannya hingga ketika polisi menemukan tubuh Anastasia keesokan harinya, perempuan itu jatuh dalam kondisi koma dan tak sadarkan diri.

Akramlah yang paling terpukul dengan peristiwa itu. Dan tidak membutuhkan waktu lama bagi Akram untuk menjatuhkan tuduhannya kepada Xavier sebagai dalang dari insiden mengerikan yang menimpa kekasih dan cinta pertamanya itu.

Xavier tidak membantah, dan itu membuat Akram naik darah hingga meluapkan seluruh kebencian dan rasa tertekannya yang dipendamnya selama ini. Akram merangsek ke arah Xavier yang tak melawan, memukuli dan menghajarnya sekuat tenaga tanpa penolakan dari Xavier, dan mungkin bisa membunuh Xavier kalau saja Baron dan Marlene tidak menahannya.

Semua umpatan kebencian yang kasar terlontar dari bibir Akram untuk Xavier ketika Baron menghelanya pergi dan memisahkan dua kakak beradik yang berpunggungan karena salah paham itu. Akram bahkan mengutuk Xavier supaya mati saja dan enyah dari kehidupannya.

Lalu seolah itu belum cukup buruk, keesokan paginya, ketika Anastasia mendapatkan kesadarannya dan mengingat kembali segala hal buruk yang merusak tubuh dan reputasinya, perempuan itu gelap mata dan memutuskan untuk menggantung dirinya di kamar perawatan rumah sakit, kehilangan nyawanya tanpa sempat mengucapkan kata terakhirnya kepada siapapun.

Kematian Anastasia benar-benar membuat Akram terpuruk. Lelaki itu hancur secara mental hingga seolah kehilangan harapan hidup. Hal itulah yang membuat Baron akhirnya memutuskan bahwa dia tidak akan tinggal diam lagi.

Sudah cukup. Harus ada yang menghentikan Xavier sebelum lelaki itu menjadi gila dan membantai semua makhluk hidup yang ada di dekat Akram.

***

“Aku tidak ingin melakukan ini. Tapi untuk kali ini, kau sudah keterlaluan Xavier. Aku tidak punya pilihan lain,” dengan sikap tegas tetapi tak menyembunyikan penyesalan di matanya, Baron menyodorkan berkas bermaterai di meja dan menggesernya ke arah Xavier.

Xavier menunduk, mengambil berkas itu dan membacanya sekilas pandang. Dengan kemampuannya yang hebat, dia sudah bisa langsung menghapal setiap detail dalam surat perjanjian yang rumit itu.

Ada pengaturan warisan dari Baron Night dalam jumlah besar dan adil. Dan inti yang paling utama dari surat perjanjian itu, adalah persetujuan bahwa Xavier dicoret dari keluarga Night dan untuk kedepannya tidak berhak menyandang nama Night lagi di belakang namanya. Terdapat juga satu klausul bahwa Xavier tidak boleh lagi mendekati Akram Night dan jika melanggar dia akan berhadapan dengan pihak berwajib.

“Aku memberikan rumah besar dan aset untukmu. Aku juga memberikan sebuah bangunan laboratorium dengan peralatan canggih yang sangat lengkap karena aku tahu kau sangat berminat di bidang itu. Kau hanya perlu menandatangani surat perjanjian ini. Aku berani menjamin bahwa kau tidak dirugikan di sini,” Baron berucap dengan nada persuasif membujuk ketika dilihatnya Xavier hanya memandangi berkas di hadapannya tanpa bersuara.

Xavier mengangkat kepala, menatap Baron dengan ekspresi sedih.

“Pada intinya, kau sedang menyuapku supaya meninggalkan keluarga ini, bukan?” tanyanya dengan nada pedih.

Baron tertegun. Lelaki setengah baya itu menghela napas panjang, lalu menatap Xavier dengan tatapan penuh penderitaan.

“Kau tahu kenapa aku mengambil keputusan ini, Xavier. Aku memang berdosa kepadamu di masa lampau, tetapi aku telah menebusnya dengan merawat dan membesarkanmu dengan baik hingga sekarang kau bisa mandiri. Aku bahkan membekalimu lebih dari cukup untuk menunjang kemandirianmu. Yang kuminta hanyalah supaya kau membebaskan Akram,” mata Baron menyipit waspada, sikap tegasnya sebagai seorang pemimpin sukses membuatnya mampu mengendalikan diri dengan baik dan tidak hanyut dalam perasaan sentimentil terhadap Xavier. “Tentu saja jika kau menolak bekerjasama, aku akan menggunakan jalur lain yang lebih keras. Tapi, kau tahu bahwa aku tidak ingin melakukannya. Jika memang kau harus pergi dari keluarga ini, aku lebih memilih untuk melihatmu pergi dengan cara baik-baik.”

Xavier memasang senyum, topeng senyum yang sempurna untuk menutupi lukanya.

“Baiklah,” Xavier menjawab dengan nada ringan meskipun hatinya tersayat-sayat.

Tidak ada gunanya melawan. Toh dia akan selalu disalahpahami dan tidak diinginkan lagi di keluarga ini, bukan?

“Aku akan menandatanganinya.”

Mata Xavier langsung menangkap kelegaan di mata Baron ketika mendengar ucapannya. Hal itu kembali menorehkan luka di jiwanya, membuat hatinya berdarah-darah, terluka atas penolakan keluarganya terhadap kehadirannya.

Perlahan, tangan Xavier bergerak meraih pena yang telah disiapkan di meja, lalu dengan menahan gemetar di tangannya, dia menandatangani berkas itu. Setelahnya dia menyodorkan kembali berkas itu ke arah Baron, dan menatap ayah angkatnya itu dengan tatapan penuh luka.

“Pernahkah kau mencintaiku seperti anakmu, ayah?” tanyanya dengan nada bergetar.

Baron tertegun. Pandangannya yang tadinya fokus menatap berkas yang telah ditandatangani oleh Xavier langsung terangkat, dan matanya langsung bertemu dengan mata Xavier yang menyiratkan rasa sakit yang amat sangat.

Bibirnya terbuka, tetapi pada akhirnya, yang keluar dari sana adalah kejujuran.

“Aku pernah menyayangimu sebagai anakku sendiri. Tetapi… ketika kau berubah kejam dan mengerikan, aku merasa tak mengenalimu sebagai Xavier anakku lagi…”

“Aku mengerti,” Xavier menyela, menghentikan kalimat Baron sebelum dia tersakiti lagi. Dengan sigap, dia mengangkat tubuhnya supaya bangun dari kursi tempatnya duduk.

“Selamat tinggal ayah… ah kurasa sekarang aku tak bisa memanggilmu ayah lagi. Selamat tinggal, Tuan Night, aku tidak akan mengucapkan sampai jumpa lagi karena aku tahu bahwa kau lebih memilih tidak berjumpa denganku lagi.” Xavier sedikit membungkuk dengan hormat, lalu menggumamkan kalimat permisi sebelum membalikkan tubuhnya menuju pintu keluar.

“Xavier.”

Suara ayahnya terdengar memanggil ketika tangan Xavier sudah hendak memutar kenop pintu ruang kerja ayahnya itu, membuat Xavier menghentikan langkah dan menoleh ke arah ayahnya dengan penuh harap.

Apakah… apakah ada kemungkinan kalau ayahnya berubah pikiran…?

Harapan itu sempat terbersit di dalam jiwanya. Tetapi, dengan segera Xavier menekannya.

“Nama belakangmu, aku lupa membahasnya. Karena kau sudah tidak bisa menggunakan nama Night sebagai nama keluargamu, kau harus segera menentukan nama belakangmu yang baru. Hubungi pengacaraku jika kau sudah menemukan nama yang kau inginkan. Pengacaraku akan membantumu untuk mengubah seluruh dokumen resmi yang berkaitan denganmu dan mengganti nama belakangmu dengan namamu yang baru di sana.”

Sembilu yang tajam kali ini bukan hanya mengoyak hati Xavier, melainkan bertambah menusuk-nusuknya hingga rasa nyerinya hampir membuat Xavier kehilangan keseimbangan.

“Jangan khawatir, Tuan Night. Aku akan segera menemukan nama baru,” ucapnya perih sambil melangkah pergi.

***

Ketika keluar dari ruang kerja ayahnya, Xavier langsung berhadapan dengan Marlene yang tampaknya telah menunggu sejak lama di sana.

Ibunya yang mungil itu tampak menyedihkan, dengan wajah pucat yang penuh air mata, seolah-olah keputusan suaminya untuk membuang Xavier dari keluarga Night benar-benar menghancurkannya.

Kedua mata yang menyimpan perih itu saling bertatapan. Sampai kemudian, Marlene membuka kedua lengannya ke arah Xavier bersamaan dengan air mata yang basah membanjiri pipinya.

Pertahanan Xavier runtuh sudah. Lelaki itu menghambur ke pelukan ibunya. Lupa bahwa dia bukanlah anak kecil lagi dan sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Bahkan sekarang, bukan lagi Marlene yang memeluk tubuhnya yang rapuh, melainkan Xavierlah yang menenggelamkan tubuh ibunya yang mungil ke dalam pelukannya.

Kedua lengan Marlene melingkar di punggung Xavier, dan di titik itu, tubuh Xavier berguncang keras sebelum akhirnya dia menumpahkan tangisnya.

“Aku tidak bermaksud menyakiti Akram…” Xavier berucap di sela isaknya yang berbaur dengan suara parau. “Anastasia mengkhianati Akram di belakang punggungnya, dia bahkan berniat terus menyelingkuhi Akram ketika mereka menikah nanti… aku hanya ingin memberi Anastasia pelajaran, aku tak menyangka kalau akan begini….”

“Sshh…” Marlene mendesiskan isyarat penuh kasih sayang supaya Xavier berhenti berbicara, tangannya mengusap lembut punggung Xavier, berusaha menenangkan anaknya itu. “Ibu mengerti. Ibu selalu berprasangka baik kepadamu, tak perlu menjelaskan apapun kepada ibu,” bisik Marlene dengan suara gemetar penuh air mata.

Ibu dan anak itu saling meluapkan kepedihan, bertangis-tangisan dengan sendu berpadu pilu. Sampai akhirnya, Marlene menjauhkan sedikit tubuhnya dari pelukan Xavier, lalu menggunakan kedua tangannya untuk menangkup pipi Xavier, menghadapkan wajah Xavier yang menunduk untuk menatapnya.Marlene tersenyum meskipun pipinya penuh dengan air mata, menatap Xavier dengan kasih sayang seorang ibu yang nyata.

“Lihatlah dirimu sudah tumbuh dewasa. Ibu bahkan harus mendongak untuk menatapmu,” bisik Marlene penuh rasa haru. “Kau bebas pergi kemanapun kau mau, Xavier. Tetapi kau harus ingat bahwa meskipun di atas kertas hakmu direnggut tanpa kau bisa melawan, apapun yang terjadi aku akan selalu menjadi ibumu dan kau akan selalu menjadi anakku,” sambung Marlene dengan tulus. “Orang-orang selalu salah paham kepadamu. Tetapi bagi ibu, kau akan selalu menjadi cahaya dalam hidup ibu. Jadi, jangan terpuruk karena kejadian ini. Bertahanlah dan jadilah kuat karena ibu akan selalu mendoakanmu.”

Suara Marlene gemetar oleh gelombang tangis yang kembali datang, dan Xavier langsung memeluk ibunya sekali lagi untuk menenangkannya. Sebuah pelukan perpisahan yang manis karena meskipun raga mereka dipisahkan, kasih sayang di antara mereka tetaplah satu.

Xavier lalu mengecup dahi ibunya dengan sayang, memasang senyumnya meskipun wajahnya sembab penuh air mata.

“Aku akan selalu menjadi cahaya dalam hidup ibu. Aku berjanji,” lirih Xavier mengucap janji. Lalu setelah berhasil menguatkan hati, Xavier melepaskan ibunya dan berbalik pergi, melangkah meninggalkan rumah keluarga  Night yang kini bukanlah rumahnya lagi.

Ibunya ingin dirinya selalu menjadi cahaya yang menerangi hatinya, dan Xavier bertekad akan melakukannya.

Pada saat itu, Xavier langsung tahu, nama apa yang bisa disematkan sebagai nama belakangnya yang baru.

Light yang berarti cahaya.

Nama itu memiliki ritme pengucapan yang hampir serupa dengan namanya yang lama dan memilik arti seperti doa yang disematkan ibunya kepadanya.

Ya, berubah nama dari Xavier Night menjadi Xavier Light, ternyata tidak terlalu buruk baginya.

Siapa yang tahu kalau namanya itu nanti menjadi sebuah doa untuknya supaya dia bisa menemukan cahaya terang dalam hidupnya gelap ini?

 

***
Baca Parts Lainnya Klik Di sini

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

 

150 Komentar

  1. mysweetesthoney menulis:

    Woooww first coment

  2. mysweetesthoney menulis:

    :huhuhu xavierrrrrr

  3. Aku :huhuhu

  4. SUMPAH AKU GABISAAAA DIGINIIN

    kakkkk ini bener bener bagus bgt bener bener bagussss, aku nangis kejer ㅠㅠㅠ

    kasian bgt xavierrrrrr, gaada yang ngerti dia selain marlene ㅠ

    akram juga kasian, lucuuu, masi kecil udah trauma, huhuhu.

  5. I feel u xavier…

  6. NANGISSSS SPEECHLESS GATAU MAU NGAPAIN LAGIII ㅠㅠㅠㅠㅠ

    SEDIHHH AGRHSJSJSJSJSJZHH

  7. :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  8. Wah edaaan … aku nangis :huhuhu :huhuhu mana udh pake skincaree :berkacakaca

  9. :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  10. Setiap baca cerita Xavier, nangis mulu anjiirrr :huhuhu :huhuhu :huhuhu
    coba Akram tau gmana pengorbanan Xavier untuk nya :bantingkursi

    1. Ahhhh aku udah jatuh cinta sama xavier bangeyytt :kisskiss :kisskiss :huhuhu

  11. Dhian Sarahwati menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  12. Anjay Xavier kecil otak nya encer banget, licik juga pula. Sumpah jijik banget sama Anastasia, nda ada harga dirinya sama sekali. Thor Sherafina nya kapan muncul? di part selanjutnya ada gak?
    😂✌#ndasabaran :berkacakaca

  13. kushiikushii menulis:

    Lebih seru cerita nya ini :nangiskeras :nangiskeras

  14. RikaSaktiman menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  15. Bnyk beud ah taburan bawang :huhuhu :huhuhu 😭😭aku g bisa dibeginiin tpi aku suka👍. Sosok marlene bnr2 kaya sosok elana pantes lsg pada terpikat pada elana krn sifatnya 11 12 kaya elana

    1. Sifatnya 11 12 kaya marlene maksudnya, mksh udh up

  16. Xavier , Ep. awal2 msih santai mkin naik Ep. Ikut terbawa emosi , ssh2 gampang komunikasi dgn anak yg trauma, trllu membekas , tapi memang kasih nya ibu , sepanjang masa , ttp syang dgn xavier terlepas dari semua yg terjadi .

  17. jvevangelistas menulis:

    Pertama-tama. Saya mau mengucapkan terima kasih banyak kepada penulis karena sudah post ini eps langsung 3 part begini dengan jumlah kata 7000an begini. Terima kasih. Sebelum baca tadi, sudah langsung bahagia pake banget pas lihat jumlah katanya sampai 7000an 💖. Terima kasih.

    Ini eps masih sama seperti eps sebelumnya. Sungguh menguras air mata. Saya sedih sampe nyekit nyekit ini dada bacanya 😭 aku benar-benar mengharapkan tak ada luka untuk xavier lagi (tapi keingat di cerita Akram, dia ada melukai Xavier dlm bentuk kecelakaan yg parah kan sampe buat Xavier hrs menghilang sekian lama dr Akram 😭)

    Ini Xavier harus bahagia yg belipat-lipat mengingat betapa menderitanya dia dulu.

    Oh, aku melihat Elana di Ibu Marlene. Pantesan Xavier dan Akram jatuh hati pada Elana :”)

  18. :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  19. Ehh sumpah!!! Sorry kak salfok pas Akram baru pulang dri asrama… trus Xavier liat dri jendela kek rasa2nya jiwa fujoku bangkit wkwkwkwk :nyengirlebar :nyengirlebar

  20. Ini udah bagus banget dr jalan ceritanya
    ga berulang ulang seperti ceritanya akram. Sempet berhenti baca akram krn sangat monoton. Tp nanggung lanjut aj. N pas baca xavier wow improvenya meningkat. Serius ini udah bagus. Apkh ini penulis yy sama? Krn ud selevel sm cerita psa lainnya.

    1. Ah iya setuju pas cerita Akram banyak kalimat yg intinya sama maknanya berulang-ulang di beberapa paragraf. Tapi ini udah makin kerenn :kisskiss

  21. :huhuhu :huhuhu

  22. Azzahra Puti Dasta menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  23. ayda fitriani menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu
    Banyak bawang :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  24. sitizsantoso menulis:

    :kisskiss

  25. Arfan Naendra menulis:

    :huhuhu Vier

  26. :huhuhu :huhuhu :huhuhu
    Nangis bombay ciribambay. Zsdih banget euy. Tapi ya gimana ya, kebanyakan orang pasti bakal salah paham sama sikapnya Xavier sih. Udah gitu, kayanya daripada sikapnya orang bakal lebih ngeri sama kemampuan dia.

  27. anggichoi90 menulis:

    Xavier :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  28. Triya_Riyadi menulis:

    Terjawab sudah kenapa sebelum Marlene meninggal, dia berpesan sama Akram jgn sampai membunuh Xavier, krna dia tau kalo Xavier sebenernya sangat menyayangi Akram seperti adiknya sendiri.

  29. devitakoswara menulis:

    Speechcless :huhuhu :huhuhu

  30. :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  31. RuriAurellia menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  32. :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu thank you author

  33. :huhuhu :huhuhu

  34. xavier kenapa selalu menyedihkan , edan lah aku nangis :huhuhu :huhuhu

  35. Xavier 😭😭😭😭😭

  36. Berharap sekali melihat xavier dan akram bepelukan, dan mengobrol dari hati ke hati, bukan hanya dari penjelasan lana 😭😭😭😭 moment persaudaraan mereka. Dan bagaimana perkenalan dengan credence?

  37. Evhaa.Winda menulis:

    Sedih baca part2 terakhir :huhuhu semua salah paham sama xavier :panikshow semoga xavier segera menemukan cahaya hatibya :muach

  38. :huhuhu

  39. Gilakkkk, sad bgt pas xavier meluk ibunya. Huhu. :huhuhu

  40. xavierrr :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu dia baik tp knapa pada salah paham :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  41. Aaaaa :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu terharu, sedih, nyesek duh campur aduk jadi nya
    Gak bisa komentar apa” lagi :huhuhu :huhuhu

  42. yuanitapradana menulis:

    Duh sedih :huhuhu :huhuhu

  43. Itanur Cahyati menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu sedihh akuuu

  44. Itanur Cahyati menulis:

    Xavierrr penerang :huhuhu :huhuhu

  45. :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  46. Jayaning Sila Astuti menulis:

    Sedih bgt jd xavier. Tp dia msh beruntung memiliki ibu yg luar biasa.

  47. War biyasaahhh xavier .. si jeniuss .. supersuper jenius .. salute 👍👏

  48. ichigohimawari menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu
    Mewek..Xavier….aku gak kuat, hatiku gak kuat mamaa :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  49. lediomparlinda menulis:

    :kisskiss :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :bantingkursi :bantingkursi :bantingkursi :huhuhu :huhuhu :kisskiss

  50. Annisahsb27 menulis:

    XAVIER HARUS BAHGIAN POKOKNYA :huhuhu .
    We lagi puasa ini kan gua nangis :huhuhu

  51. Rina Abdullah menulis:

    Oh Tuhan..nangis pas part terakhir…

  52. udh ga sabar mau liat cahaya hati nya xavier thor, xavier pantas mendapatkan nya

    1. febby andriani menulis:

      Berasa kabhi kushi kabhi gham 😭😭 sedih amat riwayat nya xavier.. 😭

  53. :huhuhu sedih banget. Kasian Xavier padahal dibalik tindakan nya walaupun emamg agak kejam tp semua buat kebaikan Akram. Semoga nanti Xavier bisa bahagia

  54. Ya Allah min, kmrn baca cerita akram ga gini2 amat deh min, kok aq jd cengeng gini ya pdhal kan xavier kejam tp aq lebih tertarik ma xavier deh :huhuhu :huhuhu

  55. Bagus banget : :kisskiss

  56. munawarah926 menulis:

    Marlene sayang banget sama xavier

  57. Sedih :huhuhu

  58. Ayu Lestari menulis:

    Nangesssss akooohhhh part ini :huhuhu
    Sayang Xavier banyak² pokoknya :givelove

  59. :gakterima :gakterima :nangiskeras :nangiskeras
    Cuman ibunya yg percaya dan sedih :huhuhu :huhuhu

    Untungnya mereka sudah baikan sekarang :kisskiss :kisskiss
    Alasannya Akram sudah tahu semua

  60. AyukWulandari2 menulis:

    :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu
    Gara gara anastasya semuanya jadi kacau, jadi tambah salah paham.

  61. de_Queenshera menulis:

    Xavier lebih menarik dari Akram 💗

  62. “Pernahkah kau mencintaiku seperti anakmu, ayah?” Fix aku :huhuhu

    Kenapa cerita xavier ini banyak ngandung bawang sih yasalam :huhuhu

  63. Imas Rahayu menulis:

    Sumpah gue nangis author :huhuhu :huhuhu

  64. Imas Rahayu menulis:

    harus nya ya dari kecil xavier itu sering2 di ajakin ke panti asuhan biar bs punya temen selain akram. :nangiskeras :nangiskeras

  65. Wina Soetardjo menulis:

    Kalo udah Xavier ketemu Marlene, udah ga sanggup bacanya.
    Kayanya hanya Marlene yg ngerti Xavier gimana.
    Pantes setelah ketemu Elana, Xavier seperti menemukan Marlene di diri Elana…

  66. mustika lisa amalia menulis:

    Semoga cahaya selalu menerangimu, xavier light kkuuuu :huhuhu

  67. Nangisssss 😭😭😭

  68. renjunmistake menulis:

    Xavier :huhuhu

  69. Gak kuat nangisss :huhuhu

  70. christalM456 menulis:

    Pantes aja care bgt ama elana, ternyata sebaik ini marlene nya…bahkan beliau bkn ibu kandung xavier

  71. tottemobakadesu menulis:

    Aahhh :huhuhu :huhuhu :huhuhu

    Ambyarrrr setiap scene Xavier ama Marlene

  72. xavier melakukan apapun untuk akram.. tapi dengan cara yng kejam😭😭aku padamu xavier❤

  73. Sedihhh :huhuhu

  74. siskayulia menulis:

    Menangis sembilu nge baca ini thorrrr

  75. elyumnagita menulis:

    Ya Alloh…berderai air mataa…di cerita bagian2 akhir.Ibu dan anak angkat yg saling mencintai dng tulus satu sama lain.. :huhuhu :huhuhu

  76. Vionakeith menulis:

    Aduh jadi mewek baca ini jam 4 subuh hikzzz

  77. Xavier berhak bahagia :huhuhu :nangiskeras

  78. Missjangchoii1 menulis:

    Gila sih si Anastasia -__-
    Xavier ku sayang :huhuhu

  79. Yah gimana dong.. caranya salah, Xavier.. 😕 Ngga bisa dibenarkan apa yang lu lakukan..

  80. Winda Febrianti menulis:

    Banjir… banjir.. banjir… :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu :huhuhu

  81. Nocturne840 menulis:

    Nangis :huhuhu

  82. Baca di waktu kerja :huhuhu Sedih banget sampai nangis dan Dilihatin teman teman :huhuhu

  83. Nangiiss bombaayy nih.. :nangiskeras :nangiskeras :gakterima :huhuhu :huhuhu

  84. Nangiss astagaaaa xavier aku padamu😌😌

  85. Ampun part2 awal di bikin nangis bombai.. :huhuhu

  86. Hati orang siapa yang tahu emang bener, kita ngga bisa menjudge orang baik atau buruk hanya dari luarnya aja. :panikshow :panikshow

  87. Sumpah.. part ini bikin mewek bgt :berkacakaca

  88. sang cahaya yang selalu disalah pahami orang lain

  89. Hihh nangis guee :please

  90. Padahal niatnya baikk :lovely :lovely

    1. eliana_raffael menulis:

      :tidaaakksssnooo

  91. Wah

  92. Xavier sayang banget ma akram

  93. Xavier :lovely
    Sedih banget Xavier dikeluarin dari keluarga Night :aw..aw

  94. Xavier Light, nama yang indah tapi sayang tidak sesuai dengan karakter Xavier yang kelam. :kumenangismelepasmu

  95. DeeraSlythNeel menulis:

    Xavieeer 😭😭😭

  96. Breathtaking05 menulis:

    :mimisankarnamu

  97. :lovely :lovely :lovely
    Xavier cayank ama Akram

  98. Xavi

  99. Riski Agustika menulis:

    Harus bagaimana lagi? :Jambakantagonis

  100. debora sinaga menulis:

    :lovely :lovely :lovely

  101. IedaChoChokyu menulis:

    :NGAKAKGILAA :NGAKAKGILAA

  102. Ivena Almira menulis:

    :NGAKAKGILAA

  103. Leni Meilina menulis:

    :lovely

  104. gabygabriella999 menulis:

    Sedih bgt astaga…

  105. mrswhiteee_ menulis:

    :kumenangismelepasmu :kumenangismelepasmu :kumenangismelepasmu

  106. Lely Damayanti menulis:

    Ini sangat mengharukan :endingnyagimanaini? :awaskaunanti :kumenangismelepasmu :KUMENANGISMEMBAYANGKAN

  107. Sedihhhhhh

  108. nurul ismillayli menulis:

    Marlen sangat tulus menyayangi Xavier hingga mampu melihat jauh ke dalam hati

  109. Mamita Fatih menulis:

    :sebarcinta

  110. Rahma Wulandari menulis:

    Sedihhh

  111. Sedih banget :kumenangismelepasmu :kumenangismelepasmu

  112. azzahrahtia menulis:

    Sedih banget

  113. Siti Sutrisno menulis:

    Ketulusan

  114. part ini tuh part yang paling berat menurut aku,,,, meski udah baca ulang pun masih tetep aja pen nangiss aku :kumenangismelepasmu

  115. Pooja Kharisma menulis:

    Baca lagi karena pengen nangis aja. Biar ada alasan nangis rasanya plong bangt

  116. Kasihan xavier😭😭😭

  117. Sebenarnya agak kurang setuju sama keputusannya Xavier yg nyuruh orang buat menculik Anastasia terus disiksa sama dilecehkan begitu. Apa ya… mungkin karena sesama perempuan jadi agak gak tega begitu. Tapi gimana ya. Aduh nda ngerti deh mau jelasinnya

  118. Meskipun baca udh bolak balik. Ttep nangis bombay 😭😭😭😭

  119. UpungDananir menulis:

    :habisakal :habisakal :habisakal :habisakal

  120. istri ke dua jendral akira menulis:

    Marlene ibu yg baiq

  121. Greget banget

  122. Brother complex :aw..aw

  123. Ulia Milasari menulis:

    Meleleh air mataku :aw..aw :aw..aw

  124. Sedih pas perpisahan xavier sama marlene :aw..aw :aw..aw

  125. Pujipriyantiningsih menulis:

    Padahal niatnya baik..

  126. Kisahnya xavier😭