Vitamins Blog

WHEN : 4. WIND

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Air matanya telah kering. Tapi jejak-jejaknya masih terpeta dengan jelas di wajah cantik Sakura.

 

Sakura memandang langit malam yang terhampar luas di atasnya. Angin berhembus, menerbangkan dengan lembut surai merah mudanya.

Dingin.

 

Rasanya cocok sekali dengan keadaannya sekarang.

 

Ia kemudian melirik Neji yang duduk tepat di sebelahnya.

 

Pria itu membawanya pergi ke rooftop kediaman Uchiha dan membiarkannya menangis hingga tenang tanpa pergi dari sisinya. Tangan pria itu pun tak lepas menggenggamnya.

 

Sakura tiba-tiba merasakan perasaan  bersalah pada Neji. “Maafkan aku.” Tuturnya.

 

Neji menoleh pada Sakura. “Apa?”

 

“Maaf karena aku menyakiti Hinata dengan pertunangan ini.” Sakura menunduk, mengalihkan pandangannya ke lantai, dia tak berani menatap Neji.

 

Neji menarik nafas dalam. “Aku yang seharusnya minta maaf mewakili Hinata. Dia sudah melukaimu.” Neji meraih wajah Sakura dan membuat Sakura menatapnya. “Maafkan dia, Sakura.”

 

Sakura menggeleng lemah. “Hinata ataupun Sasuke tidak bersalah di sini.” Kata Sakura. “Tapi aku, karena memaksa untuk berada di tengah-tengah mereka.”

 

Sakura mengusap sudut matanya. Mencegah air matanya tumpah lagi. “Aku yang bersikap egois dan tak mempedulikan perasaan mereka berdua.” Sakura tersenyum miris. “Akulah pihak yang jahat, nii-chan.”

 

Neji menarik Sakura ke dalam pelukannya. Ia mengusap pelan punggung gadis itu. “Jadi kau sudah tau kalau mereka saling menyukai?” Sakura mengangguk dalam dekapan Neji. Neji mengecup puncak kepala Sakura. “Kau pasti terluka selama ini.” Kata Neji dengan nada prihatin.

 

Sakura merasakan hatinya tiba-tiba menghangat. Ada orang lain selain Ino yang peduli atas perasaannya. Sakura mengeratkan pelukannya. Dia membutuhkan seseorang di sisinya saat ini.

 

***

 

Ino melirik jam tangannya berkali-kali. Wajahnya ditekuk. Dia menggeram kesal dan menghentakan kakinya ke tanah.

 

Terlambat. Dasar nanas brengsek.

 

Dia mengumpat berkali-kali dalam hati.

 

Otaknya tiba-tiba membayangkan adegan mutilasi dari film yang belum lama ini di tontonnya. Dan korbannya adalah lelaki itu.

 

Ino berniat akan mendobrak pintu apartemen temannya ini jika dalam sepuluh menit tidak segera turun menemuinya.

 

“Mondekusai.” Shikamaru muncul di pintu masuk apartemen, menguap. Dia menghampiri Ino dengan pandangan malas.

 

Ino menahan geram, ingin sekali memukul si kepala nanas, tapi ia harus sabar. Ino membutuhkannya.

 

“Aku datang untuk membicarakan kelanjutan tentang pesanku kemarin.” Kata Ino to the point.

 

Shikamaru menggaruk rambutnya, menguap lagi. Dia lalu mengedikkan kepalanya, memberi isyarat pada Ino untuk masuk ke dalam apartemen.

 

Ino menggeleng. “Di sini saja.” Lalu ia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya. “Itu rekam medis milik Sakura.”

 

Shikamaru membaca kertas itu, alisnya berkerut. “Dia menderita Tomophobia dan dalam tingkat komplek.” Shikamaru menatap Ino. “Tapi kenapa dia ingin mendonorkan ginjalnya?” Suaranya terdengar heran. Ino diam tak menjawab, jadi Shikamaru melanjutkan perkataannya.

 

“Bahkan sebelum operasi dimulai, akan terjadi masalah. Jika tingkat kecemasannya berlebihan, dia bisa beresiko memecahkan pembuluh darahnya. Belum lagi saat masa penyembuhan.” Shikamaru menatap Ino dengan pandangan serius. “Apa temanmu ini mencoba bunuh diri?”

 

“Lalu bagaimana?” Tanya Ino, wajahnya berkerut, khawatir.

 

Shikamaru menggeleng, dia pun masih memikirkannya. “Penyembuhan phobia butuh waktu dan proses yang lama. Aku juga tidak tau metode apa yang cocok untuk keadaan temanmu ini.” Ino meremas kedua tangannya, semakin cemas. “Bawa saja temanmu ke klinik, aku akan atur jadwal terapi untuknya.” Shikamaru menepuk pundak Ino. “Jangan khawatir.”

 

Ino mengangguk pelan. “Baiklah.”

 

***

 

Angin berhembus pelan siang itu. Sepoi-sepoi. Menerbangkan satu dua daun dari ranting-ranting pohon yang mulai bersemi.

 

Sakura menarik nafas dalam. Menghirup dalam-dalam udara segar di pegunungan ini. Ah, sudah masuk musim semi. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

 

Hari ini Sakura entah mengapa ingin sekali datang ke kuil tempat ia dan keluarganya biasa datang saat tahun baru. Jadilah sekarang ia di sini, di kuil Yamadera.

 

Kakinya melangkah ringan menaiki satu persatu undakan anak tangga kuil, sambil sesekali berhenti untuk menatap lebih lama ranting-ranting pohon yang begoyang ringan atau memotret kuncup-kuncup Azalea yang mulai nampak.

 

Dan butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke komplek kuil paling atas, aula Godaido. Tapi semua perjuangan itu terbayarkan dengan pemandangan lembah yang mulai menghijau di kaki pegunungan Yamagata.

 

Beruntung ia datang di awal minggu, sehingga keadaan kuil hari ini cukup sepi.

 

“Haruno-san?” Sapa seorang biksu. Biksu tersebut merupakan biksu kepala di kuil ini dan keluarga Sakura mengenalnya dengan cukup baik.

 

Sakura membungkuk sopan. “Anda datang sendiri?” Tanya biksu kepala.

 

“Iya, hōshi.” Kata Sakura.

 

Biksu kepala tersenyum lembut. Dia menghampiri Sakura dan ikut berdiri di pinggir pembatas, menatap lembah di bawahnya. “Tempat ini indah, benar kan Haruno-san?”

 

Sakura mengangguk setuju. “Anda benar, hōshi. Dan di sini juga menenangkan.”

 

“Ketenangan dicari saat seseorang sedang bermasalah, dan setiap masalah pasti memberikan rasa sakit.” Biksu kepala tetap menatap lurus, memandang jauh ke depan. “Tapi rasa sakit ada untuk mendewasakan. Hanya saja, terlalu banyak luka juga bukanlah hal yang baik.” Biksu kepala menatap Sakura lembut. “Lepaskanlah apabila itu terlalu menyakitkan. Kelak, jika memang ditakdirkan, semua pasti akan kembali.”

 

Sakura diam lama.

 

Angin pegunungan membelainya pelan. Terbang perlahan, melarikan risaunya dan membawa sebuah pemahaman baru.

 

Sakura menatap biksu kepala, dia tersenyum tulus. “Terima kasih, hōshi. Terima kasih.”

 

Biksu kepala menggangguk ringan, membalas Sakura dengan senyum menenangkan.

 

***

 

Tomophobia = Phobia pada operasi.

 

Biasanya tingkat phobia seseorang dibagi menjadi 3, ringan, sedang dan kompleks.

 

Hōshi = Biksu

 

Dan terakhir, terima kasih untuk dukungannya, minna-san ??

 

 

2 Komentar

  1. parah ya sakitnya sakura

    1. Sakura itu ngga bisa d bilang sakit juga..secara fisik dia sehat tpi jiwanya engga :PEDIHH