Vitamins Blog

Being his girlfriend : dua

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

36 votes, average: 1.00 out of 1 (36 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Aji sedang mengutak atik lensa kameranya saat satu suara melengking memanggil namanya. Aji menoleh kearah pintu dan mendapati cowok bersweeter hijau army menyembulkan kepalanya pada satu daun pintu yang masih tertutup.

 

Cowok itu tersenyum lebar sembari menjulurkan tangan kanannya yang sedang memegang sesuatu, “Gue minta softcopy foto pas acara musikal kemaren dong, Ji?” Kemudian tanpa aba-aba cowok itu melenggang masuk kedalam ruangan. “Kok sepi? Yang lain kemana?” Tanyanya saat mengamati ruangan.

 

“Nggak tau, Pada sibuk KP kali.” jawab Aji asal. Matanya masih fokus pada lensa kameranya, “Sabar ya, Nic. Nanggung soalnya.” Sambung Aji.

 

Nic mengangguk-angguk, “Oke, santai. Gue juga udah nggak ada kuliah kok.”

 

Keheningan tercipta selama lima menit berikutnya. Hanya suara game yang dimainkan oleh Nic saja yang menggema di ruangan itu. Kemudian, bersamaan dengan selesainya lensa yang sejak tadi geluti oleh Aji, suara umpatan yang keluar dari mulut Nic karena permainannya terganggu membuat Aji menoleh kearah cowok itu sambil mengangkat sebelah alisnya.

 

“Oh my god, Jenny! Lo gangguin gue aja tahu!” Gerutu Nic.

 

Mendengar satu nama yang disebutkan oleh Nic tadi, membuat Aji tertarik untuk menyimak.

 

“Why? Awas ya, kalau nggak penting.” Lagi-lagi Nic menggerutu dengan raut wajah kesalnya meskipun jelas si penelpon tidak akan melihat.

 

Aji tidak tahu apa yang dikatakan oleh seorang yang menelpon Nic, tapi dia bisa menangkap kalau seseorang itu telah menawarkan sesuatu yang membuat raut kesal di wajah Nicholas langsung menghilang dan berubah menjadi raut berseri-seri, bahkan Aji sampai mengernyitkan keningnya saat Nic menjawab panggilan telepon itu dengan suara menyebalkannya, “Mau! Ntar gue ambil di kosan lo… Oke…”

 

Nic menjauhkan ponselnya dari telinga ketika sambungan teleponnya telah berakhir. Cowok itu mendongak dan menyadari kalau Aji telah selesai dengan lensanya, “Oh, udah?”

 

Aji mengangguk, “Mana flashdisk lo?”

 

Nic dengan semringah memberikan flashdisk berbentuk tokoh disney kepada Aji, membuat Aji mengerutkan kening dan menatap Nic tak percaya.

 

“Apa?” Tanya Nic heran ditatap seperti itu.

 

“Nggak,”

 

Sambil menunggu copyan nya selesai, Aji tiba-tiba saja teringat sesuatu. Sebenarnya ia sudah ingin bertanya kepada Nic sejak tiga hari yang lalu, namun karena ia dan Nic memang tidak berada dalam fakultas yang sama dan cowok itu juga tidak kelihatan batang hidungnya sehingga Aji lupa. Tapi, Aji teringat kembali saat Nic menyebutkan satu nama ketika mengangkat panggilan teleponnya tadi.

 

Aji menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, kepalanya sedikit miring menoleh kearah Nic yang sedang bertumpu dagu menatap laptop milik klub fotografi.

 

“Lo kenal Jennifer, Nic?” Tanya Aji.

 

Nic menoleh tanpa melepaskan tumpuan dagunya, “Jennifer temen gue? Jennifer aja? Rambut panjang, kulit putih dan tingginya biasa aja?”

 

“Jennifer aja?” Aji merasa aneh mendengar nama belakang Jennifer yang ia tanyakan itu. Aji memang tidak tahu siapa nama belakang cewek itu, karena di instagramnya hanya terdapat nama “Jen.” Sedangkan usernamenya hanya sebatas nama depannya saja, jadi mendengar nama belakang Jennifer mau tak mau membuat Aji mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

 

Nic cengegesan, “Maksud gue Jennifer aja. Nggak ada nama panjangnya gitu… Hehe”

 

Oh! Aji mengangguk paham.

 

“Iya kali,” jawab Aji. “Lo kenal?” Sambungnya.

 

Kali ini gantian Nic yang menatap Aji dengan kening berkerut, “Kok ragu? Lo nggak tau Jenny?”

 

Aji mendesah frustasi. Baginya, Nic terlalu banyak tanya padahal Aji juga hanya bertanya satu kalimat saja. Dan jawabannya adalah pasti; Ya dan Tidak.

 

“Kalau gue tau, gue nggak nanya lo, Mimi peri!”

 

“Ih Aji mulutnya suka jahat!” Nic memberengut.

 

Aji memutar bola matanya, mencoba untuk tidak memasukan kepala Nic kedalam kantung plastik dan kembali bertanya, “Yaudah, lo kenal Jennifer?”

 

Nic masih kesal karena Aji menyebutnya begitu, namun ia mengangguk. “Kenal lah. Dia temen gue. Kenapa lo nanya gitu?”

 

“Nggak, nanya doang.” Aji menjawab sambil lalu. Dan jawaban itu membuat Nic mengerutkan hidungnya menatap tak percaya pada Aji.

 

“Kok lo tiba-tiba nanyain Jen?”

 

“Ya… Nanya aja. Bawel deh lo ah,”

 

Nic mencibir, “Gue tahu tipe cewek-cewek lo gimana, Ji. Dan itu bukan Jenny. So, lo pikir gue percaya kalau lo cuma “nanya aja”?”

 

“Gue emang nanya aja, Nicholas.”

 

“Kenapa lo tiba-tiba nanya Jennifer? Nggak mungkin karena lo denger gue telponan sama dia tadi.”

 

Aji mengutuk Nic dalam hati. Cowok ini harus diberi jawaban yang meyakinkan agar mulutnya berhenti bertanya,

 

“Dia suka kucing gue.”

 

“Jenny emang pencinta kucing,” timpal Nic. “Terus?”

 

Aji menggaruk kepalanya snewen, “Yaudah, pas gue buka profile instagram dia dan liat lo follow dia. Makanya gue nanya. Puas?”

 

Nic tersenyum, “Jadi, Jenny godain lo di ig dengan modus kucing, gitu?” Mata Nic keatas seolah mengkhayalkan sesuatu. Aji langsung melemparkan kertas yang sudah diremas berbentuk bola tepat mengenai dahi Nic.

 

“Sakit, Aji!” Nic mengusap-usap dahinya.

 

“Jennifer nggak modusin gue.” Sergah Aji.

 

Ntah kenapa Aji merasa harus mengatakan hal itu karena memang itulah faktanya. Malam itu ia duluan yang mengirimi pesan melalui Direct Message.

 

Aji baru saja pulang dari kontrakan milik Radit -tempat dimana ia dan kawan-kawannya biasanya berkumpul, saat melihat notification pada status bar nya. Aji tidak mengenal username itu, tetapi pemiliknya sepertinya sedang melihat profile nya dan tidak sengaja menekan tombol like pada salah satu unggahan lawasnya. Karena sedang tidak ada kerjaan, Aji dengan iseng mengirimi pesan kepada akun itu. Alis Aji menyatu saat membuka profile Jennifer. Instagram nya di kunci, namun Aji menemukan kalau Nic juga memfollow akun Jennifer. Jadi, Aji menyimpulkan kalau kedua orang itu saling kenal.

 

Nic sudah pergi dari ruangan klub fotografi itu, saat Aji kembali membuka akun instagramnya dan mendapati Jennifer belum menerima permintaan mengikutinya.

 

“Apa gue salah ngomong, ya?” Aji bergumam.

 

“Salah ngomong apa?”

 

Aji langsung menoleh kesumber suara. Radit sudah berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya pada kursi disebelah Aji. Raut wajahnya seperti habis di kuliti, membuat Aji bertanya, “Kenapa muka lo?”

 

Radit mendesah, “Gue heran bu Dora udah hamil gede masih aja demen ngasih kuis dadakan.”

 

“Apa hubungannya hamil gede sama kuis?” Aji tertawa.

 

“Ya, seharusnya dia lebih mikirin cuti aja ketimbang ngasih kuis ke mahasiswanya.”

 

Bu dora adalah dosen mata kuliah kalkulus. Mata kuliah yang menjadi momok bagi kebanyakan anak komputer. Mungkin, karena Bu Dora terlalu tegas sehingga mata kuliah yang menggunakan banyak perhitungan itu menjadi sepuluh kali lebih sulit dari biasanya dan Aji bersyukur karena ia sudah lulus di mata kuliah itu.

 

“Mungkin bayi nya ngidam emaknya ngasih kuis.” Ucap Aji asal.

 

“Anjir!” Radit ngakak. Kemudian ia menoleh sesaat ke Aji, “Jadi, lo salah ngomong ke siapa nih? Aurel?”

 

Aji berdeham, “Nggak, bukan.”

 

“Nggak atau bukan nih? Yang jelas dong.” Ujar Radit meledek, membuat Aji menggerutu, “Lo udah kayak Nicholas aja deh,”

 

“Anjir, lo jadi galau karena salah ngomong sama si tomboy?” Radit mendongak kaget.

 

“Gila lo. Nggak lah!”

 

Radit kembali tertawa saat mendengar Aji mengumpat, “Terus siapa? Aurel? Udah tenang aja, lo kasih bunga juga manjah lagi cewek lo.”

 

“Bukan Aurel.”

 

“Lo ada cewek baru lagi, Ji? Kok nggak bi–“

 

“Gue nggak ada cewek baru, dan gue juga nggak ada cewek lama, Radit.”

 

Radit mengambil ponselnya dari dalam saku celana nya dan meletakkannya diatas meja, “Gue kira lo udah nggak anggep gue sohib lagi, bro.” Radit menyeringai.

 

Aji memutar bola matanya, kemudian ia bertanya, “Alasan cewek nggak nerima follow requests lo, kenapa?”

 

“Karena lo jelek.” Kekeh Radit. “Siapa yang nggak approve?”

 

“Nggak ada. Gue nanya doang.” Jawab Aji sekenanya, enggan membahas hal itu lebih lanjut. Kemudian Aji bangkit, “Gue cabut ya. Nyokap gue minta jemput di bandara jam 5.” Tanpa menunggu jawaban Radit, Aji langsung berlari keluar ruangan. Menyisakan bunyi suara pintu tertutup,

 

“Mau godain staff cantik kali ya tu anak di bandara,” gumam Radit saat melihat jarum jam yang masih berada di angka tiga.

 

***

 

“Ih, kalian ke Mall kok tega sih nggak ngajak gue, Jen, Yas?” Nic memasukkan potongan churros nya kedalam mulut. Sedangkan matanya memandang kesal kedua cewek didepannya yang sedang sibuk dengan hasil berburu mereka.

 

“Lo kan tadi kumpulan,” ucap Jennifer.

 

“Kan kalian bisa nungguin gue!” Nic cemberut, tangannya bergerak mengambil potongan churros berikutnya dan memasukkannya kedalam mulut. Kemudian, tangan Nic bergerak menyentuk dagu Tyas yang masih sibuk menjajal lipstick baru nya. Lalu menatap Jennifer, “Oh my god! Kalian nyalon tanpa gue?”

“Nic, tangan lo kotor, ish!” Tyas langsung menepis jemari Nic yang berada di dagunya. Nic tertawa. “Sorry, Yas.”

 

“Gue cekek lo kalo sampe gue jerawatan!” Ancam Tyas. Nic mencibir, “Cewek kok takut jerawatan.”

 

Jennifer geleng-geleng. Jika Nic dan Tyas sudah berada dalam satu tempat, sudah pasti itu akan menjadi ramai. Kedua orang itu baikan tom and jerry. Tentu saja Tyas sebagai Tom nya. Namun, inilah yang membuat Jennifer nyaman karena adanya Tyas dan Nic disampingnya. Mereka berteman sudah sejak ospek dimulai dan sampai sekarang. Namun, karena Nic sekarang menjabat sebagai wakil ketua dari klub S&D (Seni dan Drama), jadi tingkat intensitas pertemuan mereka pun tidak sesering pada semester-semester sebelumnya.

 

“Jen, buat gue satu ya?” Nic mengambil satu dari dua toner tea tree dari brand internasioal. “Gue ngefans banget sama produk tea tree ini. Ya ya ya?”

 

“Nggak. Ini punya gue.” Tyas langsung mengambil dengan paksa botol toner yang di pegang oleh Nic.

 

“Jadi kalian lagi-lagi nggak mikirin gue saat beli ini?” Nic kembali cemberut. Mulutnya bahkan sampai maju beberapa senti.

 

“Nggak lah, ngapain.” Jawab Tyas santai. Tangannya lalu bergerak memasuki barang belanjaannya kedalam paperbag kecil yang semula digunakannya.

 

“Lo emang ibu tiri, Tyas.” Gerutu Nic. Kemudian mata Nic beralih menatap Jenny dengan menyipitkan mata, namun cowok itu tidak mengatakan apa-apa. Membuat Jennifer lah yang akhirnya bersuara, “Apa, Nic?”

 

“Lo juga nggak mikirin gue?”

 

Jennifer meringis. “Bukan gitu. Gue mana tahu kalau lo juga doyan pake toner. Ini kan buat cewek…”

 

“Setuju, Jenny.” Gumam Tyas.

 

Nic memberengut membawa tangannya bersedekap di depan dada, “Memangnya ada aturan kalau cuma cewek yang boleh pake itu?”

 

“Ya nggak sik…” Jennifer menggaruk kepalanya yang tak gatal,

 

“Ah, gue ngambek nih sama lo berdua! Apa lagi sama lo, Jenny!” Nic membaringkan tubuhnya diatas ranjang.

 

“Lah kok gitu? Kan lo berantemannya sama Tyas kok lebih ngambeknya sama gue sik?” Jennifer tak terima.

 

“Oke, gue nggak jadi ngambek nih, tapi lo harus jawab pertanyaan gue dengan jujur…” Nic mengganti posisinya menjadi tengkurap dengan tangan kanan menumpu dagunya. Kemudian melanjutkan ucapannya kala melihat Jennifer mengangkat kedua alisnya dengan ekspresi bertanya kepadanya, “Kenapa Aji nanyain lo, Jenny?”

********

6 Komentar

  1. Nic : kenapa aji nanyain lo,jenny?
    jen: mungkin dia mau nagih utang… *eh :LARIDEMIHIDUP

    1. lanjutkan… di tunggu yah hehehehe
      aa aji…. dari pada galau mikirin jen mending kepoin ig aku aja :LARIDEMIHIDUP

  2. nananafisah184 menulis:

    Iihh nic kok rada2 gtu yaaa :KETAWAJAHADD

  3. Ayo Jen jawab pertanyaan Nic..

  4. Jenny yang ditanya, tapi gue yang deg deg an ?

  5. fitriartemisia menulis:

    ceritanya asik banget dibacanyaaa hehe
    aku sempet mikir Nic itu cewek pas ditengah part ini hahaha