Vitamins Blog

Istana Untuk Bapak

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

warning: Banyak kata dalam bahasa jawa yang tidak saya terjemahkan. 

” Pak, kulo badhe wangsul nggeh?.” tanyaku entah keberapa kalinya dalam tiga tahun ini. Kudengar helaan panjang diujung sana. berat seperti perasaanku hari ini.

“Sabar ndhuk, umahmu gari ngecat. Tahun ngarep wae yo ndhuk. Sayang lek muleh saiki. ” katanya parau sebelum menutup sambungan telepon dariku.

Aku menghela nafas. Lelah. Jawaban yang sama untuk tiga kali pertanyaan yang kuulang terus setiap tahunnya. Mataku melirik sekilas kalender merah di dinding sana, seminggu lagi lebaran tiba. Pak e tetap menolak kepulanganku. Jujur saja begitu banyak tanya yang menggumpal didada ini. Tapi tiap kali kutanyakan kenapa pak e selalu mengelak alasan rumah yang sedikit demi sedikit kucicil belum selesai dibangun. Ah, pak e, sudah tiga tahun aku merantau di negeri beton ini. Sebenarnya istana macam apa yg ingin kau bangun untukku?. Tidak cukupkah semua materi yang telah kuberikan selama ini.  Untuk sekarang Aku hanya ingin pulang… Pak e. Merayakan lebaran yang tiga tahun ini ikut menghilang.

 

……………………………………

 

Dua hari ini suasana hati majikanku sedang baik. Tak ada omelan dan cacian mampir ke telingaku sampai hari ini. Jika begini rasanya kangen rumah pun bisa sedikit terobati. Membuat lupa hari lebaran yang tinggal empat hari lagi.

” amoy ya… Ngo yiu loihang leh. Houlang yat koyut sinji fanne. Lei fan yanne sin tak em tak a?” ucap sinyonya tiba tiba begitu aku selesai membereskan sisa makan malam hari ini. Aku seolah tak percaya pendengaranku. cuti mendadak.  Aku tergugu, ya Tuhan rasanya segala doaku terjawab sudah. Liburan gratis tiga minggu dari nyonyaku rasanya seperti THR paling indah yang pernah kudapat. Hari itu aku menangis bahagia, biarlah tak kuberitahu mak e dan pak e tentang ini. Aku ingin memberi kejutan di hari yang fitri ini.

“Nduk”

Aku tersentak. Rasanya tadi aku mendengar pak e memanggilku, ah sudahlah mungkin cuma efek rasa kangen yang membuncah. Kuabaikan lagi rasa tak nyaman dihatiku hari ini. Aku tak peduli bagaimana istana yang dibangun pak e.. Aku cuma ingin pulang bersimpuh memohon ampun atas dosaku. Malam itu aku tertidur dalam damai. Biarpun rasanya bisa kudengar suara pak e memanggil manggil  namaku.

 

………………………………………

 

Empat jam perjalanan dari bandara Juanda ke blitar dengan travel yang sengaja aku sewa dari hong kong berlangsung sepi. Cuma aku tampaknya yang turun ke blitar teman teman seperjalananku tadi semuanya telah turun duluan di malang. Kubiarkan anganku mengembara, membayangkan gurat gurat bahagia dimata buk e dan pak e melihatku pulang. Ingin sekali kududuk disamping mereka lagi, di sela rintik hujan ditemani ubi goreng dan segelas kopi panas. Pak e sibuk dengan rokoknya sementara aku dan buk e sibuk sendiri berburu uban.

Kami saling bicara banyak hal, tentang politik yang rasanya tak ada habis habisnya diulas layaknya cerita sinetron tentang panen tahun ini yang makin melilit, tentang sapi milik pak Rowi yang berkembang layaknya kutu juga tentang gubuk kami, ah selalu bisa kulihat kilatan sendu dimata pak e ketika membahas rumah kami. Cuma gubuk kecil reot yang penuh tambalan disana sini. Itu rumah yang dibangun pak e dengan cucuran keringat dan darah. Dibangun tepat dihari kelahiranku, “Ndhuk ben awakmu ngerti opo seng disebut omah. Panggonane awakmu bali” pesan pak e suatu kali.

Mobil yang kutumpangi sudah mulai memasuki desa yang kutinggali, ah tiga tahun banyak yang berubah. Tiga tahun yg  kuhabiskan di tanah rantau.

Rumah itu masih reyot seperti dulu, terasa janggal diapit oleh bangunan kanan kiri yang selaksa istana. Tapi aku tau.apa maksud pak e tentang tempat pulang, yah rasanya aku telah pulang.

“Rara ” seru bulek Sari begitu aku turun dari mobil “Kapan wangsul ndhuk ? Sehat ta? Awakmu mpun krungu kabare bapakmu ta?” tanyanya bertubi tanpa melepas pelukannya padaku.

Aku mengernyit “Enten nopo lo kaleh pak e ?” tanyaku. Bingung. Juga aneh melihat bulek Sari disini. Lalu sekejap itu kuperhatikan sekeliling rumah, terasa aneh, janggal seolah baru saja ada perayaan disini. Mataku tertumbuk pada bendera kuning yang masih terpasang di pinggir jalan tepat didepan pohon rambutan yang dulu sering kudaki kala aku kecil dan saat itu aku bisa menciumnya pak e. Aroma bunga kesturi.

 

………………………………………

 

Kanker paru paru. begitu yang orang bilang padaku begitu aku sadar dari pingsanku. Mak e mengelus kepalaku, bercerita tentang perjuangan bapak sembuh dari penyakit ini selama dua tahun lebih. Alasan kenapa beliau tidak ingin aku pulang. ‘Jo buk e. Mesakne rara, ben konsen nyambut gawe. Aku isin gak iso ngoweh i opo opo kanggo dekne’ . Suara buk e terdengar serak, aku tau beliau tak berhenti menangis dari kemarin. Kupeluk erat tubuh renta mak e, ‘ya Allah kuatkan kami.’ doaku tanpa henti dalam hati. Malam itu kami saling memeluk sambil menangis semalaman.

 

” Melu aku ndhuk. Ono pesen ko bapak pengen diwehne awakmu” kata buk e sehabis malam tiga harian. Buk e menarik lenganku membawaku menyusuri jalan desa hingga sampai ke ujung jalan. Langkah mak e terhenti didepan sebuah rumah mungil tapi tertata cantik. “Iki umahmu ndhuk. Bapakmu gak leren gawe iki gawe awakmu. Apik to ndhuk?.” tanya mak e sambil berlinangan air mata. Aku tergugu lagi, kubuka pintu depan rumah itu dengan kunci yang dibawa mak e. Cantik. Pak e tahu kesukaanku. Perabotan minimalis tp antik yang memenuhi setiap jengkalnya.

 

Mataku memanas, Ya Allah bagaimana aku bisa berpikiran buruk tentang pak e. Haruskah aku tahu, harusnya aku tak meragukan pak e seprti itu. Ingin rasanya aku bersimpuh dikaki pak e sekarang memohon ampun atas pikiran buruk yg melintas di balik pikiran dangkalku.

“Wangsul yo mak. Wangsul teng griyo?” kataku pada mak e, setelah setengah jam aku habiskan dalam isak. Kulihat mak e menatapku. seolah takut merengkuhku. Aku tersemyum pedih pada mak e sembari menuntun tubuh rentanya ke gubuk kami. Mungkin nanti aku bisa kusebut rumah itu “rumah” tapi tidak sekarang. Karena gubuk reyot pak e sudah cukup. Malam ini pak e datang dalam mimpiku, beliau melambai dari depan rumah yamg mirip istana wajahnya dipenuhi cahaya, kulihat senyum tampan dari wajahnya yang tampak muda ” tak enteni kowe wangsul nduk. Tapi jow lali ibadahmu. Ben iso karo bapak” kata beliau sebelum semuanya berubah gelap. Dan sayup sayup dikejauhan bisa kudengar bunyi takbir bersahutan dalam harmoni.

13 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
    Sprt kta dikau td, tu bahasa jawa aq ga paham2 bngt, jdi pake bahasa kalbu dah ngartiinny huhuhu tp ttp berasa sedih bngt, pengorbanan ortu disini khususny bpk untuk menyenangkan hati anakny emang ga usah diraguin ya
    Sayanggg bpk dah pokokny

    1. AileenDahayu menulis:

      hahaha, ntar kuedit kukasih terjemahannya

    2. farahzamani5 menulis:

      Jngn2 aq salpok lgi nih komen ny :PATAHHATI

  2. Aku tak mengerti bahasa jawa nya :PATAHHATI
    Tapi sedikit dikit tau lah maksud dari cerita diatas. Pengorbanan seorang Ayah sama besarnya dengan Ibu. :PATAHHATI

    1. AileenDahayu menulis:

      Love bapak forever… :tebarbunga

  3. Aku sedih.. Sedih karna ga ngerti artinya :PEDIHH :dragonbaper

    1. AileenDahayu menulis:

      Kwkwkw….. Mau edit lg kena virus lemas…

  4. Duh kok sedih campur merinding ya bacanya :LARIDEMIHIDUP

    1. AileenDahayu menulis:

      Kok merinding??

  5. syj_maomao menulis:

    Aku iso jowo, itu dise nek saiki siti-siti aku ngerti ne. >_<
    Tapi sebagian besar aku ngerti, sedih akunya :"

    1. AileenDahayu menulis:

      Aku yang bikin aja kadang ikut nangis

  6. fitriartemisia menulis:

    walopun aku ngertinya cuma sedikit, tapi aku paham,, dududu prasangka anak ke orangtua dan bikin menyesal itu gak enak banget, apalagi belum smepat minta maaf atas prasangka buruk,,
    hatiku tersayat bacanya, good story!

    1. AileenDahayu menulis:

      Penyesalan kadang selalu datang belakangan..