Feuillemort II : Fire Lily

28 Mei 2017 in Vitamins Blog

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Yang lebih penting, siapa target mereka? Para pengikut Keluarga Clawford? Keluarga Clawford atau—Liliya?”

.

_..::O0O::.._

Feuillemort II : Fire Lily

_..::O0O::.._

.

West City             : Lexus                  (Head of The Family : Luciano Aquila Lexus)

East City               : Clawford           (Head of The Family : ? )

.

Pagi itu aku merasa… sedikit agak gila.

Baru kali ini aku melihat banyak pengikut Keluarga Lexus yang bersiap di halaman depan mansion dengan berbagai senjata.

Revolver yang tersembunyi di balik seragam hitam yang mereka pakai, AK-47 yang menggantung di salah satu pundak mereka—tunggu, apa itu Dragunov?

Aku tidak mungkin salah melihat, karena aku sangat hafal bentuk dan warna dari masing-masing Dragunov yang diproduksi kota barat ini. Beberapa dari mereka memasukkan senapan runduk berwarna hitam itu ke sebuah tas lengkap dengan teleskop dan bidikan besinya.

Itu—Dragunov dengan polimer hitam, artinya mereka bisa menggunakannya di malam hari. Dulu Dragunov di desain dengan kayu, tapi karena terlihat jelas jika musuh menggunakan night vision, maka desainnya diperbarui.

Keluaran terbaru? Mereka gila!

Aku menyembunyikan diriku di balik dinding.

Di daftar orang yang harus disalahkan atas segalanya… sudah pasti ayahku. Sepertinya aku tidak akan mendapat informasi karena mereka begitu setia dengan ayah.

Aku yakin ayah meminta mereka, untuk membunuh dari jarak jauh.

Snayperskaya Vintovka Dragunova adalah senapan semi-otomatis dengan tipe senapan penembak jitu.

Dengan Dragunov itu artinya kau bisa membunuh seseorang menggunakan peluru berkecepatan delapan ratus tiga puluh meter per detik, dalam jarak enam ratus hingga satu kilometer.

Dalam jarak sejauh itu, aku tidak mau menghitung berapa mayat yang akan kutemukan setelah pengikut Keluarga Lexus ini selesai berpatroli. Karena pasti jumlahnya akan sangat banyak, apalagi bisa saja para pengikut ini menyembunyikan Dragunov mereka dengan cerdik.

Bisa saja yang kutemukan ini bahkan hanya seperlima dari yang mereka bawa.

Meskipun keluarga kami bermusuhan, tetapi kami selalu mentaati hukum internasional. Salah satunya tidak menggunakan senapan khusus penembak jitu. Bahkan wilayah timur telah menyatakan tidak menggunakan Strumgewehr 44 milik mereka karena jangkauannya cukup jauh.

Dan kami harusnya telah menyatakan pula untuk memendam Dragunov.

“Kurasa… ayah mau membuat kekacauan bukan hanya dengan wilayah timur, tapi juga internasional.” aku bergumam pelan.  

Yang lebih penting, siapa target mereka? Para pengikut Keluarga Clawford? Keluarga Clawford atau—Liliya?

Aku berbalik, dengan langkah gusar kubawa diriku ke satu-satunya ruangan tempat dalang semua ini. Kudobrak pintu ganda sombong berwarna coklat mengkilat milik ruangan ayah.

Si brengsek itu pasti di sini.

Habis sudah kesabaranku.

“Aku tidak ingat membesarkanmu menjadi manusia bar-bar, Zeno.” ayah dengan entengnya membalik koran yang ia baca. Ayah duduk di sofa ruang kerjanya, dengan secangkir teh dan beberapa kue yang terlihat tidak manis.

Aku menunjuk ke arah luar ruangan. “Snayperskaya Vintovka Dragunova, beraninya kau mengeluarkan senjata itu.”

“Kenapa aku harus merasa takut?” ayah mengangkat kedua bahunya. “jika ingin membunuh musuhmu, lebih baik menggunakan rencana licik.”

“Apa kau terlalu licik sampai melupakan undang-undang internasional yang mengecam penggunaan senapan penembak jitu?” aku memutar bola mataku. “ah… aku lupa seberapa naifnya ayahku hingga menggunakan segala cara hingga terlihat seperti pengecut.

Seperti anjing yang menyembunyikan ekornya.

“Jaga mulutmu, Zeno.” ayah mendelik dari balik cangkirnya.

“Untuk apa?” tanyaku berani. “untuk melihatmu membunuh semua orang di kota timur tanpa aturan? Jangan bercanda. Yang akan kau bunuh itu manusia, bukan tikus got. Dasar bar-bar.

“Kenapa kau sekarang begitu menentangku? Begitu terlihat sok suci dan berjalan di jalan tuhan yang  paling benar. Biasanya kau diam saja saat membunuh.

Apa karena kau tahu bahwa aku akan membunuh Nona Liliya tercintamu itu?”

“Jangan pernah berani melakukannya,” ancamku marah.

“Coba saja kita lihat, Anak Muda.

Ayah menyeringai, membuatku seketika ingin muntah dihadapannya. Pria ini… sudah jauh dari kata menjijikan, hingga membuatku berada di titik ingin berdoa eksistensinya menghilang ditelan bumi.

Atau mungkin, harus aku yang bergerak untuk mengabulkan doa itu.

.

Dengan langkah lebar dan tak sabar, kulewati lorong menuju kamar Setelah sampai, kubuka pintunya dan membiarkan terbuka.

Kuraih jaket hitam musim dingin dan syalku dari lemari. Lalu mengenakannya secepat mungkin, sambil membuka loker tepat di bawah lemari.

Loker yang terbuka itu memamerkan banyak sekali jenis senjata yang diproduksi kota barat. Aku meneliti satu per satu, lalu memutuskan untuk membawa beberapa dari mereka. Menyembunyikannya di balik baju atau jaket.

Ada beberapa senjata yang kumasukkan ke dalam tas hitam, seperti dua pisau komando, korek api, kotak p3k,  night vision, dan satu buah Revolver beserta pelurunya. Kupakai tas hitam legam itu setelah isinya kurasa cukup.

Kuikat erat tali sepatuku, sebelum bersiap di depan jendela kamar.

Persetan dengan pintu masuk. Aku yakin ada banyak pengikut Keluarga Lexus yang berjaga di sana.

Beruntung aku tidak sarapan, karena pasti koki di mansion ini pun sudah bersekutu dengan ayah. Siapa tahu di pring-piringnya telah tersebar obat tidur? Beruntung jika itu adalah obat tidur. Bagaimana kalau racun?

Well… lebih baik kelaparan, dibanding mati mengenaskan.

Aku melompat dari jendela kamar.

_..::O0O::.._

Waktu menunjukkan siang yang sudah agak tua—hampir menuju sore.

Butuh waktu cukup lama untuk mencapai perbatasan antar kota. Ah… ditambah menghindari pengikut keluarga Lexus, waktu yang kubutuhkan untuk sampai jadi dua kali lipat.

Aku meminum sedikit air yang berada di dalam botol, sebelum akhirnya memasukkan botol itu ke dalam tas.

Aku sudah sampai di lambang perbatasan.

Lambang perbatasan kota barat berbentuk dua tiang berwarna putih dengan pola yang indah terlukis emas di setiap sisi.

Setelah lambang perbatasan kota itu, ada lapangan luas bersalju yang selalu menjadi saksi bisu pertikaian Keluarga Lexus dan Clawford. Baru setelah itu, ada dua tiang berwarna dan berdekorasi sama yang menandakan lambang perbatasan kota timur.

Ini gila!

Mana bisa aku dengan tidak bersalahnya melewati lambang perbatasan kota timur. Bagaimana caranya agar aku bisa membuat para pengikut Keluarga Clawford tahu bahwa aku di sini?

Oh. Kalau mereka tahu aku ada di sini, kurasa aku akan menjadi daging bakar.

Kuacak-acak rambut perakku. Bodohnya aku, datang tanpa rencana dan persiapan matang!

Tapi, jika aku tetap ragu hingga malam nanti, sudah pasti semuanya akan terlambat. Aku atau siapapun harus ada yang memberitahu Keluarga Clawford kalau ayah menggunakan cara licik.

“Mungkin satu-satunya cara adalah menerobos masuk,” gumamku setengah ragu.

Setelah berancang-ancang, aku berlari melewati lambang perbatasan kota barat meuju lapangan luas bersalju. Kulihat ada beberapa salju yang jatuh hinggap di rambut dan jaketku, tapi aku tidak peduli. Aku harus sampai di seberang sana bagaimanapun caranya.

Belum setengah jalan kulewati lapangan bersalju itu, seseorang berseragam coklat khas Keluarga Clawford berdiri di depanku.

Pemuda itu terlihat sangat muda, mungkin sekitar lima atau enam belas tahun. Tapi, tubuhnya begitu menyakinkan seragam yang melekat dengan bangga.

Padahal sosoknya kontras dengan salju, tapi kenapa aku tidak menyadarinya?

Aku berhenti mendadak, menimbulkan suara terseret di atas salju. Dengan tangan meraba Pistolet Makarova yang tersembunyi di balik jaket, aku beranikan bertanya.

“Siapa?”

Pemuda itu menoleh. Aku yakin dia hanya berpura-pura mengetahui keberadaan diriku, karena dia terlihat cukup terlatih.

Dia yang berambut coklat terang itu menatapku dengan datar. Seingatku, selama hidup ini hanya satu orang yang pernah menatapku dengan warna mata itu.

Warna mata Bunga Lily Jingga.

“Kenapa bertanya?” suara pemuda itu terdengan hampa, tanpa perasaan. “bukankah kau tahu sedang apa aku di sini, Tuan Lexus?”

Aku menahan napas.

Pemuda itu menggenggam pistol kota timur tipe semi-otomatis Walther PP, yang entah sejak kapan. Saat pelatuk ditarik, pistol itu menimbulkan suara lumayan nyaring, menembus keheningan lapangan salju ini.

Beberapa detik kemudian, kurasa lenganku tersengat.

Feuillemort I : Affection

25 Mei 2017 in Vitamins Blog

29 votes, average: 1.00 out of 1 (29 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Aku benci membayangkanmu, bukan karena dendam keluarga.

Tapi, karena aku tahu…

sebesar apapun perasaanku padamu tidak akan pernah tersampaikan.”

.

_..::O0O::.._

Feuillemort I : Affection

_..::O0O::.._

.

Aku ingin menjadi pemuda biasa.

Aku juga ingin kehidupanku sama biasanya. Normal, tidak ada darah, tidak ada teriakan maupun tangisan. Tetapi, ketika aku lahir di Keluarga Lexus, dengan nama Zeno Abraham Lexus maka seluruh impian untuk menjadi normal hilanglah sudah—lenyap.

Seperti buih.

Aku akan terus menjadi pembunuh, sepanjang hidupku. Rambut perak pertanda darah ayah mengalir kejam di setiap nadiku, mata biru berkilat yang tak pernah satu orang pun berani menatapku ini…

Semuanya aku tidak butuh.

Langit hari ini kelihatan murung. Warnanya biru pucat dan awan yang berjalan menyiratkan tanda malas.

Di pintu masuk mansion utama keluarga Lexus, aku berjalan. Belasan pelayan  berbaris, puluhan pengikut Keluarga Lexus pun menyambutku, membukakan pintu dan meminta jas musim dingin yang kukenakan.

Aku hanya tetap memasang wajah tanpa ekspresi, kuberikan jasku pada maid yang sekarang menunduk dalam.

Dalam diam aku terus berjalan ke arah tangga marmer putih berkarpet merah yang ada di tengah ruangan.

Kalau dipikir-pikir memang ada sebuah peraturan tak tertulis. Peraturan tentang pelayan manapun tidak diperbolehkan melihat langsung mataku.

Ya… mata seorang Tuan Muda Lexus sialan ini.

Rasanya kesal juga saat berbicara tetapi lawan bicaramu menunduk dalam sekali hingga terlihat ingin bersujud. Aku benci. Tetapi, ayah bilang hal itu adalah tradisi.

Persetan dengan tradisi.

Kuputar kenop pintu kamar. Menghirup udara di dalam kamarku yang sudah lebih dari tiga bulan kutinggal ini membuatku rindu. Di sinilah duniaku, surgaku.

Kututup pintu kamar dan beranjak masuk.

Dari jendela sana kulihat salju mulai perlahan turun. Malam ini pasti akan dingin. Aku membuka loker tempat menyimpan selimut, mengambil satu dari sana. Kamarku didominasi coklat muda, dengan tempat tidur besar yang menghimpit jendela dan rak buku besar memenuhi tiap dinding yang tersisa.

Aku bukan pemuda romantis, jadi jangan harap novel-novel romansa terpajang di rak buku milikku. Di sana hanya ada pengetahuan tentang sejarah, perang, racun, senjata dan lainnya. Buku-buku tua pun ada, milik ayah dan aku tak pernah sudi membacanya.

Tentang apa? Cara membunuh dan balas dendam.

Kubuka satu kancing kemejaku sambil melempar dasi yang kupakai ke sembarang arah. Lalu, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Detik selanjutnya, aku menutup mata.

“Liliya von Clawford,” gumamku pelan.

Nama itu kuucap lembut bersamaan dengan sedikit rasa bahagia. Seakan nama itu memang diciptakan untuk kupanggil. Untuk kupuja.

Sosok gadis yang selalu menjadi rival-ku itu terbayang sekilas.

Kubuka mataku, menghancurkan imajinasi yang barusan saja terbuat. Aku benci membayangkan Liliya, bukan karena dendam keluarga. Tapi, karena aku tahu… sebesar apapun perasaanku padanya tidak akan pernah tersampaikan.

Kusentuh dada kiriku, sedikit rasa nyeri menyerang setelahnya.

Ada luka lebar terjahit di sana. Walaupun masih tertutup plester dan kasa, aku bisa merasakan sengatannya.

Aku ingat kaus putih yang waktu itu kukenakan berganti warna menjadi kemerahan, jaket parkaku tersobek di bagian dada. Memperjelas adanya pisau komando yang menusuk di sana. Tenggelam, menelusup di sela rusukku dan tertanam beberapa inchi.

Di sini… gadis itu menusukku di sini. Batinku mengingat. Tapi, waktu itu… dia lengah, dia menangis. Bukankah Liliya seharusnya senang? Bukankah Liliya seharusnya tersenyum?

Ratusan pertanyaan melayang di pikiranku.

Aku bahkan mempertanyakan apakah aku manusia atau zombie. Maksudku… beruntung tusukan Liliya tidak mengenai jantungku dan dokter bilang lukanya meleset sedikit dari organ itu. Tapi, kadang aku berpikir.

Mengapa ketika gadis itu akan membunuhku dan gagal… aku merasa sedih?

“Tuan Muda Zeno.”

Hm?” gumamku, enggan bangun dari tempat tidur—merasa tubuhku telah menyatu di sana. Aku bisa mengetahui Loux sudah berdiri di pintuku, menunduk dalam.

Butler ayahku itu memiliki rambut hitam yang kentara, jadi aku yakin sekali kalau dia memiliki urusan penting denganku. Berhubung ayah bukan orang yang lenggang waktunya.

“Tuan Besar meminta Anda untuk ke ruang makan.”

Aku mendengus. “Tidak lapar.”

Loux masih menunduk. “Tuan Besar mengancam akan menghancurkan pisau komando yang Anda gunakan saat bertarung dengan Lady Clawford.”

Sekejap mataku terbuka lebar.

Aku berdiri, terburu-buru merapikan kancing kemeja dan menyambar dasiku yang tergeletak di lantai.

“Sialan, Pak Tua satu itu! Dia tahu saja bagaimana cara mengancamku!” kubereskan rambut perakku dengan tergesa-gesa. “di mana dia!?”

Loux menyunggingkan senyum puas. “Ruang kerja beliau, Tuan Muda.”

Aku mendelik padanya, hampir saja menegur senyuman penuh rahasia itu. Bukankah tadi dia bilang sesuatu tentang ruang makan!?

Tapi, akh…. Cinderamata yang kurahasiakan dari siapapun itu bagaimana bisa sampai di tangan ayah!?

Aku keluar dengan membanting pintu, lalu Loux menyembul dari pintu kamarku. Berteriak hingga diriku di lorong bisa mendengarnya.

“Lima menit, kata Beliau. Sudah habis tiga menit untuk Anda bersiap tadi, Tuan Muda!”

Aku menoleh kasar. “Kenapa tidak bilang dari tadi!?”

Setelah itu aku berlari sekencang mungkin, tidak peduli dengan lantai lorong yang mulai memantulkan suara langkahku.

.

_..::O0O::.._

.

Keluarga Lexus dan Clawford adalah musuh bebuyutan—atau bisa dibilang begitu.

Entah berawal dari mana, pastinya tidak ada yang bisa memisahkan permusuhan kami. Keluargaku, Lexus adalah keluarga yang memiliki khas warna rambut perak, bersifat kejam, dan ahli dalam menggunakan senjata juga beladiri. Keluarga Lexus adalah pemimpin wilayah kota barat.

Sedangkan Keluarga Clawford adalah pemimpin wilayah kota timur. Keluarga Clawford memiliki khas warna rambut kecoklatan, mampu menganalisa gerakan dengan cepat, dan ahli dalam membuat strategi.

Ada satu lagi perbedaan yang paling signifikan di antara keluarga kami.

Keturunan.

Jika Keluarga Lexus selalu memiliki keturunan laki-laki, maka Keluarga Clawford selalu memiliki keturunan perempuan.

Kurasa, karena perbedaan kami terlalu jauh dan masing-masing memiliki keinginan untuk menjadi pemimpinlah yang membuat pertikaian ini semakin buruk. Semakin tidak jelas pemicu terjadinya, hanya seperti memantik api di sumbu yang pendek.

Tak ada toleransi, tak ada kata maaf. Mungkin begitu singkatnya. Bisa juga kalimat itu dijadikan alat pengukur seberapa menjijikannya pendahulu kami.

Sejak kecil para generasi mudanya selalu dicuci otak mengenai seberapa buruk keluarga musuh. Membuat kebencian kami seperti warisan turun-temurun.

Tapi sayangnya, warisan kebencian serta kebodohan pendahuluku harus berhenti di sini.

Tepat padaku.

“… Ini semua karena kau jatuh cinta pada Liliya von Clawford.” ayah memandangku tanpa ekspresi. “kau pasti tidak akan mengelak, bukan?”

Pria itu berjanggut putih dan duduk di kursi mewah besar berwarna merah, dengan meja kayu mengkilat coklat gelap di depannya.

Aku hanya mengangkat bahuku—setengah tidak peduli, sisanya memasrahkan diri. “Di mana pisau komandoku?”

Kusodorkan tangan kananku—meminta. Lelaki paruh baya yang entah rambutnya perak atau putih karena usia itu menghela napasnya.

“Kau akan membuat  malu keluarga kita, Zeno,” kata ayah mengingatkanku pada mantra menyebalkan turun-temurun itu. “jauhkan hatimu darinya, sebelum terlambat dan nanti kau menghancurkan keluarga  kita. Kau pasti tahu aku tidak akan membiarkan siapapun hidup jika hal buruk itu terjadi.

Meskipun yang menjadi dalangnya adalah dirimu, Putraku.”

Kukepalkan tanganku, begitu erat hingga terasa kebas. “Ayah… kau pikir aku peduli dengan ancamanmu?”

Mata biru kami saling berpandangan, sama-sama menusuk—sama-sama menunjukkan kepedihan.

“Apakah kau pernah bertanya padaku, bagaimana kabarku? Aku baru saja keluar dari rumah sakit setelah beberapa bulan dirawat dan kau memanggilku hanya untuk mengulangi kata-kata bodoh yang selalu terngiang di kepalaku.”

Ayah mulai geram. “Zeno–”

Ayah. Apa kau bahkan peduli dengan keberadaan diriku? Kau berkata seakan akulah yang akan menggantikanmu untuk memimpin keluarga ini. Kau seakan memposisikanku sebagai tangan kananmu. Tapi, sejak kau tahu aku memiliki perasaan terhadap gadis dari keluarga yang menjadi musuh bebuyutanmu… kau menatapku seperti sampah.

Apa harusnya kusebut diri ini sebagai aib Keluarga Lexus baru kau puas?”

Wajah pria di hadapanku berubah merah padam, memendam kemurkaan. Kedua tangannya memutih karena mengepal erat di atas meja, menahan untuk tidak memukul apapun atau bahkan siapapun?

Ah, gawat… sepertinya aku kelewat batas.

Jika ayah lepas kendali dan kebetulan ingin memukul, maka aku akan berubah menjadi samsak hidup. Dan itu pastinya bukan kabar baik, mengingat aku baru saja keluar dari rumah sakit. Jika aku kembali ke rumah sakit untuk menginap lebih lama, para dokter dan suster di sana pasti akan menganggapku sebagai pemuda labil yang memberontak.

Kali ini aku yang menghela napas. “Kembalikan saja pisau komando milikku dan kita anggap pembicaraan ini tidak pernah ada, Ayah.”

“Kau pikir, kau bisa lari dari tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga kita? Kepala Keluarga Lexus?” pertanyaan ayah terdengar menusuk telingaku.

“Ayah… aku bukan anak tunggal,” kataku hampir murka. “kau memaksaku untuk menjadi Kepala Keluarga Lexus, tapi kau juga tidak menginginkan putra yang mencintai musuhmu, bukan?

Kau bisa memilih siapapun untuk menggantikanmu. Seseorang yang kau anggap pantas. Aku tidak akan menuntut, aku tidak akan pernah meminta daftar kandidat darimu. Tapi satu saja.

Aku ingin kau berhenti ikut campur pada kehidupanku. Tentang menjadi kepala keluarga atau bahkan tentang Liliya.”

Karena ruangan ayah mulai minim oksigen, aku berbalik pergi.

Belum aku memegang salah satu kenop dari pintu ganda itu, ayah berkata. “Pisau komandomu sudah kuhancurkan. Aku bahkan tidak berniat mengembalikannya padamu. Sedikit pun…

“Aku tahu.” Kuputar kenop itu sambil meredam hatiku yang panas. “aku sudah terlalu sering kecewa padamu, bertambah satu tidak akan membuatku mati.”

Dengan keras, kubanting pintu ruangan ayah hingga tertutup.

Ayah selalu tahu cara apa saja yang membuatku kecewa dan yang kubenci adalah… dia selalu berhasil.

Aku menarik napas panjang, berusaha mengeluarkan beban di dadaku—yang entah mengapa mulai menggila.

“Kakak?”

Suara itu membuatku menoleh. Kutemukan adikku di lorong menuju kamar, dia terlihat khawatir dan tidak nyaman.

“Ada apa, Al? Apa kau tidak bisa tidur?”

Wajah adik laki-lakiku itu memerah karena malu. “Bu… bukan begitu!”

Aku tertawa melihat reaksinya, lalu mengakhiri tawa itu dengan cepat. “Kau mendengar pembicaraanku dengan ayah?”

Dia mengangguk.

“Aku… masih muda untuk bisa mengerti pembicaraan kalian. Tapi… jika kakak tidak mau menjadi kepala keluarga, aku akan—”

“Alterio.” Pemilik nama itu menengadahkan wajahnya untuk melihatku yang memang lebih tinggi. “aku tidak akan memaksamu untuk maju ke barisan depan kandidat Kepala Keluarga Lexus.”

Al terdiam.

“Kita masih punya banyak adik tiri di luar sana yang ayah sembunyikan dengan dalih menjaga kehormatannya. Jika kau memang tidak mau menjadi Kepala Keluarga Lexus, cari mereka. Biarkan mereka yang memimpin keluarga ini.”

“Tapi, kak… mereka tidak akan tahu apapun. Hanya kau dan aku yang tahu betapa busuknya pekerjaan keluarga ini atau bagaimana permusuhan kolot dengan Keluarga Clawford!”

“Kalau begitu, jadilah kepala keluarga kita.” kutepuk pundak kecil Al. “atau menolaknya dengan tegas sepertiku. Ayah orang yang licik, aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk menemukan pengganti dirinya. Meskipun itu bukan aku atau kau.”

Adikku, Alterio Zach Lexus adalah pribadi yang pemalu dan penakut. Aku bahkan ngeri saat dia mengangkat pedang bambu yang digunakan untuk latihan bela diri Kendo. Yang kutakutkan hanya pedang itu malah menyakiti majikannya.

Kurasa aku terlalu merendahkan adikku.

Tapi kuharap, Al bisa melewati harinya dengan normal. Karena sifatnya yang agak lembek, ayah tidak menaruh minat padanya.

Aku tidak mau Al berubah menjadi mengerikan sepertiku. Janjiku dalam hati. Dan aku akan membenarkan segala cara untuk melindunginya.

.

_..::O0O::.._

.

Malam bersalju, kusembunyikan setengah diriku di balik selimut. Beruntungnya, penghangat ruangan berfungsi dengan baik, jadi aku tidak perlu membungkus diriku seperti ulat bulu dalam selimut. Malam ini sebelum tidur aku memutuskan untuk membaca buku di atas ranjang. Aroma teh bercampur madu menghias ruang kamarku. Malam ini akan panjang dan kuharap memang begitu.

Di pagi hari nanti, semua pengikut Keluarga Lexus pasti bersiap untuk patroli dari mansion ke perbatasan antara wilayah barat dan timur kota.

Andai saja waktu malam bisa diperpanjang menjadi selamanya, kurasa tidak akan sulit mengacaukan patroli itu. Karena jika Keluarga Lexus bertemu dengan Keluarga Clawford di saat patroli perbatasan, sudah jelas akan terjadi pertempuran.

Seperti waktu itu.

Aku ingat sekali, waktu itu keluarga kami tidak sengaja bertemu dan akhirnya aku dan Liliya harus saling mengeluarkan aura membunuh. Banyak korban jiwa yang hilang sia-sia, tapi pertempuran wilayah ini tidak akan berhenti, sebelum ada satu yang keluar sebagai pemenang.

Aku menghirup teh madu yang berada di cangkir porselen putih, berusaha menghilangkan stress.

Sambil mengedarkan pandangan ke langit malam, aku bergumam pada diriku sendiri.

“Kuharap aku pemuda yang lahir dari keluarga di wilayah timur kota.” uap hangat menyentuh lembut wajahku.

Dengan begitu aku bisa mencintaimu tanpa harus memikirkan apapun. Menjadi pemuda bodoh nan naif, yang hanya memiliki perasaan cinta untukmu.

Hanya padamu.

Feuillemort : Prologue

25 Mei 2017 in Vitamins Blog

27 votes, average: 1.00 out of 1 (27 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Pertemuan pertama adalah kebetulan

Pertemuan kedua, kutukan kami mulai merambat

Pertemuan ketiga adalah saatnya kami bertatap wajah dengan sedih

Karena kami saling mencintai

Padahal kami pun tahu

Tidak ada cinta yang menimbulkan hasrat saling membunuh”

Feuillemort : Prologue

“Aku tidak percaya. Padamu atau pada siapapun.”

Gadis itu mengancamku dengan pisau komandonya yang kurasa telah menusuk banyak orang–atau bahkan membunuh mereka. Begitupun aku yang sama-sama mengancam leher jenjangnya dengan pisau semodel. Dengan satu gerakan, gadis itu menepis pisauku—membuat jarak agar dia bisa kembali menyerang.

Langit senja menjadi saksi lapangan hijau berubah menjadi kemerahan. Bau anyir darah menghantui udara yang terhirup. Pemandangan tubuh tergeletak dan erangan manusia menjadi melodi harmonis.

Panggung bodoh kami.

Oh. Terima kasih, Nona Clawford. Sungguh melegakan hati,” cibirku kesal.

Kembali kuposisikan pisauku agar terasa lebih nyaman, setidaknya jika gadis itu menyerang lagi aku bisa bertahan lebih lama.

Ya, bertahan.

Aku tidak akan sanggup membunuh gadis itu.

Aku terlalu keras kepala. Masih saja terus berdoa keajaiban turun, keajaiban yang membangunkanku dari mimpi buruk ini. Terlalu takut, tidak sanggup jika nantinya kedua tangan ini terkena secuil pun darah gadis itu.

Aku… terlalu pengecut.

Gadis itu mulai bersiap menyerang lagi, dia memegang pisau komando itu dengan kedua tangan kecilnyayang terlihat lemah. Rambut pendek coklatnya bersibar entah darah siapa. Matanya fokus membara penuh dendam.

Tidak gemetar, seakan sudah terbiasa. Melihat mayat di sekitarnya atau pun menghunuskan benda pembunuh pada orang lain.

Seakan hatinya telah menjadi batu.

“Jangan membuang waktu lagi, Tuan Lexus,” ucapnya sopan penuh sarkasme yang mampu membuatku mengernyit. “kita selesaikan saja sekarang, tanpa membuang-buang waktu seperti dulu.”

Aku tidak bisa menahan salah satu sudut bibirku untuk tersenyum. Hatiku sakit mendengarnya, tapi inilah takdir kami.

Lalu, kami memulai lagi pertarungan sengit.

Yang bagaikan menyita waktu selamanya untuk berakhir.

_..::O0O::.._

Feuillemort (n.) : Feuille Morte (a dead leaf) ; Having the colour of a faded leaf

DayNight
DayNight