Among Other Part 2

20 Februari 2017 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Part 2

Eleora berjalan terlebih dahulu memasuki Restaurant Courtage diikuti oleh Adara yang sibuk memainkan ponsel tanpa memperhatikan sekelilingnya. Arti dari Courtage sendiri adalah Perancis, namun berbeda lagi dengan desain yang dibuatnya. Restaurant Courtage didesain seperti Restaurant yang ada di Eropa dengan suasana Eropa yang terasa begitu kental.

Sementara untuk area luar di khususkan sebagai area smoking, atap atasnya ditumbuhi oleh daun-daun berakar yang menjalar merambat untuk menutupi para pengunjung dari terik panasnya matahari. Dindingnya sendiri dibuat dengan kaca-kaca film tebal anti peluru yang memperlihatkan jalanan luar ibukota.

“Aw…” Bunyi benturan yang cukup keras membuat Adara meringis sakit memegang keningnya yang terasa berdenyut akibat membentur kaca film dihadapannya ini, “Siapa yang menaruh kaca sebesar ini dihadapanku?” Ucapnya melotot tajam pada kaca film yang tertutup. Adara tidak melihat sama sekali kepergian Elora masuk kedalam Resataurant kelas atas ini.

“Bodoh.”

Suara serak dari seseorang yang berada dibelakangnya membuat Adara langsung menghentikan umpatannya, hembusan nafas seseorang terasa menggelitik leher jenjangnya karena saat ini Adara memang mengikat asal rambut hitamnya, memperlihatkan leher putih mulusnya. Dengan lambat Adara menoleh kebelakang nyaris menjatuhkan bola matanya ketanah. Hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung laki-laki yang membungkuk begitu dekat dengannya.

Laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan mata hitam pekat yang menyorot tajam, serta rahang yang kokoh ditumbuhi oleh bulu-bulu halus disekitarnya. Dengan kemeja berwarna biru gelap yang digulung hingga siku, serta celana chino hitam dan juga sepatu pantofel hitam mengkilat.

“Sudah puas memandangiku Nona?”

Kembali, mata terlaknatnya menyusuri alis tebal yang hampir menyatu itu, lalu turun ke hidung mancungnya membayangkan ketika dirinya berciuman dengan laki-laki dihadapannya ini pasti sangat terasa panas saat hidungnya bergesekan dengan hidung macung laki-laki tersebut dan terakhir matanya menjelajah ke bibir tipisnya yang sekarang tersenyum mengejek padanya.

Sialan!

“Kau, apa?”

“Sudahlah. Singkirkan tubuhmu dari hadapanku, aku ingin masuk?”

Tangan besar laki-laki tersebut mengibas diudara menyuruh dirinya agar segera pergi. Seperti sapi dicucuk hidungnya Adara menyingkir dari laki-laki dihadapannya ini yang melewati dirinya begitu saja. Benar-benar laki-laki hotsex.

Baru pertama kali pesonanya ditolak mentah-mentah oleh laki-laki yang sangat luar biasa tampan itu. Melihat tubuh kekarnya dari belakang saja sudah membuat Adara hampir berlari untuk menerjangnya. Tapi saat teringat ucapan tajam dari laki-laki tersebut padanya, malah membuat Adara memaki pada kaca yang sudah tertutup kembali.

“Kau! Ini gara-gara kau kaca sialan!” Umpatnya lalu mendorong kasar kaca tersebut masuk kedalam Restaurant, mengabaikan setiap pandangan semua orang yang menatap kagum padanya dan ada juga beberapa orang yang sedang menahan tawa, yakin bahwa tadi mereka telah melihat kebodohannya.

Semua orang pasti tau siapa dirinya. Ralat, seluruh dunia mengetahui dirinya, Adara Jacqueline. Model yang sudah bekerja sama dengan para designer-designer kelas dunia. Salah satunya adalah Coco Chanel.

Eleora Addison juga termasuk salah satunya. Eleora termasuk jajaran designer yang sudah kelas atas, bukan karna berkat dia menyandang nama Addison dibelakangnya melainkan memang Elora punya bakat dalam merancang gaun-gaun yang bisa membuat setiap wanita mau merogoh kantongnya dalam-dalam.

Awal pertemanannya juga karena Eleora menawari Adara untuk menjadi model di Acara Fashion Show pertamanya di Paris. Berhubung Adara sangat mencintai dunia Fashion membuat komunikasi keduanya cocok. Bukan hanya sekedar urusan pekerjaan yang keduanya bicarakan, keduanya sering kerap kali pergi bersama untuk sharing membahas hal pribadi. Kedekatan itulah yang membuat Adara menganggap Eleora bukan hanya sekedar teman saja, tapi juga sebagai kakak perempuan yang tidak pernah Adara miliki, karna Adara adalah anak satu-satunya dikeluarganya.

Adara melihat Elora sedang berbicara dengan dua laki-laki yang sekarang menjadi pusat perhatian para pengunjung wanita. Menatap seakan-akan dua laki-laki inilah yang sedang terkenal saat ini. Namun wajah laki-laki dihadapan Elora serta laki-laki disamping Elora tidak terlihat olehnya. Sebegitu tampannya?

Hilang sudah pamornya disini.

Eleora menoleh padanya lalu tersenyum melambaikan tangan. Laki-laki yang berada disamping Elora menoleh kebelakang mengikuti arah pandangan Elora yang sedang menatap padanya. Laki-laki tersebut tersenyum hangat.

Uh, kenapa banyak sekali laki-laki tampan disini.

Tetapi matanya justru jatuh pada laki-laki yang sibuk memainkan ponsel, laki-laki yang baru saja ditemuinya. Si laki-laki hotsex.

Hot dan seksi.

Alih-alih ingin menerobos masuk, matanya malah melirik sengit kaca bening besar yang menghubungkan area dalam Restaurant dengan area smoking.

“Kenapa begitu banyak kaca sih?” gerutunya mendorong pintu kaca tersebut lebih kasar.

Dari luar area smoking sudah memperlihatkan bagian dalam Restaurant yang manis. Karena dindingnya pun juga berlapis kaca bening anti peluru. Tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan desain Restaurant. Adara berjalan cepat menghampiri tiga orang tersebut.

“Kenalkan ini sahabatku Adara. Dan Adara kenalkan ini adik kandungku Ken.” Adara tersenyum pada laki-laki bernama Ken yang balas tersenyum serta mengulurkan tangan besarnya dan Adara menyambutnya dengan senang hati.

“Adara Jac…”

“Jacqueline. Benar bukan? Aku sudah tau kau. Model yang meraih gelar paling seksi selama tiga tahun berturut-turut. Aku Ken Addison.” Ken mengedipkan mata pada Adara, membuat pipi Adara memerah malu.

Dengan kasar Eleora menepis tangan Ken dan Adara yang masih bertaut, Ken mendelik tidak terima pada kakaknya sementara Elora menatap tak perduli.

“Ini Arlan si laki-laki dingin yang menyebalkan. Maafkan aku karna aku harus mengakuinya sebagai sepupuku.”

Adara melirik laki-laki yang memasang wajah tak perduli, dengan percaya diri yang luar biasa tinggi Adara tersenyum manis lalu mengulurkan tangannya. Namun dalam waktu beberapa detik tidak ada balasan apapun dari laki-laki dihadapannya ini yang masih sibuk dengan ponsel.

“Arlan.” Eleora memukul pundak Arlan, sedangkan mata Eleora memberi isyarat agar Arlan menoleh pada Adara, sementara Arlan hanya membalasnya dengan mengangkat alis.

“Apa?”

Menyebalkan bukan?

Arlan hanya melirik Adara sekilas lalu melanjutkan kembali memainkan ponselnya, mengabaikan decakkan kesal dari Elora. Merasa diabaikan, Adara menurunkan tangannya dengan kesal. Jatuh sudah harga dirinya. Sebegitu burukkah pesonanya?

“Tidak perlu kau pikirkan. Dia memang seperti itu,” ucap Ken tersenyum menangkan pada Adara yang terlihat kesal diabaikan.

“Aku tidak memikirkannya,” elak Adara melirik sinis pada Arlan yang masih sibuk dengan ponsel.

“Bagus. Aku tinggal sebentar,” Ken pamit pergi menuju ruangan yang diketahui sebagai pantry, sementara Eleora menganggukkan kepalanya lalu beralih menatap sendu pada Arlan.

“Baiklah, aku juga harus segera pergi,” Tiba-tiba Arlan bangkit berdiri menatap sekelilingnya dengan bosan dan tidak suka karna ditatap sebegitu intensnya oleh Eleora.

Sebelum Arlan benar-benar pergi Eleora menarik kasar tangan Arlan membuat Arlan kembali duduk, “Tidak Arlan. Aku ingin berbicara denganmu. Tidakkah kau merindukanku, sepupu?”

Ada nada getir ketika Eleora mengucapkannya. Ingin rasanya Eleora memeluk Arlan seperti dulu. Sampai berapa lamakah Arlannya seperti ini.

Berbeda dengan Elora, Arlan justru menatap balik Eleora dengan sengit,”Aku tidak butuh omong kosongmu Eleora.”

“Kau harus ikut denganku kerumah.”

“Itu bukan rumahku!”

“Bagaimana bisa kau mengatakan itu bukan rumahmu kalu sejak kecil sampai kau dewasa kau tumbuh dirumah itu.”

“Tidak lagi setelah apa yang dilakukan oleh mantan keluargaku!”

“Arlan.”

“Jangan bodoh Eleora. Aku yakin kau mengetahui semuanya.”

“Aku jelas tau Arlan.”

“Maka dari itu tutup mulutmu untuk mengatakan bahwa itu rumahku.”

“Seharus-”

“STOP!” Adara berteriak kesal ditambah perutnya sudah meronta meminta untuk diisi, “Aku lapar, bisakah kalian memesankan aku makanan terlebih dahulu. Dan terserah kalian mau melanjutkan omong kosong kalian.”

“Gadis bodoh,” decak Arlan menatap Adara yang melotot tajam padanya.

“Kau bilang aku apa?”

“Aku pergi.”

Sebelum Adara melempar vas bunga yang ada dimeja, Arlan sudah berlalu pergi begitu saja. Eleora yang sudah menahan amarah melihat tingkah Arlan yang menyebalkan ikut mengejar kepergian Arlan keluar Restaurant.

“Dimana Arlan dan Eleora?” Tiba-tiba Ken datang dengan sebuah nampan yang diatasnya ada kue cokelat meleleh yang terlihat baru diangkat dari oven.

Dengan mata nyalang Adara menatap kue cokelat itu berharap agar cepat masuk kedalam perutnya, “Laki-laki hotsex itu sudah pergi,” jawabnya asal.

Hati-hati Ken meletakkan kue cokelat tersebut diatas piring Adara yang terlihat sekali antusias, dengan kening berkerut Ken bertanya, “Hotsex?”

Seakan tersadar, Adara mengibaskan tangannya diudara, “Lupakan,” dan melanjutkan memakan kue cokleat yang terasa meledak lelehan cokelatnya setelah masuk kedalam mulutnya.

***

“Kau tidak ingin mengabari Dariell agar pulang kesini, Ariana?” Tanya Gilbert pada menantunya Ariana yang sedang meletakkan beberapa coffe dan teh serta beberapa cemilan untuk keluarga besarnya yang sedang berkumpul.

“Tidak, Dad. Dariell sedang ujian untuk kelulusannya dan aku rasa jika aku meyuruhnya agar pulang, Mom dan Dad akan memarahiku,” Ariana tersenyum hangat pada mertuanya yang sangat mencintai anak-anaknya serta cucu-cucunya.

“Kapan aku bisa berkumpul lengkap dengan cucu-cucuku,” desahnya lesu menatap nanar pada teh yang baru saja disesapnya.

Garry yang berada disebelah Leonard memeluk pundak Daddy Gilbert. “Kita pasti bisa berkumpul secara lengkap Dad. Kau tahu, kami semua menyayangimu.”

“Aku tahu Garry. Hanya saja Tuhan seperti sedang menghukumku. Membuat cucu-cucuku berpecah belah. Sehingga aku sering merindukan tawa dari cucu-cucuku.”

Leonard dan Ariana tahu apa yang dimaksud oleh Daddy. Sangat tahu. Kesalahan fatal yang dilakukannya empat tahun yang lalu tidak hanya membuat keluarga kecilnya pecah belah tetapi juga keluarga besarnya. Dampaknya sangat mempengaruhi banyak orang. Termasuk Daddy.

“Maafkan aku Dad,” Leonard yang sedari tadi bungkam memilih mengutarakan perasaan bersalahnya.

“Tidak Leonard, ini bukan salahmu. Ini takdir yang Tuhan berikan untuk keluargaku.”

“BONSOIR…”

Suara teriakan wanita menggema dirumah besar milik keluarga Addison diikuti suara heels yang beradu dengan lantai marmer milik kediaman keluarga besar Addison. Senyuman hangat menyambut kedatangan Elora yang berlari memeluk Mommynya- Dannia.

“I miss you so much Mom,” pekik Eleora memeluk Mommy Dannia dengan erat. Sementara tangan Dannia membalas pelukan Eleora seraya mengusap punggung anaknya. Sudah berapa lamakah Dannia tidak bertemu anak perempuan satu-satunya ini.

“I miss you to sweetheart,” balasnya mengusap air mata yang jatuh.

“Jangan menangis Mom, aku sudah ada disini,” Eleora mengecup pipi Mommy Dannia.

“Aku tahu anakku.”

Namun tanpa mereka sadari ada seseorang yang sedih menatap Eleora dan Dannia. Sedih karena sudah cukup lama ia tidak bisa memeluk anaknya seperti yang dilakukan Dannia kepada Eleora. Tapi ini setimpal dengan apa yang dilakukan olehnya dulu.

Tiba-tiba tangan besar seseorang terulur menyentuh pundak rapuhnya, Albert tersenyum hangat pada Mommy- Ariana. “Kau masih punya aku Mom disini,” ucapnya mengecup puncak kepala Mommy.

Ariana balas memeluk, merengkuh pinggang anak laki-lakinya yang sudah tumbuh dewasa. Tanpa dipungkiri kesedihan yang paling dalam justru dirasakan oleh Leonard.

“Grandpa…”

Eleora beralih memeluk Grandpa yang sudah merentangkan tangannya lebih dulu.

“Oh, cucu perempuanku,” Grandpa mengecup puncak kepala Eleora dengan sayang. Lalu pandangannya mengitari sekelilingnya, “Dimana cucuku yang lainnya?”

“Ken masih diluar bersama sahabatku, Adara.” Eleora melepaskan pelukannya dan berlanjut memeluk Uncle Leonard dan Aunty Ariana.

Tidak lama Ken muncul bersama Adara yang berjalan dibelakangnya dan juga bersama seseorang yang tidak asing untuk keluarga ini.

Melihat seseorang tersebut membuat Grandpa tersenyum semakin lebar. Sedangkan keluarga yang lainnya tercengang menatap seseorang tersebut. Pasalnya ini pertama kalinya seseorang tersebut menginjakkan kakinya dirumah ini setelah tahun-tahun yang menyakitkan. Dan melihat kedatangannya disini merupakan sebuah keajaiban yang nyata.

“Arlan.”

 

***

Tadaaaaaaaaaaaa, maaf ya baru post. Terimakasih yang sudah mau bacaaaa ?

Salam, @nurulalawiyah07

Among Other Part 1

29 Januari 2017 in Vitamins Blog

251 votes, average: 1.00 out of 1 (251 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Part 1

Terlihat dari kejauhan seorang laki-laki berwajah tampan yang tidak perlu diragukan lagi, tengah berjalan dengan angkuh memasuki gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo ‘ADDISON CORPORATION’ perusahaan nomor dua diAsia. Hampir seluruh penjuru dunia mengetahui siapa pemilik Addison Corporation -Gilbert Addison.

Kaca mata hitam lelaki tersebut bertengger dengan manis dihidung mancungnya menambah kesan maskulin yang menguar begitu dia memasuki lobby kantor. Tubuh tegapnya menjulang tinggi bagaikan model, setiap ia menginjakkan kakinya memasuki kantor ini semua mata wanita tidak pernah lepas seakan ingin melucuti pakaiannya, sungguh menggelikan. Pandangan lelaki tersebut hanya terfokuskan kedepan tidak memperdulikan bisikan-bisikan para karyawan yang ia lewati.

Tak perlu menunggu lama pintu yang terbuat dari baja itupun terbuka langsung begitu ia datang, tangannya terjulur menekan lantai 52 dimana lantai tersebut hanya ditempati oleh pemilik Addison Corporation.

Kembali, ia tidak memperdulikan orang-orang yang menatap dirinya penuh kekaguman. Sebenarnya bisa saja ia memakai lift khusus untuk jajaran direksi yang bekerja disini tapi ia malas untuk berjalan terlalu jauh karna hanya lift ini saja yang dekat dengan jangkauannya walaupun ini lift umum.

“Selamat pagi Pak Arlan,” ucap salah satu karyawan yang usianya sekitar lima puluh tahunan, terlihat dari rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya sudah mengeriput. Bibirnya tersenyum ramah dengan tubuh sedikit membungkuk untuk memberi salam kepada bos yang paling ditakutinya.

Laki-laki yang dipanggil Arlan hanya meliriknya sekilas dengan ujung ekor matanya, seakan tidak minat untuk membalas sapaan tersebut walaupun hanya sekedar tersenyum. Baginya sapaan seperti itu sudah biasa dan ia sungguh jijik mendengarnya. Jijik karna ia harus repot-repot berbaik hati pada orang-orang penjilat. Seperti karyawan tua tadi contohnya.

Kakinya mengetuk lantai lift dengan tidak sabar, berharap pintu baja ini cepat terbuka. Beberapa karyawan tadi yang satu lift dengan dirinya sudah keluar lebih dulu karena memang dilantai 40 keatas hanya diisi oleh jajaran direksi. Tidak menunggu waktu lama lagi akhirnya pintu tersebut terbuka, dengan mantap dirinya berjalan dilantai marmer dan menyusuri lantai tersebut hingga bertemu dengan meja resepsionis.

Resepsionis yang berada dilantai ini hanya dikhususkan untuk menerima tamu yang ingin bertemu sang pemilik Addison. Tidak memperdulikan tatapan memuja resepsionis tersebut begitu melihatnya, Arlan berlalu begitu saja memasuki pintu ruangan yang bercat cokelat dengan ukiran didepan pintu Presiden Direktur.

“Good morning, mate,” ucap Grandpa yang duduk dikursi kebesarannya begitu melihat siapa yang masuk kedalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Wajah tuanya semakin mengeriput namun tidak membuat tubuh tuanya ikut mengeriput juga, malahan diusianya yang tidak lagi muda tubuhnya masih terlihat gagah. Seharusnya ia sudah tidak lagi mengurus perusahaan sebesar ini, seharusnya pula ia sudah duduk manis dirumah melihat cicit-cicitnya berebut ingin digendong olehnya. Dan membiarkan cucu-cucunya yang mengurus perusahaan turun temurun ini. Ah, membayangkannya saja sudah membuatnya menyunggingkan senyum tipis.

Mendengar sapaan pagi yang menurutnya menggelikan itu membuat Arlan memutar bola matanya sarkastik. Tidak memperdulikan kekehan dari sang Grandpa, Arlan duduk begitu saja dihadapan Grandpanya.

“Apa yang membuatmu datang kemari cucuku?”

Arlan mendengus, melepas kaca mata hitamnya. “Bukankah kau yang sudah menerorku pagi-pagi sekali.”

“Benarkah?”

Melihat wajah Grandpa yang dibuat seakan-akan terkejut dengan pertanyaannya, malah semakin membuat Arlan mendengus sebal. “Terserah apa katamu.”

“Baiklah. Baiklah, cucuku yang pemarah. Jadi… kapan kau akan memberikan aku cicit?”

“Jangan mulai Grandpa.” Arlan mendesis menatap tajam Grandpa.

Grandpa tertawa keras melihat raut wajah Arlan yang mengeras dengan rahang mengatup rapat. Sungguh mudah sekali cucunya yang satu ini digoda.

“Oke. Cukup. Nanti malam kau harus ada dirumah utama jam 7 malam. Eleora akan pulang dari Paris. Dan aku ingin semua keluargaku hadir.”

“Aku tidak bisa.”

Grandpa mengernyitkan keningnya, tidak heran kenapa Arlan menolak. “Kenapa?”

“Aku ada acara.”

“Apakah itu lebih penting dibanding berkumpul dengan keluargamu, Arlan?” Grandpa memajukan tubuhnya mengamati Arlan yang sedang melihat keluar jendela, mengamati bagunan-bangunan pencakar langit yang seakan bersaing ingin menunjukkan siapa yang paling hebat. “Berhentilah kau menghindari keluargamu, apalagi kedua orang tuamu. Mereka sangat menyayangimu,” lanjut Grandpa dengan suara lirih.

“Omong kosong.” Arlan menoleh dengan wajah mendecih.

“Arlan!”

Arlan bangkit berdiri, nyaris membuat kursi yang didudukinya terjungkal kebelakang. Dengan bunyi gemeletuk gigi, Arlan berucap tajam. “Berhentilah Grandpa mencampuri urusanku. Aku sudah menuruti kemauan Grandpa selama ini. Tapi tidak untuk yang satu ini.”

Grandpa ikut bangkit berdiri, tidak gentar dengan tatapan mematikan Arlan. Bagi orang lain yang melihat tatapan Arlan seperti ini, akan merasa takut. Tapi tidak dengan Grandpa. Tidak dengan kelurganya yang lain. Arlan tetap bocah kecil bagi mereka. “Sebegitu besarnya kah cintamu kepada-”

Belum selesai Grandpa menyelesaikan kalimatnya, Arlan sudah lebih dulu menjawab dan melangkah pergi meninggalkan Grandpa. “Aku pergi. Terima kasih atas waktunya.”

Grandpa menatap sedih punggung tegap Arlan yang menghilang dibalik pintu yang dibantingnya cukup keras. Apa ia salah jika ia ingin cucunya kembali. Kembali seperti dulu. Ia tau bahwa ini bukan kesalahan Arlan, melainkan kesalahan anak dan menantunya, Leonard dan Ariana, Ayah dan Ibu dari Arlan.

Tiba-tiba suara deringan ponsel miliknya begetar membuat ia tersadar dari lamunannya, bibirnya tanpa ia sadari menghembuskan napas lelah. Dengan berat hati, ia menggeser layar ponselnya.

“Bagaimana Grandpa?”

“Sepertinya aku gagal.”

Hembusan napas terdengar dari seberang telefon. Jika dipikir-pikir, Arlan sangat beruntung, banyak sekali orang-orang yang peduli padanya. Namun karena kejadian empat tahun yang lalu mebuat Arlan menutup mata dan menulikan telinganya.

“Tidak apa-apa Grandpa, kita akan mencobanya lagi. Oh ya, jangan lupa makan siang Grandpa. Jaga kesehatanmu.”

“Terimakasih Ken.”

“Aku mencintaimu Grandpa.”

“Kau seperti pencinta sesama jenis, tapi, baiklah, aku juga mencintaimu cucuku.”

Dan yang terkakhir didengarnya sebelum sambungan terputus adalah tawa kecil dari Ken. Ah, cucunya yang satu ini emang sangat menggemasakan.

***

Adriel Addison pemuda itu mendengus jengah diruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Matanya melirik jam tangan keluaran terbaru yang baru dibelinya minggu lalu dengan gusar. Cukup! Ini sudah melampaui batas. Sisa kesabarannya siduh habis. Ia menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Dalam hitungan ketiga sumpah serapah yang mendongkol dihatinya akan dikeluarkan dalam satu tarikan nafas.

“ALBERT ADDISON CEPAT SEDIKIT! AKU SUDAH TELAT BODOH!” Suara baritonnya dengan aksen khas menggema begitu saja didalam rumah utama keluarga besar Addison.

Ini sudah biasa. Sungguh.

Adriel mengatur nafasnya yang tersengal dan berbatuk kecil. Tidak butuh waktu lama suara gaduh Albert yang sedang menuruni anak tangga dengan kedua jemarinya yang sibuk merapikan rambut hitamnya yang terihat acak-acakan. Sangat cool.

Begitu sampai dihadapan Adriel yang memasang wajah sebalnya, Albert hanya menatap Adriel dengan tampang tak berdosanya.

“Kau berisik sekali dude,” lalu ia mendudukkan bokongnya dengan hentakan keras disamping Adriel yang saat ini sangat ingin membunuhnya.

Adriel mendelik tajam kepada Albert yang masih tersenyum manis padanya. Tanpa menunggu lama lagi Adriel segera menarik tangan Albert dengan kasar dan mengambil tas miliknya yang berada disofa lalu menyampirkan dibahunya. Albert melotot tajam, meronta-ronta mencoba melepaskan cekalan tangan Adriel.

“Hey, lepaskan tanganku. Aku bisa berjalan sendiri lagi pula aku belum sarapan,” Adriel menghentikan langkahnya tiba-tiba kemudian menatap tajam pada Albert yang cemberut sambil mengelus perutnya.

Tidak memperdulikan wajah Albert yang memelas ingin sarapan, ia langsung membukakan pintu mobil dan mendorong tubuh Albert kasar agar segera masuk kedalam.

“Kau seperti sedang menganiaya kekasihmu,” gerutu Albert sambil mengusap-usap tangannya yang bergesekan dengan pintu mobil.

Ucapan asal Albert membuat Adriel melotot tajam dengan refleks memukul kepalanya. “Aku ada jam kuliah pagi dan kau sangat lamban. Apa tadi itu? Kekasih? Hell, aku ini masih normal,” Adriel lalu memutari kap mobil dan mengendarainya menuju kampus tanpa memperdulikan umpatan Albert yang diberikan untuknya.

Mereka sungguh manis, bukan.

***

Eleora Addison menginjakkan kakinya kembali dibandara setelah dua tahun ia mengurus bisnis Fashionnya diParis. Betapa ia merindukan keluarga besarnya, terutama sepupu-sepupu tampannya. Pandangannya menyapu kesekeliling bandara mencari seseorang. Namun ponsel keluaran terbarunya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dengan kuku yang dilapisi kuteks berwarna merah, ia menggeser layar ponselnya.

1 New messages

Ken Stupid

Maaf aku tidak bisa menjeputmu. Restaurantku sedang ramai. Aku sudah mengirim sopir untuk menjemputmu. Hati-hati dijalan my girl. Aku mencintaimu xoxo

 

“Ken stupid. Adik durhaka. Aku membencimu.” Eleora menjerit kesal, menghentakkan kakinya yang dilapisi high heels duabelas cm.

Sementara serang wanita yang berada dibelakangnya sedang menggerutu tidak jelas seraya menarik koper miliknya dengan kasar. Seumur-umur baru kali ini ia menggeret kopernya sendiri, salahkan asistant sekaligus mangernya yang tidak ingin ikut dengannya karena ingin berbulan madu dengan suaminya. Siapa lagi kalau bukan Mommynya.

“Leo sebaiknya aku tinggal dihotel saja,” wanita dengan tubuh tinggi dan ramping itu bersuara pada Eleora yang biasa dipanggilnya Leo. Kaca mata goldnya bertengger cantik dihidung mancungnya.

“Tidak!” ucap Eleora mendelik kebelakang sedangkan wanita itu mengerucutkan bibirnya hendak menyahut tetapi suara Eleora lebih dulu menyela.

“Tidak ada protes Adara. Kau harus tinggal dirumahku, kau tahu bukan orang tuamu telah menitipkanmu padaku.”

Wanita yang bernama Adara mendelik tajam pada Eleora yang mutar bola matanya jengah. Namun tak urung mengikuti langkah Eleora dengan langkah tersaruk-saruk menggeret koper besarnya.

“Tapi aku bukan anak kecil yang harus dititipkan,” elaknya.

“Ya, tetapi kau adalah sahabatku yang manja dan menyebalkan.” ucap Eleora menampakkan senyum mengejeknya pada Adara yang melotot tajam padanya. Hampir saja Adara melepas sepatu high heelsnya dan meleparkan pada Eleora yang ada didepannya. Tetapi ia urungkan kembali begitu Eleora menoleh kebelakang mendelik tajam pada Adara.

Mobil Porsche Cayenne berhenti dihadapan Eleora dan Adara. Sang supir turun tanpa berkata apapun membawakan koper milik Eleora dan Adara kedalam bagasi, sementara Eleora dan Adara masuk kedalam mobil bagian penumpang.

Selama perjalanan mereka tidak berbicara sama sekali hanya terdengar suara musik saja yang mengalun indah didalam mobil tersebut. Hingga suara Eleora memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

“Kau ingin makan terlebih dahulu?” tanya Eleora menoleh kesamping yang dijawab anggukan oleh Adara yang sibuk memainkan ponselnya.

Among Other

29 Januari 2017 in Vitamins Blog

244 votes, average: 1.00 out of 1 (244 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

SINOPSIS

Addison Corporation, perusahaan nomor dua yang sukses diAsia. Mempunyai begitu banyak cabang yang sudah disebar luaskan diberbagai negara. Calon CEO muda yang tampan dan juga kaya bernama Arlan Addison akan segera menggantikan posisi kakeknya -Gilbert Addison yang memimpin perusahaan besar Addison Corporatian tepat dikantor pusatnya.

 

Dan sifatnya yang ketus dan juga arrogant tidak membuat gadis-gadis yang menggilainya berhenti untuk mengejarnya. Cucu dari keturunan Addison bukan hanya Arlan saja, tetapi juga ada Albert Addison adik kandung dari Arlan, Dariell Addison sepupu kandung Arlan, Ken Addison sepupu kandung Arlan yang umurnya sama dengannya, Adriel Addison sepupu kandung Arlan, dan yang terakhir sepupu kandung wanitanya Eleora Addison sekaligus kakak kandung dari Ken Addison. Ya, Eleora lah yang paling tua dari cucu keluarga Addison.

 

Untuk kisah cintanya, pertemuan yang tak diduga oleh Arlan membuatnya mengumpat kata sial, selalu dan selalu saja ia bertemu dengan gadis bodoh yang membuatnya menggeram kesal. Tetapi disaat benih cinta tumbuh dihatinya, sisi egoisnya kembali untuk mengelak, bertepatan dengan itu puncak dari segalanya datang dengan tembok besar yang berusaha untuk menghalanginya. Akhirnya, ia hanya diam menahan kekecewaan pada dirinya sendiri.

 

***

 

ADDISON FAMILY

 

1. Eleora Addison. Wanita berumur 30 tahun ini adalah cucu tertua dan juga cucu wanita satu-satunya dari keluarga Addison. Orang tuanya juga anak tertua dari Gilbert Addison -kakeknya. Kadang juga ia harus menjadi guru penasihat untuk adik laki-laki dan juga sepupu laki-lakinya.

 

2. Arlan Addison. Sifat dingin, ketus dan juga arogantnya muncul semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu setelah ia lulus dari bangku kuliahnya, dan ia juga langsung menerusi bisnis dari kakeknya. Menjadi calon CEO besar diperusahaan nomor satu dia Asia. Umurnya saat ini telah menginjak usia 27 tahun.

 

3. Ken Addison. Sifatnya kali ini sangat berbanding dengan Arlan, ia sangat ramah pada siapapun namun ia juga bisa menjadi orang yang mengerikan jika ia tidak suka dengan sesuatu itu. Umurnya sama dengan Arlan, 27 tahun. Adik kandung dari Eleona ini lebih memilih meneruskan bisnis Restaurant kakeknya dari pada berkutan dengan dokumen tebal yang membosankan.

 

4. Dariell Addison. Pemuda berumur 23 tahun ini masih menduduki bangku kuliah. Sifat cueknya juga tidak kalah dengan Addison bersaudara, kadang mulutnya saja suka mencerca tetapi hatinya selembut wanita.

 

5. Albert Addison dan juga Adriel Addison. Sepupu yang tidak dapat dipisahkan, memiliki kegemaran yang sama semuanya hampir sama. Sifat kekonyolan mereka kadang membuat argumen-argumen atau pertengkaran kecil di Addison bersaudara sedikit mencair. Umur Adriel memang paling tua dari Albert hanya berbeda satu tahun. Karna Adriel sempat berhenti bersekolah akibat keterpurukannya paska meninggal kedua orangtuanya membuat Adriel bangkit setelah setahun lamanya. Adriel berumur 21 tahun sedangkan Albert adik kandung Arlan berumur 20 tahun yang baru memasuki universitas sama dengan Adriel.

 

***

Masih bingung? Next part 1 aku post yaaa..

Baca juga ceritaku diwattpad @nurulalawiyah07 “Before and After”

Thank youuu ?

Yes, it’s my Daddy!

28 Januari 2017 in Vitamins Blog

 

339 votes, average: 1.00 out of 1 (339 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Keributan yang hampir setiap pagi hari terjadi didalam rumah besar dan megah itu membuat siapapun yang melihatnya akan tertawa geli. Teriakan nyaring yang saling menyahut satu sama lain dan barang-barang yang jatuh akibat lemparan yang tak tentu arah sudah menjadi hal biasa didalam rumah itu.

Jika orang lain mengira bahwa rumah megah itu ditinggali oleh keluarga besar yang anggotanya melebihi sepuluh orang itu salah besar. Rumah megah itu hanya ditinggali oleh dua orang dan tiga orang pembantu. Tetapi, keributan yang terjadi setiap pagi hari melebihi perang antar negara.

Seorang pria yang sudah berumur 30 tahun itu menghela napas lelah, sesekali mata karamelnya melirik jam tangan mahalnya. Suara gaduh yang berasal dari lantai dua itu semakin membuatnya mendengus keras-keras. Ia bahkan sudah menyelesaikan sarapan paginya dari sepuluh menit yang lalu dan sekarang ia harus telat karna menunggu seseorang yang tidak kunjung turun dari singgahsananya.

Sudah cukup! Dengan kesal ia melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju lantai dua dimana tempat kegaduhan itu berasal, tetapi langkah kakinya terhenti begitu melihat pintu kamar itu terbuka, yang dapat dilihatnya dari lantai bawah.

“Cepat Cleo, Dad sudah telat.” Suara teriakannya tidak mampu membuat pemilik kamar itu segera turun.

“Sebentar Dad. Oh, dimana kaus kakiku? Dad, apakah kau melihat kaus kakiku? Aku tidak menemukannya… Dan dimana kunciran rambutku? Dad, bantu aku.”

Pria itu memutar bola matanya sarkastik berjalan menghampiri pemilik kamar tersebut. Bola matanya nyaris keluar begitu melihat kamar yang menyerupai kapal pecah dan bola matanya semakin membulat sempurna begitu melihat anaknya sedang berada dibawah tempat tidur.

“Apa yang kau lakukan disana Cleo?” Pekikan nyaring itu membuat Cleo yang berada dibawah tempat tidur terkejut dan membuat kepalanya terbentur tempat tidur yang terbuat dari besi dengan bunyi yang cukup keras.

“Kau mengagetkanku Dad,”

Justin nama pria itu meringis kecil mendengar bunyi benturan keras yang berada dibawah tempat tidur. Gadis berumur sembilan tahun itu mengumpat karena nyeri dikepalanya yang berdenyut-denyut.

Mengabaikan umpatan anaknya, Justin menghampiri Cleo yang masih berada dibawah tempat tidur dalam posisi telengkup. “Cepat keluar dari sana Cleo, Dad sudah telat.”

“Aku juga,”

“Maka dari itu keluarlah cepat,”

“Aku ingin mengambil kaus kakiku. Astaga, mengapa jauh sekali sih,” Cleo masih berusaha mengambil kaus kaki yang berada diujung tempat tidurnya.

“Kau sudah memakai kaus kaki Cleo Bieber, cepat keluar!”

“Itu berbeda Dad, masa aku harus memakai warna pink dan biru. Ugh, kaus kaki kemarilah… Tanganku sudah tidak sanggup lagi menggapaimu… Itu tidak cocok, Dad,” tangan mungil Cleo masih berusaha menggapai-gapai. Justin menggelengkan kepalanya melihat putri tunggalnya yang semakin berusaha keras untuk mengambil kaus kaki.

“Memang warna apa kaus kaki yang ada dibawah tempat tidurmu?” Justin jadi ingin tertawa melihat pergerakan kaki Cleo yang bergerak-gerak seperti sedang berenang. Berenang tanpa air.

“Emm, warna merah.”

Justin membulatkan matanya. Sungguh konyol anaknya ini. Warna pink dan biru memang tidak cocok. Tetapi warna pink dan merah atau biru dan merah itu lebih tidak cocok lagi. Astaga, jika ia diberikan satu lagi anak seperti Cleo bisa-bisa Justin sudah mati diusia muda.

***

Justin Bieber Point Of View

Setelah mengurusi kejadian kecil yang hampir setiap hari terjadi, aku lebih dulu mengantarkan Cleo ke sekolahnya. Bisa dibilang hari ini aku akan benar-benar terlambat. Tapi tidak masalah ini demi putri kecilku. Aku tidak ingin dibilang Dad yang tidak memperdulikan putrinya. Selama sembilan tahun sudah aku merawatnya dengan tanganku sendiri, well, kadang Mom ikut membantuku merawat Cleo ketika aku sangat sibuk dengan pekerjaanku.

Aku sengaja tidak menggunakan jasa babysister, karna aku tidak ingin putriku lebih menyayangi babysisternya dibanding Daddy nya sendiri. Aku masih sibuk menyetir, sesekali aku memperhatikan putri kecilku yang sedang sarapan dimobil. Karna waktu yang tidak memungkinkan lagi membuat Cleo dengan terpaksa harus sarapan dimobil.

“Dad,” panggil Cleo dengan mulut mungilnya yang penuh dengan makanan tidak sama sekali membuat Cleo kesulitan berbicara.

“Hmm,” Aku menoleh padanya dan tersenyum kecil melihatnya mengelap mulutnya sendiri dengan tisu, bukannya membersihkan bekas makanan dibibirnya justru bekas itu malah mengotori disekitar pipi gembulnya. Aku mencoba mengulurkan tangan untuk membersihkan bekas makanan disekitar pipi gembulnya tapi Cleo buru-buru menampik tanganku.

“Aku bisa sendiri Dad,” Cleo cemberut. Aku jadi ingin tertawa melihat sikapnya yang tidak mau diperlakukan seperti anak seusianya. Lalu Cleo mengambil kaca kecil dari dalam tasnya lalu mulai membersihkan bekas makanan disekitar pipinya sendiri. Cleo tersenyum pada dirinya sendiri didepan kaca yang ada dihadapannya. Matanya dimain-mainkan membuat dirinya tertawa kecil sendiri. Aku tersenyum mendengar tawa kecilnya yang menggetarkan hatiku.

“Dad, kenapa warna mataku biru? Lihat, bola matamu berwarna cokelat seperti lelehan karamel.” Cleo menatapku penuh harap.

“Karna kau mirip Mom.” Jawabku singkat.

Aku sudah tidak terkejut dengan pertanyaan yang Cleo berikan padaku. Bahkan ketika Cleo sedang belajar berbicara kata pertama kali yang terucap adalah kata ‘Mom’. Dan ketika Cleo memasuki taman kanak-kanak Cleo mulai bertanya perihal Momnya, ‘Dad, apakah kau tau siapa Mom? Mengapa teman-temanku selalu menyebut kata Mom? Teman-temanku bilang Mom selalu membuatkan makanan yang lezat. Apakah nanny Grace adalah Mom, Dad jawab aku?’

Hatiku sakit mendengar pertanyaan dari putri kecilku yang polos. Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana pada putriku yang pada saat itu masih terlalu kecil. Lambat laun dengan bertambahnya usia. Cleo mengerti bahwa Momnya sudah tidak ada.

“Tapi aku tidak ada miripnya denganmu?” Wajah Cleo tertunduk lesu, bibir mungilnya dimajukan didepan kaca.

“Siapa bilang. Lihat rambutmu, sangat mirip dengan Dad bukan. Oh ya, bagaimana persiapan acara ulang tahun sekolahmu? Huh, Dad sungguh tidak sabar melihat putri kesayangan Dad bermain piano.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tidak suka jika membahas mengenai fisik antara aku dan Cleo.

Cleo kembali tersenyum padaku, menceritakan bagaimana antusias teman-teman dan juga dirinya untuk merayakan ulang tahun sekolahnya. Dari mulai mendekorasi setiap kelas untuk lomba, memberikan penampilan terbaik diatas panggung dan tentu saja ada hadiah-hadiah yang menarik.

“Dad, minggu depan kau harus datang melihatku bermain piano diatas panggung. Aku akan memberikan undangannya padamu,”

“Tentu saja sweetheart,” Cleo bertepuk tangan senang. Tanganku terjulur berniat mengacak rambut Cleo yang sudah rapi dikuncir kuda, tetapi, aku urungkan kembali mengingat betapa sulitnya aku mengikat rambut panjang Cleo.

“Oh, terimakasih Dadku yang tampan.” Tubuh mungilnya memeluk lenganku lalu bibir mungilnya dimonyongkan untuk mengecup pipiku.

“Terimakasih kembali putri kecilku yang jelek,”

“DADYYYYYYYY! Kau menyebalkan,”

**

Still Justin’s Point Of View

Begitu mengantarkan Cleo kesekolahnya, aku langsung melajukan mobilku menuju kekantor. Seharusnya pagi ini aku menghadiri meeting dengan Client ku. Dan karna hari ini aku terlambat datang, dengan terpaksa aku memutuskan untuk mengundur jalannya meeting hingga selesai jam makan siang.

Setibanya dikantor aku disambut oleh Selena -sekertaris pribadiku. Dengan gaya yang dibuat-buat, Selena menghampiriku dengan tumpukan dokumen yang dibawanya. Selena sering kali menggodaku dengan gaya berpakaiannya yang sangat seksi, atau menggodaku dengan menggerakkan tubuhnya layaknya model catwalk.

Hey, aku ini laki-laki normal. Selama sembilan tahun aku hidup tanpa pasangan. Tetapi sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi istriku -Kate Bieber.

“Jam dua siang kita mengadakan meeting yang tadi pagi tertunda, sir,” ucapan Selena membuatku mengalihkan dari dokumen yang sedang aku tanda tangani. Aku menganggukan kepala mengerti lalu kembali menekuni dokumen lagi.

“Sir,” Selena tetap tidak bergeming ditempatnya, masih menatapku penuh harap.

Aku menghembuskan nafas lelah, sementara Selena menggit bibirnya berniat menggodaku. “Maafkan aku Sel, aku tidak bisa.”

Kemarin malam usai sepulang dari kantor, Selena tiba-tiba menghampiriku. Aku fikir ia ingin mengatakan sesuatu padaku, dan ternyata memang benar. Tetapi yang ia katakan adalah mengajakku untuk tidur bersamanya. Aku terkejut, tentu saja. Tidak menyangka Selena berani berbicara seperti itu padaku. Apalagi aku adalah bosnya. Aku tahu dari dulu Selena mencintaiku, tetapi aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan dengan tidak tahu malunya Selena memohon padaku karna tidak sanggup menahan gairahnya ketika berdekatan denganku. Benar-benar wanita jalang.

“Tapi sir,” Selena masih berusah membujukku tetapi aku tetap pada pendirianku.

“Tidak Selena.” Suaraku meninggi, menatap tajam pada Selena yang masih terus memberikan tatapan menggodanya.”Sampai kapanpun aku tidak akan menerima tawaranmu. Aku sudah mempunyai anak, dan aku sangat mencintai istriku. Jika kau butuh pelepasan datanglah kepada laki-laki lain, jangan datang padaku yang sudah mempunyai anak.”

“Tapi Cle-,”

Kalimat Selena terputus begitu saja saat melihat aku bangkit berdiri dan membentaknya. Cukup sudah kesabaranku. “Kau tidak berhak mencampuri urusan keluargaku! Cepat keluar atau kau akan ku pecat!”

Wajah Selena memucat mendengar ucapanku, buru-buru ia pergi dari ruanganku sebelum hidupnya berubah menjadi gelandangan karna tidak memiliki pekerjaan.

Aku menghempaskan tubuhku pada sandaran kursi, memijit keningku yang tiba-tiba terasa pening. Kenangan Cleo selama sembilan tahun berputar kembali seperti kaset didalam batok kepalaku.

Semenjak kematian Kate aku merasa kesepian, walaupun ada Mom dan Dad yang menemaniku sama sekali tidak mengubah hidupku seperti dulu. Setiap hari aku hanya menghabiskan waktu untuk bekerja dan mengunjungi makam Kate. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti dulu saat aku menyakiti Kate.

Dan ketika selesai mengunjungi makam Kate seperti biasa selepas pulang bekerja, entah mengapa aku lebih memilih untuk berjalan kaki meninggalkan mobilku ditempat parkir pemakaman. Berjalan menikmati semilir angin yang berhembus menerpa wajahku, melihat banyaknya orang-orang yang berlalu lalang melakukan aktivitasnya tanpa memperdulikan bahwa siang sudah berganti malam.

Aku masih terus berjalan tanpa merasakan rasa lelah selepas bekerja dan berjalan kaki dipinggir trotoar. Hingga tanpa kusadari aku mendengar suara tangis bayi yang begitu memekakan telinga. Hatiku mencelos, aku tidak tau apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba aku mendekati bangunan tua dimana suara tangis itu berasal. Aku melihat wanita paruh baya sedang menggendong bayi, pikiranku melayang membayangkan Kate sedang menggendong, menimang-nimang buah hatiku dan Kate. Lalu pandanganku beralih menatap plang besar dan aku baru sadar bahwa aku berada di Yayasan yatim piatu.

Wanita paruh baya itu menghampiriku yang masih mematung didepan pagar besi yang sudah berkarat, “Ada yang bisa saya bantu, tuan?”

Aku tersenyum getir menatap wanita paruh baya itu yang mengenakan seragam seperti suster dan sudah tidak lagi menggendong bayi yang menangis tadi. Aku melirik name tag wanita itu -Monica, “Tidak. Aku hanya sekedar lewat saja, tetapi, aku mendengar suara tangisan bayi.” Monica tersenyum lalu membuka pintu pagar besi yang menghalangi kami.

“Silahkan masuk tuan,” Aku terdiam, menatap Monica yang masih tersenyum. Kemudian dengan ragu aku mengikutinya dari belakang. Aku memandangi sekeliling terdapat taman bermain yang cukup luas, dan disamping kirinya ada lapangan kecil seperti lapangan untuk bermain bola.

Keadaan didalam rumah ini jauh berbeda dengan diluar. Jika dilihat dari luar rumah ini terlihat lusuh seperti tidak terawat tetapi jika dilihat dari dalam bagunan rumah ini terlihat kokoh. Begitu masuk lebih dalam aku semakin mendengar tangisan suara bayi yang semakin mendekat. Aku lihat Monica menghampiri box bayi tempat dimana bayi itu menangis.

Monica menghampiriku dengan bayi yang terlihat begitu mungil digendongannya. Aku memperhatikan wajah bayi itu yang terus menangis, alis yang tebal, hidung yang bangir, bibir mungil yang memerah, dan air mata yang turun melewati pipi gembulnya. Hingga pandanganku jatuh pada bola mata warna biru yang seperti bola mata milik Kate. Teduh dan tenang seperti air. Tangisan itu semakin memekakan telingku hingga tubuhku membeku. Ini begitu nyata, aku seperti melihat Kate dan juga diriku pada bayi ini.

Tiba-tiba tanganku terulur menyentuh pipi yang begitu halus, takut-takut aku menyakitinya. “Bayi ini ditemukan kemarin malam didepan pagar yayasan ini hanya dengan sehelai kain untuk menutupi tubuhnya. Tetapi pihak yayasan tidak menemukan petujuk apapun mengenai bayi ini maupun kedua orang tuanya. Dan kami pihak yayasan memutuskan untuk merawatnya seperti anak-anak yang lain.”

Aku tersenyum menatap bayi itu yang sudah berhenti menangis dan malah menguap karena kantuk. “Bolehkah aku menggendongnya,” pintaku berharap. Monica mengangguk lalu menyerahkan bayi itu padaku.

Awalnya terasa kaku karna ini pertama kalinya aku menggendong bayi tapi aku mencoba menikmatinya. Bayi itu menggeliat pelan dalam gendonganku mencari posisi yang nyaman, sementara aku semakin melebarkan senyumku dan menatap Monica.

“Bisahkah aku memilikinya? Menjadikan bayi ini sebagai anakku. Aku ingin mengadopsinya sebagai putri kecilku.”

Monica terkejut, tidak menyangka aku akan berbicara seperti itu. Tetapi kemudian ia tersenyum dan menanggukan kepalanya.

Dari situlah aku mulai menata hidupku lagi. Aku membawa bayi itu yang ku berinama Cleo Kate Bieber. Sengaja memang aku memberi nama tengah Kate untuk Cleo. Karna aku sangat yakin jika Kate masih ada ia pasti akan menyukai Cleo. Mom dan Dad juga sangat antusias begitu melihat aku membawa Cleo, awalnya Mom mengira Cleo adalah hasil hubungan gelapku dengan wanita lain. Tetapi saat Mom melihat bola mata milik Cleo yang diucapkannya pertamakalinya adalah nama Kate. Perasaan bahagiaku semakin membuncah begitu Mom begitu antusias dengan kedatangan Cleo dikeluarga Bieber. Bahkan Mom langsung membelikan peralatan dan pakaian bayi yang begitu lengkap.

Mom juga membantuku merawat Cleo, memandikannya dan menyuapinya. Aku sendiri juga belajar cara merawat Cleo dari Mom, walaupun saat pertama kali terasa sulit tetapi aku menyukainya. Setiap hari ku habiskan waktuku untuk merawat dan menjaga Cleo. Bahkan ketika saat sedang bekerja aku ingin segera cepat-cepat pulang menemui Cleo. Saat usia Cleo memasuki tiga bulan aku membawa Cleo kemakam Kate. Ini pertama kalinya aku memperkenalkan Cleo pada Kate. Biasanya aku hanya meletakkan foto Kate disamping box Cleo.

Aku menghampiri makam Kate, meletakkan bunga disampingnya lalu mengecup batu nisan bertuliskan nama Kate. “Hai boo, apa kabar? Maaf ya, aku sekarang jarang sekali menemuimu tapi kau jangan marah, aku terlalu sibuk merawat Cleo yang semakin hari semakin nakal.” Aku melirik Cleo yang sibuk memainkan jarinya, mulutnya sudah megap-megap memainkan air liurnya sendiri.

“Ayo Cleo, beri salam pada Mom. Kau harus janji pada Mom untuk tidak nakal.” Cleo bergumam tidak jelas tetapi masih sibuk sendiri memainkan air liurnya.

“Cleo memang nakal, boo. Mom saja sampai dibuat repot olehnya. Tetapi Mom sangat menyayanginya. Apakah kau juga menyayangi Cleo boo, seperti kau menyayangi diriku?”

Lalu seperti jawaban dari Kate, angin berhembus menerpa wajahku. Aku memejamkan mata kali ini angin itu begitu terasa berbeda, begitu sejuk seperti ada percikan air saat terik matahari sedang berada dipuncakknya. Aku tersenyum sangat lebar lalu membuka mataku menatap Cleo yang sedang menatapku juga, aku rasa Cleo juga merasakannya.

Kemudian aku kembali mengecup batu nisan Kate, “Terimakasih boo, aku sangat mencintaimu.” Aku melahkah meninggalkan makam Kate dengan perasaan begitu lega telah memperkenalkan Cleo pada Kate. Dan setiap langkah demi langkah menjauhi makam Kate, aku terus berucap didalam hati bahwa Cleo Bieber adalah putri kecilnya, buah hatinya dengan Kate. Selamanya dan tidak akan berubah sampai kapan pun. 

***

Author’s Point Of View

Cleo melangkahkan kakinya dari pintu gerbang sekolahnya dan ia sudah melihat Smith -sopir pribadi keluarga bieber, menyambutnya. Smith membawakan tas Cleo, sementara Cleo sudah memasang wajah cemberut karna Justin tidak bisa menjemputnya dikarenakan ada keperluan penting dan mengharuskan Justin pulang larut malam. Cleo berjalan mengikuti Smith yang sudah membukakan pintu mobil untuknya lalu ia mengingat sesuatu dan memutuskan meminta Smith untuk mengantarkannya ke kantor Justin.

Selama perjalanan menuju kantor Justin, Cleo sibuk membongkar isi tasnya sambil mengingat-ingat kembali kapan ia terakhir kali menaruh amplop berisi undangan ulang tahun sekolah untuk diberikan kepada Justin. Dan setelah beberapa saat Cleo membokar isi tasnya akhirnya amplop itu ditemukan ditas bagian depan yang terselip buku-buku tulis miliknya.

Sesampainya dikantor Justin, Cleo langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan Dad nya. Ia sudah tidak asing lagi berada dikantor Justin begitu juga dengan karyawan-karyawan lainnya yang hanya tersenyum melihat Cleo melangkah dengan semangat sambil menggenggam erat amplop ditangannya. Sedangkan Smith dari tadi hanya mengikuti dibelakang Cleo berharap agar majikannya itu tidak terjatuh.

Cleo berjalan memasuki ruangan Justin, pandangannya menyapu sekeliling ruangan dan tidak menemukan keberadaan Dad nya. Wajahnya cemberut, lalu ia keluar dari ruangan Justin kemudian menemukan Selena tengah berjalan angkuh kearahnya.

Dari jauh Selena sudah melihat Cleo keluar dari ruangan Justin dan tersenyum sinis. Ia keluar dari ruang meeting karna berniat mengambil dokumen yang tertinggal dimeja kerjanya. Selena mengabaikan kehadiran Cleo yang mengikutinya dibelakang dan sibuk mencari dokumen yang diletakkannya dimeja kerjanya.

“Aunty, apakah kau melihat Dad? Aku sudah mencari diruangannya tetapi Dad tidak ada,” Selena melirik Cleo yang mesangan wajah lesu karna tidak menemukan Dad nya.

“Tidak,” jelas-jelas Selena tau dimana Justin, saat ini Justin sedang meeting dengan Client nya. Tapi karna rasa tidak sukanya Selena pada Cleo membuatnya memutuskan untuk berbohong.

Cleo menghembuskan napas lelah lalu mengulurkan amplop pada Selena, “Baiklah kalau tidak ada Dad. Aku hanya menitipkan ini pada Aunty, tolong sampaikan pada Dad jika Dad ada. Aku harus segera pulang karna Grandma pasti sudah mencariku.”

Selena menerima amplop itu dengan malas dan meletakkannya begitu saja diatas tumpukan dokumen lain yang sudah tersusun rapi. “Terimakasih Aunty,” Cleo melambaikan tangan pada Selena yang dibalas putaran bola mata sarkastik dari Selena.

“Dasar anak jalang,”

***

Cleo Bieber Point Of View

Hari ulang tahun sekolah.

Selama dua minggu ini aku sudah berlatih sungguh-sungguh untuk memperlihatkan permainan pianko pada semua orang khususnya pada Dad. Aku ingin membuat Dad bangga padaku, dan menjadi orang pertama yang bertepuk tangan saat penampilanku selesai. Tapi sampai saat ini aku tidak melihat Dad dimanapun. Memang sudah dua hari ini aku tidak bertemu dengan Dad dikarenakan Dad sibuk mengurusi pekerjaannya. Tetapi Grandma bilang Dad selalu pulang dan langsung menuju kekamarku begitu selepas pulang bekerja, tidak memperdulikan bahwa dirinya lelah karna seharian berada dikantor. Dan setiap paginya aku sudah tidak menemukan Dad dikamarnya, ia sudah lebih dulu berangkat ke kantor. Aku tidak suka ketika Dad terlalu sibuk dengan pekerjaannya, aku tidak mau melihat Dad jatuh sakit karena kelelahan.

Aku terus menunggu berharap Dad segera datang karena setengah jam lagi acara akan segera dimulai. Sesekali aku mengintip dibalik tirai panggung melihat kursi-kursi yang tadinya kosong kini mulai terisi satu persatu. Lalu aku melihat Grandma dan Grandpa datang menduduki kursi depan, aku tersenyum pada mereka walaupun mereka tidak melihatku karna tertutupi oleh tirai. Aku mengulum bibirku kedalam merasa tiba-tiba hatiku sakit mengingat betapa orang yang aku inginkan tidak datang.

Pembawa acara sudah berada didepan panggung membicarakan mengenai susunan acara. Hingga satu jam lebih aku masih terus memandangi tempat duduk disamping Grandma yang masih kosong berharap sekali Dad bisa menyempatkan waktunya sedikit saja untuk melihat penampilanku bermain piano. Dan lagi-lagi menit demi menit berlalu hingga namaku dipanggil untuk berdiri diatas panggung. Aku mengucapkan sebaris doa, dan mataku masih tertuju pada bangku kosong disamping Grandma. Mataku mulai memanas. Tidak, aku tidak boleh menangis, aku tidak mau mengecewakan Grandma dan Grandpa yang sudah datang. Dan aku juga tidak mau mengecewakan Mom. Aku akan membuat Mom bangga dan tersenyum diatas sana yang sudah bersama Tuhan.

Aku membungkukan tubuhku memberi sapaan hormat pada orang-orang dan juga sebagian para orang tua murid. Aku menghampiri piano yang sudah sering aku gunakan untuk berlatih. Dentingan piano mulai mengalun lembut, kali ini lagu Cry Instrumental by Michael Oertega. Aku memang sengaja tidak membawakan lagu yang selama ini aku gunakan untuk berlantih. Aku ingin semua orang yang berada diruangan ini merasakan perasaan yang aku rasakan saat ini. Aku tidak peduli jika Guruku nanti akan memarahiku karna tidak mengikuti intruksi darinya. Yang aku inginkan saat ini adalah mengikuti jemariku yang sudah terampil memainkan tuts piano.

Aku masih terus memejamkan mata. Tidak meperdulikan orang-orang yang berada disekitarku, aku hanya terus dan terus menggerakan jemariku. Semua orang terdiam, pandangan mereka hanya ditunjukkan padaku. Aku tahu semua orang sudah terpesona dengan permainan piano ku hingga ku rasakan jemariku terhenti, aku masih memejamkan mata untuk beberapa saat hingga suara tepuk tangan yang riuh mengisi aula ini. Aku membuka mataku lalu setetes air mata turun menuruni pipiku, pandanganku menyapu kesemua orang yang bertepuk tangan, ada juga yang sampai menangis. Dan aku melihat Grandma ikut menangis juga lalu kulihat bangku disebelah Grandma sudah terisi oleh seseorang yang bertepuk tangan dan tersenyum hangat padaku. Tentu saja aku sangat hafal bagaimana bentuk garis wajahnya, setiap malam aku selalu memimpikannya, setiap aku ingin tidur aku selalu mendekap fotonya, dan setiap hari pula aku menceritakan keseharianku padanya walau ia seperti hembusan angin tapi aku tetap mencintainya. Kemudian seseorang itu lenyap begitu saja dari pandanganku tetapi aku masih menyunginggkan senyum untuknya. Orang itu adalah Momku -Kate Bieber.

***

Author’s Point Of View

Cleo berlari memasuki kamarnya tanpa memperdulikan teriakan Grandma yang memanggilnya. Setelah acara selesai Cleo memutuskan untuk pulang ia tidak mau berlama-lama disekolahnya apa lagi bercakap-cakap dengan teman-temannya yang menceritakan bagaimana antusiasnya kedua orang tuanya mengucap bangga pada anaknya. Cleo kecewa pada Dadnya. Padahal Dad nya sudah janji untuk datang melihatnya bermain piano, tetapi Dad malah mengingkari janjinya.

Cleo menjatuhkan tubuhnya ditempat tidur miliknya, tangannya terjulur mengambil foto Mom yang sedang tersenyum. Lalu Cleo bangun dan melahkahkan kaki berdiri diam dibalkon kamarnya, tangannya dengan erat memegang foto Mom nya. Air matanya sudah turun membasi pipinya dan terus mengalir, ia membutuhkan Mom nya saat ini untuk sekedar memeluknya. Tangisnya terdengar pilu, begitu menyesakkan dada bagi siapapun yang mendengarnya. Cleo memejamkan matanya begitu merasakan angin yang terasa sejuk menerpa permukaan wajahnya.

“Mom,” Cleo bergumam dengan foto Kate yang didekap didadanya begitu erat.

“Mengapa Dad jahat padaku. Mengapa Dad tidak datang. Apakah Dad sudah melupakanku. Apakah pekerjaan Dad lebih penting dibanding diriku. Katakan Mom. Katakan bahwa dugaanku ini salah.” Tiba-tiba Cleo jatuh terduduk dengan wajah yang sudah bersimbah air mata seperti tidak sanggup lagi menapakkan kaki. Tangannya dengan gemetar meremas dadanya tepat dimana rasa sakit dan juga kecewa yang Dad nya berikan padanya.

“Mengapa rasanya sakit sekali Mom. Mengapa dada ini rasanya sesak. Apakah aku harus membenci Dad, Mom. Katakan padaku Mom. KATAKAN PADAKU.” Cleo menjerit, tangan mungilnya memukul dadanya sendiri yang semakin terasa sesak mencoba menghapus kesesakan yang menggelutinya.

“Mom, aku membutuhkanmu.”

Tanpa Cleo sadari seseorang ikut menangis pilu seperti dirinya, bahkan seseorang itu mendengar semua. Mendengar apa yang telah diucapkan Cleo, tubuhnya sudah lebih dulu meluruh kelantai bahkan cokelat mahal kesukaan Cleo yang dibawanya sudah jatuh berantakan.

***

Still Author’s Point Of View

Justin berjalan memasuki ruangannya dengan menenteng sebuah bingkisan mahal. Hatinya tersenyum bahagia, tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah putri kecilnya jika melihatnya pulang nanti. Ah, Justin jadi ingin cepat-cepat pulang untuk bertemu putri yang begitu dicintainya sepenuh hati. Hari ini Justin baru saja selesai makan siang dengan Kliennya dan ia sendiri mendampingi Kliennya. Selena tidak ikut karena tiba-tiba perutnya sakit membuat Selena harus beristirahat di Klinik milik kantor. Justin tersenyum membalas sapaan hangat setiap karyawan yang berjalan melewatinya.

Ketika tangan Justin berniat memutar kenop pintu ruangannya tetapi diurungkan kembali saat pandangannya jatuh pada kertas yang jatuh didibawah meja kerja milik Selena. Jarak ruangan Justin dengan meja kerja Selena sangat dekat itu dikarenakan Selena adalah sekertaris pribadi Justin. Justin melangkah mendekati meja kerja Selena lalu mengeryit begitu mengenali cap yang ada dikertas yang seperti amplop itu. Tangannya terulur mengambil amplop itu dan semakin mengernyitkan dahinya melihat logo sekolah Cleo yang terpampang dengan tulisan besar didepan amplop itu.

Selena keluar dari Klinik kantor setelah perutnya sudah merasa lebih baik. Tadinya ia berniat untuk menyusul Justin untuk menemani makan siang bersama Client nya tetapi begitu diberitahu karyawan lain yang melihat Justin telah kembali membuatnya memutuskan untuk kembali ke meja kerjanya. Lalu langkah kakinya terhenti saat melihat Justin menggenggam erat amplop undangan yang Cleo titipkan padanya tempo hari. Selena merutuki kebodohannya, seharusnya ia langsung membuangnya bukannya menaruh begitu saja dimeja kerjanya. Dan sekarang ia melihat Justin menemukan amplop undangan dari Cleo.

Justin membeku menatap lurus amplop yang sudah dibacanya berisikan undangan ulang tahun sekolah Cleo yang akan dilaksanakan pada hari ini. Buku-buku jarinya memutih, tangannya menggenggam erat sampai kertas itu nyaris sobek karna terlalu kuat menggenggam, ia sudah melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Ia menolehkan kepalanya dan menemukan Selena yang diam membantu dengan wajah pusat pasi. Justin berjalan mendekati Selena yang tidak bergeming dari tempatnya, bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus, matanya menatap tajam Selena serti siap membakar Selena hidup-hidup hanya dengan menatapnya. Begitu tiba dihadapan Selena, Justin langsung melempar kertas yang ada ditangannya kewajah Selena.

“Kau aku pecat jalang,” gemeletuk gigi Justin terdengar jelas tanda bahwa pria itu siap meluapkan amarahnya. Tapi Justin mencoba untuk menahan karna yang ada dihadapannya saat ini adalah seorang wanita. Lebih tepatnya wanita jalang yang tidak tahu diri.

Justin berlalu begitu saja dari hadapan Selena, sementara Selena masih terdiam sudah membayangkan bagaimana kehidupannya nanti tanpa memiliki pekerjaan. Dan air matanya sudah meluncur bebas diikuti yang lainnya.

Satu-satunya tempat utama yang didatangi Justin saat ini adalah sekolah Cleo. Tempat dimana ia harus menepati janjinya untuk melihat penampilan Cleo bermain piano. Justin melajukan mobilnya dengan gila, merobos setiap lampu merah yang menghalangi jalannya tanpa memperdulikan peringatan dari polisi atau umpatan orang-orang yang hampir ia tabrak. Dalam waktu cepat Justin sudah tiba disekolah Cleo, ia melihat beberapa orang tua murid keluar melalui pintu gerbang sekolah dengan menuntun anaknya masing. Sekelibat pikiran buruk menghantui Justin. Tidak, ia tidak boleh mengecewakan putri kecilnya.

Terlihat dari kejauhan seorang wanita paruh baya yang Justin kenal sebagai wali kelas Cleo menghampirinya yang masih diam didepan pintu pagar sekolah tanpa berniat masuk.

“Mr. Bieber, ada yang bisa saya bantu?” Wanita itu yang bernama Mrs. Collins tersenyum hangat padanya. Justin terlihat gugup binggung ingin berbicara apa.

“Apakah… Apakah acara…” Justin tidak bisa melanjutkan ucapannya, ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Ia menatap kosong kedepan tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya bingung.

Mrs. Collins masih tersenyum hangat pada Justin, ia dapat melihat raut kecemasan pada wajahnya. “Acaranya sudah selesai setengah jam yang lalu, dan Cleo sudah pulang setelah acara selesai dengan Mr. dan Mrs. Bieber,” Mrs. Collins mencoba menjelaskan pada Justin yang masih menatap lurus kedepan.

Lidah Justin kelu, hatinya sakit membayangkan wajah sedih Cleo yang menanti kedatangan dirinya. Justin sudah mengecewekan putri kecilnya, ia sudah menyakiti hati anaknya.

Dan disinilah Justin berada menatap punggung Cleo yang rapuh terduduk dilantai. Hatinya seperti tertimpa batu berton-ton mendengar tangisan pilu putrinya. Seumur hidupnya ini pertama kali ia mendengar tangisan Cleo yang membuat hatinya teriris pisau lalu ditaburi garam. Pedih. Sakit rasanya melihat putri kecilnya yang selalu membuatnya tersenyum dan tertawa menelan kekecewan yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Hari ini dan sembilan tahun yang lalu ia sudah kalah telak dua kali menyakiti wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Kate Bieber dan Cleo Bieber.

Melihat Cleo bangkit berdiri membuat Justin buru-buru bersembunyi dibalik tirai. Cleo keluar dari kamarnya dengan membawa foto Kate yang ada ditangannya tanpa menyadari keberadaan Justin yang bersembunyi dibalik tirai. Justin terdiam diatas balkon kamar Cleo menatap nanar punggung putrinya yang semakin menjauh. Ia tahu kemana Cleo akan pergi. Cleo pergi menemui Momnya. Makam Kate Bieber.

Dan benar seperti dugaannya Cleo mendatangi makam Kate. Sekarang Justin melihat tubuh mungil Cleo sedang memeluk batu nisan Kate dan juga menggenggam erat foto Kate. Justin tersenyum pahit, air matanya terus mengalir melihat pemandangan yang begitu mengharukan dan juga menyesakkan dadanya. Rasanya ia ingin menarik tubuh mungil Cleo kedalam pelukannya. Jangankan untuk memeluknya, melangkahkan kakinya untuk menghampiri Cleo saja Justin tidak mampu.

Cleo masih menangis tersedu-sedu, dengan posisi seperti ini membuatnya merasa seperti memeluk Mom nya. Bila Mom tidak bisa memeluknya seperti Dad, Cleo sendiri yang akan dengan senang hati memeluk Mom nya. Ia tersenyum menatap foto Mom nya, lalu menghapus air matanya dengan tangan yang sudah kotor karena tanah. Wajahnya jadi terlihat lucu. Cleo menunduk mengecup batu nisan Mom nya, tetapi air matanya terus saja turun membasahi pipi gembulnya.

“Aku cengeng sekali ya Mom,” jika tidak dalam keadaan seperti ini Justin akan dengan senang hati menggoda Cleo karena menangis dan pada akhirnya Cleo semakin keras menangis membuat Justin tertawa geli.

“Maafkan aku ya, Mom. Aku sudah berbicara kasar tentang Dad. Tenang saja Mom aku tidak membenci Dad, aku menyayangi dan mencintai Dad seperti aku menyayangi dan mencintaimu. Terima kasih Mom, tadi kau sudah datang melihatku bermain piano. Setidaknya jika Dad tidak datang, masih ada Mom, Grandma dan Grandpa yang datang. Dad pasti tidak melupakanku, ia hanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Benar kan Mom?”

Detak jantung Justin bergemuruh hebat mendengar apa yang diucapkan putri kecilnya. Cleo tidak membencinya. Cleo menyayangi dan mencintainya. Hatinya membuncah dialiri perasaan bahagia dan lega luar biasa. Kesesakan yang tadi menghimpit dadanya sekarang meluap entah kemana.

Melihat punggung Cleo yang akan berbalik tidak mengubah Justin untuk beranjak dari posisinya. Bola mata Cleo membulat, terkejut melihat Dad nya ada disini. Selanjutnya ia tersenyum saat melihat Dadnya menekuk lututnya dan merentangkan tangan. Seperti menyambut dirinya.

“Dad.” Cleo berlari mememeluk Justin begitu erat. Sementara Justin sudah menangis begitu merasakan pelukan yang seperti lama tidak ia rasakan lagi. Cleo melepas pelukannya mengernyitkan keningnya melihat Dadnya menangis.

“Kau menangis Dad?” Justin menggangguk tetapi senyuman masih tersungging diwajah tampannya.

Cleo tertawa melihat wajah Dadnya yang menangis, mata sembabnya membuat Justin terlihat lucu. “Kenapa tertawa?”

“Kau jelek sekali Dad,” Cleo menghapus sisa air mata pipi Justin dengan tangan mungilnya.

“Kau juga. Lihat pipi gembulmu ini kotor terkena tanah.”

“Oh, benarkah?” Mata Cleo membulat tangannya sibuk mencari sesuatu.

“Mencari apa?”

“Kaca,” jawab Cleo polos.

Justin memutar bola matanya lalu tangannya menarik Cleo supaya mendekat, “Kemarilah, biar Dad yang bersihkan.”

Cleo menatap Justin yang masih membersihkan tanah yang megotori pipinya. Merasa diperhatikan Justin mengalihkan pandangannya pada Cleo yang masih menatapnya. “Ada apa?”

Justin menghentikan gerakan tangannya, sedangkan Cleo malah tersenyum. “Maafkan aku ya Dad,”

Ucapan maaf yang terdengar sangat tulus dari Cleo menghangatkan hatinya, Justin tersenyum lalu menarik Cleo kedalam pelukannya. “Seharusnya Dad yang meminta maaf padamu. Yang harus perlu kau tahu, Dad sangat mencintaimu.”

“Aku lebih mencintaimu Dad,” Cleo semakin mengeratkan pelukannya dan mengecup kedua pipi Justin.

Seperti yang sering Justin katakan, Cleo Bieber adalah putri kecilnya, buah hatinya dengan Kate. Selamanya dan tidak akan berubah sampai kapan pun.

***

Terimakasih yang sudah mau baca dan memberi komentar.

Sebenernya ini udah pernah aku post di akun wattpad. Gapapa ya aku post ulang disini hhehe Aku jadi Vitamins dr pertama PSA diumumin di wattpad, tapi belom ada yang aku kenal disini. 

Salam kenal yaaa para Vitamins..

Kalau banyak yang suka, nanti aku bakal post cerite teenlitku disini.

@nurulalawiyah07

DayNight
DayNight