Vitamins Blog

Among Other Part 1

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

251 votes, average: 1.00 out of 1 (251 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Part 1

Terlihat dari kejauhan seorang laki-laki berwajah tampan yang tidak perlu diragukan lagi, tengah berjalan dengan angkuh memasuki gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo ‘ADDISON CORPORATION’ perusahaan nomor dua diAsia. Hampir seluruh penjuru dunia mengetahui siapa pemilik Addison Corporation -Gilbert Addison.

Kaca mata hitam lelaki tersebut bertengger dengan manis dihidung mancungnya menambah kesan maskulin yang menguar begitu dia memasuki lobby kantor. Tubuh tegapnya menjulang tinggi bagaikan model, setiap ia menginjakkan kakinya memasuki kantor ini semua mata wanita tidak pernah lepas seakan ingin melucuti pakaiannya, sungguh menggelikan. Pandangan lelaki tersebut hanya terfokuskan kedepan tidak memperdulikan bisikan-bisikan para karyawan yang ia lewati.

Tak perlu menunggu lama pintu yang terbuat dari baja itupun terbuka langsung begitu ia datang, tangannya terjulur menekan lantai 52 dimana lantai tersebut hanya ditempati oleh pemilik Addison Corporation.

Kembali, ia tidak memperdulikan orang-orang yang menatap dirinya penuh kekaguman. Sebenarnya bisa saja ia memakai lift khusus untuk jajaran direksi yang bekerja disini tapi ia malas untuk berjalan terlalu jauh karna hanya lift ini saja yang dekat dengan jangkauannya walaupun ini lift umum.

“Selamat pagi Pak Arlan,” ucap salah satu karyawan yang usianya sekitar lima puluh tahunan, terlihat dari rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya sudah mengeriput. Bibirnya tersenyum ramah dengan tubuh sedikit membungkuk untuk memberi salam kepada bos yang paling ditakutinya.

Laki-laki yang dipanggil Arlan hanya meliriknya sekilas dengan ujung ekor matanya, seakan tidak minat untuk membalas sapaan tersebut walaupun hanya sekedar tersenyum. Baginya sapaan seperti itu sudah biasa dan ia sungguh jijik mendengarnya. Jijik karna ia harus repot-repot berbaik hati pada orang-orang penjilat. Seperti karyawan tua tadi contohnya.

Kakinya mengetuk lantai lift dengan tidak sabar, berharap pintu baja ini cepat terbuka. Beberapa karyawan tadi yang satu lift dengan dirinya sudah keluar lebih dulu karena memang dilantai 40 keatas hanya diisi oleh jajaran direksi. Tidak menunggu waktu lama lagi akhirnya pintu tersebut terbuka, dengan mantap dirinya berjalan dilantai marmer dan menyusuri lantai tersebut hingga bertemu dengan meja resepsionis.

Resepsionis yang berada dilantai ini hanya dikhususkan untuk menerima tamu yang ingin bertemu sang pemilik Addison. Tidak memperdulikan tatapan memuja resepsionis tersebut begitu melihatnya, Arlan berlalu begitu saja memasuki pintu ruangan yang bercat cokelat dengan ukiran didepan pintu Presiden Direktur.

“Good morning, mate,” ucap Grandpa yang duduk dikursi kebesarannya begitu melihat siapa yang masuk kedalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Wajah tuanya semakin mengeriput namun tidak membuat tubuh tuanya ikut mengeriput juga, malahan diusianya yang tidak lagi muda tubuhnya masih terlihat gagah. Seharusnya ia sudah tidak lagi mengurus perusahaan sebesar ini, seharusnya pula ia sudah duduk manis dirumah melihat cicit-cicitnya berebut ingin digendong olehnya. Dan membiarkan cucu-cucunya yang mengurus perusahaan turun temurun ini. Ah, membayangkannya saja sudah membuatnya menyunggingkan senyum tipis.

Mendengar sapaan pagi yang menurutnya menggelikan itu membuat Arlan memutar bola matanya sarkastik. Tidak memperdulikan kekehan dari sang Grandpa, Arlan duduk begitu saja dihadapan Grandpanya.

“Apa yang membuatmu datang kemari cucuku?”

Arlan mendengus, melepas kaca mata hitamnya. “Bukankah kau yang sudah menerorku pagi-pagi sekali.”

“Benarkah?”

Melihat wajah Grandpa yang dibuat seakan-akan terkejut dengan pertanyaannya, malah semakin membuat Arlan mendengus sebal. “Terserah apa katamu.”

“Baiklah. Baiklah, cucuku yang pemarah. Jadi… kapan kau akan memberikan aku cicit?”

“Jangan mulai Grandpa.” Arlan mendesis menatap tajam Grandpa.

Grandpa tertawa keras melihat raut wajah Arlan yang mengeras dengan rahang mengatup rapat. Sungguh mudah sekali cucunya yang satu ini digoda.

“Oke. Cukup. Nanti malam kau harus ada dirumah utama jam 7 malam. Eleora akan pulang dari Paris. Dan aku ingin semua keluargaku hadir.”

“Aku tidak bisa.”

Grandpa mengernyitkan keningnya, tidak heran kenapa Arlan menolak. “Kenapa?”

“Aku ada acara.”

“Apakah itu lebih penting dibanding berkumpul dengan keluargamu, Arlan?” Grandpa memajukan tubuhnya mengamati Arlan yang sedang melihat keluar jendela, mengamati bagunan-bangunan pencakar langit yang seakan bersaing ingin menunjukkan siapa yang paling hebat. “Berhentilah kau menghindari keluargamu, apalagi kedua orang tuamu. Mereka sangat menyayangimu,” lanjut Grandpa dengan suara lirih.

“Omong kosong.” Arlan menoleh dengan wajah mendecih.

“Arlan!”

Arlan bangkit berdiri, nyaris membuat kursi yang didudukinya terjungkal kebelakang. Dengan bunyi gemeletuk gigi, Arlan berucap tajam. “Berhentilah Grandpa mencampuri urusanku. Aku sudah menuruti kemauan Grandpa selama ini. Tapi tidak untuk yang satu ini.”

Grandpa ikut bangkit berdiri, tidak gentar dengan tatapan mematikan Arlan. Bagi orang lain yang melihat tatapan Arlan seperti ini, akan merasa takut. Tapi tidak dengan Grandpa. Tidak dengan kelurganya yang lain. Arlan tetap bocah kecil bagi mereka. “Sebegitu besarnya kah cintamu kepada-”

Belum selesai Grandpa menyelesaikan kalimatnya, Arlan sudah lebih dulu menjawab dan melangkah pergi meninggalkan Grandpa. “Aku pergi. Terima kasih atas waktunya.”

Grandpa menatap sedih punggung tegap Arlan yang menghilang dibalik pintu yang dibantingnya cukup keras. Apa ia salah jika ia ingin cucunya kembali. Kembali seperti dulu. Ia tau bahwa ini bukan kesalahan Arlan, melainkan kesalahan anak dan menantunya, Leonard dan Ariana, Ayah dan Ibu dari Arlan.

Tiba-tiba suara deringan ponsel miliknya begetar membuat ia tersadar dari lamunannya, bibirnya tanpa ia sadari menghembuskan napas lelah. Dengan berat hati, ia menggeser layar ponselnya.

“Bagaimana Grandpa?”

“Sepertinya aku gagal.”

Hembusan napas terdengar dari seberang telefon. Jika dipikir-pikir, Arlan sangat beruntung, banyak sekali orang-orang yang peduli padanya. Namun karena kejadian empat tahun yang lalu mebuat Arlan menutup mata dan menulikan telinganya.

“Tidak apa-apa Grandpa, kita akan mencobanya lagi. Oh ya, jangan lupa makan siang Grandpa. Jaga kesehatanmu.”

“Terimakasih Ken.”

“Aku mencintaimu Grandpa.”

“Kau seperti pencinta sesama jenis, tapi, baiklah, aku juga mencintaimu cucuku.”

Dan yang terkakhir didengarnya sebelum sambungan terputus adalah tawa kecil dari Ken. Ah, cucunya yang satu ini emang sangat menggemasakan.

***

Adriel Addison pemuda itu mendengus jengah diruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Matanya melirik jam tangan keluaran terbaru yang baru dibelinya minggu lalu dengan gusar. Cukup! Ini sudah melampaui batas. Sisa kesabarannya siduh habis. Ia menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Dalam hitungan ketiga sumpah serapah yang mendongkol dihatinya akan dikeluarkan dalam satu tarikan nafas.

“ALBERT ADDISON CEPAT SEDIKIT! AKU SUDAH TELAT BODOH!” Suara baritonnya dengan aksen khas menggema begitu saja didalam rumah utama keluarga besar Addison.

Ini sudah biasa. Sungguh.

Adriel mengatur nafasnya yang tersengal dan berbatuk kecil. Tidak butuh waktu lama suara gaduh Albert yang sedang menuruni anak tangga dengan kedua jemarinya yang sibuk merapikan rambut hitamnya yang terihat acak-acakan. Sangat cool.

Begitu sampai dihadapan Adriel yang memasang wajah sebalnya, Albert hanya menatap Adriel dengan tampang tak berdosanya.

“Kau berisik sekali dude,” lalu ia mendudukkan bokongnya dengan hentakan keras disamping Adriel yang saat ini sangat ingin membunuhnya.

Adriel mendelik tajam kepada Albert yang masih tersenyum manis padanya. Tanpa menunggu lama lagi Adriel segera menarik tangan Albert dengan kasar dan mengambil tas miliknya yang berada disofa lalu menyampirkan dibahunya. Albert melotot tajam, meronta-ronta mencoba melepaskan cekalan tangan Adriel.

“Hey, lepaskan tanganku. Aku bisa berjalan sendiri lagi pula aku belum sarapan,” Adriel menghentikan langkahnya tiba-tiba kemudian menatap tajam pada Albert yang cemberut sambil mengelus perutnya.

Tidak memperdulikan wajah Albert yang memelas ingin sarapan, ia langsung membukakan pintu mobil dan mendorong tubuh Albert kasar agar segera masuk kedalam.

“Kau seperti sedang menganiaya kekasihmu,” gerutu Albert sambil mengusap-usap tangannya yang bergesekan dengan pintu mobil.

Ucapan asal Albert membuat Adriel melotot tajam dengan refleks memukul kepalanya. “Aku ada jam kuliah pagi dan kau sangat lamban. Apa tadi itu? Kekasih? Hell, aku ini masih normal,” Adriel lalu memutari kap mobil dan mengendarainya menuju kampus tanpa memperdulikan umpatan Albert yang diberikan untuknya.

Mereka sungguh manis, bukan.

***

Eleora Addison menginjakkan kakinya kembali dibandara setelah dua tahun ia mengurus bisnis Fashionnya diParis. Betapa ia merindukan keluarga besarnya, terutama sepupu-sepupu tampannya. Pandangannya menyapu kesekeliling bandara mencari seseorang. Namun ponsel keluaran terbarunya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dengan kuku yang dilapisi kuteks berwarna merah, ia menggeser layar ponselnya.

1 New messages

Ken Stupid

Maaf aku tidak bisa menjeputmu. Restaurantku sedang ramai. Aku sudah mengirim sopir untuk menjemputmu. Hati-hati dijalan my girl. Aku mencintaimu xoxo

 

“Ken stupid. Adik durhaka. Aku membencimu.” Eleora menjerit kesal, menghentakkan kakinya yang dilapisi high heels duabelas cm.

Sementara serang wanita yang berada dibelakangnya sedang menggerutu tidak jelas seraya menarik koper miliknya dengan kasar. Seumur-umur baru kali ini ia menggeret kopernya sendiri, salahkan asistant sekaligus mangernya yang tidak ingin ikut dengannya karena ingin berbulan madu dengan suaminya. Siapa lagi kalau bukan Mommynya.

“Leo sebaiknya aku tinggal dihotel saja,” wanita dengan tubuh tinggi dan ramping itu bersuara pada Eleora yang biasa dipanggilnya Leo. Kaca mata goldnya bertengger cantik dihidung mancungnya.

“Tidak!” ucap Eleora mendelik kebelakang sedangkan wanita itu mengerucutkan bibirnya hendak menyahut tetapi suara Eleora lebih dulu menyela.

“Tidak ada protes Adara. Kau harus tinggal dirumahku, kau tahu bukan orang tuamu telah menitipkanmu padaku.”

Wanita yang bernama Adara mendelik tajam pada Eleora yang mutar bola matanya jengah. Namun tak urung mengikuti langkah Eleora dengan langkah tersaruk-saruk menggeret koper besarnya.

“Tapi aku bukan anak kecil yang harus dititipkan,” elaknya.

“Ya, tetapi kau adalah sahabatku yang manja dan menyebalkan.” ucap Eleora menampakkan senyum mengejeknya pada Adara yang melotot tajam padanya. Hampir saja Adara melepas sepatu high heelsnya dan meleparkan pada Eleora yang ada didepannya. Tetapi ia urungkan kembali begitu Eleora menoleh kebelakang mendelik tajam pada Adara.

Mobil Porsche Cayenne berhenti dihadapan Eleora dan Adara. Sang supir turun tanpa berkata apapun membawakan koper milik Eleora dan Adara kedalam bagasi, sementara Eleora dan Adara masuk kedalam mobil bagian penumpang.

Selama perjalanan mereka tidak berbicara sama sekali hanya terdengar suara musik saja yang mengalun indah didalam mobil tersebut. Hingga suara Eleora memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

“Kau ingin makan terlebih dahulu?” tanya Eleora menoleh kesamping yang dijawab anggukan oleh Adara yang sibuk memainkan ponselnya.

nurulalawiyah07

Pekerja keras.
I'm Beliebers and Justin's wife ????

16 Komentar

  1. Adara kah yg akan jd soulmatenya si arlan???

  2. menarik ceritanya

  3. penasaran masa lalunya Arlan..

  4. Penasaran sama apa yg terjadi dulu pd Arlan.. sampe segitu bencinya dia ke keluarganya.
    apakah berhubungan dg cinta yg tak direstui? :ragunih

  5. Bagus ceritanya :)

  6. Wow wow wow
    Aq baca dan ga terasa dah tbc ajahhhh hihi
    Emmmmm knp tuh arlan ampe sgtu benciny ama keluarga ny, jdi kepohhhhhhh hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs ya

  7. SunbellaNabila menulis:

    Kira2 knp si Arlan benci bgt sama keluarganya? Dan makin penasaran saat kakeknya mau ngomong sesuatu tapi di.potong hmhmmn gak sabar deh nunggu next nya? kutunggu ye

  8. penasaran sama lanjutannya :BAAAAAA

  9. Apa yg terjadi 4thn lalu?? Udah deg degan nihhh

  10. KhairaAlfia menulis:

    Apa yang terjadi 4 tahun lalu??
    Kenapa Arlan tidak menyukai orangtua nya??

  11. Ada apa dengan 4 tahun yang lalu :ragunih

    1. Kenapa yaaa

  12. fitriartemisia menulis:

    nahloh, ada apa dengan 4 tahun lalu?

  13. Bagusss

  14. Penasaran sama kelanjutannyaa

  15. Ditunggu kelanjutannyaaa