De Javu: Kemampuan Menerawang Masa Depan. Benarkah?

24 Juli 2017 in Vitamins Blog

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Adakah salah satu dari vitamins yang pernah mengalami Deja Vu? Aku pernah, dan itu lumayan sering terjadi. Salah satu aku sering pernah merasa melakukan sesuatu yang sebelumnya pernah kulakukan dan waktu maupun tempatnya sama persis. Jadi contohnya kaya aku lagi ngobrol sama temenku di depan kelas, dan aku ngerasa pernah melakukannya sebelumnya, atau semacamnya. Mau tau lebih jelas Deja Vu itu apa? Mari kita telusuri bersama.

Fenomena Deja Vu cukup banyak dialami orang. Dan orang awampun beranggapan bahwa Deja Vu adalah pengalaman mistik yang istimewa. Identik dengan kemampuan para cenayang untuk menerawang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Tapi di kalangan ilmuwan punya pendapat lain. Deja Vu dianggap bisa terjadi karena kelemahan seseorang dalam mengontrol dan mengakses memori otak.

Mungkin situasi seperti ini pernah atau sering kita alami. Misalnya pada suatu kesempatan Anda mengunjungi suatu tempat yang belum pernah Anda datangi, tapi anehnya Anda jadi merasa sudah akrab dan seakan-akan pernah berada di tempat itu. Atau mungkin suatu ketika Anda sedang bercakap-cakap dengan seorang teman, dan Anda pun jadi merasa juga bahwa percakapan itu sudah pernah dilakukan sebelumnya. Padahal Anda tahu bahwa itu sama sekali belum pernah terjadi. Jika situasi atau kondisi seperti itu terjadi pada Anda maka Anda dikatakan sedang mengalami Deja Vu. Suatu istilah yang diasosiakan sebagai perasaan bahwa pernah mengalami, merasakan, melihat, atau melakukan sesuatu yang justru pada saat itu baru dialami. Misalnya pada saat kita sedang melakukan sesuatu yang baru pertama kali kita lakukan, tapi perasaan kita menganggap bahwa sesuatu itu sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Lalu banyak orang yang mengatakan bahwa Deja Vu termasuk sebagai kemampuan untuk melihat masa depan. Apakah memang benar begitu?

Menurut penelitian, hampir 70% orang yang ditanya tentang Deja Vu menjawab bahwa mereka pernah mengalami Deja Vu setidaknya satu kali dalam hidupnya. Dan ada sekitar 40 teori yang mencoba untuk menjelaskan apa dan bagaimana Deja Vu bisa terjadi. Dari teori yang berkaitan dengan hal-hal mistis hingga teori yang berpijak pada proses memori yang bekerja di dalam otak manusia.

Istilah Deja Vu berasal dari bahasa Perancis yang secara harfiah berarti sudah terlihat. Menurut fenomena yang dialami, De Javu terbagi menjadi tiga. Yaitu Deja Vecu yang berarti sudah pernah mengalami, Deja Senti artinya sudah pernah merasakan, dan Deja Visite yang artinya sudah pernah melihat.

Seorang ilmuwan Perancis, Emile Boirac, adalah orang yang pertama kali mempelajari Fenomena Deja Vu dan Boirac juga yang menggunakan istilah Déjà Vu untuk menamakan fenomena seperti itu pada tahun 1876. Istilah Déjà Vu digunakannya dalam bukunya yang berjudul “L’Avenir des Sciences Psichyques”. Tapi Boirac tidak melakukan riset yang mendalam untuk mempelajari fenomena Déjà Vu sehingga bukunya itu tidak bisa dijadikan salah satu pegangan untuk menjelaskan bagaimana Déjà Vu bisa terjadi.

Mungkin penjelasan dari Sigmund Freud bisa dianggap sebagai teori yang pertama kali bisa diterima untuk menjelaskan bagaimana Déjà Vu bisa terjadi. Freud mengatakan bahwa penyebab terjadinya Déjà Vu dikarenakan keinginan dari kondisi psikis tertentu yang membuat orang tidak bisa mengakses memori otak dengan sebagaimana mestinya seperti jika dalam keadaan normal. Selama bertahun-tahun di abad 20 para ahli yang meneliti Déjà Vu berpegang pada teori Freud ini dan menyebutnya sebagai teori Paramnesia.

Banyak orang yang menggunakan istilah Déjà Vu tapi tidak untuk merujuk pada arti atau pengertian Déjà Vu yang sebenarnya. Yang umum terjadi dalam penyalahgunaan istilah Deja Vu adalah fenomena ini diartikan sebagai gejala Precognitif atau kemampuan melihat sesuatu yang akan terjadi. Para ahli yang mempelajari Déjà Vu pun memiliki definisi masing-masing untuk menggambarkan fenomena ini. Tapi pada umumnya fenomena Déjà Vu diartikan sebagai perasaan sudah pernah melihat atau mengalami sesuatu pada saat sesuatu itu sedang terjadi. Bukan sebaliknya.

Lalu, bagaimana dengan Déjà Vu yang didapat dari mimpi?

Beberapa orang peneliti, termasuk seorang ilmuwan berkebangsaan Swis, Arthur Funkhouser, sangat percaya bahwa mimpi precognitif merupakan pengalaman Déjà Vu yang paling banyak terjadi. JW Dunne, seorang engineer yang pernah merancang pesawat tempur pada Perang Dunia II, pada tahun 1939 melakukan penelitian dengan obyek para mahasiswa Universitas Oxford. Hasil penelitiannya menemukan bahwa 12,7 persen mahasiswa yang menjadi sukarelawan dalam penelitian itu mengaku pernah bermimpi tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Studi serupa yang dilakukan oleh Nancy Sondow pada tahun 1988 juga memiliki hasil angka yang hampir sama, yaitu 10 persen.

Para peneliti juga mendapati bukti bahwa mimpi precognitif ini merupakan pengalaman Deja Vu yang bisa terjadi dimana saja dari satu hari ke delapan tahun kemudian. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa pengalaman-pengalaman Déjà Vu yang mereka miliki mirip dengan kejadian-kejadian yang sehari-hari yang sudah sering dialami. Salah satu penjelasan dari Funkhouser adalah sesuatu yang lebih menarik menjadi lebih mungkin untuk diingat dan suatu saat itu membuat timbulnya sebuah pengalamanan Déjà Vu. Mereka (para pakar Deja Vu itu) menduga bahwa mimpi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Hanya karena kondisi psikis tertentu yang membuat memori para subyek penelitian mengatakan bahwa mereka pernah bermimpi tentang hal itu.

Bagaimana pun, dari dulu hingga kini, studi terhadap fenomena Déjà Vu tetap saja memberikan hasil yang kontroversial. Dan akhirnya para peneliti lebih berpijak pada disfungsi kinerja pada otak sebagai pemicu timbulnya pengalaman Déjà Vu. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh John Gabrieli dari universitas Stanford pada tahun 1997. Beliau menemukan bahwa Hippocampus (bagian dari otak) memungkinkan orang untuk selalu mengingat suatu peristiwa. Beliau juga menemukan bahwa parahippocampal gyrus (juga salah satu bagian dari otak) menyebabkan orang bisa menentukan apa yang terasa akrab (menarik atau menyenagkan) dan apa yang tidak. Kedua bagian dari otak itulah yang diduga sebagai penyebab timbulnya Déjà Vu. Itu bisa menjelaskan mengapa Déjà Vu paling sering atau banyak terjadi pada orang-orang yang berusia antara 15 hingga 25 tahun. Perbandingannya dengan kelompok usia yang lain mencapai angka 60 persen.

Para ahli masih berbeda pendapat tentang pengelompokan usia pemilik kecenderungan ber-Déjà Vu ini. Tapi secara umum mereka berpendapat bahwa semakin lanjut usia seseorang kemungkinan untuk mengalami Déjà Vu semakin berkurang. Juga telah didapati bahwa memiliki pendapatan tinggi, yang memiliki status ekonomi yang baik, dan orang-orang dengan latar belakang pendidikan tinggi, dilaporkan lebih sering mengalami Déjà Vu. Mungkin dikarenakan kelompok ini memiliki imaginasi yang aktif dan cenderung meletakkan impian atau pengharapan yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang termasuk dalam kelompok yang sebaliknya. Jika suatu saat imajinasi atau pengharapannya itu benar-benar terjadi, maka mereka biasanya cenderung merasakan bahwa hal itu sudah pernah dialaminya sebelumnya dikarena imajinasi atau pengharapan itu sudah sedemikian kuat melekat dalam memori otak mereka.

Semoga penjelasan Deja Vu diatas bisa membuat kita semakin paham apa sebenarnya Deja Vu itu. Semoga bermanfaat ya :)

Source: Google

Too Late (Oneshot)

12 Juni 2017 in Vitamins Blog

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Title  : Too Late

Author : Kalfa – keyxqueen 

Genre : Romance, Sad

Length : Oneshoot

Rated : T-14

 

WARNING: This story contain with typo(s), abalism, and full gajeness.

 

 I know, I know, she’s gotta be out there, out there
I know, I know she’s gotta be
Maybe I’m wrong
Maybe I’m right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I’ve known you all my life
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe.

 

***

Langit di sore hari kali ini mungkin bisa di bilang abstrak bagiku. Tidak panas dan tidak jugaterlalu mendung. Ini sudah hampir memasuki musim semi. Musim semi. Daun maple akan jatuh berguguran di pekarangan rumah dan terlihat sangat cantik jika dilihat di senja hari. Hmm, dan aku tak sabar untuk itu.

Aku melangkah dengan cepat melewati rumah demi rumah. Aku berjalan sambil menikmati desiran angin yang tampak menari-nari di sekitarku yang membuat beberapa helaian rambutku berterbangan. Angin musim semi. Entahlah, aku sangat senang dengan musim semi. Libur sekolah selama dua minggu menjelang musim semi dan menikmati daun maple yang jatuh berguguran di pekarangan rumah sambil menyantap secangkir cokelat panas.

Lamunan kuterbuyarkan begitu aku sudah sampai di depan rumahku. Aku tak begitu memperhatikan jika rumahku ternyata lumayan besar dan tingkat. Aku mulai membuka pagar rumahku yang besar itu lalu security di rumahku keluar dari pos penjagaannya dan tersenyum ramah padaku. “Baru pulang, Miss?”  dan aku menjawabnya dengan anggukan singkat lalu dia menjawabnya dengan anggukan juga.

Aku kembali berjalan memasuki halaman rumah ku dan menemukan mobil Sport kuning cerah yang terparkir rapih di garasi. Ada tamu di rumah? Siapa? Aku langsung berlari tergesa-gesa menuju pintu rumah lalu membukanya sehingga terdengar decitan pintu yang terbuka dengan begitu nyaring sehingga aku dapat melihat dua lelaki menoleh kearahku begitu aku sampai di dalam rumah.

Josh dan temannya…? Siapa lelaki itu? Aku belum pernah bertemu dengannya dan kupikir Josh belum pernah membawanya ke rumah. Ddari sekian banyak teman Josh, yang aku tahu hanyalah Jack, Gerrald, dan juga Adam. Sisanya, aku tak mengenal begitu dekat. Aku berjalan menuju ruang tengah lalu Josh dan temannya berhenti bermain PlayStation dan bangkit dari sofa lalu menghampiriku.

Oh astaga, jantungku berdegup kencang kali ini. Ada apa denganku?! “Karen, aku yakin bahwa kau sedang bertanya-tanya siapakah lelaki ini. Dia temanku dari Canada dan kemarin dia baru saja pindah kemari dan rumahnya juga tak begitu jauh dari rumah kita. Namanya, Dylan Jacobs. Dylan, ini adikku yang pernah ku ceritakan padamu.” Lalu Dylan tersenyum ramah padaku sambil mengulurkan tangannya yang seputih porselen.

“Hai Karen! Aku Dylan.” Aku meneguk ludah lalu menjabat tangannya. Tangannya begitu hangat dan juga lembut. Tanganku terasa nyaman di dalam dekapan tangannya.

“Senang bertemu denganmu!”Aku melepas jabatan tanganku darinya lalu menunduk tersenyum malu dan menatap jari-jari tanganku yang terlihat tak begitu mengkhawatirkan. Aku bisa merasakan bahwa ia mengangguk kali ini.

“Begitupun denganku.”Aku menengadah menatap sepasang bola mata cokelat hazelnya yang begitu indah dan mempesona. Aku bersumpah, bahwa matanya benar-benar menghipnotisku dalam sekali hitungan detik. Aku tak tahu bahwa kali ini aku begitu nervous untuk pertama kalinya hanya karena bertemu dengan teman Josh.

“Ng―Kurasa aku harus pergi ke kamar sekarang.” Ujarku malu-malu lalu Josh dan Dylan mengangguk setuju dan aku langsung berbalik menuju tangga yang menghubungkan langsung ke kamar ku. Aku mulai menaiki anak tangga dengan langkah yang cepat dan aku bisa merasakan Dylan masih menatap punggungku yang kini makin menghilang dari balik tembok.

Aku melangkah masuk ke kamarku dan menutup pintu kamarku dan menghirup udara di sekitar kamarku yang beraroma menenangkan dan mencoba menstabilkan detak jantungku yang berdegup kencang kini mulai kembali normal. Sialan. Kenapa tadi aku merasa begitu nervous untuk yang pertama kalinya pada teman Josh? Dari sekian banyak teman Josh yang pernah ku temui, hanya Dylan lah yang mampu membuatku merasa meleleh hanya dengan tatapannya.

Oh tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh menyukai Dylan dan apabila Josh tau akan hal ini, Josh sudah pasti akan meledekku habis-habisan. Dan aku tak pernah merasakan hal yang semacam ini. Apakah ini yang di sebut jatuh cinta pada pandangan pertama?

 

***

 

Aku sudah selesai mengganti pakaianku dengan T-shirt dan sweatpants ku. Aku kehausan dan aku butuh minum. Aku melirik meja belajarku dan baru menyadari bahwa botol air mineral yang kubawa tadi malam ke kamarku telah habis. Sebegitu hauskah aku sehingga aku mampumenghabiskan botol air mineral yang berisi satu liter? Geez, aku bergidik ngeri entah membayangkan apa lalu mulai bangkit dari kasur dan berjalan menuju dapur untuk menemukan sebotol jus jeruk. Kuharap ada sebotol jus jeruk di dalam kulkas.

Aku memutar kenop pintu kamarku lantas mulai menuju tangga dan menuruni anak tangga. Aku melirik ke arah sofa dimana Dylan dan Josh sedang bermain PlayStation tadi saat aku pulang sekolah. Namun, aku tak menemukan sesosok Dylan di sofa. Yang aku temukan hanyalah Josh yangsedang asyik bermain game Nascar di PlayStation-nya. Dan untuk sejenak, aku merasa kehilangan saat mengetahui tak ada Dylan disana. Ada apa denganku sih sehingga aku merasa kehilangan jika Dylan tidak ada disini?

Aku melangkah melewati Josh yang sedang asyik dengan PlayStation-nya tanpa menghiraukan ku yang lewat dan aku berjalan menuju dapur. Bayangkanku tak pernah lepas dari sebotol jus jeruk yang tampak segar dan menanti seseorang untuk meminum isinya. Namun lamunanku terbuyarkan dengan adanya seseorang yang sedang mencari minuman di dalam kulkas lalu sepasang bola mata hazelnya tampak kaget melihatku yang sedang menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi.

Geez, aku bisa merasakan bahwa ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku sehingga terasa menggelitik lalu jantungku kembali berdegup kencang seperti tadi. Astaga, ada apa dengan diriku?!

“Hmm, aku kehausan tadi dan Josh menyuruhku untuk mengambil sekaleng soda di kulkas. Kuharap kau tak keberatan akan hal itu.” Dylan menggaruk tengkuknya sejenak lalu tersenyum miring. Ia seperti maling yang ketangkap basah sedang merampok sebuah rumah mewah. Aku menjawab perkataannya hanya dengan mengangkat bahu kubahwa itu tak masalah.

Lalu dengan spontan aku menghampirinya yang sedang berdiri dengan garis kerutan di dahinya, bertanya-tanya apa yang akan kulakukan. Tentu saja mencari minuman segar di dalam kulkas. Dia menggeser posisinya berdiri dengan ke samping kulkas lalu meletekkan sikunya di meja bar sarapan. “Jadi, kau suka membaca novel yang ceritanya seperti apa?” Oh, dia memulai percakapannya. Dan tunggu sebentar….darimana ia bisa tahu bahwa aku senang membaca novel? Oh! Aku tahu, pasti ini dari si keparat Josh!

Aku mengangkat bahuku sejenak, “Hamlet. Pride and Prejudice. Atau The Sky Is Falling.”  Lalu dia meneguk sekaleng softdrink dengan hausnya dan itu tampak begitu seksi. Entah apa yang membuatnya seksi. Entah jakunnya yang terlihat naik turun. Aku meneguk ludahku sambil menatapnya melongo. Lalu ia kembali menyeka mulutnya yang kelihatan basah karna beberapa titik air soda yang menempel di sudut-sudut bibirnya. Aku langsung menggeleng cepat.

“Whoa! Kau suka membaca novel seperti Hamlet?” Tanyanya takjub padaku. Lalu aku mengalihkan pandanganku dengan mencari sebotol jus jeruk di dalam kulkas. Ya, itu adalah tujuan utamaku kemari. Bukannya melihat Dylan meneguk sekaleng softdrink-nya. Gotcha! Aku menemukan sebotol jus jeruk lalu membuka tutup botolnya dan meneguknya seperti orang kehausan. Ya, aku memang benar-benar kehausan setelah berjalan kaki beberapa mil dari halte bis menuju rumahku.

Aku lalu menangkap kedua bola mata coklat melelehnya itu yang ternyata sedang asyik menatapku minum seperti aku menatapnya minum sekaleng softdrink tadi. Uhm, tatapan itu membuatku nervous. Aku berhenti meneguk sebotol jus jeruk lalu menatapnya heran. “Memangnya aneh jika aku membaca novel semacam Hamlet?”

Ia mengangguk, “Tentu saja aneh. Kupikir remaja sepantaranmu lebih memilih membaca buku yang ceritanya tentang kisah cinta ala remaja jaman sekarang, bukannya cerita kuno macam Hamlet. Atau paling tidak menonton film drama yang menggelikan.” Ia menggeleng pelan dengan geli.

“Aku bukan seperti kebanyakan gadis remaja yang menghabiskan waktu hanya untuk film drama yang konyol seperti itu.” Tiba-tiba mood ku jadi hancur seketika begitu ia berbicara seperti itu. Kenapa bisa-bisanya ia menganggap aku seperti gadis remaja kebanyakan?

“Hmm, kupikir kau seperti kebanyakan gadis remaja jaman sekarang. Kalau begitu aku minta maaf.” Ia mengulurkan tangannya, meminta maaf seperti tadi saat ia mengulurkan tangannya padaku saat kami berkenalan dan tiba-tiba raut wajahnya seperti bersungguh-sungguh meminta maaf. Astaga, ini sungguh berlebihan. Tapi, jujur aku memang sempat kesal padanya jika ia pikir bahwa aku seperti gadis remaja kebanyakan.

“Well, lupakan yang tadi!” Dia tersenyum malu dan begitupun aku. Lalu semuanya menjadi hening di dapur. Ini membuat kami canggung.

“Hey Dylan, kau sudah dapatkan sekaleng sodanya?” Itu Josh! Demi Tuhan, aku sangat berterima kasih padanya dalam hati karena sudah membuat keheningan menghilang diantara kami.

Dude, apa yang kau lakukan disana hanya melihatku tanpa ekspresi? Ada yang salah? Dan oh! Kau harus ikut aku ke ruang tengah dan melihat mobil balapku ada di posisi pertama! Menakjubkan bukan? Aku tunggu kau di sofa!” Seru Josh lalu dia kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas panjang karena menahan napas tadi.

“Aku harus ke ruang tengah.. Bye!” Dan Dylan berbalik meninggalkan ku di dapur sendirian dengan keadaan tubuh membeku tanpa ekspresi menatap punggungnya yang sekarang telah menghilang di ujung belokan menuju ruang tengah. Sial―Sialan! Kenapa aku jadi begitu grogi di dekat dia? Cara dia menatapku, cara dia berbicara padaku, dan cara dia meminta maaf padaku tadi…. dan jujur saja, aku benar-benar tak pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta, jika ini apa yang di maksud jatuh cinta, maka aku akan… Ah entahlah.

 

 

Hari ini adalah hari minggu dan aku baru saja bangun dari mimpi abstrak ku. Aku mengerjapkan mata ku sejenak mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari ranjang. Aku menoleh ke samping melihat jam digital di atas meja yang menunjukkan pukul 08.25 am. Woah, mungkin ini adalah pertama kalinya aku bangun pagi di hari minggu. Biasanya aku akan bangun lewat dari jam itu di hari minggu. Ada apa dengan diriku sih?

Dylan Jacobs

Batin ku menggumamkan nama itu spontan. Woah, ini aneh. Kenapa akhir-akhir ini aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana ia tersenyum padaku, menjabat tanganku, caranya menatapku, dan semua yang ada dalam dirinya. Dan ini sangatlah aneh bagiku. Aku baru saja mengenalnya kemarin dan seketika aku jatuh hati pada dirinya. Dan sepasang bola mata cokelat madunya yang menatapku begitu intens. Aku berdecak lalu menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mungkin menyukai Dylan.

Aku tak menyadari bahwa aku kali ini tersenyum layaknya seorang idiot di ranjang ku. Perasaan ini begitu asing bagiku karena aku belum pernah merasakan perasaan yang seperti ini. Lalu aku mendengar suara Josh di lapangan dekat pekarangan rumah. Dia sedang bersama siapa? Aku lalu bangkit dengan cepat dari ranjangku dan menemukan sesosok lelaki yang hanya mengenakan kaos V-neck putih dan juga sweatpants berwarna kuning cerah dengan sepatu nike. Dylan. Dia begitu mempesona saat mengenakan pakaian itu dan juga aksinya yang sedang mendribble bola basket di lapangan.

Aku hanya tersenyum dari balkon kamar ku menyemangati Dylan dalam hati. Josh mencoba merebut bola dari Dylan namun nihil, Dylan sudah lebih dulu memasukkan bola ke dalam ring Josh. Dylan tersenyum senang lalu Josh hanya berdecak frustasi merasa kalah dan aku dengan spontannya langsung menyemangati Dylan dengan menyebut namanya. Seketika Josh dan Dylan menengadah ke atas dan menatapku. Dylan tersenyum senang lalu melambaikan tangannya padaku dan sementara Josh hanya mengernyit dengan tingkah ku ini.

Oh tidak, pipiku berubah memerah begitu malu ketika begitu semangatnya aku hingga menyoraki nama Dylan. Dylan hanya memberiku kode dengan tangannya yang mengisyaratkanku untuk turun ke bawah. Aku hanya mengangkat kedua bahuku lalu menurut dan aku masuk ke ranjang mencoba mencari handuk kecil untuk Dylan.

Dan setelah aku mendapatkannya, aku segera lari menuju ke tangga dan menuruni anak tangga dan melangkah cepat ke lapangan dekat pekarangan rumah. Geez. Jantungku hampir turun ke perut kali ini. Aku baru saja melihat Dylan sedang membasahi wajahnya dengan air mineral yang kini telah membasahi seluruh wajahnya dan bagian dada bidangnya. Kaosnya basah dan itu memperlihatkan lekukan otot tubuh Dylan. Aku meneguk ludahku untuk kesekian kalinya. Ini sangat…..menggoda.

Dylan menggelengkan kepalanya lalu menyeka titik air di dahinya. Lalu sebuah suara menyadarkan ku tiba-tiba. “Karen! Apa yang kau lakukan disana? Cepat kemari!” Itu bukan sebuah pertanyaan dan sekaligus sebuah perintah. Aku mengangguk samar lalu menghampiri Dylan dan Josh yang tengah duduk di tengah lapangan. Dylan menengadah ke atas menatap langit yang tampak begitu cerah hari ini.

Aku berjongkok disamping Dylan sambil memandangi wajahnya yang menawan dari samping. Hidungnya yang nampak mancung, dengan sepasang bola mata cokelat madu, dan bibir yang begitu menggoda. Aku menggeleng lagi untuk kesekian kalinya. Karen! Apa yang kau pikirkan terhadapnya?! Alam bawah sadarku tampak menggeram sejenak. Lalu aku berdecak.

“Ha―Hai..” Aku mencoba menyapa Dylan namun gagal, suaraku terdengar terbata-bata dan juga terdengar grogi, mungkin. Dylan tersenyum padaku. “Apa yang kau bawa?” Dia duduk menghadapku kali ini. Sialan. Perut ku terasa bergejolak dan merasakan ada ribuan kupu-kupu terbang mengelilingi perutku dan jantungku kali ini berdegup tak stabil seperti biasanya jika bertemu Dylan atau ketika sepasang bola mata cokelat madunya sedang menatap kedua bola mata cokelat gelapku.

“Ak―aku.. Ng―Membawakanmu handuk kecil untuk menyeka keringat mu.” Aku terbata-bata lagi namun akhirnya sedikit bisa menjawab pertanyaannya itu. Lalu dia melirik ke arah tanganku sambil mengisyaratkan ku untuk mengelapnya. Argh, dia ingin membuatku mati secara perlahan, ya? Aku bagaikan mentega di atas wajan yang lama kelamaan akan meleleh di atas wajan ketika kedua bola mata cokelat madu itu sedang menatapku intens dan begitu dalam.

“Keberatan untuk menyekanya, Karen?” Dia mengerling jahil padaku. Oh, dia sedang menggodaku, bukan? Aku menggeleng pelan lalu dengan tangan yang sebeku es tanganku memegang erat-erat handuk kecil itu dan perlahan mulai menyeka titik air keringat yang ada di pelipisnya lalu pipinya lalu dagunya lalu……tangan Dylan memegang pergelangan tanganku erat.

Ah sialan, kakiku gemetar bukan main, apalagi dengan tanganku yang sedang di pegangnya. Tatapannya terkunci pada sepasang bola mata cokelat gelapku. Tatapannya begitu intens dan juga meneliti, seakan sedang mencari sesuatu dalam mataku. Lalu dengan perlahan namun pasti, Dylan mempersempit jarak diantara kami.

Sial, sial, sialan. Jantung ku hampir mencelos keluar dari rongganya kali ini. Apa yang ingin Dylan lakukan padaku?? Geez. Aku menggigit bagian bibir bawahku dengan keras sehingga menimbulkan bercak putih karena gigi ku. Lalu suara Josh menyadarkan kami berdua.

Dude, apa yang kaulakukan?” Lalu dengan spontan Dylan berhenti dan menoleh ke arah Josh dan ia mengernyit pada Josh. Sialan, pipiku bersemu kemerahan kali ini. Apa yang baru saja Dylan ingin lakukan padaku? Jika saja Josh tidak bergumam sama sekali, mungkin sekarang bibir ku sudah ada di atas bibirnya. Oh tidak, tidak, tidak. Apa yang kau pikirkan, Karen?! Alam bawah sadarku kembali menggeram padaku. Aku menggeleng perlahan.

Dylan bangkit dari posisi duduknya lalu menggaruk tengkuknya yang mungkin terasa tak gatal lalu dengan malunya dia berkata, “Tidak ada apa-apa, dude! Tenang saja! Itu hanya gerakan spontan!” Aku yakin bahwa kali ini Dylan juga merasa malu luar biasa seperti ku. Lalu aku ikut bangkit menghadap Josh lalu Dylan secara bergantian. “Aku harus kembali ke kamar untuk mandi! Bye!” Dan dengan pipi masih bersemu kemerahan, aku lari menghilang dari pandangan Josh dan Dylan tanpa harus menunggu jawaban mereka.

 

 

Ini sudah seminggu aku dan Dylan tampak begitu dekat sekali. Kami berdua selalu berangkat dan pulang sekolah bersama walaupun ia pergi kuliah sedangkan aku ke High School, kupikir itu tak masalah. Ia selalu menjemputku tepat waktu dan ia dapat menggantikan posisi Josh yang biasa mengantar jemputku ke sekolah. Dan aku senang itu terjadi. Dylan juga menjadi sering datang ke rumah hanya untuk mengobrol denganku, membantuku mengerjakan tugas sekolah, atau bermain PlayStation dengan Josh.

Dan sekarang aku sedang melihat beberapa pesan singkat yang romantis dari Dylan. Walaupun kami tidakberpacaran, Dylan memperlakukan ku seperti aku adalah pacar-nya. Kami belum bisa mengungkapkan perasaan masing-masing kami satu sama lain. Aku juga tak berpikir bahwa ia menyukai ku bahwa pada dasarnya adalah aku kini hanya menganggap-nya sebagai kakak ku selain Josh.

Saat aku sedang asyik mengamati satu persatu pesan singkat-nya, aku merasakan getaran yang samar dari ponsel ku yang menandakan bahwa terdapat satu pesan masuk. Dari siapa itu? Aku langsung men-scroll ke atas untuk mencari tahu siapa yang mengirimi pesan singkat itu, lalu tertera nama Dylan di paling atas inbox bahwa dialah yang ternyata mengirimku pesan singkat, tanpa banyak basa-basi aku langsung membuka pesan singkat tersebut.

 

From: Dylan

Karen, I have to tell you something..

 

Apa yang ingin ia bicarakan padaku?? Lalu aku membalas-nya dengan cepat dan singkat pada Justinlalu menekan tombol ‘send’

 

To: Dylan

What do you want to say, Dylan?

 

From: Dylan

I doubt you will listen to me..

 

To: Dylan

I will, Dylan.. just tell me what do you want to say to me?

 

From: Dylan

I love you.. I don’t know why I love you.. I just love you. Aku tahu ini terlalu cepat bagimu tapi kurasa aku tak perlu menunggu waktu yang lama untuk mengatakannya padamu. Aku menyukai semua yang ada pada dirimu.Would you be my baby girl?

 

Aku merasakan perutku kini bergejolak bukan main yang menyalurkan rasa mual yang begitu kentara. Apakah Dylan baru saja menyatakan perasaan-nya padaku?? Oh tidak. Aku merasa bahagia sekaligus senang mengetahui itu namun di sisi lain, kurasa ini salah. Aku tak bisa mencintai Dylan. Aku hanya tak bisa. Usiaku yang jauh lebih muda darinya, dan aku hanya tidak bisa mengatakan ‘ya’ untuk ini.

Aku belum bisa menerimanya. Aku masih labil dan harus mempertimbangkan lebih jauh untuk ini…dan ku pikir perasaanku selama ini padanya hanyalah sebatas suka yang biasa-biasa saja. Buktinya, satu minggu belakangan ini, aku tak lagi merasakan perasaan aneh saat aku pertama kali bertemu dengannya, dan yang lebih mengagetkan lagi adalah, aku bahkan sudah menganggapnya sebagai kakak ku sendiri selain Josh. Dia hampir sama berlaku seperti Josh, hanya saja Josh kakak kandung ku.

Aku tak bisa menerima Dylan. Tidak. Tidak sekarang, kupikir. Lalu apa yang harus ku lakukan untuk mengatakannya pada Dylan? Aku yakin Dylan pasti akan kecewa jika mengetahui hal ini. Lalu aku harus berbuat apa? Aku juga tak bisa menerimanya sedangkan sekarang ini perasaan ku terhadapnya kini telah biasa-biasa saja. Aku tak bisa membuatnya menjadi pacarku. Aku hanya tak bisa.

Aku harus berbuat apa?? Oh Ya Tuhan. Apakah aku harus menjauhi-nya? Entahlah. Ku kira itu adalah jalan keluar yang satu-satunya harus ku lakukan.

 

Menghindari Dylan mulai detik ini.

 

 

1 Bulan Kemudian…

 

Sekarang adalah satu bulan setelah aku tak bertemu dengan Dylan lagi…dia menghilang. Setelah dia menyatakan perasaannya padaku lewat pesan singkat dan aku tak menjawabnya dan aku mencoba menghindarinya walaupun aku tahu ia masih belum menyerah untuk mendapatkan ku meskipun aku mencoba menghindari-nya. Namun, entah kenapa 4 hari setelahnya, Dylan menghilang tanpa jejak..

Aku tak dapat menanyakannya pada Josh tentang keadaan Dylan karena memang kebetulan Josh sedang di Paris untuk menyelesaikan kuliah di sana. Dan aku merasakan kesepian lagi. Aku kehilangan Dylan dan juga Josh. Sesosok kakak yang aku sayangi…namun aku berpikir lagi, perasaan ku terhadap Dylan bukanlah sebatas teman biasa lagi, namun perasaan ini… Astaga! Karen, kau sangat labil akan perasaanmu. Ah entahlah. Yang pasti sekarang aku merasa kehilangan setelah Dylan tak lagi datang ke rumah apalagi hanya sekedar menanyai kabar ku lewat pesan singkat.

Apakah aku kembali mencintai sesosok Dylan? Jika iya, aku sangatlah bodoh untuk mengabaikan tawarannya menjadi kekasihnya. Aku pikir, aku hanya akan menganggap Dylan sebagai teman biasa namun sekarang aku sadar bahwa aku kini telah mencintai Dylan. Tidak bertemu dengannya selama satu bulan membuatku merasa tersiksa.

Lalu apa yang kau tunggu lagi, Karen? Telpon Dylan sekarang juga! Alam bawah sadarku bergumam padaku. Apa yang ia katakan benar! Aku harus menelpon Dylan paling tidak hanya untuk mengetahui bagaimana kabarnya sekarang. Ya, aku harus lakukan itu.

Aku mulai naik keatas ranjangku mencari ponsel dan harus segera menelpon Dylan, sekarang juga. Aku mendial nomor ponsel Dylan lalu menelponnya. Yang dapat kudengar hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa panggilan tak di jawab. Geez, apa dia marah padaku karena aku telah menghindarinya? Aku kembali mendial nomor ponsel Dylan dan menelponnya. Dan lagi, lagi yang ada hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang di panggil tak lagi aktif. Sial, apa Dylan berusaha menghindari ku juga? Kumohon Dylan jangan lakukan itu..

Aku mencari ide yang tepat untuk setidaknya mengetahui bahwa Dylan dalam keadaan baik-baik saja, tapi aku harus berbuat apa?? Tiba-tiba sebuah lampu bohlam bersinar terang dalam otakku. Pergi ke rumah Dylan, sekarang!  Lalu mulai lari tergesa-gesa keluar kamarku dan menuruni anak tangga.

Aku ingat di mana rumah Dylan karena ia pernah mengantarkan ku ke rumahnya. Kuharap aku dapat menemukannya dalam keadaan baik-baik saja dan menemukan ia sedang tersenyum padaku dan aku harus cepat-cepat mengatakan bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

Lalu aku lari secepat mungkin menyusuri rumah demi rumah, dan ya! Aku telah sampai di depan rumah bergaya Victoria yang megah. Namun keadaan rumahnya kosong. Kemana orang-orang di dalam rumah Dylan? Aku sangatlah yakin bahwa Dylan pasti sedang tak ada di rumah. Lalu apalagi yang harus kuperbuat untuk mengatakan padanya jika aku juga mencintainya?

Mengiriminya pesan singkat? Oh tidak, tidak. Nomornya sudah tak lagi aktif. Tapi―jika aku mencoba hanya untuk mengirimnya pesan singkat, tak ada salah-nya! Who knows, dia akan menjawabnya walaupun ku pikir itu terdengar mustahil tapi aku harus berusaha.

Aku kembali lari pulang ke rumah untuk mengirimkan pesan singkat pada Dylan. Aku sudah sampai kamarku dan mencoba meraih ponselku dan menekan singkat pesan pada Dylan lalu ku tekan tombol ‘send’ yang tertera. Kumohon jawab, Dylan! Ku mohon!

Tak terkirim karena ternyata memang benar bahwa nomer ponselnya tak lagi aktif. Aku mulai terkulai lemas di atas ranjang. Harapanku telah hilang. Kemana Dylan? Aku mencintai-nya. Dan dia harus tau hal ini satu hal. Ya Tuhan, ku mohon sampaikan pesan ku ini padanya bahwa aku mencintainya. Sangat-sangat mencintai Dylan. Aku tak mencoba untuk menghindarinya namun hanya saja… Aku tak tahu pada perasaan ku ini namun kurasa, perasaanku pada Dylan kembali tumbuh.

Sialan. Aku tak menyadari bahwa kini air mata ku menetes menjatuhi tangan ku yang terasa begitu beku. Aku merasa kehilangan dirinya kali ini. Apa yang harus ku perbuat selain menangisinya seperti ini? Aku sungguh harus bertemu dengannya kali ini. Demi Tuhan, aku tak mau kehilangannya. God, demi apapun tolong jaga Dylan dan pastikan bahwa dia baik-baik saja..

 

***

 

Aku dapat merasakan cahaya matahari mencoba menorobos gorden kamar ku yang besar ini. Aku mengerjapkan mataku sejenak. Rasanya begitu berat dan aku menyentuh mataku yang tampak lengket. Oh sial, aku menangis semalaman ini? Aku langsung melangkah menuju meja rias dan menemukan sesosok gadis dengan wajah polos dan lugu dengan mata yang sedikit bengkak dan juga marah.

Aku tak menyadari bahwa aku telah menangisi Dylan. Tapi aku benar-benar merasa kehilangan dia. Aku tak bisa melakukan apapun selain menangisi Dylan. Dadaku masih sesak. Oh Tuhan, kenapa rasanya sebegitu menyakitkan?!

Aku melangkah keluar kamar lalu menuruni anak tangga dan menemukan Josh sedang duduk di sofa dengan keadaan kepala menduduk dan dengan tangan terkepal dengan urat-urat biru yang menonjol jelas di permukaannya. Astaga, sesuatu yang aneh telah terjadi. Aku dengan tergesa-gesa segara melangkah cepat menghampiri Josh.

“Josh, ada apa?” Aku mulai panik setelah menemukan Josh ternyata menangis, untuk pertama kalinya. Ada apa?! Aku makin panik. “Josh, katakan padaku apa yang terjadi!” Aku mengguncang-guncang kan kedua bahu Josh namun Josh tetap tak berkutik.

“Josh, kumohon. Katakan apa yang baru saja terjadi!” Aku tetap terus mengguncang-guncang kan bahu Josh. Ah, ya Tuhan. Sebenarnya ada apa? Josh menengadah menatap sepasang bola mata cokelat gelap ku dengan gigi terkatup rapat dan, Astaga! Sepasang bola mata hijau milik Josh tampak merah. Aku yakin ia baru saja sedang menangis, tapi bukan menangis biasa…

Keadaan Josh yang seperti ini begitu membuatku makin panik. Sebenarnya ada apa?! Lalu Josh menyodorkan sepucuk kertas putih. Ada apa? Lalu aku mulai membukanya dan mulai membacanya…

 

Dear Karen,

Aku tahu bahwa kau tak akan membaca surat ini. Aku sangat meyakini ini, namun aku hanya ingin mengatakan mu padamu lewat surat ini. Kau harus tahu bahwa aku sangat-sangat mencintai mu dengan sepenuh hati ku. Namun aku tahu kau tak akan pernah membalas perasaan ku ini atau membaca surat ini. Aku tahu. Dan kau harus tahu bahwa aku sangat suka ketika melihat wajah polos mu itu dan sepasang bola mata cokelat gelap favorit ku. Aku tak akan pernah melupakan tatapan itu. Aku masih mengingat saat aku membelikan mu sebuah boneka teddy bear kesukaan mu. Ku harapkau masih menjaganya dengan baik. Dan kau tahu mengapa aku menyatakan perasaanku padamu begitu cepat? Karna aku akan pergi…. Jauh…. Dan tak akan pernah bisa menemukan mu lagi. Maka dari itu, aku ingin kau menemani sisa hidup ku. Aku rapuh. Dan kau lah penyemangat ku. Aku merasa begitu hancur lebur saat kau tiba-tiba menghindari ku. Ada apa? Aku sangat mencintai mu, Karen. Sampai Tuhan memanggil ku untuk segera berada di samping-Nya begitu cepat….Aku masih mencintai mu. Maafkan aku jika aku mempunyai kesalahan padamu. Dan aku tahu bahwa seharusnya tak mengatakan ini padamu namun ku pikir, aku harus mengatakannya. Maaf, jika aku pergi terlalu cepat.. 

Aku mencintai mu, Karen….hingga akhir hayatku.

 

Love,

Teman terbaik mu yang sangat mencintaimu.

 

Aku menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak, tidak! Dylan telah pergi? Tidak mungkin. Mustahil. Aku tak bisa membendung air mataku di balik kelopak mataku yang telah keluar membanjiri pipi ku ini. “Apa yang telah terjadi pada Dylan? JOSH, KATAKAN PADAKU!” Aku menjerit, mencoba meyakini bahwa ini hanyalah mimpi buruk ku yang tak kuharapkan.

“Dylan telah meninggal karena penyakit kanker. Penyakit sialan itu yang telah membuatnya pergi terlalu cepat.” Josh menggelengkan kepalanya lalu memegang erat-erat rambut cokelat pirangnya dan menariknya perlahan dan menggeleng frustasi. Aku menggigit bibirku keras-keras hingga aku dapat merasakan rasa asin di bibirku. Bibirku berdarah. Ah, peduli setan pada bibirku ini. Yang terpenting sekarang adalah aku harus menemukan Dylan, sekarang juga.

“Josh, katakan padaku dimana pemakaman Dylan! Aku harus menemuinya sekarang juga!!” Aku mengguncangkan bahu Josh lalu dengan gerakan yang spontan Josh menarik pergelangan tangan ku keluar rumah ke garasi lalu Josh menuntunku untuk masuk ke mobil Lamborgini miliknya. Aku masih dengan air mata yang makin mengalir deras, merasa dadaku sangat sesak bukan main. Sungguh, aku menyesal telah menghindari Dylan, lalu sekarang semuanya sudah terlambat, apa yang bisa ku perbuat hanya dengan menangis? Semuanya hanyalah sia-sia. Jika aku menangisi Dylan, sampai kapanpun ia tak akan pernah datang dan memelukku tiba-tiba. Mustahil.

Josh membelah jalanan raya New York dan mulai menginjak pedal gas dengan kecepatan yang di atas ambang rata-rata. Dia sama emosi-nya dengan ku dan aku paham hal itu. Dylan adalah sahabat terbaik-nya lalu wajar jika ia merasa sangat kehilangan sepertiku. Aku kembali mengumpat kesal atas perbuatan ku yang sangat-sangatlah bodoh. Aku bodoh. Idiot. Mengapa aku setidaknya berpikir bahwa aku tak seharusnya menghindarinya, aku harusnya menemani Dylan saat detik-detik ia akan pergi jauh dan tak akan pernah bertemu denganku lagi.

Langit begitu gelap dan sendu, sama seperti suasana hatiku sekarang ini. Sialan. Aku membanting kepala ku ke jok mobil merasa sangat bersalah mengabaikan Dylan. Ya Tuhan, Kau tak menyampaikan pesan ku pada Dylan? Aku berdecak frustasi pada kenyataan sekarang. Aku benci menangis namun aku tak bisa berhenti menangisi Dylan.

Josh dan aku telah sampai di sebuah pemakaman. Aku dan Josh segera melompat keluar dari dalam mobil untuk segera menemukan dimana batu nisan Dylan. Aku berjalan lunglai setelah menemukan batu persegi kelabu bertuliskan Rest In Peace Dylan Blue Jacos yang tertera disana. Duniaku seakan jatuh runtuh hingga tak menyisahkan apapun. Aku menepuk pipiku sejenak bahwa aku ingin memastikan ini hanyalah mimpi buruk yang tidak kuinginkan hadir dalam mimpi ku namun pada kenyataannya aku tengah bertekuk lutut di hadapan batu nisannya. Ini sungguh tidak adil. Aku bodoh, benar-benar bodoh. Bagaimana bisa aku mengabaikan Dylan jika seperti ini akhirnya?

Aku menggeleng keras dengan air mata masih mengalir di pipiku. Aku…aku benar-benar kehilangannya kali ini.

“Dylan, aku mencintai mu. Sangat-sangat mencintaimu. Kau tahu ini!” Aku menggigit bibirku keras-keras mencoba menghilangkan rasa sesak yang menjalar di seluruh paru-paru ku namun nihil. Pada kenyataannya aku benar-benar sesak nafas yang benar-benar membuat punggung ku turun naik dan mencoba menghirup oksigen.

Aku……mencintaimu…….Dylan…..

 

 

 

THE END.

 

 

 

===

 

A/N:  Haaiiiii aku balik lagiiii :) Kali ini aku post oneshot ku lagi. Sama seperti 2 oneshot ku yang sebelumnya, ini juga cerita yang udah lama banget. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Karena masa-masa SMP itu masa-masanya aku lagi seneng banget nulis. And guess what?? Tulisanku ini juga salah satunya terinspirasi dari Sairaakira waktu jaman-jamannya Azhura’s Bride. Waktu itu aku sangat mengagumi cerita AB dari cara penulisannya yang WOW banget :’) Hah, sudah lama sekali rupanya. Pokoknya ya gitu deh, hehehe. Oiya, banyak yang minta oneshot ku untuk dijadiin cerita yang berchapter. Dan sekali lagi, maaf banget aku ga bisa mengabulkan permintaan kalian. Karena berhubung oneshot yang aku post dari kemarin itu adalah cerita-cerita ku yang udah lamaaaaaa banget dibikinnya. Disini aku cuma iseng pengen ngepost aja. Bikin cerita yang berchapter menurutku bukan perihal yang mudah. Butuh tau nanti alurnya kek gimana, trus konfliknya, endingnya, wah dan yang pasti super ribet. Berhubung aku ini tipikal orang yang melakukan sesuatu berdasarkan mood atau suasana hati, jadi kalo aku buat ceritanya sesuai mood, nanti malah hasilnya ga pasti. Karena aku udah tau gimana rasanya bikin cerita yang berchapter. Dulu aku juga sempet buat cerita yang berchapter dan alhasil belum nyampe setengah udah terbengkalai. Maka dari itu, aku bisanya cuma buat oneshot aja, hehehe. Harap maklum ya vitamins :)

Sooo, i think that’s enough ya. Masih ada dua oneshotku lagi di dokumen, hmm kalian mau baca apa nggak? Komen aja yaa. Tapi kalo ga ada yang mau baca juga gapapa, maklum lah cerita receh hohohohoo :’)

See you in the next story and blog! Have a nice day and happy fasting, Vitamins :)

 

Lots of Love,

Kalfa♡

That Should Be Me (Oneshot)

7 Juni 2017 in Vitamins Blog

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Title            : That Should Be Me

Author       : Kalfa – keyxqueen

Genre         : Friendship, hurt, romance

Length       : Oneshot

Rate            : T-14  

Cast            : Clara Belle, Kyle O’Conell, etc.

 

Seperti oneshot ku yang kemarin, ini salah satu cerita lama ku yang dibuat lima tahun yang lalu. Jadi maaf kalau ada banyak typo(s), kegajean, dan unsur abalism di dalam cerita ini.

Happy reading guys! :) 

 

 

— 

 

Clara Belle. Perempuan berumur 17 tahun ini masih hanyut dalam tidur nyenyaknya di atas ranjang yang empuk tanpa memperdulikan dentingan keras jam weker yang terdapat di atas meja, di samping ranjangnya itu. Ia mengerjapkan matanya sejenak lalu dengan keadaan setengah sadar, ia mulai meraih jam wekernya lantas membantingnya ke meja yang ada di samping ranjang-nya itu, dengan keras.

Bug

Clara masih membantingnya dengan keras ke meja. “Jam weker bodoh!! Kau menganggu ku tidur, tau!” Gertaknya kesal sambil terus menerus membantingnya lalu melemparnya ke dinding kamarnya yang terlapis wallpaper berwarna biru terang.

Kebiasaan pagi yang sangat buruk, memang. Ia sudah biasa membanting atau melempar jam weker yang padahal baru saja di belikan bibinya kemarin karena dua hari yang lalu, ia juga membanting jam wekernya ke dinding.

Setelah Clara puas membanting jam wekernya itu ke dinding sehingga tak ada lagi dentingan yang akan membangunkannya kali ini, ia mengedarkan pandangannya sejenak ke sekeliling kamarnya memastikan tak ada gangguan untuk kali ini dan tak sengaja, matanya melirik ke arah jam dinding. Dengan spontan, matanya terbelalak seakan-akan ingin jatuh saat itu juga. “Geez, sekarang sudah jam setengah delapan?! Are you kidding me?! Oh shit!” Umpatnya kesal.

Sekarang sudah jam setengah delapan, itu berarti, setengah jam lagi ia akan ketinggalan bis sekolahnya. Ia panik, benar-benar panik sekarang. Dengan gerakan secepat kilat, ia bangkit lalu segera menerobos pintu kamar mandi lantas menggosok giginya lalu membasahi permukaan mukanya yang terasa begitu lengket.

“Aku mandi setelah pulang sekolah saja!” Gerutunya sambil mengusap mukanya dengan handuk kecil yang tergantung bebas di dekat pintu.

Setelah dari kamar mandi, dengan gerakan serampangan, Clara lalu mengganti t-shirt bertuliskan, “What The Hell?!” di bagian depan dan juga celana jeans berwarna biru. Clara memang tak punya style seperti kebanyakan gadis-gadis di sekolahnya yang terbiasa memakai baju ala wanita-wanita manja. Ia pikir, berpenampilan biasa seperti ini sudah cukup kelihatan bagus.

Oh, dan tak lupa dengan sepatu all-star berwarna merah dan topi rajutannya. Ia memang sudah biasa memakai topi rajutan buatan ibunya itu. Ibunya, Miss Grace tewas saat kecelakaan di Chicago bersama suaminya, Mr. David dua tahun lalu. Ia sekarang tak bisa lagi memakai topi rajutan yang baru buatan ibunya karna kecelakaan itu. Ia sekarang juga tinggal bersama paman dan bibinya di Canada.

Ia sempat termenung sejenak mengingat ibu dan ayahnya itu dan tak sadar jika butiran bening jatuh dari balik kelopak matanya. Oh shit, ia seharusnya tak boleh terus terpukul karna kedua orang tuanya. Ia sudah tenang di alam sana.            

Dengan spontan, Clara menghapus jejak air matanya lalu mengambil tas selempangnya yang terdapat di atas meja belajarnya itu. Clara menuruni anak tangga dan langsung dapat melihat Laura, bibinya sedang menyiapkan sarapan pagi. Benar-benar mengingatkannya pada ibu. Miss Grace melakukan hal yang sama seperti Laura jika di pagi hari. Ya, menyiapkan sarapan pagi untuknya dan juga ayahnya itu. Namun, ia sekarang sudah tak dapat melihat ibunya menyiapkan sarapan pagi untuknya dan memberikan kecupan yang hangat di pagi hari. Ya semua itu tak akan pernah ia rasakan lagi.

Good morningsweetheart.” Sapa Laura ramah pada Clara. Clara hanya bisa melemparkan senyuman yang kaku pada Laura. Entah apa yang sedang Clara rasakan pagi ini, ia memang sedang dalam mood yang tidak baik kali ini. Laura mengernyit sejenak atas tingkah aneh Clara.

“Kau kenapa?” Tanya Laura heran pada Clara. Tingkah Clara pagi ini memang aneh. Ia tak biasanya menunjukkan raut wajah abstrak seperti itu. “Kau sedang memikirkan apa, honey?” Tanya Laura lagi pada Clara untuk memastikan bahwa Clara baik-baik saja. Clara hanya menggeleng pelan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Laura.

“Baiklah, kuharap kau baik-baik saja.” Sahut Laura sambil mengoleskan madu di atas roti lantas memberikan roti tersebut pada Clara. “Aku baru saja membelikan madunya tadi malam di supermarket untukmu. Kau suka madu, kan?” Ujap Laura basa-basi namun Clara masih saja tetap terdiam entah apa yang sedang di pikirkannya. “Hey, kau tak apa? Kenapa kau daritadi hanya melamun saja? Kau tak suka dengan madu yang ku belikan, ya?” Laura menggigit pelan bibir bawahnya yang lembab karna polesan lipstick nya itu. Lagi-lagi Clara terdiam melamun.

Laura lantas melambaikan tangan mulusnya itu tepat di depan wajah Clara. “Agh―uhm.. ada apa?” Tanya Clara tergelagap. “Kau sedang memikirkan apa? Daritadi melamun saja.” Clara menunduk sebentar lalu menoleh ke arah Laura. “Aku tak apa-apa. Mungkin aku lelah karena tadi malam aku tidur larut malam karna mengerjakan semua PR ku. Kau tak perlu khawatir.” Ucap Clara seraya menepuk bahu Laura pelan sambil melemparkan senyuman hangat pada Laura. Laura tersenyum lalu mengangguk mengerti.

Tak sadar, bahwa kali ini klakson bis sekolahnya terdengar nyaring di depan halaman rumah. “Oh, kukira sekarang aku harus berangkat sekolah.” Clara lantas bangkit dan langsung pergi keluar untuk membuka pintu. “Hati-hati!” Ucap Laura sambil melambaikan tangannya pada Clara yang kini sudah menghilang dari balik pintu.

Dengan gerakan terburu-buru, Clara langsung membuka pintu bis sekolah itu lalu masuk ke dalam. “Maaf jika lama menunggu, Tay.” Ucap Clara pelan pada sopir perempuan itu, namanya Taylor. “Tak apa, lagipula sekarang masih pagi. Sekarang cepat cari tempat dudukmu.” Ujar Taylor sambil mulai mengendarai stir bis.

“Baiklah.” Clara mengangguk pelan lantas mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang kosong. Kali ini keadaan di dalam bis tak begitu gaduh seperti biasanya. Sepi. Hanya ada beberapa orang di dalamnya. Ya, yang di katakan Taylor benar. Sekarang masih pagi, dan belum terlihat ada beberapa murid yang biasanya membuat gaduh dalam bis.

Clara menemukan tempat duduk yang kosong yang posisinya berada di tengah. Clara lalu menghampirinya lantas duduk disana. Clara menghela napas sambil merogoh tas selempangnya, mencari iPod nano miliknya di dalam sana. Setelah menemukan gadget tersebut, ia langsung menyumpal kedua lubang telinganya dengan headset yang sudah tersambung pada port iPod itu.

Mendengarkan lagu country di pagi hari, kedengarannya ide yang bagus.  Lalu Clara memutar lagu Taylor Swift yang judul lagunya, Love Story. Setelah lagu tersebut mengalun sempurna di telinganya, ia mengalihkan pandangannya melihat ke arah jendela luar, melihat keadaan jalanan yang tampak masih sepi sekarang.  Clara menghela napas sekali lagi lalu mulai memejamkan matanya. Ia dapat merasakan hamparan angin pagi yang terasa begitu sejuk dari kaca mobil bis sekolah ini. Clara sangat senang saat-saat seperti ini. Saking asyiknya merasakan angin pagi itu, tiba-tiba tangan kekar nan berotot menepuk bahunya pelan dan Clara tersentak. Ia melepaskan headset dari lubang telinganya lalu menoleh ke asal tangan yang menepuknya itu.

“Kyle! Kau mengagetkanku, tau!” Clara mendengus keras lantas mendelik ke arah Kyle yang kelihatannya tampak konyol. “Ha-ha, aku senang melihatmu kaget seperti itu! Sangat lucu!” Jelasnya sambil tertawa hambar. “Hell, apa yang lucu? Mengagetkan orang kau bilang itu lucu?” Clara menatap kedua bola mata hazel milik Kyle dengan kening mengerut. “Erhmm―” Kyle tergelagap melihat bola mata biru terang milik Clara yang menatapnya menohok.

“Apa? Kau mau bilang apa?”

“Tidak jadi.”

“Bagus kalau begitu.” Ujar Clara tersenyum puas lalu kembali memasangkan kedua headset ke lubang telinganya lantas mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Hey, hari ini aku ingin menyatakan perasaanku pada seseorang, apa kau mau membantu?” Belum Clara memutar lagu di iPodnya, Kyle kembali berseru. “Aku ingin menyatakan perasaanku pada Stella.” Deg. Clara menoleh ke arah Kyle dengan cepat, bahkan terlanjur terlalu cepat.

“Kau bilang apa barusan?” Tanya Clara seakan tak mendengar dengan apa yang di katakan Kyle barusan. “Aku bilang, aku ingin menyatakan perasaanku pada Stella.” Dum. Seakan ada sesuatu yang baru saja hancur berkeping-keping dalam hatinya. Ada apa ini? Kenapa rasanya bernapas sulit sekali? Tadi Clara baik-baik saja. Ia bahkan dapat bernapas lega dan dapat menghirup udara sejuk di pagi hari. Kenapa sekarang rasanya sulit?

Clara hanya membeku di tempatnya mendengar pernyataan Kyle barusan. Kyle lantas menoleh ke arah Clara dengan tatapan heran. “Kau baik-baik saja?” Bodoh, idiot. Tentu saja Clara sedang tak baik-baik saja. Clara sakit saat mendengar pernyataan Kyle. Mood Clara sedang buruk pagi ini, di tambah lagi mendengar kata-kata Kyle yang membuat moodnya makin hancur.

“Hey, apa kau baik-baik saja?” Tanya Kyle lagi pada Clara. Jelas-jelas Clara tak suka dengan Stella, apalagi sekarang Kyle ingin menembak gadis tengil macam Stella. “Apa kau yakin dengan pernyataanmu barusan bahwa kau ingin menyatakan perasaanmu pada Stella?” Clara kini membuka suara dengan nada bergetar. Entahlah, rasanya sulit bernapas, apalagi berbicara.

“Yeah, aku sangat yakin. Aku jatuh hati padanya.” Deg. Lagi-lagi. Cukup Kyle, cukup. Aku tak kuat mendengarnya. Clara membatin. “C’mon, Kyle! Apa kau yakin? Stella sangat menyebalkan, kau tahu! Aku benci padanya!” Clara menggigit bibir bawahnya perlahan sambil menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh ulu hatinya.

“Tapi aku tahu kok, sebenarnya Stella baik.” Jika bisa Clara berteriak saat itu, Clara tak segan-segan akan berteriak sekencang mungkin, kalau perlu di depan muka Kyle. Clara benar-benar tak kuat. “Apa kau perlu bukti bahwa Stella itu licik dan menyebalkan, hah? Dia bahkan hampir saja mempoleskan lem perekat pada kursiku jika saja Steven tak memberitahuku. Kau itu bodoh atau bagaimana, sih?” Clara coba meyakinkan bahwa Stella bukanlah gadis baik, tak seperti apa yang di pikirkan Kyle.

“Oh ayolah, dia baik, cantik, kapten cheerleader pula. Aku menaksirinya sejak di bangku kelas sepuluh.” Shit. Berhenti memuji Stella, Kyle. Kini Clara membatin lagi. Clara sudah cukup mendengar argumen-argumen tentang Kyle yang tak habis-habisnya memuji Stella. Clara mendengus keras lalu memasukkan kedua headset kembali ke lubang telinganya. Setelah men-setting fitur shuffle, ia langsung memperkencang volume iPodnya. Ia sengaja melakukan itu agar ia tidak dapat lagi mendengar apa yang Kyle ucapkan padanya saat memuji Stella.

“Clara! Tolong dengarkan aku!” Pinta Kyle yang kini mengoyak-oyakan tubuh Clara pelan. Clara hanya mengabaikannya lalu kembali bernyanyi sekeras-kerasnya agar Kyle bungkam. “Sialan.” Umpat Kyle pelan, tak ada satupun yang mendengar umpatan Kyle selain Clara. Namun Clara tetap mengabaikannya. Ia tak mau berdebat dengan sahabatnya sendiri. 

 

— 

 

Kring

Kring 

Bunyi bel sekolah yang menandakan pulang sekolah tiba itu berbunyi keras hingga terdengar di seluruh koridor sekolah. Clara menghela napas lalu memasukkan buku-buku pelajaran ke tas selempangnya.

“Hey gadis hipster.” Ejek Stella dan kawan-kawannya pada Clara seraya berjalan menuju keluar kelas dengan tertawa mengejek. Clara mendelik ke arah Stella dan gengnya. Rahang Clara mengeras lalu mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya tampak kelihatan membiru disana. Kill ‘em with kindness. Kata-kata tersebut tiba-tiba langsung mengiang di pikirannya. Oh ya, kata-kata yang sering di ucapkan Kyle saat Clara hendak akan menonjok wajah mulus Stella itu.

Entah kenapa, Clara seakan terhipnotis dengan kata-kata itu. Kyle selalu punya caranya sendiri untuk membuatnya merasa nyaman dan tenang. Dan lagi-lagi Clara kembali teringat akan kata-kata Kyle tadi pagi bahwa ia akan menyatakan perasaannya pada Stella hari ini. Sial. Kenapa bisa Kyle menyukai sosok nenek sihir macam Stella sih? Bagaimana jika Stella menolak Kyle mentah-mentah? Ah, tidak mungkin. Pasti Stella akan menerimanya dengan senang hati. Lagian kan, Kyle banyak di lirik gadis-gadis di sekolahnya dari junior bahkan sampai seniornya. Tapi bagaimana jika Stella hanya memanfaatkan Kyle bukannya mencintai Kyle dengan sungguh-sungguh? Ah, tidak, tidak. Apa yang sedang Clara pikirkan sih?

Ia mulai bangkit dari tempat duduknya lalu menemukan sosok Kyle di depan kelasnya. Clara tersenyum sejenak. Kyle tak biasanya sehabis bel pulang sekolah berbunyi langsung tiba-tiba ke kelas Clara. Biasanya, ia menunggu di halte depan sekolah atau menunggunya di lapangan basket. Atau memang Kyle sengaja ingin menunggunya atau bagaimana? Entahlah.

Clara kembali melirik sosok Kyle di depan kelasnya lalu tersentak sejenak saat Kyle membawa setangkai bunga mawar merah di belakang punggungnya lalu menghampiri Stella dan kawan-kawannya. Oh astaga, Kyle jangan lakukan itu. Clara mengumpat dalam hati lalu ia menghentakkan kakinya keras-keras di ubin berwarna putih di kelasnya itu.

Dan sialnya lagi, Stella bahkan menerima bunga tersebut dari Kyle lantas mengangguk mantap dengan apa yang di bicarakan Kyle pelan lalu menggandeng lengan Kyle dengan manja. Sial, sial, sialan!! Umpat Clara kesal.

Bagaimana bisa sih Kyle benar-benar melakukan itu? Ia pikir, Kyle hanya berpura-pura dengan omong kosongnya tadi pagi. Clara menggigit bibirnya keras-keras menahan rasa sakit dan sesak sedaritadi. Ada apa dengan Clara sih? Apa jangan-jangan Clara jatuh hati pada Kyle? Oh yang benar saja. Jatuh cinta pada sahabat sendiri kedengarannya sangat konyol.

Clara menunduk sejenak merasa ada butiran hangat yang turun sempurna di pipi halusnya itu. Oh tolong jangan menangis, aku mohon. Ini bahkan kedengaran sangat konyol jika aku menangisi Kyle. Dia hanyalah lelaki idiot yang tak perlu aku tangisi. Clara membatin.

Ia lantas berjalan pelan keluar kelasnya dan melihat Kyle dan Stella yang tepat ada di gerbang pintu sekolah. Apakah Kyle lupa dengan Clara bahwa hari ini ia akan pulang bersama-sama seperti biasanya dengan bis sekolah? Kenapa tiba-tiba ia sekarang pulang dengan Stella? Apakah ia tidak sedikitpun terbesit memikirkan Clara saat itu? Oh Clara, apa yang sedang kau pikirkan? Kyle bahkan baru saja menyatakan perasaannya pada Stella. Mana mungkin ia masih mengingatmu? Ia bahkan sudah punya Stella di sisinya. Seakan Batinnya kini saling menyaut.

Oh ini gila. Bagaimana dengan main basket nanti sore? Kyle sudah mengirimkan pesan tadi malam. Jangan sampai ia lupa akan hal itu. Oh sungguh, dia benar-benar keterlaluan jika ia lupa dengan itu. Bahkan Kyle yang mengajaknya untuk bermain basket nanti sore.

Clara benar-benar tak bisa menahan emosi sekarang. Ia tak mampu bernapas apalagi berbicara sepatah katapun. Clara benar-benar menaruh perasaannya pada Kyle. Namun sulit mengungkapkannya pada Kyle mengingat Kyle hanya menganggapnya hanya sebatas sahabat, tak lebih. Jika Clara benar-benar mengatakan sesuatu tentang perasaannya pada Kyle selama ini, yang ada, Kyle tak akan menanggapinya, melainkan mungkin menertawakannya. Yang benar saja, seorang gadis bernama Clara Belle jatuh hati pada sahabatnya sendiri yaitu Kyle O’Conell. Konyol.

 

— 

 

Clara Belle Point Of View 

 

Aku masih men-dribble bola basket lantas melemparnya masuk tepat ke dalam ring basket. Dimana Kyle? Sudah lebih dari satu jam aku menunggunya di lapangan basket dekat komplek. Jangan bilang jika ia benar-benar lupa dengan janjinya yang mengajakku untuk bermain basket sore ini. Ah, tidak, tidak. Siapa tau ia sedang menuju kemari atau bahkan mungkin ia sedang di suruh Patricia sebentar ke mini market untuk membeli cemilan.

Kyle memang tipikal laki-laki yang rajin dan patuh pada orang tuanya. Selain tampan, ternyata ia juga rajin. Ah, apa yang sedang kupikirkan terhadapnya? Kenapa sekarang aku malah memujinya seperti ini? Aku tak sadar bahwa aku sedang membayang-bayangi wajahnya itu lalu tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting.

Sekarang sudah kembali menunjukan pukul lima sore lewat lima belas menit. Oh astaga, Kyle kumohon segera cepat kemari. Cuaca sore ini kini mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Apa yang harus kulakukan agar Kyle segera kemari? Ketika tersebit sebuah ide bersinar bak lampu bohlam dalam pikiranku. Mengirim pesan singkat pada Kyle. Yap. 

 

To: Mine♡

Tolong sekarang kau ke lapangan basket di dekat komplek. Kau lupa ya dengan janjimu yang ingin mengajakku bermain basket sore ini? Oh ayolah bung!

 

Dengan gerakan tangkas aku mengetuk layar ponselku itu lalu men-klik tombol Send untuk mengirimkan pesan singkatnya itu pada Kylee. Tak lama aku mengirimkan sebuah pesan singkat padanya, terdengar dentingan khas seperti bunyi pesan masuk dari ponselku. Ternyata balasan pesan Kyle. 

 

From: Mine♡

Maaf aku tak bisa datang kesana sore ini. Aku lelah karena baru saja aku pulang sehabis mengantarkan Stella berbelanja ke mall, walaupun melelahkan, tapi sangat menyenangkan pergi bersamanya. Dan kau tahu tidak? Dia ternyata juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ini benar-benar ajaib. 

Deg. Rasanya sesuatu seakan baru saja menghantam keras tepat di jantungku. Sesak. Itu yang sekarang aku rasakan. Benar dugaanku. Dia sudah menembak Stella tadi siang.

Dasar lelaki idiot. Kenapa ia benar-benar nekat melakukannya? Lalu bagaimana dengan perasaanku selama ini terhadapnya? Aku tak bisa begitu saja mengubur dalam-dalam perasaanku terhadapnya. Kuakui, memang Kyle lelaki yang baik. Aku menyukai sikapnya itu. Namun jika begini jadinya, aku harus membuang jauh-jauh perasaanku padanya. Percuma saja menaruh hati pada Kyle, tapi Kyle tidak menyukaiku. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Oh ya tentu saja.

Aku tak membalas pesan singkatnya yang bodoh itu. Ia pura-pura tak tahu bahwa aku benar-benar membenci Stella atau bahkan ia pikir itu hanyalah kekesalan ku yang semata-mata tak perlu di tanggapi. Aku tak bisa mencerna apa yang ada di pikiran Kyle. Dia……Ah aku tak tau. Ingin sekali rasanya berkata kasar.

Sakit. Itu yang sedang aku rasakan sekarang. Mendengar Kyle dan Stella kini sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku harap bahkan Kyle akan menjadi pacar pertamaku atau aku yang akan menjadi pacar pertamanya. Well, kedengarannya sangat mustahil memang.

Aku hanyalah gadis tomboy dan angkuh. Tentu saja Kyle tak akan menyukai gadis sepertiku. Tipe gadis yang diinginkan Kyle itu ya hanyalah seperti Stella, Stella, dan Stella. Si nenek sihir itu. Atau bahkan Stella sudah membutakan mata Kyle sampai-sampai Kyle bisa menyukai Stella? Ah…. Aku ingin menjerit sekencang-kencang sekarang juga, jika saja tak ada orang yang melewati lapangan basket dan menganggapku orang sinting.

Aku dapat merasakan rintik air hujan yang kini sedikit demi sedikit mulai membasahi tanktop dan sweatpantsku. Masa bodo. Aku tak peduli. Ini semua gara-gara Kyle jika aku kehujanan. Ia benar-benar keterlaluan! Kenapa aku bisa sebodoh ini menuruti kata-katanya tadi malam untuk pergi ke lapangan basket dan bermain basket dengannya sore ini. Mustahil. Konyol. Kyle tentu hanya ingin mempermainkanku. Kenapa aku tak menyadarinya? Lagipula, jika aku jatuh sakit karena kehujanan, Kyle tak akan peduli.

Kini butiran air mata yang mengalir di pipiku menyatu dengan air hujan. Biarkan saja, lagipula kalau aku menangis, tak ada satupun yang akan menyadarinya. Aku hanya dapat menggigit keras-keras bibirku melawan derasnya air hujan yang terasa begitu dingin menusuk permukaan kulit putihku ini. Aku tak peduli. Ah, Kyle, aku mencintaimu. Lebih dari apapun. Apa kau tak mengerti tentang perasaanku yang tumbuh untukmu ini? Aku akan buktikan padamu jika Stella tidak seperti apa yang kau pikirkan. Aku benci padamu. Aku benci Stella. Aku benci kalian!

 

 

Author Point Of View 

 

Clara hanya mengetuk-ngetukan jarinya di atas bangku panjang di taman belakang sekolahnya. Rasanya begitu sepi tanpa kehadiran Kyle di sisinya. Biasanya, saat-saat seperti ini, seharusnya ia dan Clara sedang berdua disini tertawa-tawa kencang karena lelucon-lelucon yang di buat lelaki itu untuk Clara. Namun, sepertinya, sudah tak ada lagi sosok lelaki yang selalu di sayangi Clara ini. 

Kyle memang benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat sejak resminya Stella menjadi kekasihnya. Jarang mengirimi Clara pesan singkat atau mengirimnya dongeng singkat dalam pesan singkat yang ia selalu kirimi setiap malamnya jika Clara hendak tidur. Jarang lagi duduk di samping Clara jika ia sedang berangkat sekolah bersama dengan satu bis. Jarang bermain basket di lapangan dekat komplek. Jarang menjemput Clara untuk pergi main ke taman kota. Kyle benar-benar berubah sejak bersama Stella.

Tak sadar jika tetesan air mata yang turun dari balik kelopak mata Clara sudah membanjiri wajahnya yang tampak merah merona kali itu. Tetesan hangat air mata itu tak henti-hentinya berhenti. Sampai kapan Kyle akan tetap memuji Stella dan mengabaikan dirinya? Itu benar-benar membuat Clara hancur berkeping-keping.

Clara menyeka aliran air mata hangatnya itu lalu beranjak dari kursi panjang di taman belakang sekolahnya itu. Ia lalu berjalan menuju kelas sambil menundukan kepalanya. Ia tak sanggup memperlihatkan wajahnya yang keliatan kacau kali itu. Semalaman ia hanya bisa menghabiskan tisu untuk menyeka air matanya karena Kyle. Entahlah, Kyle benar-benar keterlaluan akan sikapnya yang benar-benar berubah.

Clara merindukan Kyle yang dulu, yang selalu mengiriminya pesan singkat atau mengirimnya dongeng singkat dalam pesan singkat yang ia selalu kirimi setiap malamnya jika Clara hendak tidur, bermain basket di lapangan dekat komplek, atau bahkan menjemput Clara untuk pergi main ke taman kota hanya sekedar untuk mengobrol biasa. Clara merindukan semua itu.

Ia mengambil sehelai tisu dalam saku celana jeansnya lalu menghapus jejak-jejak air mata yang kini terasa begitu lengket di permukaan pipinya itu. Pupus sudah semua harapannya. Ia harus bisa tegar dengan semua ini. Kyle memang pantas mendapatkan Stella yang setidaknya lebih baik daripada dirinya. Kyle sangat pantas bersama Stella dan sepertinya ia kelihatan bahagia bersama Stella. Clara harus merelakan Kyle yang kini sudah bersama Stella walau sejujurnya sangat sulit melupakan Kyle dengan kenangan-kenangan manis yang selama ini ia ukir bersama dengan Kyle.

Semuanya tak bisa dengan mudah Clara lupakan. Semuanya terlalu manis untuk di lupakan. Andai saja, Kyle mengerti akan perasaannya, tak selalu menganggap jika perasaan Clara untuknya bukanlah sebuah gurauan semata, melainkan perasaan yang benar-benar tumbuh untuknya. Clara tulus mencintai Kyle sebagai sahabat, bahkan lebih. Kenapa setidaknya, Kyle mengerti sedikit akan perasaannya selama ini?

Clara berjalan melewati lapangan bola basket. Oh disana ada Kyle yang sedang bermain basket. Ia bersama Stella, tentu saja. Stella tampak menyemangati Kyle bermain basket disana. Seharusnya Clara yang duduk disana menyemangati Kyle bermain basket atau bahkan ikut bermain dengan Kyle. Bukan Stella. Apa yang Stella dapatkan dari Kyle, seharusnya Clara yang dapatkan. Bukan Stella. Seharusnya Clara lah yang pantas untuk Kyle, bukan Stella.

Clara menghentikan langkahnya lantas duduk di kursi sambil memandangi Kyle yang kini mulai berhenti bermain basket lalu menghampiri Stella yang duduk di kursi penonton dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Oh astaga, itu juga seharusnya Clara yang mendapatkannya, bukan Stella. Clara lah yang berhak mendapatkan itu semua. Bukan Stella.

Ia kembali hanya menggigit bibir bawahnya keras-keras menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh darahnya. Clara benar-benar tak kuat menahan rasa sakit yang kini selalu ia tahan dalam hatinya. Begitu sakit melihat pemandangan yang begitu membuatnya benar-benar sakit. Sakit, sakit. Jantungnya berdegup begitu kencang saat ini.

Ia bisa melihat dari kejauhan bahwa Stella tahu keberadaannya yang tengah mengintipnya sedaritadi dengan Kyle yang ada di lapangan basket. Stella tersenyum miring lantas makin mengeratkan pelukannya pada Kyle dengan manja. Clara yang melihatnya hanya bisa mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya tampak kelihatan memutih. Oh astaga, cukup. 

Clara terus menggigit bibir bawahnya sekeras mungkin hingga menimbulkan bercak biru disana. Clara menutup dapat menutup kedua matanya berharap semua rasa sakitnya bisa berangsur menghilang, namun nihil. Rasanya tetap saja sakit, sesak. 

Gadis berambut pirang keemasan ini, kali ini benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja Stella lakukan pada Kyle. Menciumnya tepat di bagian bibir. Astaga, cukup sudah. Cukup. Clara tak kuat melihatnya. 

Ia spontan lari dari tempat itu berlari sekencang mungkin dengan tenaga yang seadanya ia punya. Kenapa bisa Kyle setega itu padanya? Sudah berulang kali Clara katakan padanya jika Stella bukan wanita yang benar untuknya. Namun tetap saja Kyle keukeuh memuji nenek sihir macam Stella. Stella tak pantas mendapatkan itu semua. 

Semua ini memang tak adil.

 

 

Clara kelihatan buruk kemarin, dan hari ini. Moodnya tak kembali membaik. Malah makin hancur. Satu-satunya moodbooster Clara ya hanyalah Kyle. Namun mengingat Kyle sudah tak akan lagi berada di sampingnya untuk membuatnya tertawa. Kyle tak akan pernah ada di sampingnya lagi selama ada Stella untuknya. Clara harus mencoba merelakan bahwa Kyle memang tidak di takdirkan untuknya, tapi untuk Stella. Ya, harus Clara akui itu. Cepat atau lambat, ia harus melupakan Kyle mulai detik ini juga. 

Laura sedang pergi keluar dengan temannya untuk waktu yang lama dan tak ada satupun makanan tertinggal di dalam lemari pendingin. Jadi, Clara terpaksa harus ke iHop Restaurant yang jaraknya hanya sepuluh kilometer dari tempat tinggalnya untuk membeli lasagna atau spaghetti yang dapat membuatnya merasa tak kelaparan lagi. Setidaknya jaraknya juga tak begitu memakan waktu lama berjalan.

Ia hampir sampai pada tempat tujuannya lalu dari kejauhan, ia dapat melihat samar-samar sesosok Stella dari dalam sana. Stella sedang duduk bersama……Peter? Bukannya Kyle? Kemana Kyle? Atau bahkan mungkin Stella…selingkuh? Ya, mungkin. Sedaritadi, Peter tampak mengelus-elus punggung tangan Stella lalu menciumnya lama. Jika itu kelihatannya hanya sebatas teman, itu kelihatan sangat mustahil.

Clara segera menghampiri Stella yang tengah duduk di dalam iHop. “Kau! Kemana Kyle? Kenapa Kyle tak bersamamu?” Clara memicingkan matanya ke arah Stella lalu ke arah Peter secara bergantian. “Apa urusanmu jika Kyle sedang bersamaku atau tidak sedang bersamaku?” Cetus Stella lalu hanya melemparkan tatapan tak peduli. 

“Biasanya Kyle bersamamu, lalu kemana dia? Kenapa dia tak bersamamu, hah? Kenapa malah Peter yang bersamamu?” Clara melemparkan tatapan menohok pada keduanya. “Kau ini tak punya hak untuk mengetahui mau Kyle bersamaku atau tidak, itu bukan sama sekali urusanmu.” Stella kini bangkit dari tempat duduknya sambil memukul keras meja makan tersebut hingga beberapa sudut mata menatap ke arah mereka. 

“Kau berselingkuh dengan Peter, iya?” Clara mengernyit sejenak hingga tampak garis kerutan di dahinya. “Lagipula jika aku berselingkuh dengan Peter, apa urusanmu? Kau tak berhak melarangku, idiot.” Ucapan Stella kini tak kalah menohok dan juga membuat Clara sedikit terkejut. Dengan refleks, tangan kanan Clara mendarat tepat di pipi mulus milik Stella dengan kasar. 

“Apa kau bilang? Aku tentu berhak melarangmu. Kau tahu tidak? Kyle itu sangat-sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Kau adalah cinta pertamanya. Kau beruntung bisa mendapatkan ciuman pertamanya. Dan aku bahkan rela melepaskan Kyle hanya untuk kau, dan sekarang kau malah berselingkuh dengan bajingan macam Peter. Kau ini benar-benar gadis tak tahu di untung.” Bentak Clara kasar pada Stella. Stella hanya meringis kesakitan memegangi pipinya yang nampak berubah berwarna merah marun akibat tamparan Clara yang cukup keras. Peter hanya membantu Stella sambil mendekapnya tanpa membalas sepatah katapun pada Clara. 

“Kalian berdua memang sama-sama bajingannya!” Pekik Clara lagi sambil mengarahkan jari telunjuknya itu tepat di bagian tengah-tengah dada Stella maupun Peter dengan tatapan menohok. Peter hanya menunduk sementara Stella hanya menatap Clara penuh dengan kebencian.

“Lihat saja kau nanti!” Ancam Stella pada Clara, “Apa? kau ingin mengancamku, iya? Aku tak pernah takut dengan semua ancamanmu, jalang.” Sahut Clara tak kalah kasar pada Stella.

Peter langsung membawa Stella pergi dari situ sementara Clara, ia batal membeli lasagna atau spaghetti karna ada dua iblis yang menghancurkan moodnya, lagi. Clara keluar dari iHop lalu mulai berlari pulang menuju rumahnya. Sekarang yang harus ia lakukan adalah, menelpon Kyle dan mengatakan apa yang barusan saja terjadi. 

Clara mendial nomor ponsel Kyle dan pada deringan pertama, Kyle langsung menjawab panggilan ponsel dari Clara. Oh syukurlah. 

“Clara, ada apa?” Suara Kyle mulai kedengaran jernih dari dalam telepon. 

“Kau ada dimana, Kyle?” 

“Aku sedang berada di rumah sekarang. Memangnya ada apa?” 

“Kau sedang tidak berjalan dengan Stella seperti biasanya? Biasanya kau sedang bersamanya dan selalu mematikan ponselmu agar aku tidak menelponmu atau mengirimu pesan singkat.”

“Oh ayolah Clara, apa yang ingin kau bicarakan sekarang? Aku tak punya banyak waktu sekarang. Aku sedang kelelahan.” Ujar Kyle yang membuat Clara mengernyit akan tingkah aneh Kyle. Tak biasanya ia seperti ini pada Clara. “Kenapa Stella tak sedang bersamamu?”

“Ia bilang, ia sedang latihan cheers dengan teman perempuannya.” Jawab Kyle cepat, kelewat cepat.

“Apa kau yakin jika Stella sedang ada tugas kerja kelompok dengan teman perempuannya, hm?”

“Tentu saja aku yakin. Kau ini ada apa, tiba-tiba menanyakan soal Stella.”

“Well, tadi aku baru saja pulang dari iHop dan menemukan sosok kekasih tercintamu itu sedang bersama Peter bermesraan. Hmm.” Clara tak mendengar Kyle bersuara kali itu.

“Apa maksudmu ia berselingkuh? Tentu saja tak mungkin. Ia wanita yang baik, tak seperti apa yang kau pikirkan. Dia tak akan mungkin mengkhianatiku.” 

“Kau tak percaya?”

“Untuk apa aku percaya pada omong kosongmu itu? Lagipula tak ada buktinya.”

“Kyle, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Apa kau tak percaya dengan apa yang kubicarakan?”

“Aku tak akan mungkin percaya pada musuh Stella sendiri. Aku ini pacarnya.”

“Baiklah, Kyle. Jika kau tak percaya dengan apa yang aku katakan.” Clara langsung mematikan panggilan secara sepihak. Kyle mendengus keras akan hal itu.

Clara dapat merasakan buliran bening dari balik kelopak matanya kini dengan sempurna meluncur ke bawah sehingga membasahi kedua pipi merah meronanya. Kenapa bisa-bisanya Kyle tak percaya pada dirinya? Ia dan Kyle bahkan sudah berteman baik selama 1 tahun lebih. Mustahil jika sikap Kyle kini memang sudah benar-benar berubah karna Stella. 

Sekarang apa yang harus Clara lakukan agar Kyle percaya padanya akan hal ini? Oh ayolah Clara. Tentu Kyle lebih percaya pada pacarnya sendiri yaitu Stella ketimbang kau yang hanya berstatus sebagai teman dekatnya.

Ia mengacak-acak rambut pirang keemasannya hingga rambutnya kini kelihatan tampak sangat berantakan dan tangisnya makin pecah. Kyle jahat!! Dia sangat jahat! Kenapa dia bisa tidak percaya pada dirinya yang padahal sudah sangat dekat dan sekarang ia tiba-tiba tidak percaya pada Clara? Ini semua pasti gara-gara Stella yang sudah meracuni Kyle hingga ia benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat pada Clara. 

Kyle sudah tak lagi percaya padanya.

 

 

Kyle O’Conell Point Of View

 

Aku sedang membuka lokerku untuk mengambil buku apa yang akan di pelajari pagi ini. Namun dari jarak dekat aku dapat mendengar suara tangisan perempuan yang terdengar begitu familiar di gendang telingaku. Aku menoleh ke arah tangisan perempuan itu dan melihat Stella sedang berjalan menujuku. Ada apa dengannya pagi ini? Tak biasanya ia menangis sesegukan seperti itu saat pagi-pagi begini. Lalu ia menghampiriku lantas memelukku erat sambil nangis terisak di dadaku. 

“Hey, kau kenapa menangis sweetheart?” Tanyaku halus padanya, berharap ia akan berhenti menangis kali ini. “Temanmu yang menyebalkan itu! Dia menamparku kemarin!” Aku tercengang mendengar perkataannya barusan. “Temanku? Siapa maksudmu?” Aku benar-benar tak mengerti apa maksudnya kali ini. “Ya siapa lagi kalau bukan Clara, cewek belagu itu. Dia menamparku kemarin, Kyle!” Ucapannya lirih kali ini. Aku tak tega padanya. Ya ampun, bagaimana bisa Clara menamparnya? Aku tahu memang Clara benci pada Stella, sangat benci. Namun, baru kali ini aku mendengar Clara menampar Stella.

“Kenapa bisa Clara menamparmu, sweety?” Tanyaku lagi pada Stella yang masih nangis sesegukan di dadaku ini. “Entahlah, mungkin dia sebal karena kita telah berpacaran? Kau kan tau sendiri bahwa dia adalah musuh bebuyutanku.” Ujarnya lagi masih menangis. Astaga, Stella kumohon berhenti. Beberapa pasang mata kini tertuju pada kami. Ya, kami sekarang menjadi bahan tontonan.

“Baiklah, aku akan bilang pada Clara sepulang sekolah nanti.” Ucapku padanya masih mengelus-elus rambut cokelat keemasan milik Stella yang panjang itu. “Kenapa harus sepulang sekolah? Kenapa tidak sekarang? Kau harus segera menegurnya! Jika tidak, bisa saja nanti pas aku kembali ke kelas, ia menamparku, bahkan lebih. Oh Astaga.” Pekiknya sambil menangis, lagi. 

“Jadi sekarang aku harus ke Clara dan memberinya teguran?” Tanyaku lagi dan kini gadis itu menengadah, menatap kedua bola mata hazelku dengan tatapan heran. “Tentu saja, Kyle.” Ujarnya seraya memutarkan kedua bola mata biru-aqunya itu. 

“Sekarang?”

“Sekarang!!” Dengusnya lagi lalu aku melepaskan pelukannya dan menghampiri kelas Clara untuk menegurnya.

Aku memang sempat kesal padanya. Aku tahu mengapa ia memfitnah Stella seperti itu, karna ia benci pada Stella dan ia tak suka jika aku berpacaran dengan Stella. Aku tahu itu. Makanya ia memfitnah Stella seperti itu. 

Saat aku sudah sampai di ambang pintu kelasnya, aku dapat melihat Clara yang sedang duduk di bangku pojokan dekat kaca sambil menutup wajahnya itu dengan tangannya yang terlihat menunduk di mejanya. Aku tak tahan melihat tingkah kasarnya tadi dan bahkan emosiku tadi sudah meletup-letup mendengar ucapan Stella yang katanya Clara menampar pacarku. Aku mengepalkan kedua tanganku lalu menghampiri Clara yang ada di pojok sana. 

 

 

Author Point Of View

 

Kyle telah di ambang pintu kelas Clara. Tak sadar bahwa kini Kyle mengepalkan kedua tangannya mengepal hingga urat kebiruan menonjol dari balik sisi kulitnya.

“Clara!!!” Panggil Kyle dengan nada agak sedikit emosi. Clara tak mengubris, masih dengan posisi semula.

“Clara!” Panggil Kyle untuk yang kedua kalinya namu ia tetap tak mengubris.

“Clara! Bangun!!” Kyle mengoyak-oyakan badannya sehingga ia kini benar-benar menengadah menatap lekat-lekat wajah Kyle dengan raut wajah berantakan. Terlihat bahwa ada jejak air mata di pipinya yang kelihatan begitu lengket. Matanya merah seperti sedang menangis. Ia benar-benar terlihat berantakan hari ini.

“Ada urusan apa kau memanggilku?” Tanya-nya dengan raut wajah lesu dan dari nadanya, terdengar bahwa ia kelihatan lelah kali ini. “Apa yang telah kau perbuat pada pacarku?” Kyle balik tertanya padanya dan menegaskan kata ‘pacarku’ padanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Ia mengadu padamu, hah?” Tanyanya lagi pada Kyle. Kyle terdiam kali ini. Tak dapat menjawab pertanyaannya.

“Kenapa?? Dia mengadukan semuanya padamu?”

“Iya, dia mengadu padaku karna kau telah menamparnya tanpa sebab! Tanpa ada alasan yang jelas. Aku tau kau cemburu padanya. Kau tak suka jika aku berpacaran dengan stella, kan?”

“Aku menamparnya karna ia telah―”

“Apa?? Maksudmu ia berselingkuh, begitu? Ia tak mungkin berselingkuh! Dia itu wanita baik-baik. Ia tak akan mungkin mengkhianatiku. Berhenti memfitnahnya! Ia tak seperti apa yang kau pikirkan, Clara!” 

“Kyle, kenapa kau berubah seperti ini?” Tanya Clara dan ia dapat merasakan ada semburan panas mengepul tepat di pipinya dan kini tampak terlihat kemerahan merona.

“Aku tak berubah! Kaulah yang berubah! Intinya, aku kemari untuk menegaskan padamu, jangan kau sekali-sekali berbuat kasar pada Stella. Aku tak habis pikir padamu, Clara. Kau kenapa bisa sejahat ini?” 

“Kyle, tapi aku bisa menjelaskan semuanya―”

“Sudahlah, Clara. Jangan membuat alasan yang kau pikir aku akan percaya pada semua omong kosongmu itu. Aku pikir kau akan mendukung hubunganku dengan Stella, tapi buktinya? Kau malah memfitnah pacarku. Jujur, aku kecewa padamu, Clara. Pokoknya, mulai sekarang, mulai detik ini, jangan anggap aku sebagai sahabatku lagi. Aku tak mau mempunyai sahabat sepertimu.” Lalu Kyle berbalik berjalan jauh meninggalkan Clara yang masih duduk terdiam disana. 

Clara menunduk dan untuk yang kesekian kalinya, tetesan air matanya kembali mengalir bak air terjun. Ia tak dapat berhenti menangis untuk kesekian kalinya semenjak Kyle mencoba menghindarinya, saat ia sudah berpacaran dengan Stella. Sungguh, ia tak habis pikir jika Kyle sudah benar-benar berubah. 

Clara tahu, ini memang semua salahnya. Clara bodoh, benar-benar bodoh. Ia tak seharusnya mengatakan ini semua pada Kyle. Jika saja ia tak memberitahu Kyle akan tentang ini semua, semuanya ini tak akan terjadi.

Clara mengepalkan kedua tangannya, menyeka jejak air mata yang begitu lengket di pipi chubby-nya yang kini keliatan membengkak karna tak henti-hentinya menangis. Ia bangkit dari kursinya lalu berlari keluar kelas. Saat ia berada di ambang pintu kelas, ia dapat melihat Stella disana tersenyum licik, dan terdapat hasrat kepuasan di dalam senyumannya itu.

Clara menunduk lalu berlari sekencang mungkin dengan tenaga yang seadanya ia punya. Ia lelah dengan semuanya ini. Sekarang Kyle tak percaya lagi padanya. Ia telah menganggap Clara bukan lagi sahabatnya. Clara merasa benar-benar bersalah pada Stella. Ia menyesal, benar-benar menyesal. Ia juga sadar kali ini bahwa ia bukanlah sahabat yang baik untuk Kyle dan tak pantas menjadi sahabatnya.

Kini arah tujuannya entah kemana. Clara ingin berjalan menyeberang zebra cross. Clara melangkahkan kakinya dengan kalut dan tak tentu arah. Ia tak berhati-hati dengan melirik kanan kiri. Ia tak menyadari bahwa terlihat mobil ferrari yang hanya berjarak 15 meter darinya, melaju kencang dari arah barat dan menabrak tubuh mungil Clara. 

Tubuh Clara terkapar disana, ditengah jalan dan darah kental mulai mengalir disekujur tubuhnya. Pakaiannya berlumuruan darah kental. Ia mulai pasrah dengan semuanya, ia menggigit bibirnya sekeras mungkin dan menegaskan bahwa ini semua hanyalah mimpi.

 

 

Kyle menggenggam erat-erat tangan Clara. Tangisnya makin pecah saat itu, melihat Clara yang terkapar tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan jarum infus di tangannya dan selang oksigen yang ada di hidungnya. Kyle merasa bersalah sekarang. Ia menarik perkataannya jika Clara bukanlah sahabatnya. Clara akan selalu menjadi sahabat Kyle, selamanya. 

Kyle meremas tangan Clara, dengan kuat. Berdoa agar Clara bangun dari komanya itu. Kyle benar-benar merasa bersalah pada Clara. Ia menyesali semua perbuatannya pada Clara selama ini. Ia juga merasa bersalah karna sudah menuduh Clara karna telah menganggap bahwa apa yang di katakannya jika Stella berselingkuh, ternyata itu memang benar, bukanlah omong kosong. 

Tadi sepulang sekolah, Stella mencium bibir Peter spontan dan Kyle melihatnya sendiri dengan mata kepalanya. Semua apa yang di katakan Clara, benar. Kyle langsung menyudahi hubungannya dengan Stella saat itu juga. Walaupun Stella menolak, namun ia tetap memutuskan Stella saat itu juga. Dan bisa di bilang, kini hubungannya dengan Stella telah berakhir.

Samar-samar iya dapat merasakan tangan Clara bergerak pelan di dalam dekapan tangannya dan Kyle langsung tersenyum lalu menoleh ke arah Clara yang perlahan-lahan membuka kelopak matanya samar-samar. Kyle tersenyum lalu mencium lembut punggung tangan Clara. 

“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya Kyle, dengan intonasi nada yang masih bergetar. Mungkin akibat dari tangisannya yang tak henti-hentinya itu, entahlah. “Kenapa aku bisa disini? Dan kenapa kau juga bisa ada disini?” Clara balik bertanya pada Kyle. Kyle membungkam mulutnya rapat-rapat, untuk kali ini. 

“Erhm―aku kemari, karna Laura dan Steve yang memberi tahuku.” Ujar Kyle yang sedikit tergelagap. “Kalau begitu kemana mereka?” Tanya Clara sambil melihat keadaan ruangan rumah sakitnya bahwa saat ini tak ada bibi dan pamannya. “Mereka sedang membelikan bubur untukmu. Laura mengamanatkanku untuk menjagamu disini.” Jawab Kyle, kini sudah tak tergelagap lagi.

“Oh, dan oh ya aku lupa! Bukankah kau sedang marah padaku? Kenapa kau disini? Kau harusnya bersama dengan―”

“Sstt” Kyle menempatkan telunjuknya tepat di bibir pucat milik Clara, “Aku percaya padamu, Clara. Apa yang kau katakan semuanya tentang perselingkuhan Stella dengan Peter ternyata benar. Maafkan aku.” Kyle mencium punggung tangan Clara lembut berharap permohonan maafnya di terima Clara. 

“Oh, Kyle. Aku sudah memafkaanmu. Malah seharusnya aku yang meminta maaf padamu.”

“Untuk apa kau meminta maaf padaku?” Tanya Kyle dengan tatapan heran.

“Aku sudah menampar Stella, pacarmu itu.” Clara menggigit bibir bawahnya pelan.

“Tidak, dia sudah bukan pacarku lagi sekarang. Aku dan Stella sudah putus.” Jawab Kyle kikuk.

“Benarkah? Kenapa kalian bisa putus?”

“Stella sudah berselingkuh dengan Peter. Itu sebabnya aku memutuskan hubunganku dengannya.”

“Oh, syukurlah kalau begitu. Hmm” 

“Clara, aku ingin menanyakanmu satu hal.” Kyle kini menautkan jari jemarinya pada jari jemari Clara. Clara dapat merasakan sensasi hangat dan juga nyaman.

“Apa?” Clara tersenyum pada Kyle. Ia merasa lega jika Kyle kini sudah kembali percaya padanya dan Clara juga sangat senang jika hubungannya dengan Stella sudah berakhir. Sebuah berita yang bagus.

“Tapi kau harus jujur jika aku menanyakannya padamu.”

“Baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan hm?”

“Kau punya perasaanmu terhadapku, ya?”

“Ahh―Erghm.. Apa maksudmu?” Clara begitu malu luar biasa. Entah apa yang akan dia jawab. Dadanya tiba-tiba berdegup begitu cepat. Apa maksud Kyle barusan? Ia hampir tercekat tak bisa bernapas saat ini padahal selang oksigennya berfungsi dengan baik. Malahan, ia bisa menghirup oksigen lebih banyak dari sana.

“Kau maukan menjawabnya dengan jujur? Aku tak akan marah jika kau memiliki perasaan terhadapku.” Kyle kini makin mengeratkan genggamannya pada jari jemari Clara. 

“Memang kalau aku jawab ‘ya’ kau akan berbuat apa?” Clara menggigit bibir bawahnya pelan. Berusaha mencoba menstabilkan degupan jantungnya yang kini menggebu-gebu.

“Lalu aku mau kau jadi pacarku.” Kyle tersenyum senang kali itu juga, begitupun dengan Clara. Clara dapat merasakan pipinya memanas sekarang. Ia melepas selang oksigennya dari hidungnya lantas mencium pipi Kyle spontan. Kyle dan Clara hanya terkekeh kecil bersamaan.

“Baiklah, sekarang kau harus tidur sekarang. Kau harus banyak istirahat karena kecelakaanmu ini. Maafkan aku juga yang telah membuatmu seperti ini.” Clara hanya membalasnya dengan senyuman lembut pada Kyle yang membuat Kyle mengulum bibirnya sejenak melihat kecantikan Clara kali itu, “Tidak, kau tak perlu begitu. Ini juga salahku karna tak berhati-hati sebelum menyebrang.” Kyle hanya tersenyum haru pada Clara. Ia tak menyangka bahwa Clara sebenarnya benar-benar perempuan yang penyabar dan juga baik.

“Hm, kau harus istirahat, Putri Cantik. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang membawa bubur untukmu. Tapi ngomong-ngomong, mereka lama sekali.” 

“Mungkin di sekitar sini jarang ada yang menjual bubur.” Clara tersenyum lagi. Kyle bersumpah, bahwa senyuman Clara adalah senyuman paling indah yang pernah ia lihat selama hidupnya.

“Kau manis sekali saat tersenyum seperti itu.” Ucap Kyle sembari mencubit gemas pipi Clara. Clara hanya tersipu malu sehingga kini pipinya kelihatan tampak merah merona lagi. Astaga, ini memalukan.

“Baiklah, sekarang kau harus tidur. Kau perlu istirahat yang cukup. Aku tak mau sesuatu yang tak diinginkan terjadi padamu.” Ujar Kyle dengan intonasi nada terdengar tegas.“Siap bos! Tapi, aku perlu sesuatu lagi.” Clara mengulum permukaan bibirnya yang sedikit mengering. “Apa?” Tanya Kyle yang sempat melemparkan tatapan bertanya-tanya.

“Aku perlu kau tidur di sampingku juga. Dengan begitu, aku bisa tidur pulaaaas sekali.” Kyle terkekeh kecil, “Memang boleh ya jika aku ikut tidur di ranjang itu?” 

“Tentu saja boleh.” Jawab Clara enteng dengan kedipan mata. “Apa kau yakin? Bagaimana jika tiba-tiba dokternya datang dan melarangku?”

“Tidak, Kyle. Sekarang kau mau tidur di sebelahku atau tidak?” Clara mendengus kesal kali ini.

“Baiklah, aku akan tidur di sebelahmu, putri cantik.” Kyle beranjak naik keatas ranjang yang merupakan ranjang berukuran besar. Clara tersenyum puas kali ini Kyle menuruti kata-katanya. Kyle kini perlahan membaringkan tubuhnya di sebelah Clara dengan sedikit kikuk dan canggung merasa sedikit malu. 

“Baiklah, Clara. Kau harus tidur, kau perlu istirahat agar kau bisa cepat sehat. Aku tak mau melihatmu menderita di atas ranjang besar ini.” Ujar Kyle menasihati.

“Sudah berapa kali kau mengucapkan kata-kata ‘istirahat’ padaku, Mr. O’Conell?”

“Kau ini, lucu sekali.” Kyle mencubit hidung mancung milik Clara lantas menyanyikan lagu nina-bobo pada Clara layaknya anak kecil.

Well, setidaknya, Clara merasakan perasaan bahagia sekaligus senang mengetahui bahwa Kyle kini adalah miliknya seorang. Ia senang bisa kembali tersenyum karena Kyle.

 

 

 

 

The End

 

 

 

 

 

 

A/N: Hai ketemu lagi sama aku :) Aku balik dengan membawa salah satu oneshot ku disini. Setelah aku edit dan aku baca ulang, ternyata baru sadar oneshot ku ini overdrama nya kebangetan wkwk xD tapi entah kenapa dulu aku yang masih polos pas SMP, saat bikin cerita ini rasanya nyesek aja gitu. Hahaha. Tapi aku harap kalian menikmati cerita receh ini sih sembari ngabuburit ya hehehe :)

Sekian dariku. Terimakasih banyak sudah mau buang-buang waktu kalian untuk baca cerita ini yang sepenuhnya masih belum sempurna. Aku sangat menerima kritik & saran kalian yang membangun :)

 

See you in the next blog!

 

Much Love,

Kalfa♥

I Want You (Oneshot)

4 Juni 2017 in Vitamins Blog

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Title                : I Want You

Author           : Kalfa — keyxqueen

Genre             : Romance

Length           : Oneshoot

Rated             : PG-13

Casts             : -Sunny Styning Moon

                          -Aidan Williams

                          -Brandon Gaze Robert

                          -Sharon Kelsy Gunanti

                          -Nicki Styning Moon

 

 

WARNING : All scenes, and all of the story ideas are mine. Dan maaf untuk bagian-bagian yang menurut kalian itu salah dan bagian-bagian scenes yang abal-abal dan gaje dan yang pasti membosankan ini.

Ini salah satu my old short story yang dibuat sekitar lima atau empat tahun yang lalu. Happy Reading :)

 

—————-

Cuaca hari ini memanglah tak secerah cuaca seperti biasanya di kota New York. Mungkin hari ini akan turun hujan di kota New York. Karena langit saat ini terlihat sendu. Sama halnya dengan suasan hati Sunny yang mungkin biasanya gembira, berubah menjadi sendu seperti ini karena hal sesuatu yang mengganjal dalam benaknya, entahlah.

Sunny hendak akan melangkahkan kakinya masuk ke gedung sekolah yang besar nan terkenal di kota New York, St. George High School. Ya, Sunny akan menginjak 17 tahun 2 bulan mendatang. Cuaca di bulan Januari kali ini memanglah sedikit agak dingin. Mungkin karna bulan Desember kemarin baru saja turun kepingan kristal yang biasa disebut salju di kota New York.

Baru saja Sunny hendak melangkahkan kakinya ke kelas, sesuatu menghalanginya untuk masuk. “Hey nona manis. Sepertinya aku belum pernah melihat wanita secantik dirimu di sekolah ini. Kau murid baru?” Yeah, Si playboy. Siapa lagi kalau bukan seorang Aidan Williams yang terkenal dengan playboy nya ini.

“Maaf, aku bukan murid baru. Dan maaf, aku tak akan seperti gadis lainnya yang termakan oleh rayuan gombal mu yang bodoh itu.” Ujar Sunny dengan lugas tanpa menoleh sedikitpun kearah Aidan dan Brandon.

“Ku kira nona ini tak pernah mendengar siapa Aidan Williams di sekolah ini.” Bisik Brandon ke Aidan dan menoleh sedikit ke arah Sunny. Ya, Brandon Gaze Robert salah satu teman terbaik Aidan. Mereka selalu bersama-sama saat ada di sekolah ini. Sama-sama playboy tentunya.

“Akan kuberitahu dia bagaimana cara berbicara yang sopan di hadapan Aidan Williams.” Ucap Aidan. Sunny memang sebenarnya tau benar siapa sebenarnya Aidan, tapi hanya saja dia tidak ingin membuang banyak waktu percuma hanya untuk hal yang tak penting seperti ini.

“Maaf tuan Williams. Ku pikir aku hanya membuang waktu 5 menit disini hanya untuk hal yang tak benar-benar penting seperti ini. Biarkanlah aku masuk.” Ujar Sunny sekali lagi seperti mengingatkan Aidan. Berani sekali gadis ini berbicara seperti ini di hadapan Aidan Williams, pikir Aidan.

“Baiklah, ku kira untuk saat ini kubiarkan kau masuk karna mungkin 10 menit lagi bel sekolah berbunyi. Kuperingatkan satu kali lagi, untuk seterusnya, aku tak akan membiarkan kau pergi.” Tukas Aidan sambil menatap tajam kedua bola mata aqua milik Sunny.

“Oh, mengerikan sekali tuan Williams.” Ejek Sunny yang seraya melangkah masuk ke kelas tanpa mengubris Aidan dan Brandon untuk kesekian kalinya. Benar-benar tindakan yang sangat berani. Untung saja, Sunny perempuan, kalau tidak, mungkin saja wajah Sunny sudah akan di warnai lebam ungu oleh Aidan. Jika saja Aidan tau asal-usul gadis ini, mungkin Aidan sudah akan mengejeknya habis-habisan. Tapi ya, kupikir wanita ini tidaklah terlalu buruk untuk kujadikan incaran selanjutnya, ujar Aidan dalam hati.

Sudah puluhan wanita yang termakan rayuan tipu daya Aidan. Aidan memanglah tampan dan kaya tentu saja. Jadi jangan salah jika dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan hanya dengan dentikan jari. Sangat mengesankan memang.

 

***

 

Bel sekolah akhirnya berbunyi untuk yang kesekian kalinya. “Untung saja, pelajaran fisika tadi tidaklah terlalu sulit.” Gerutu Sunny sambil membereskan buku-buku pelajarannya. Memanglah pelajaran fisika, selain pelajaran ini sangatlah susah ―menurut Sunny― gurunya juga sangat killer. Bayangkan saja, jika saja ada salah satu murid yang tidak mengerjakan salah satu tugasnya, dia tidak di biarkan ikut selama 1 pelajaran, dan juga akan di kenai detention. Benar-benar sadis untuk seorang siswa.

Saat Sunny hendak akan melangkahkan kakinya keluar dari gedung sekolah, tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk bahunya. “Siapa lagi ini.” Gumam Sunny dalam hati. “Astaga, kau.” Ujar Sunny saat menoleh ke belakang. Sharon Kelsy Gunanti. Satu-satunya sahabat Sunny di sekolah ini. Sunny memang tak punya banyak teman disini. Mungkin hanya beberapa yang kenal, tapi tak dekat dengannya. Dan satu-satunya yang dekat dengan Sunny ya hanya Sharon. Pikir Sharon, Sunny adalah gadis yang sombong dan sangat amat cuek. Awalnya, Sharon ragu untuk berkenalan dan hendak akan mendekati Sunny, karena memang Sunny gadis yang terlihat sangat amat angkuh dan tak peduli akan apapun. Tapi, dugaan Sharon pun meleset. Buktinya, mereka masih berteman dengan baik sejak Freshman Year.

“Haha, ada apa?” Ujar Sunny sambil menatap Sharon.

“Oh ya, apakah kau sibuk siang ini?” Ujar Sharon cepat sambil mengatur frekuensi nafasnya.

“Hm sepertinya tidak, memangnya ada apa?” Tanya Sunny.

“Aku ingin mengajak mu ke toko buku siang ini, lalu menemani ku belanja. Kau mau tidak?” Sambil menggaruk kepalanya yang tentu saja tidak gatal. Sharon agak ragu untuk menanyakan hal ini pada Sunny. Sunny tentu saja akan menolak ajakan Sharon setiap kali Sharon mengajaknya untuk pergi jalan. Hanya pada saat bulan Desember 2 tahun yang lalu mereka pergi ke sebuah taman hiburan menghabiskan natal dan liburan musim dingin seharian, itupun hanya sekali saja.

“Sepertinya ide yang bagus.” Ujar Sunny dengan mengedipkan mata dan terbentuk sebuah senyuman di bibirnya. Itu pertanda, Sunny mengiyakan ajakan Sharon.

“Akhirnya kau mau juga ikut denganku untuk pergi jalan. Aku sudah bergumam dalam hati jika kau akan menolaknya. Maka dari itu sebelum aku kemari untuk mengajakmu jalan, aku harus berpikir beribu kali sebelum aku mengajakmu.” Ujar Sharon sambil menggandeng lengan Sunny untuk segara melangkahkan kakinya ke parkiran untuk segera naik ke mobil mewahnya Sharon.

Ya, Sharon memang terbilang kalangan anak yang benar-benar mampu. Sunny jugs terbilang anak yang benar-benar mampu namun dia berbeda dengan Sharon. Tentu saja, tipikal gadis seperti Sunny ini tak mempedulikan akan hal fashion atau kehidupan yang glamour meskipun dia punya banyak harta serta rumah yang diberikan mendiang kedua orang tuanya yang sudah berada di surga. Sunny memanglah sangat berbeda dengan gadis lainnya seperti Sharon. Sharon bahkan peduli sekali akan hal fashion atau bahkan selalu boros hanya untuk membeli kebutuhan yang tentu sajalah tak begitu penting.

 

***

 

Sunny Styning Moon Point of View

 

Aku mengiyakan ajakan Sharon untuk kali ini, karena ku pikir, aku hanya akan menghabiskan waktu yang tak penting di rumah siang ini. Ini cukup menyenangkan ku pikir jika aku pergi jalan dengan Sharon, walaupun mungkin saja aku hanya akan melihatnya memilih baju atau buku yang akan di belinya nanti. Kupikir, untuk kali ini aku tak akan menghabiskan beberapa uangku untuk membeli buku dan baju. Buku novel yang baru saja ku beli pekan lalu, belum sama sekali ku baca. Judul bukunya, “Pride & Prejudice.” Cover bukunya keliatan menarik. Selain ceritanya yang kedengaran romantis ―sebagian orang berkata seperti itu― mungkin ada beberapa bagian ceritanya yang benar-benar menarik. Aku lebih baik membeli buku semacam itu, ketimbang harus membeli buku seperti “Harry Potter” atau semacamnya. Aku tak suka cerita-cerita fiksi atau cerita yang tak benar-benar nyata adanya.

Kami melangkah masuk ke toko buku. Terdapat papan besar di bagian pintu masuk toko buku dan terdapat nama, “Glarience Bookstore.” Tentu saja, itu nama toko bukunya.

“Lalu, apa yang akan kau cari, Shay?” Tanyaku sambil melihat koleksi buku-buku yang terdapat di rak buku untuk bagian buku yang baru saja terbit. Dan ‘Shay’ adalah panggilan singkatku untuknya.

“Aku akan mencari beberapa majalah terbaru yang memberitakan tentang Justin Timberlake tentunya.” Astaga, anak ini memang tak pernah henti-hentinya mencari kabar terbaru tentang Justin Timberlake. Sharon adalah penggemar berat Justin Timberlake ketika ia masih duduk di kelas sepuluh dan masih sampai sekarang. 2 Tahun lalu Sharon pernah sekali bertemu dengan penyanyi pria itu dan kau tahu? Selama seminggu setelah bertemu dengan penyanyi pria itulah dia tak pernah berhenti membicarakan tentang penyanyi pria yang tampan ―menurut Sharon― sampai-sampai aku bosan mendengarnya. Itu hal biasa mungkin untuk anak remaja seperti kami. Mengidolakan seseorang tentunya.

“Astaga, shay. Ku pikir demam mu ini sudah berhenti akan Justin Timberlake.” Ujar ku sambil terkekeh melihat tingkahnya yang agak sedikit tak normal begitu dia telah menemukan majalah yang ia inginkan. Maksudku, seperti berteriak atau mengatakan, “Hey Sunny, lihat ini! Justin Timberlake benar-benar terlihat tampan disini!” atau semacamnya.

“Tentu saja, demamku terhadap Justin Timberlake tidak akan pernah hilang!” Ujarnya sambil terus membuka majalahnya dan menemukan sesosok bintang pujaannya sekali lagi di majalah. Aku hanya melihatnya aneh yang bertingkah seperti orang tidak waras saat ia menemukan poster Justin Timberlake di salah satu halaman majalah tersebut. Astaga, anak ini.

“Apa kau sudah puas dengan majalahnya?” Ujarku sambil seraya mendekatinya.

“Hm, kupikir belum!” Kemudian Sharon terkekeh seperti ada yang lucu baginya saat aku menyipitkan mataku. “Aku hanya bercanda. Ku pikir kita bisa pergi sekarang.” Ucap Sharon seraya mengambil beberapa majalah yang di dalamnya terdapat berita beserta foto Justin Timberlake. Kami segera menuju kasir untuk membayar majalah yang di beli Sharon.

Aku sempat melihat sekeliling. Cukup sepi. Mungkin hari ini hujan, atau bagaimana, entahlah.

“Sekarang kita mau kemana lagi?” Tanyaku pada Sharon. “Kita sekarang akan pergi ke salah satu butik milik teman ibuku.” Ujar Sharon seraya kami berdua melangkah keluar dari toko buku dan menuju arah barat. “Apakah jaraknya jauh dari toko buku ini?” Tanyaku sekali lagi memastikan. “Sepertinya tidak. Ayolah.” Ujar Sharon menarik lenganku. “Baiklah.”

 

***

 

Author Point of View

 

Ketika Sharon dan Sunny hendak akan berbelok ke arah barat, Sunny menabrak dua lelaki tampan.

 

Bruk.

 

Sunny terjatuh di bawah sedangkan Sharon tidak sama sekali terjatuh karena jarak Sharon saat itu berbeda 5 langkah dengan Sunny.

“Astaga, apakah kau tidak punya mat-” Ucap Sunny terputus ketika dia mengangkat wajahnya dan menoleh kepada dua lelaki itu.

“Astaga, mereka lagi, mereka lagi.” Pikir Sunny seraya memutar kedua bola mata aqua-nya ketika ia menemukan dua lelaki di hadapannya itu ternyata Aidan dan Brandon.

“Wah, sepertinya kami baru saja bertemu dengan gadis ini lagi.” Ucap Brandon seraya menyikut lengan Aidan.

“Oh ya. Kita bertemu dengan gadis menyebalkan ini lagi.” Ucap Aidan sambil menatap Sunny yang masih duduk terdiam di lantai. Sharon hendak akan membantu Sunny untuk berdiri ketika Sunny langsung berdiri tegap dan melotot ke arah Aidan.

“Apa kau bilang barusan? Gadis menyebalkan? Bukankah kau yang menyebalkan? Dasar playboy!” Ucap Sunny kesal pada Aidan seraya ia mendorong bahu Aidan.

“Apa maksudmu aku menyebalkan? Kaulah yang menyebalkan. Berbicara tidak sopan di hadapanku.” Ucap Aidan balik melotot ke arah Sunny.

“Oh ya? Kaulah yang menyebalkan, tuan Williams! Tiba-tiba mengahalangiku untuk masuk ke kelas tadi pagi. Kaulah yang tidak sopan! Bukan aku.” Ucap Sunny membela dirinya.

“Baik, sudah ku peringatkan kau, jika kita kembali bertemu lagi, aku tak akan membiarkan kau pergi.” Ucap Aidan seraya menarik pergelangan tangan Sunny meninggalkan Brandon dan Sharon berdua.

“Hey, hey! Apa yang dia akan lakukan pada Sunny? Aku harus mengejarnya!!” Ucap Sharon panik ketika Brandon menahannya untuk tetap tinggal.

“Hey nona, tenang saja. Aidan tak akan melukai Sunny. Aidan sepertinya menyukai Sunny, dan kupikir hari ini mereka akan berkencan.” Ucap Brandon cepat. Tentu saja ia berbohong pada Sharon agar Sharon tidak panik. Aidan akan berbuat sesuatu pada Sunny karna ulah Sunny yang telah bertindak tidak sopan tadi pagi pada Aidan. Entahlah.

“Tapi-”

“Oh nona, tenang saja. Mereka akan-akan baik saja. Percayalah padaku.” Ucap Brandon seperti menenangkan Sharon untuk tidak panik.

“Apa kau yakin? Aku tak ingin Sunny terluka sedikit pun. Aku dan kau tak tahu apa yang akan Aidan perbuat pada Sunny.” Ucap Sharon seraya melihat ke sekelilingnya dan kali ini Aidan dan Sunny benar-benar sudah meninggalkan Brandon dan Sharon.

“Percayalah padaku. Bagaimana kalau kita pergi berdua saja? Biarkanlah Aidan dan Sunny berdua. Kau mau kemana?” Ucap Brandon mulai melangkahkan kakinya.

“Hm tadinya aku akan pergi ke butik milik teman ibuku dengan Sunny, tapi apabila ia pergi dengan Aidan, ku pikir kita dapat pergi berdua kesana. Tapi sekali lagi, apa kau yakin jika Sunny akan baik-baik saja pergi dengan Aidan? Sunny orang yang keras kepala. Aku takut jika Sunny hendak memarahi Aidan, Aidan akan berbuat kasar pada Sunny.” Ucap Sharon mulai ikut melangkahkan kakinya mengikuti Brandon dengan wajah cemas.

“Percayalah padaku. Sunny akan baik-baik saja, dan Aidan pun akan baik-baik saja. Aku akan menjamin itu.” Ucap Brandon seraya menarik lengan Sharon untuk menyamakan langkah kaki Sharon dengannya.

“Baiklah.” Ucap Sharon yang masih memasang wajah cemas. Apa yang akan benar-benar Aidan perbuat pada Sunny, entahlah.

 

***

 

Aidan Williams Point of View

 

Aku menarik pergelangan tangan Sunny dengan kasar menuju ruang lobby. Gadis ini, tak juga berhenti gerutu saat aku masih menarik lengannya. “Hey Williams! Bisakah kau melonggarkan tanganmu pada pergelangan tanganku! Rasanya sakit sekali.” Ucap Sunny berontak padaku.

“Bisakah kau diam sebentar! Jika aku melonggarkan tanganku pada pergelangan tanganmu, bisa saja kau akan kabur dariku. Aku tak mau hal itu terjadi.” Ucapku masih tetap berlari kecil menuju pintu lobby dengannya.

“Astaga, kau ini. Aku bersumpah bahwa kau adalah laki-laki pertama yang paling menyebalkan yang pernah ku temui selama hidupku.” Ucap Sunny masih meringis kesakitan. Sebenarnya, aku memang tak tega menarik pergelangan tangannya kasar seperti ini. Dan ku kira, itu terlihat agak sedikit memerah karena aku menariknya terlalu kencang dan kasar. Tapi apa boleh buat, jika gadis ini benar-benarlah sangat keras kepala, maka aku akan tetap menyeretnya seperti ini. Kami sudah melewati pintu lobby dan hendak akan menuju tempat parkir.

“Hey, mau kemana kita? Bisakah kau melepaskan ku? Sungguh, ini benar-benar sakit.” Ucap Sunny memohon padaku tapi aku tetap menarik pergelangan tangannya hingga kami tiba di tempat parkiran.

“Apa yang akan kita lakukan disini? Lepaskan aku.” Ucap Sunny sekali lagi memohon.

“Baiklah, berjanjilah untuk tetap diam. Jika kau diam, aku akan melepaskan tanganku ini pada pergelangan tanganmu. Tapi jika kau berteriak untuk meminta tolong, aku akan segera mendekapmu.” Ancamku padanya seraya menatap kedua bola mata aqua milik Sunny.

“Oh God. I swear, if you just look into her eyes, then you’ll be hypnotized by her eyes.” Matanya, sungguh unik dan tentu juga cantik. Mata aqua-nya itu. Sungguh, aku tak pernah melihat mata seindah ini pada gadis-gadis yang pernah ku jumpai sebelumnya. Ada yang terlihat seperti ini, tapi rasanya berbeda saat aku menatapnya dengan gadis lain. Jika dia juga mempunyai sifat yang berbeda dengan gadis-gadis yang pernah ku temui, dia juga mempunya mata yang sungguh berbeda dengan gadis lain. Astaga, Williams! Apa yang baru saja kau pikirkan terhadapnya?? Dia hanyalah gadis biasa yang kau tidak tahu asal-usulnya.

“Hey, kenapa kau menatapku seperti itu?” Ucap Sunny melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.

“Ah.. uhm.. Tidak apa-apa.” Ucapku terbata-bata. “Baiklah, lupakan. Sekarang, aku akan menanyai mu satu hal. Dimana rumah mu?” Ucapku seraya menempatkan kedua tanganku di sisi kiri dan kanan kepalanya di kaca mobilku.

“Hey Williams, apa yang akan kau lakukan? Mengapa kau menempatkan kedua tanganmu di antara kepalaku?” Ucap Sunny panik.

“Aku tak akan berbuat apa-apa padamu. Sekarang jawab pertanyaanku yang tadi!” Ucapku padanya semakin mendekat.

“Hey, jangan mendekat!! Lepaskan aku jika kau mau aku menjawab pertanyaanmu ini. Ini tempat umum. Apa kau tidak malu jika orang-orang melihat perbuatanmu ini? Ayo lepaskan.” Ucap Sunny mencoba untuk mendorong jauh badanku, tetapi aku tak membiarkan ia mendorong badanku.

“Astaga, aku lelah, Aidan. Posisi ini membuatku canggung.” Ucap Sunny kali ini lemah karna tak kuat lagi mendorong tubuh ku yang lebih besar darinya. Kira-kira tinggi kami hanya berbeda 4-6 inchi, hanya saja tubuh ku yang lebih tinggi dan besar di banding tubuh nya.

Aku hanya bisa tertawa kecil mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Apa katanya? Posisi kami ini membuatnya canggung? Aku bahkan bisa saja mendekatkan tubuhku padanya lebih dekat lagi.

“Mengapa kau tertawa kecil seperti itu? Apakah ada yang lucu? Huh.” Sunny mendengus. Kali ini aku tak dapat menahan rasa tawaku ini atas sikap dan perkataannya tadi.

“Aku hanya tertawa dengan ucapanmu barusan bahwa posisi ini sangat membuatmu canggung. Aku bahkan bisa saja mendekatkan tubuhku padamu lebih dekat lagi jika kau mau. Haha.” Ucapku sambil tertawa lepas.

“Hey, apa maksudmu barusan? Kau ingin menciumku hah? Tak akan ku biarkan perbuatanmu itu.” Ucapnya. Lagi-lagi perkataannya ini membuatku tak dapat menahan tawa lebih lepas lagi. Tentu saja aku harus berpikir beribu kali terlebih dahulu sebelum menciumnya. Maksudku, memang Sunny tak terlalu buruk tapi dia berbeda dengan gadis yang ku jumpai sebelumnya. Dia kelihatan lebih tak peduli akan penampilannya, berbeda dengan mantan-mantanku. Ini yang membuatku mulai benar-benar tertarik padanya. Benar-benar gadis unik.

“Ya sudah, lupakan tentang pertanyaan ku tadi. Sekarang kau ikut denganku. Masuklah!” Ucapku seraya menarik pintu mobilku dan membiarkannya masuk.

“Hey apa yang akan kau lakukan lagi? Aku lelah, Aidan. Aku ingin pulang.” Ucapnya.

“Kau mau pulang? Sendiri? Apa kau mau kehujanan? Di luar sana hujan deras. Aku tak akan mungkin membiarkanmu pulang kehujanan.” Ucapku seraya masuk ke dalam mobil ferarri merah milikku dan begitu juga dengannya yang mulai masuk ke mobilku ini.

“Bagaimana dengan Sharon?” Ucapnya lagi. Astaga, gadis ini benar-benar cerewet.

“Dia akan baik-baik saja, nona. Dia sedang bersama Brandon. Akan ku jamin itu.” Ucapku sekali lagi padanya.

“Baiklah. Tapi sebelumnya, apakah kau tidak keberatan jika aku menaiki mobil mewah mu ini, tuan Williams?” Tanyanya untuk kesekian kalinya.

“Kau sangat berlebihan. Tentu saja tidak. Saat kau sedang bersamaku, kau adalah tanggung jawabku sekarang.” Ucapku lagi.

 

***

 

Sunny Styning Moon Point of View

 

Astaga, apa yang baru saja ia katakan? Aku tercekat ketika mendengar kata-kata yang baru saja Aidan katakan.

 

Saat kau sedang bersamaku, kau adalah tanggung jawabku.

 

Ini benar-benar aneh. Ketika tadi ia menarik pergelangan tanganku kasar, tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat dengan sikapnya yang sebelumnya. Dasar lelaki aneh. Aidan mulai menyalakan mesin mobil ferarri merahnya.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Aidann padaku.

Dia menanyakan kabarku? Astaga, tentu saja aku tidak benar-benar baik saat dia menarik pergelangan tanganku tadi hingga memerah. Ku kira lelaki ini sedang benar-benar tidak waras.

“Aku tak apa-apa, Aidan!” Dustaku. “Ada apa denganmu ini? Tiba-tiba menanyakan kabarku setelah kau berlaku kasar padaku. Apakah kau tidak waras ya?” Ucapku seraya menoleh padanya yang mulai mengendarai.

“Aku hanya.. umm.. Aku hanya khawatir padamu. Aku tak tega saat aku menarik tanganmu kasar tadi dan-” Ucapannya terputus saat tiba-tiba aku menjawab perkataannya.

“Lalu kenapa kau menarik kasar pergelengan tangan ku kalau kau memang tak tega padaku?” Tanyaku padanya sekali lagi. Aku ingin tahu jawabannya.

“Aku.. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja.” Ucapnya singkat tanpa menoleh ke arah ku sedikit pun dan terus menatap badan jalan seraya keluar dari tempat parkiran. Benar-benar jawaban yang singkat untukku.

 

***

 

Aidan Williams Point of View

 

Aku tetap menatap badan jalan tanpa menoleh sedikitpun padanya saat ia menanyakan beberapa pertanyaan yang membuatku benar-benar tercekat dan tak tahu apa yang harus ku jawab. Aku bahkan harus terus dan terus berpikir sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan nya yang sukses membuatku benar-benar tidak fokus pada badan jalanan ini.

“Hanya itu jawabanmu?” Tanya Sunny sekali lagi yang benar-benar membuatku bahkan tidak bisa bernapas karna pertanyaannya yang konyol itu. Ada apa dengan Sunny ini? Tiba-tiba semuanya menjadi sangat canggung dan hening untuk beberapa menit ketika aku tak sama sekali menjawabnya. Ini benar-benar aneh. Apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan sekarang? Sampai-sampai dia benar-benar ingin tahu alasan dari semua itu. Aku memang tak berani menjawabnya. Satu hal yang benar-benar membuatku membawanya ada disini, Aku ingin lebih dekat dengannya. Tapi tentu saja aku tak akan berbicara seperti itu padanya. Pasti dia akan tertawa seketika mendengarnya. Seorang Aidan Williams ingin mengenal lebih dekat dengan gadis yang menurutnya ini sangatlah menyebalkan.

 

***

 

Author Point of View

Aidan dan Sunny masih terdiam di dalam mobil ferarri merah milik Aidan ini. Sunny hanya menatap ke arah luar jendela seraya melihat langit-langit kota New York yang masih keliatan sendu akibat butiran-butiran air yang baru saja jatuh yang kini membasahi jalanan kota. Sunny tak menyadari bahwa sebenarnya Aidan diam-diam tengah meliriknya.

“Bisakah kau tunjukan arah menuju rumahmu?” Ucap Aidan seraya memberhentikan mobilnya di persimpangan jalan.

“Tetap jalan ke arah utara, lalu belok kanan, lurus dan di sebelah kiri, itu dia rumahku.” Ucap Sunny ketika ia menoleh kembali ke arah luar jendela. Setelah mendengar perkataan Sunny tadi, Aidan lalu mulai menyalakan kembali mesin mobilnya lalu mulai melaju dengan kecepatan rendah.

New York. Kota metropolitan dengan sejuta cerita dan cinta di dalamnya. Kini Sunny sudah tak bisa merasakan indahnya New York ketika kedua orang tuanya tewas beberapa tahun silam ketika kedua orang tuanya hendak berlibur ke Hawaii. Sesuatu yang janggal sempat terjadi di dalam pesawat itu. Dan setelah beberapa saat pesawat itu meledak dan menewaskan beberapa penumpang, pramugari, dan juga pilot.

Entah apa yang sudah di rencanakan Tuhan untuk Sunny seperti ini, rasanya Sunny ingin sekali sesaat menggantungkan kepalanya di seutas tali jika saja ia tak punya harapan untuk hidup lagi. Aparat kepolisian sudah pasrah untuk mencari jasad kedua orang tuanya yang telah hilang di tengah lautan dengan beberapa penumpang yang ada di pesawat itu. Kakak Sunny, Nicki Styning Moonjuga sudah kehilangan harapan saat mengetahui kedua orang tuanya telah meninggal karena peristiwa jatuhnya pesawat yang di dalamnya terdapat kedua orang tuanya itu. Dan juga saat ketika kejadian itu menimpa keluarganya, Nicki bersikap begitu liar dan seperti tak punya aturan. Pulang tengah malam dengan keadaan mabuk dan membawa lelaki yang berbeda setiap malamnya.

Nicki Styning Moon, ia sekarang duduk di bangku kuliah. Sunny dan Nicki ini memang sedang ada masalah belakangan ini. Percekcokan antar mulut terjadi setiap malam karena hanya masalah spele. Itulah yang membuat Sunny kini agak murung. Jika saja ia tak punya harapan untuk hidup lagi, mungkin saja sekarang ia sudah ada di alam sana bersama kedua orang tuanya. Sunny merasa, Tuhan tak adil akan ini semua. Mengapa ia mengatur semuanya seperti ini? Sangat pedih memang kehilangan orang yang kita sayangi.

Sunny tak menyadari sesaat butiran air matanya telah membasahi permukaan pipinya yang panas dan merah itu. Sunny sudah tak ingin mengingat beberapa masa lalunya yang menyedihkan untuk diingat itu. Bahkan Sunny sudah berniat untuk membuang semua masa lalunya yang kelam dan menyakitkan itu dalam ingatannya. Sesaat air mata Sunny kembali jatuh untuk yang kedua kalinya, Aidan menyadari akan hal itu.

“Astaga, Sunny! Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau menangis?” Ucap Aidan panik seraya dia menghentikan mobilnya seketika.

“Aku tidak apa-apa, Aidan. Aku baik-baik saja. Hanya saja..” Ucap Sunny terputus ketika dia baru saja menyadari bahwa ia tak akan mungkin menceritakan semua masalah keluarganya pada Aidan. Bagaimana jika saja Aidan tak mengubrisnya? Sunny lebih baik tak menceritakannya.

“Hanya apa?” Tanya Aidan kali ini mengarahkan posisi duduknya ke arah Sunny.

“Aku tak apa-apa. Aku baik-baik saja. Sungguh.” Ucap Sunny berbohong pada Aidan yang kini mulai membalikkan posisi duduknya kembali ke arah jendela mobil.

“Tidak. Kau tidak sedang baik-baik saja. Aku dapat melihatnya dari kedua matamu.” Ucap Aidan yang kini mulai meraih kedua tangan Sunny yang hangat itu. Sunny tersentak sesaat ketika Aidan menggenggam kedua tangannya. Apakah memang begini caranya pada wanita, atau? Pertama, memperlakukannya seperti ‘Tuan Putri’, entahlah.

Sunny menatap kedua bola mata coklat karamel Aidan beberapa saat. “Kau bisa kapan saja menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi padaku.” Ucap Aidan masih dalam keadaan menggenggam kedua tangan Sunny.

“Aku berjanji tak akan menceritakan hal itu pada siapapun.” Ucap Aidan sekali lagi seraya menatap kedua bola mata aqua milik Sunny.

“Aku baik-baik saja. Dan ku kipir, tentu. Tapi tidak sekarang. Aku hanya tak sedang ingin membicarakan itu.” Ucap Sunny kini melepaskan genggaman tangan Aidan. Aidan sempat terkejut saat Sunny menarik tangannya yang tadi di genggam Aidan.

“Jam berapa sekarang? Bisakah kita pulang sekarang? Ku pikir matahari akan terbenam sebentar lagi.” Ucap Sunny basa-basi sambil sekali lagi memusatkan perhatiannya ke arah langit yang sendu kini sudah agak menghitam karena sang fajar sudah hampir terbenam sekarang.

“Baiklah.” Ucap Aidan seraya menyalakan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

 

***

 

Kini Aidan dan Sunny sudah tiba di depan rumah Sunny. Rumah Sunny memang tidak kelihatan besar, namun nyaman.

“Ini rumahmu?” Tanya Aidan menoleh ke arah rumah Sunny yang kelihatannya sederhana.

“Iya. Ini rumahku. Kenapa? Kelihatannya sederhana bukan? Rumahku ini tidak terlihat mewah seperti rumahmu, Aidan.” Ucap Sunny.

Beberapa menit kemudian, telepon genggam yang ada di dalam jaket Aidan bergetar. “Tunggu sebentar. Ku kira ada pesan masuk.” Ucap Aidan seraya mengeluarkan telepon genggamnya dan melihat pesan masuk dari Brandon.

From: Brandon Gaze Robert

To: Aidan Williams

Dude, aku harus memberitahumu satu hal tentang gadis ini. Maksudku, Sharon namanya. Ia sangat menyenangkan. Dan tidak cerewet seperti kebanyakan gadis. Aku mulai tertarik saat pertama aku melihat dirinya. Dan kau tau apa, dude? Aku baru saja menyatakan perasaanku padanya. Awalnya, dia memang tak percaya tentang perasaanku yang sebenarnya ini, tapi akhirnya ia percaya juga! Kami baru saja pulang dari Mall dan akan makan malam bersama pukul 7 di rumah Sharon. Apakah kau ingin ikut dengan kami? Oh ya, aku dan Sharon saat ini telah resmi menjadi sepasang kekasih. Dan ku pikir, dia adalah kekasih ku yang terakhir. Aku benar-benar menyayanginya. Oh ya, bagaimana denganmu dan Sunny? Ceritakan padaku apa yang terjadi!!

Apa? Brandon baru saja resmi menjadi kekasih Sharon? Secepat itukah? Bahkan ini belum terhitung 24 jam. Aidan hanya menatap layar telepon genggamnya itu, lalu membalasnya.

From: Aidan Williams

To: Brandon Gaze Robert

Tentu, aku akan ikut denganmu ke rumah Sharon untuk makan malam tapi aku akan mengajak Sunny. Apa kau keberatan jika aku mengajak Sunny? Hmm.. Aku jatuh cinta pada Sunny. Perasaanku pada Sunny sama seperti perasaanmu pada Sharon. Tapi aku belum memberitahunya. Akan ku beritahunya, jika aku menemukan waktu yang tepat. Aku akan segera kesana 20 menit lagi. See you.

Aidan mengirimkan pesan singkatnya pada Brandon. “Siapa yang mengirimu pesan?” Tanya Sunny penasaran dengan seseorang yang mengirimi Justin satu pesan singkat.

“Hanya Brandon. Kenapa? Kau cemburu?” Ucap Aidan yang mulai keluar dari pintu mobilnya dan hendak akan membukakan pintu untuk Sunny.

“Astaga, kau yang benar saja. Aku tak mungkin cemburu denganmu. Itu bukan urusanku, lagian.” Ucap Sunny singkat seraya keluar dari pintu mobil Aidan.

“Lalu mengapa kau menanyakan hal seperti itu padaku? Seperti orang ingin tahu.” Ucap Aidan kali ini seperti menggoda.

“Aku hanya ingin tahu. Hanya itu. Kalo itu dari Brandon, ya sudah.” Ucap Sunny cuek.

“Bagaimana kalo pesan singkat tadi dari seorang gadis yang ingin berkenalan denganku?” Ucap Aidan sekali lagi seperti mengetest apakah gadis yang satu ini akan cemburu padanya atau tidak. Sunny merasakan sesuatu yang mengganjal tenggorokannya saat dia mendengar perkataan Aidan tadi. Apa maksudnya seperti itu? Sunny benar-benar tak mengerti apa yang sedang ada di pikiran Aidan saat ini.

“Baiklah, lupakan perkataanku tadi. Brandon mengirimku pesan singkat bahwa ia akan makan malam dengan Sharon, apakah kau mau ikut?” Tanya Aidan dengan hati-hati. Hati Aidan kini bergejolak saat ia menunggu jawaban dari Sunny. Apakah Sunny akan mengiyakan ajakannya atau bahkan akan menolaknya? Entahlah. Kini suasana di antara mereka berdua hening sejenak. Aidan memang tak suka suasana hening seperti ini. Sunny masih tertunduk diam.

“Aku akan ikut denganmu.” Jawab Sunny dengan pelan namun cepat. Entah apa yang di rasakan Aidan, rasanya ia sangat bahagia saat tahu bahwa gadis di hadapannya ini mengiyakan ajakannya.

“Baik, aku akan tetap menunggu disini, kau bisa membenahi dirimu.” Ucap Aidan pada Sunny. “Kau bisa membenahi dirimu dalam 10 menit. Berdandanlah yang cantik.” Ucapnya lagi yang kini terukir senyuman di bibirnya. Sunny tentu tidak akan berdandan. Mungkin dia hanya akan mempoles bibirnya dengan lip-gloss yang baru di belinya tempo lalu dengan Sharon. Sunny sebelumnya tak pernah memakai benda semacam itu setelah Sharon menasihatinya untuk memakainya agar penampilannya terlihat menarik.

“Apakah kau keberatan menginjakkan kakimu di rumahku ini, begitu?” Ucap Sunny yang kini membuang waktu tiap detiknya.

“Bukan begitu. Maksudku, kukira kau akan keberatan jika aku masuk ke dalam rumahmu, eh?” Ucap Aidan pada Sunny yang terpaku di hadapannya.

“Tentu saja tidak, Aidan. Aku senang jika ada tamu di rumahku. Ayo masuk!” Ucap Sunny seraya menarik lengan Aidan menyuruhnya untuk masuk. Aidan hanya terdiam menurut ajakan Sunny karna sebenarnya dalam hatinya, ia sangat gembira saat Sunny menarik lengannya dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumahnya.

Sunny meraih kenop pintu rumahnya dan membiarkan Aidan masuk ke dalam rumahnya yang tampaknya kelihatan nyaman itu. “Kau bisa duduk di sofa ini, tuan Williams. Dan… oh ya, kau mau minum apa? Air putih? Sirup? Teh? Susu? Kopi? Haha.” Ucap Sunny dengan gelak tawa kecilnya. Aidan bahagia saat melihat Sunny tertawa seperti itu. Jika saja ia bisa melihatnya tertawa seperti itu setiap hari dan menunjukan senyum termanis yang pernah terukir di bibir merahnya, Aidan akan merasa seperti orang paling bahagia di dunia ini.

“Hmm.. pilihan yang banyak. Tapi maaf, kukira aku tak membutuhkan semua itu. Tapi yang ku butuhkan sekarang ini hanyalah kau pergi ke kamarmu sekarang dan segera membenahi dirimu untuk pergi makan malam denganku, Brandon, dan Sharon. C’mon, mereka menunggu kita dalam 20 menit.” Ucap Aidan seraya melirik arloji miliknya yang harganya bisa ratusan juta dollar itu.

“Oh okay, aku akan kembali dalam 5 menit. Tunggu sebentar.” Ucap Sunny yang kini telah berlari cepat ke arah kamarnya yang ada di sebelah kiri itu.

Kini Aidan hanya duduk terdiam sambil melihat keadaan rumah Sunny. Rumahnya tampak sepi. “Sepertinya ia tinggal sendiri di rumah ini, atau bagaimana, entahlah.” Gumam Aidan dalam hati. Aidan mulai melangkahkan kakinya menuju tempat dimana terdapat banyak bingkai foto Sunny bersama keluarganya. “Sunny terlihat lucu saat ia masih kecil. Dan sampai sekarang juga masih lucu.” ucap Aidan dalam hati seraya tersenyum melihat foto Sunny dengan boneka teddy bear yang kini telah rusak dan telah di buangnya 4 tahun yang lalu.

Aidan terus melihat foto demi foto Sunny dengan keluarganya dan saat Sunny memasuki ruang tamu. “Hey!” Ucap Sunny yang kini menatap apa yang sedang Aidan lakukan. Justin menoleh ke belakang dan menatap Sunny balik.

“Apa yang sedang kau lakukan? Melihat foto-foto keluargaku? Astaga, mengerikan sekali!” Ucap Sunny yang kini telah ada di depan Aidan menutupi fotonya saat ia masih berumur 5 tahun yang menurutnya wajahnya itu tampak mengerikan di foto itu.

“Tidak. Kau sangat lucu di foto itu. Aku menyukainya. Sungguh.” Ucap Aidan yang sedikit tertawa kecil saat ia sekali lagi ingin melihat foto Sunny itu.

“Tidak, Aidan. Aku sangatlah mengerikan di foto itu. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini dan menuju rumah Sharon segera untuk makan malam.” Ucap Sunny menarik tangan Aidan, lagi. Aidan hanya tertawa kecil sesaat lalu terkejut melihat Sunny yang kini menarik lengannya. Aidan sangat senang atas perlakuan kecil Sunny terhadapnya ini, setidaknya Sunny menyentuh lengannya untuk kedua kalinya.

Sunny telah menutup pintu rumahnya dan menguncinya sesaat tiba-tiba Aidan terdiam sesaat dan menatap Sunny dari ujung kepalanya sampai ujung kakinya.

“Apa? Aku kelihatan buruk dengan pakaian ini ya?” Ucap Sunny seraya melihat penampilannya yang menurutnya, penampilannya malam ini tidaklah terlalu buruk. Lalu ada apa? entahlah. Sunny hanya memakai celana jeans panjang dengan baju tanktop berwarna biru muda yang tak terlalu kelihatan ketat di pakainya dengan sweater berwarna hijau dan ugg boots. Penampilan yang benar-benar simple. Sangatlah simple namun kelihatan menarik dan sesuai dengan tubuh Sunny yang ramping ini.

“Ah.. Uhm.. Ti-i..dak! Kau sungguh cantik dengan pakaian ini. Aku suka penampilanmu yang terlihat natural. Kau kelihatan lebih baik daripada sebelumnya.” Ucap Aidan terbata-bata yang masih terpaku dengan Sunny. Entahlah, sepertinya Aidan benar-benar menyukai Sunny apa adanya, bukan ada apanya.

Well, sekarang lebih baik kita pergi kerumah Sharon. Jangan hanya membuang waktu seperti ini. Kau membuatku canggung dengan penampilanku saat kau menatapku berlebihan.” Ucap Sunny mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Okay, okay. Ayo kita pergi.” Ucap Aidan yang seraya membuka pintu mobilnya dengan diikuti Sunny yang juga melakukan hal yang sama dengan Aidan.

 

***

 

Kini mereka berdua telah sampai tepat di depan rumah Sharon. Sunny dan Aidan mulai mengetuk pintu rumah Sharon. Tak ada jawaban sama sekali. Sunny kembali mengetuk pintu rumah Sharon dan kembali tak ada jawaban. Kemana orang-orang ini? Apakah mereka telah meninggalkan Sunny dan Aidan karena sepertinya mereka telat 10 menit.

“Baiklah, untuk kali ini, kita tak perlu mengetuk pintunya.” Ucap Sunny seraya meraih kenop pintu. Suasana rumah Sharon sangatlah sepi, tak ada orang di dalam sepertinya. Lalu Sunny dan Aidan melihat sekeliling rumahnya. Dan melangkah maju ke arah dapur dan..

“ASTAGA, KALIAN BERDUA! APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN?!” Ucap Sunny terkejut dan seketika ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Sharon dan Brandon baru saja melakukan aksi panas mereka yaitu berciuman dan sesaat mereka berdua berhenti melakukan aksinya itu dan menatap Aidan dan Sunny yang menatapnya dengan mata horror, masih terdiam di ambang pintu yang terpaku karena aksi yang mereka lakukan barusan. Seketika Sharon bangkit dari tempat duduk meja makannya dan mundur beberapa langkah dari Brandon yang masih terdiam malu.

“Woah.. Apakah kami mengganggu ciuman kalian yang panas ini? HAHA.” Ledek Aidan.

“Kau ini apa-apaan!” Ucap Sunny sambil menyikut rusuk Aidan hingga ia menatap Sunny dengan tatapan, “Apa?” masih dengan gelak tawanya itu.

“Kami hanya… Uhmm kami hanya-”

“Uhm Aidan, Sunny, kau terlambat 10 menit dalam acara makan malam ini dan kami berdua juga sudah makan bersama. Maaf tidak menunggumu, karena kupikir, itu akan membuang waktu. Dan kami pikir, kami akan pergi setelah ini. Apa kau akan tetap makan disini?” Ucap Brandon cepat namun lugas.

“Tidak, kami pikir kami akan pergi makan di luar saja. Ayo Aidan.” Sunny mendengus seraya melangkahkan kakinya keluar dari tempat itu.

“Aku pergi dulu. Bye.” Ucap Aidan yang juga mengikuti langkah kaki Sunny di belakang.

 

*****

 

Sunny Styning Moon Point of View

 

Brandon maupun Sharon membuatku benar-benar jengkel setengah mati. Apa-apaan mereka ini! Mengundang kami untuk makan malam bersama dan tiba-tiba mengusir kami begitu saja hanya karena kami terlambat 10 menit. Dasar tidak sopan!

“Aku berani bertaruh jika saja kita tak segera datang ke dapur tadi, mereka akan melakukan tindakan yang lebih dari itu. Menjijikan.” Gerutu Sunny saat mereka sudah berada di depan mobil ferarri merah Aidan.

“Santai saja, Manis. Biarkan saja mereka melakukan hal seperti itu.” Ucap Aidan santai masih dengan gelak tawanya.

“Hey, apa maksud perkataanmu barusan? Aku tak mengerti!” Tanyaku yang kini mengerutkan dahiku.

“Mereka sudah resmi berpacaran sejak tadi sore.” Ucap Aidan tanpa ada rasa bersalah.

“Apa? Baru saja bertemu bahkan tak sampai 24 jam lalu dia sudah jatuh hati satu sama lain? Mustahil.” Ucapku dengan nada tak percaya.

“Kau tak percaya? Buktinya tadi mereka berciuman, itu berarti mereka sudah berpacaran. Kukira itu baik-baik saja.” Astaga, ucapannya tadi benar-benar sangat membuatku ingin muntah. Apa maksud perkataannya tadi itu hal yang wajar untuk sepasang kekasih?

“Menjijikan. Benar-benar menjijikan. Maksudmu, itu hal yang wajar untuk mereka berdua? Oh aku tahu, kau pernah merasakannya dengan kekasihmu jadi kau anggap hal itu wajar-wajar saja, bukan begitu?” Perkataanku kini benar-benar membuat gelak tawanya semakin membahana. Apa yang lucu dengan ini semua sampai-sampai ia tertawa seperti itu? Dasar lelaki sinting.

“Haha aku memang pernah melakukannya, tapi, ya, kau tahu.” Kata Aidan sambil terkekeh

“Ah sudahlah, jangan bahas itu lagi. Aku muak. Sekarang kita mau pergi kemana?” Tanyaku seraya menatap arlojiku yang kini sudah menunjukkan tepat pukul 8 malam. Astaga, secepat itukah waktu berjalan?

“Kupikir kita bisa pergi ke bistro yang makanannya terkenal enak itu. Aku bisa mengantarkanmu kesana sekarang juga.” Ucapnya sambil mengeluarkan kunci mobil ferarrinya itu. Kami berdua masuk kedalam mobil milik Aidan ini dan langsung menuju bistro yang di maksud Aidan.

 

***

 

Author Point of View

 

Sunny hanya menyuruput secangkir cappuccino yang di pesannya sedari tadi. “Kau kenapa diam saja?” Tanya Aidan yang kini tatapannya tertuju pada gadis yang di depannya ini. Entahlah, sedari tadi ia hanya menatap ke arah luar jendela sambil menyuruput secangkir cappuccino-nya itu.

“Tidak apa-apa.” Ucapnya dengan tatapan bahwa semuanya baik-baik saja. Sunny hanya ingin diam untuk saat ini.

“Aku ada ide! Bagaimana kalau kita ke taman dekat sini? Disini terdapat taman luas. Kau mau kesana?” Tanya Aidan bersemangat. Dan jawabannya adalah.. “Ide yang bagus. Aku sedang tidak dalam mood yang bagus saat ini, tapi ku pikir itu akan menjadi begitu menyenangkan.” Sunny mengiyakan ajakan Aidan.

 

***

Kini Aidan dan Sunny tengah berdua di taman itu. Disana terdapat beberapa arena permainan seperti jungkat-jungkit, ayunan, dan lain-lain. Tatapan Sunny kosong. Aidan hanya terdiam dan sesekali melirik Sunny. Entah apa yang sedang di pikirkan oleh gadis yang duduk di sebelahnya ini. Aidan bingung harus berbuat apa.

“Ehmm. Sunny?”

“Ya?” Jawab Sunny tidak menoleh sedikitpun ke arah Aidan.

“Bolehkah aku menanyakanmu sesuatu?” Aidan menelan ludah sekali lagi.

“Tentu saja boleh. Apa yang ingin kau tanyakan, Aidan?” Ucap Sunny kini menoleh ke arah Aidan. Entah kenapa jantung Aidan kini berdetak begitu cepat. Ada apa dengan Aidan sehingga ia jadi panas dingin begini? Apakah ia akan memberi tahu tentang perasaan yang sebenarnya terhadap Sunny? Entahlah.

“Apa yang akan kau lakukan jika ada seseorang akan menyatakan perasaannya padamu?” Ucap Aidan dengan sangat hati-hati. Entah kenapa perasaan Aidan kini bercampur aduk jadi satu. Sebelumnya, Aidan tak pernah seperti ini kalau ia hendak akan menyatakan perasaannya pada seorang wanita, tapi entah mengapa, kini ia merasakan sesuatu yang sangat aneh saat ia akan menyatakan perasaannya terhadap Sunny.

Sunny terdiam beberapa saat karna memikirkan satu pertanyaan ini yang menurutnya benar-benar konyol. Mana ada lelaki yang mau dengannya? Cuek, sombong, dan angkuh. Itu semua sikap Sunny yang mungkin kebanyakan lelaki tak suka sikap perempuan yang seperti itu.

“Haha Aidan. Pertanyaanmu itu benar-benarlah konyol. Kau bisa pikirkan sendiri, memang ada lelaki yang mau denganku? Kupikir kebanyakan lelaki tak suka dengan sikap buruk yang kupunya.” Ucap Sunny.

“Erghm. Bagaimana kalau ada lelaki yang benar-benar menyukaimu dengan tulus? Dan bagaimana jika lelaki yang menyukaimu itu adalah lelaki yang kini berada di sampingmu?” Ucap Aidan dengan cepat dan hati yang bergejolak itu.

Kini Aidan tak dapat menyembunyikan wajahnya yang telah di penuhi oleh keringat dingin yang keluar dari pori-pori kulitnya. Sunny tercekat akan pertanyaannya yang kini di luar dugaannya. Seorang Aidan Williams menyukai gadis cuek, sombong, dan angkuh seperti Sunny ini? Apakah kau bergurau? Tentu saja mustahil bagi Sunny untuk mempercayainya.

Keadaan kini kembali sunyi dan senyap. Hanya terdapat suara lalu lalang mobil. Sunny tak tahu apa yang harus ia katakan saat ini. Sunny juga merasakan hal yang berbeda saat ia ada di dekat Aidan. Ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia tak akan mungkin menolak lelaki setampan Aidan ini. Namun yang Sunny takutkan hanyalah satu, jika suatu hari nanti Aidan sudah bosan dengan Sunny, apakah Aidan akan meninggalkan Sunny begitu saja dengan gadis lain? Tentu saja Sunny tak ingin di sakiti. Mana ada perempuan yang ingin di duakan? Kau cari sampai ke belahan dunia pun, tak ada satupun yang ingin di duakan oleh pasangannya sendiri.

Sesuatu menghantam tenggorokan Sunny saat ia hendak akan mengatakan bahwa ia mempunyai perasaan yang sama akan Aidan. Tapi entahlah, sepertinya ia susah untuk mengatakan yang sebenarnya pada Aidan. Sunny menarik napas sekali lagi lalu menjawab perkataan lelaki di sampingnya itu.

“Kau tak akan percaya ini, Aidan. Bahwa sebenarnya gadis bernama Sunny Styning Moon ini juga merasakan hal yang sama denganmu.” Ucap Sunny pelan.

Terukir sebuah senyuman lebar dari bibir Aidan yang merah dan lembab itu. Rasanya, ia ingin sekali memeluk Sunny erat-erat sesaat ketika Sunny mengatakan kata-kata ajaib yang barusan ia katakan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama terhadap Aidan.

“Aku berjanji tak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi. Aku akan selalu ada di sampingmu ketika kau membutuhkanku. Aku tak akan mengkhianatimu. Aku berjanji padamu. Kau bisa tinggalkan aku jika aku sesekali mengkhianati atau menyakitimu.” Bisik Aidan di telinga Sunny yang membuat Sunny kini mengejang.

I want you.” Bisik Sunny pelan tepat di telinga Aidan lalu mengecup kedua pipi Aidan lembut. Aidan terkejut dan tentu saja bahagia sekali akan hal itu. Aidan tak percaya jika sebenarnya Sunny mempunyai perasaan yang sama dengannya.

“I want you too. So badly.” Ucap Aidan yang kini telah bangkit di hadapan Sunny dan langsung mengangkat tubuh gadis itu dan menempatkan kedua kaki gadisnya itu di pinggangnya lalu menciumnya. Sunny membalas kecupan lembut dari Aidan tepat di bibirnya.

Bahagia. Itulah yang sedang mereka rasakan sekarang ini.

 

 

 

 

 

 

THE END.

 

 

 

A/N: Hai! Aku kali ini hadir dengan oneshot ku hehe :3 FYI, ini cerita oneshot jadi gak ada chapternya. Jadi aku iseng ngubek-ngubek file dokumen aku dan menemukan cerita ini! :) Cerita ini aku buat waktu aku masih kelas 2 SMP hehehe :3 Jadi kira-kira cerita ini udah dibuat lima tahun yang lalu. Dan juga sebenernya ini itu fanfiction yang tadi aku rombak sedikit lah sebelum di post disini. Butuh waktu yang ya, lumayan makan waktu lama untuk edit cerita ini sebelum di post kesini.

Sumpah, aku iseng aja pengen post sesuatu disini sekalian ngumpulin poin juga sih, hehehe. Maklum, soalnya pengacara (pengangguran banyak acara) sekarang jadi ga ada kerjaan hehehe. Ceritanya singkat, gaje, abal-abal, dan receh banget. Maaf kalo ada yang ga suka baca cerita ini, maklum lagi ya soalnya waktu bikin cerita ini masih ababil a.k.a labil dan amat sangat amatiran. But again, makasih yang udah mau buang-buang waktunya untuk baca cerita ini, it means a lot! <3

Aku juga masih ada beberapa oneshot lagi di file ku, entah kapan aku ga janji juga kapan mau post lagi, tapi ntar deh. Nunggu aku iseng lagi, siapa tau aku post disini oneshot nya hehehe. Itu juga sih kalo ada yang mau. Kalo ADA YANG MAU ya. hehehe.

Sekian dari aku. Author’s Note terpanjang nih hehehe.

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan yaa :*

See you when I see you in the next blog!

 

Much Love,

Kalfa♥

DayNight
DayNight