Vitamins Blog

That Should Be Me (Oneshot)

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Title            : That Should Be Me

Author       : Kalfa – keyxqueen

Genre         : Friendship, hurt, romance

Length       : Oneshot

Rate            : T-14  

Cast            : Clara Belle, Kyle O’Conell, etc.

 

Seperti oneshot ku yang kemarin, ini salah satu cerita lama ku yang dibuat lima tahun yang lalu. Jadi maaf kalau ada banyak typo(s), kegajean, dan unsur abalism di dalam cerita ini.

Happy reading guys! :) 

 

 

— 

 

Clara Belle. Perempuan berumur 17 tahun ini masih hanyut dalam tidur nyenyaknya di atas ranjang yang empuk tanpa memperdulikan dentingan keras jam weker yang terdapat di atas meja, di samping ranjangnya itu. Ia mengerjapkan matanya sejenak lalu dengan keadaan setengah sadar, ia mulai meraih jam wekernya lantas membantingnya ke meja yang ada di samping ranjang-nya itu, dengan keras.

Bug

Clara masih membantingnya dengan keras ke meja. “Jam weker bodoh!! Kau menganggu ku tidur, tau!” Gertaknya kesal sambil terus menerus membantingnya lalu melemparnya ke dinding kamarnya yang terlapis wallpaper berwarna biru terang.

Kebiasaan pagi yang sangat buruk, memang. Ia sudah biasa membanting atau melempar jam weker yang padahal baru saja di belikan bibinya kemarin karena dua hari yang lalu, ia juga membanting jam wekernya ke dinding.

Setelah Clara puas membanting jam wekernya itu ke dinding sehingga tak ada lagi dentingan yang akan membangunkannya kali ini, ia mengedarkan pandangannya sejenak ke sekeliling kamarnya memastikan tak ada gangguan untuk kali ini dan tak sengaja, matanya melirik ke arah jam dinding. Dengan spontan, matanya terbelalak seakan-akan ingin jatuh saat itu juga. “Geez, sekarang sudah jam setengah delapan?! Are you kidding me?! Oh shit!” Umpatnya kesal.

Sekarang sudah jam setengah delapan, itu berarti, setengah jam lagi ia akan ketinggalan bis sekolahnya. Ia panik, benar-benar panik sekarang. Dengan gerakan secepat kilat, ia bangkit lalu segera menerobos pintu kamar mandi lantas menggosok giginya lalu membasahi permukaan mukanya yang terasa begitu lengket.

“Aku mandi setelah pulang sekolah saja!” Gerutunya sambil mengusap mukanya dengan handuk kecil yang tergantung bebas di dekat pintu.

Setelah dari kamar mandi, dengan gerakan serampangan, Clara lalu mengganti t-shirt bertuliskan, “What The Hell?!” di bagian depan dan juga celana jeans berwarna biru. Clara memang tak punya style seperti kebanyakan gadis-gadis di sekolahnya yang terbiasa memakai baju ala wanita-wanita manja. Ia pikir, berpenampilan biasa seperti ini sudah cukup kelihatan bagus.

Oh, dan tak lupa dengan sepatu all-star berwarna merah dan topi rajutannya. Ia memang sudah biasa memakai topi rajutan buatan ibunya itu. Ibunya, Miss Grace tewas saat kecelakaan di Chicago bersama suaminya, Mr. David dua tahun lalu. Ia sekarang tak bisa lagi memakai topi rajutan yang baru buatan ibunya karna kecelakaan itu. Ia sekarang juga tinggal bersama paman dan bibinya di Canada.

Ia sempat termenung sejenak mengingat ibu dan ayahnya itu dan tak sadar jika butiran bening jatuh dari balik kelopak matanya. Oh shit, ia seharusnya tak boleh terus terpukul karna kedua orang tuanya. Ia sudah tenang di alam sana.            

Dengan spontan, Clara menghapus jejak air matanya lalu mengambil tas selempangnya yang terdapat di atas meja belajarnya itu. Clara menuruni anak tangga dan langsung dapat melihat Laura, bibinya sedang menyiapkan sarapan pagi. Benar-benar mengingatkannya pada ibu. Miss Grace melakukan hal yang sama seperti Laura jika di pagi hari. Ya, menyiapkan sarapan pagi untuknya dan juga ayahnya itu. Namun, ia sekarang sudah tak dapat melihat ibunya menyiapkan sarapan pagi untuknya dan memberikan kecupan yang hangat di pagi hari. Ya semua itu tak akan pernah ia rasakan lagi.

Good morningsweetheart.” Sapa Laura ramah pada Clara. Clara hanya bisa melemparkan senyuman yang kaku pada Laura. Entah apa yang sedang Clara rasakan pagi ini, ia memang sedang dalam mood yang tidak baik kali ini. Laura mengernyit sejenak atas tingkah aneh Clara.

“Kau kenapa?” Tanya Laura heran pada Clara. Tingkah Clara pagi ini memang aneh. Ia tak biasanya menunjukkan raut wajah abstrak seperti itu. “Kau sedang memikirkan apa, honey?” Tanya Laura lagi pada Clara untuk memastikan bahwa Clara baik-baik saja. Clara hanya menggeleng pelan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Laura.

“Baiklah, kuharap kau baik-baik saja.” Sahut Laura sambil mengoleskan madu di atas roti lantas memberikan roti tersebut pada Clara. “Aku baru saja membelikan madunya tadi malam di supermarket untukmu. Kau suka madu, kan?” Ujap Laura basa-basi namun Clara masih saja tetap terdiam entah apa yang sedang di pikirkannya. “Hey, kau tak apa? Kenapa kau daritadi hanya melamun saja? Kau tak suka dengan madu yang ku belikan, ya?” Laura menggigit pelan bibir bawahnya yang lembab karna polesan lipstick nya itu. Lagi-lagi Clara terdiam melamun.

Laura lantas melambaikan tangan mulusnya itu tepat di depan wajah Clara. “Agh―uhm.. ada apa?” Tanya Clara tergelagap. “Kau sedang memikirkan apa? Daritadi melamun saja.” Clara menunduk sebentar lalu menoleh ke arah Laura. “Aku tak apa-apa. Mungkin aku lelah karena tadi malam aku tidur larut malam karna mengerjakan semua PR ku. Kau tak perlu khawatir.” Ucap Clara seraya menepuk bahu Laura pelan sambil melemparkan senyuman hangat pada Laura. Laura tersenyum lalu mengangguk mengerti.

Tak sadar, bahwa kali ini klakson bis sekolahnya terdengar nyaring di depan halaman rumah. “Oh, kukira sekarang aku harus berangkat sekolah.” Clara lantas bangkit dan langsung pergi keluar untuk membuka pintu. “Hati-hati!” Ucap Laura sambil melambaikan tangannya pada Clara yang kini sudah menghilang dari balik pintu.

Dengan gerakan terburu-buru, Clara langsung membuka pintu bis sekolah itu lalu masuk ke dalam. “Maaf jika lama menunggu, Tay.” Ucap Clara pelan pada sopir perempuan itu, namanya Taylor. “Tak apa, lagipula sekarang masih pagi. Sekarang cepat cari tempat dudukmu.” Ujar Taylor sambil mulai mengendarai stir bis.

“Baiklah.” Clara mengangguk pelan lantas mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang kosong. Kali ini keadaan di dalam bis tak begitu gaduh seperti biasanya. Sepi. Hanya ada beberapa orang di dalamnya. Ya, yang di katakan Taylor benar. Sekarang masih pagi, dan belum terlihat ada beberapa murid yang biasanya membuat gaduh dalam bis.

Clara menemukan tempat duduk yang kosong yang posisinya berada di tengah. Clara lalu menghampirinya lantas duduk disana. Clara menghela napas sambil merogoh tas selempangnya, mencari iPod nano miliknya di dalam sana. Setelah menemukan gadget tersebut, ia langsung menyumpal kedua lubang telinganya dengan headset yang sudah tersambung pada port iPod itu.

Mendengarkan lagu country di pagi hari, kedengarannya ide yang bagus.  Lalu Clara memutar lagu Taylor Swift yang judul lagunya, Love Story. Setelah lagu tersebut mengalun sempurna di telinganya, ia mengalihkan pandangannya melihat ke arah jendela luar, melihat keadaan jalanan yang tampak masih sepi sekarang.  Clara menghela napas sekali lagi lalu mulai memejamkan matanya. Ia dapat merasakan hamparan angin pagi yang terasa begitu sejuk dari kaca mobil bis sekolah ini. Clara sangat senang saat-saat seperti ini. Saking asyiknya merasakan angin pagi itu, tiba-tiba tangan kekar nan berotot menepuk bahunya pelan dan Clara tersentak. Ia melepaskan headset dari lubang telinganya lalu menoleh ke asal tangan yang menepuknya itu.

“Kyle! Kau mengagetkanku, tau!” Clara mendengus keras lantas mendelik ke arah Kyle yang kelihatannya tampak konyol. “Ha-ha, aku senang melihatmu kaget seperti itu! Sangat lucu!” Jelasnya sambil tertawa hambar. “Hell, apa yang lucu? Mengagetkan orang kau bilang itu lucu?” Clara menatap kedua bola mata hazel milik Kyle dengan kening mengerut. “Erhmm―” Kyle tergelagap melihat bola mata biru terang milik Clara yang menatapnya menohok.

“Apa? Kau mau bilang apa?”

“Tidak jadi.”

“Bagus kalau begitu.” Ujar Clara tersenyum puas lalu kembali memasangkan kedua headset ke lubang telinganya lantas mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Hey, hari ini aku ingin menyatakan perasaanku pada seseorang, apa kau mau membantu?” Belum Clara memutar lagu di iPodnya, Kyle kembali berseru. “Aku ingin menyatakan perasaanku pada Stella.” Deg. Clara menoleh ke arah Kyle dengan cepat, bahkan terlanjur terlalu cepat.

“Kau bilang apa barusan?” Tanya Clara seakan tak mendengar dengan apa yang di katakan Kyle barusan. “Aku bilang, aku ingin menyatakan perasaanku pada Stella.” Dum. Seakan ada sesuatu yang baru saja hancur berkeping-keping dalam hatinya. Ada apa ini? Kenapa rasanya bernapas sulit sekali? Tadi Clara baik-baik saja. Ia bahkan dapat bernapas lega dan dapat menghirup udara sejuk di pagi hari. Kenapa sekarang rasanya sulit?

Clara hanya membeku di tempatnya mendengar pernyataan Kyle barusan. Kyle lantas menoleh ke arah Clara dengan tatapan heran. “Kau baik-baik saja?” Bodoh, idiot. Tentu saja Clara sedang tak baik-baik saja. Clara sakit saat mendengar pernyataan Kyle. Mood Clara sedang buruk pagi ini, di tambah lagi mendengar kata-kata Kyle yang membuat moodnya makin hancur.

“Hey, apa kau baik-baik saja?” Tanya Kyle lagi pada Clara. Jelas-jelas Clara tak suka dengan Stella, apalagi sekarang Kyle ingin menembak gadis tengil macam Stella. “Apa kau yakin dengan pernyataanmu barusan bahwa kau ingin menyatakan perasaanmu pada Stella?” Clara kini membuka suara dengan nada bergetar. Entahlah, rasanya sulit bernapas, apalagi berbicara.

“Yeah, aku sangat yakin. Aku jatuh hati padanya.” Deg. Lagi-lagi. Cukup Kyle, cukup. Aku tak kuat mendengarnya. Clara membatin. “C’mon, Kyle! Apa kau yakin? Stella sangat menyebalkan, kau tahu! Aku benci padanya!” Clara menggigit bibir bawahnya perlahan sambil menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh ulu hatinya.

“Tapi aku tahu kok, sebenarnya Stella baik.” Jika bisa Clara berteriak saat itu, Clara tak segan-segan akan berteriak sekencang mungkin, kalau perlu di depan muka Kyle. Clara benar-benar tak kuat. “Apa kau perlu bukti bahwa Stella itu licik dan menyebalkan, hah? Dia bahkan hampir saja mempoleskan lem perekat pada kursiku jika saja Steven tak memberitahuku. Kau itu bodoh atau bagaimana, sih?” Clara coba meyakinkan bahwa Stella bukanlah gadis baik, tak seperti apa yang di pikirkan Kyle.

“Oh ayolah, dia baik, cantik, kapten cheerleader pula. Aku menaksirinya sejak di bangku kelas sepuluh.” Shit. Berhenti memuji Stella, Kyle. Kini Clara membatin lagi. Clara sudah cukup mendengar argumen-argumen tentang Kyle yang tak habis-habisnya memuji Stella. Clara mendengus keras lalu memasukkan kedua headset kembali ke lubang telinganya. Setelah men-setting fitur shuffle, ia langsung memperkencang volume iPodnya. Ia sengaja melakukan itu agar ia tidak dapat lagi mendengar apa yang Kyle ucapkan padanya saat memuji Stella.

“Clara! Tolong dengarkan aku!” Pinta Kyle yang kini mengoyak-oyakan tubuh Clara pelan. Clara hanya mengabaikannya lalu kembali bernyanyi sekeras-kerasnya agar Kyle bungkam. “Sialan.” Umpat Kyle pelan, tak ada satupun yang mendengar umpatan Kyle selain Clara. Namun Clara tetap mengabaikannya. Ia tak mau berdebat dengan sahabatnya sendiri. 

 

— 

 

Kring

Kring 

Bunyi bel sekolah yang menandakan pulang sekolah tiba itu berbunyi keras hingga terdengar di seluruh koridor sekolah. Clara menghela napas lalu memasukkan buku-buku pelajaran ke tas selempangnya.

“Hey gadis hipster.” Ejek Stella dan kawan-kawannya pada Clara seraya berjalan menuju keluar kelas dengan tertawa mengejek. Clara mendelik ke arah Stella dan gengnya. Rahang Clara mengeras lalu mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya tampak kelihatan membiru disana. Kill ‘em with kindness. Kata-kata tersebut tiba-tiba langsung mengiang di pikirannya. Oh ya, kata-kata yang sering di ucapkan Kyle saat Clara hendak akan menonjok wajah mulus Stella itu.

Entah kenapa, Clara seakan terhipnotis dengan kata-kata itu. Kyle selalu punya caranya sendiri untuk membuatnya merasa nyaman dan tenang. Dan lagi-lagi Clara kembali teringat akan kata-kata Kyle tadi pagi bahwa ia akan menyatakan perasaannya pada Stella hari ini. Sial. Kenapa bisa Kyle menyukai sosok nenek sihir macam Stella sih? Bagaimana jika Stella menolak Kyle mentah-mentah? Ah, tidak mungkin. Pasti Stella akan menerimanya dengan senang hati. Lagian kan, Kyle banyak di lirik gadis-gadis di sekolahnya dari junior bahkan sampai seniornya. Tapi bagaimana jika Stella hanya memanfaatkan Kyle bukannya mencintai Kyle dengan sungguh-sungguh? Ah, tidak, tidak. Apa yang sedang Clara pikirkan sih?

Ia mulai bangkit dari tempat duduknya lalu menemukan sosok Kyle di depan kelasnya. Clara tersenyum sejenak. Kyle tak biasanya sehabis bel pulang sekolah berbunyi langsung tiba-tiba ke kelas Clara. Biasanya, ia menunggu di halte depan sekolah atau menunggunya di lapangan basket. Atau memang Kyle sengaja ingin menunggunya atau bagaimana? Entahlah.

Clara kembali melirik sosok Kyle di depan kelasnya lalu tersentak sejenak saat Kyle membawa setangkai bunga mawar merah di belakang punggungnya lalu menghampiri Stella dan kawan-kawannya. Oh astaga, Kyle jangan lakukan itu. Clara mengumpat dalam hati lalu ia menghentakkan kakinya keras-keras di ubin berwarna putih di kelasnya itu.

Dan sialnya lagi, Stella bahkan menerima bunga tersebut dari Kyle lantas mengangguk mantap dengan apa yang di bicarakan Kyle pelan lalu menggandeng lengan Kyle dengan manja. Sial, sial, sialan!! Umpat Clara kesal.

Bagaimana bisa sih Kyle benar-benar melakukan itu? Ia pikir, Kyle hanya berpura-pura dengan omong kosongnya tadi pagi. Clara menggigit bibirnya keras-keras menahan rasa sakit dan sesak sedaritadi. Ada apa dengan Clara sih? Apa jangan-jangan Clara jatuh hati pada Kyle? Oh yang benar saja. Jatuh cinta pada sahabat sendiri kedengarannya sangat konyol.

Clara menunduk sejenak merasa ada butiran hangat yang turun sempurna di pipi halusnya itu. Oh tolong jangan menangis, aku mohon. Ini bahkan kedengaran sangat konyol jika aku menangisi Kyle. Dia hanyalah lelaki idiot yang tak perlu aku tangisi. Clara membatin.

Ia lantas berjalan pelan keluar kelasnya dan melihat Kyle dan Stella yang tepat ada di gerbang pintu sekolah. Apakah Kyle lupa dengan Clara bahwa hari ini ia akan pulang bersama-sama seperti biasanya dengan bis sekolah? Kenapa tiba-tiba ia sekarang pulang dengan Stella? Apakah ia tidak sedikitpun terbesit memikirkan Clara saat itu? Oh Clara, apa yang sedang kau pikirkan? Kyle bahkan baru saja menyatakan perasaannya pada Stella. Mana mungkin ia masih mengingatmu? Ia bahkan sudah punya Stella di sisinya. Seakan Batinnya kini saling menyaut.

Oh ini gila. Bagaimana dengan main basket nanti sore? Kyle sudah mengirimkan pesan tadi malam. Jangan sampai ia lupa akan hal itu. Oh sungguh, dia benar-benar keterlaluan jika ia lupa dengan itu. Bahkan Kyle yang mengajaknya untuk bermain basket nanti sore.

Clara benar-benar tak bisa menahan emosi sekarang. Ia tak mampu bernapas apalagi berbicara sepatah katapun. Clara benar-benar menaruh perasaannya pada Kyle. Namun sulit mengungkapkannya pada Kyle mengingat Kyle hanya menganggapnya hanya sebatas sahabat, tak lebih. Jika Clara benar-benar mengatakan sesuatu tentang perasaannya pada Kyle selama ini, yang ada, Kyle tak akan menanggapinya, melainkan mungkin menertawakannya. Yang benar saja, seorang gadis bernama Clara Belle jatuh hati pada sahabatnya sendiri yaitu Kyle O’Conell. Konyol.

 

— 

 

Clara Belle Point Of View 

 

Aku masih men-dribble bola basket lantas melemparnya masuk tepat ke dalam ring basket. Dimana Kyle? Sudah lebih dari satu jam aku menunggunya di lapangan basket dekat komplek. Jangan bilang jika ia benar-benar lupa dengan janjinya yang mengajakku untuk bermain basket sore ini. Ah, tidak, tidak. Siapa tau ia sedang menuju kemari atau bahkan mungkin ia sedang di suruh Patricia sebentar ke mini market untuk membeli cemilan.

Kyle memang tipikal laki-laki yang rajin dan patuh pada orang tuanya. Selain tampan, ternyata ia juga rajin. Ah, apa yang sedang kupikirkan terhadapnya? Kenapa sekarang aku malah memujinya seperti ini? Aku tak sadar bahwa aku sedang membayang-bayangi wajahnya itu lalu tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting.

Sekarang sudah kembali menunjukan pukul lima sore lewat lima belas menit. Oh astaga, Kyle kumohon segera cepat kemari. Cuaca sore ini kini mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Apa yang harus kulakukan agar Kyle segera kemari? Ketika tersebit sebuah ide bersinar bak lampu bohlam dalam pikiranku. Mengirim pesan singkat pada Kyle. Yap. 

 

To: Mine♡

Tolong sekarang kau ke lapangan basket di dekat komplek. Kau lupa ya dengan janjimu yang ingin mengajakku bermain basket sore ini? Oh ayolah bung!

 

Dengan gerakan tangkas aku mengetuk layar ponselku itu lalu men-klik tombol Send untuk mengirimkan pesan singkatnya itu pada Kylee. Tak lama aku mengirimkan sebuah pesan singkat padanya, terdengar dentingan khas seperti bunyi pesan masuk dari ponselku. Ternyata balasan pesan Kyle. 

 

From: Mine♡

Maaf aku tak bisa datang kesana sore ini. Aku lelah karena baru saja aku pulang sehabis mengantarkan Stella berbelanja ke mall, walaupun melelahkan, tapi sangat menyenangkan pergi bersamanya. Dan kau tahu tidak? Dia ternyata juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ini benar-benar ajaib. 

Deg. Rasanya sesuatu seakan baru saja menghantam keras tepat di jantungku. Sesak. Itu yang sekarang aku rasakan. Benar dugaanku. Dia sudah menembak Stella tadi siang.

Dasar lelaki idiot. Kenapa ia benar-benar nekat melakukannya? Lalu bagaimana dengan perasaanku selama ini terhadapnya? Aku tak bisa begitu saja mengubur dalam-dalam perasaanku terhadapnya. Kuakui, memang Kyle lelaki yang baik. Aku menyukai sikapnya itu. Namun jika begini jadinya, aku harus membuang jauh-jauh perasaanku padanya. Percuma saja menaruh hati pada Kyle, tapi Kyle tidak menyukaiku. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Oh ya tentu saja.

Aku tak membalas pesan singkatnya yang bodoh itu. Ia pura-pura tak tahu bahwa aku benar-benar membenci Stella atau bahkan ia pikir itu hanyalah kekesalan ku yang semata-mata tak perlu di tanggapi. Aku tak bisa mencerna apa yang ada di pikiran Kyle. Dia……Ah aku tak tau. Ingin sekali rasanya berkata kasar.

Sakit. Itu yang sedang aku rasakan sekarang. Mendengar Kyle dan Stella kini sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku harap bahkan Kyle akan menjadi pacar pertamaku atau aku yang akan menjadi pacar pertamanya. Well, kedengarannya sangat mustahil memang.

Aku hanyalah gadis tomboy dan angkuh. Tentu saja Kyle tak akan menyukai gadis sepertiku. Tipe gadis yang diinginkan Kyle itu ya hanyalah seperti Stella, Stella, dan Stella. Si nenek sihir itu. Atau bahkan Stella sudah membutakan mata Kyle sampai-sampai Kyle bisa menyukai Stella? Ah…. Aku ingin menjerit sekencang-kencang sekarang juga, jika saja tak ada orang yang melewati lapangan basket dan menganggapku orang sinting.

Aku dapat merasakan rintik air hujan yang kini sedikit demi sedikit mulai membasahi tanktop dan sweatpantsku. Masa bodo. Aku tak peduli. Ini semua gara-gara Kyle jika aku kehujanan. Ia benar-benar keterlaluan! Kenapa aku bisa sebodoh ini menuruti kata-katanya tadi malam untuk pergi ke lapangan basket dan bermain basket dengannya sore ini. Mustahil. Konyol. Kyle tentu hanya ingin mempermainkanku. Kenapa aku tak menyadarinya? Lagipula, jika aku jatuh sakit karena kehujanan, Kyle tak akan peduli.

Kini butiran air mata yang mengalir di pipiku menyatu dengan air hujan. Biarkan saja, lagipula kalau aku menangis, tak ada satupun yang akan menyadarinya. Aku hanya dapat menggigit keras-keras bibirku melawan derasnya air hujan yang terasa begitu dingin menusuk permukaan kulit putihku ini. Aku tak peduli. Ah, Kyle, aku mencintaimu. Lebih dari apapun. Apa kau tak mengerti tentang perasaanku yang tumbuh untukmu ini? Aku akan buktikan padamu jika Stella tidak seperti apa yang kau pikirkan. Aku benci padamu. Aku benci Stella. Aku benci kalian!

 

 

Author Point Of View 

 

Clara hanya mengetuk-ngetukan jarinya di atas bangku panjang di taman belakang sekolahnya. Rasanya begitu sepi tanpa kehadiran Kyle di sisinya. Biasanya, saat-saat seperti ini, seharusnya ia dan Clara sedang berdua disini tertawa-tawa kencang karena lelucon-lelucon yang di buat lelaki itu untuk Clara. Namun, sepertinya, sudah tak ada lagi sosok lelaki yang selalu di sayangi Clara ini. 

Kyle memang benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat sejak resminya Stella menjadi kekasihnya. Jarang mengirimi Clara pesan singkat atau mengirimnya dongeng singkat dalam pesan singkat yang ia selalu kirimi setiap malamnya jika Clara hendak tidur. Jarang lagi duduk di samping Clara jika ia sedang berangkat sekolah bersama dengan satu bis. Jarang bermain basket di lapangan dekat komplek. Jarang menjemput Clara untuk pergi main ke taman kota. Kyle benar-benar berubah sejak bersama Stella.

Tak sadar jika tetesan air mata yang turun dari balik kelopak mata Clara sudah membanjiri wajahnya yang tampak merah merona kali itu. Tetesan hangat air mata itu tak henti-hentinya berhenti. Sampai kapan Kyle akan tetap memuji Stella dan mengabaikan dirinya? Itu benar-benar membuat Clara hancur berkeping-keping.

Clara menyeka aliran air mata hangatnya itu lalu beranjak dari kursi panjang di taman belakang sekolahnya itu. Ia lalu berjalan menuju kelas sambil menundukan kepalanya. Ia tak sanggup memperlihatkan wajahnya yang keliatan kacau kali itu. Semalaman ia hanya bisa menghabiskan tisu untuk menyeka air matanya karena Kyle. Entahlah, Kyle benar-benar keterlaluan akan sikapnya yang benar-benar berubah.

Clara merindukan Kyle yang dulu, yang selalu mengiriminya pesan singkat atau mengirimnya dongeng singkat dalam pesan singkat yang ia selalu kirimi setiap malamnya jika Clara hendak tidur, bermain basket di lapangan dekat komplek, atau bahkan menjemput Clara untuk pergi main ke taman kota hanya sekedar untuk mengobrol biasa. Clara merindukan semua itu.

Ia mengambil sehelai tisu dalam saku celana jeansnya lalu menghapus jejak-jejak air mata yang kini terasa begitu lengket di permukaan pipinya itu. Pupus sudah semua harapannya. Ia harus bisa tegar dengan semua ini. Kyle memang pantas mendapatkan Stella yang setidaknya lebih baik daripada dirinya. Kyle sangat pantas bersama Stella dan sepertinya ia kelihatan bahagia bersama Stella. Clara harus merelakan Kyle yang kini sudah bersama Stella walau sejujurnya sangat sulit melupakan Kyle dengan kenangan-kenangan manis yang selama ini ia ukir bersama dengan Kyle.

Semuanya tak bisa dengan mudah Clara lupakan. Semuanya terlalu manis untuk di lupakan. Andai saja, Kyle mengerti akan perasaannya, tak selalu menganggap jika perasaan Clara untuknya bukanlah sebuah gurauan semata, melainkan perasaan yang benar-benar tumbuh untuknya. Clara tulus mencintai Kyle sebagai sahabat, bahkan lebih. Kenapa setidaknya, Kyle mengerti sedikit akan perasaannya selama ini?

Clara berjalan melewati lapangan bola basket. Oh disana ada Kyle yang sedang bermain basket. Ia bersama Stella, tentu saja. Stella tampak menyemangati Kyle bermain basket disana. Seharusnya Clara yang duduk disana menyemangati Kyle bermain basket atau bahkan ikut bermain dengan Kyle. Bukan Stella. Apa yang Stella dapatkan dari Kyle, seharusnya Clara yang dapatkan. Bukan Stella. Seharusnya Clara lah yang pantas untuk Kyle, bukan Stella.

Clara menghentikan langkahnya lantas duduk di kursi sambil memandangi Kyle yang kini mulai berhenti bermain basket lalu menghampiri Stella yang duduk di kursi penonton dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Oh astaga, itu juga seharusnya Clara yang mendapatkannya, bukan Stella. Clara lah yang berhak mendapatkan itu semua. Bukan Stella.

Ia kembali hanya menggigit bibir bawahnya keras-keras menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh darahnya. Clara benar-benar tak kuat menahan rasa sakit yang kini selalu ia tahan dalam hatinya. Begitu sakit melihat pemandangan yang begitu membuatnya benar-benar sakit. Sakit, sakit. Jantungnya berdegup begitu kencang saat ini.

Ia bisa melihat dari kejauhan bahwa Stella tahu keberadaannya yang tengah mengintipnya sedaritadi dengan Kyle yang ada di lapangan basket. Stella tersenyum miring lantas makin mengeratkan pelukannya pada Kyle dengan manja. Clara yang melihatnya hanya bisa mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya tampak kelihatan memutih. Oh astaga, cukup. 

Clara terus menggigit bibir bawahnya sekeras mungkin hingga menimbulkan bercak biru disana. Clara menutup dapat menutup kedua matanya berharap semua rasa sakitnya bisa berangsur menghilang, namun nihil. Rasanya tetap saja sakit, sesak. 

Gadis berambut pirang keemasan ini, kali ini benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja Stella lakukan pada Kyle. Menciumnya tepat di bagian bibir. Astaga, cukup sudah. Cukup. Clara tak kuat melihatnya. 

Ia spontan lari dari tempat itu berlari sekencang mungkin dengan tenaga yang seadanya ia punya. Kenapa bisa Kyle setega itu padanya? Sudah berulang kali Clara katakan padanya jika Stella bukan wanita yang benar untuknya. Namun tetap saja Kyle keukeuh memuji nenek sihir macam Stella. Stella tak pantas mendapatkan itu semua. 

Semua ini memang tak adil.

 

 

Clara kelihatan buruk kemarin, dan hari ini. Moodnya tak kembali membaik. Malah makin hancur. Satu-satunya moodbooster Clara ya hanyalah Kyle. Namun mengingat Kyle sudah tak akan lagi berada di sampingnya untuk membuatnya tertawa. Kyle tak akan pernah ada di sampingnya lagi selama ada Stella untuknya. Clara harus mencoba merelakan bahwa Kyle memang tidak di takdirkan untuknya, tapi untuk Stella. Ya, harus Clara akui itu. Cepat atau lambat, ia harus melupakan Kyle mulai detik ini juga. 

Laura sedang pergi keluar dengan temannya untuk waktu yang lama dan tak ada satupun makanan tertinggal di dalam lemari pendingin. Jadi, Clara terpaksa harus ke iHop Restaurant yang jaraknya hanya sepuluh kilometer dari tempat tinggalnya untuk membeli lasagna atau spaghetti yang dapat membuatnya merasa tak kelaparan lagi. Setidaknya jaraknya juga tak begitu memakan waktu lama berjalan.

Ia hampir sampai pada tempat tujuannya lalu dari kejauhan, ia dapat melihat samar-samar sesosok Stella dari dalam sana. Stella sedang duduk bersama……Peter? Bukannya Kyle? Kemana Kyle? Atau bahkan mungkin Stella…selingkuh? Ya, mungkin. Sedaritadi, Peter tampak mengelus-elus punggung tangan Stella lalu menciumnya lama. Jika itu kelihatannya hanya sebatas teman, itu kelihatan sangat mustahil.

Clara segera menghampiri Stella yang tengah duduk di dalam iHop. “Kau! Kemana Kyle? Kenapa Kyle tak bersamamu?” Clara memicingkan matanya ke arah Stella lalu ke arah Peter secara bergantian. “Apa urusanmu jika Kyle sedang bersamaku atau tidak sedang bersamaku?” Cetus Stella lalu hanya melemparkan tatapan tak peduli. 

“Biasanya Kyle bersamamu, lalu kemana dia? Kenapa dia tak bersamamu, hah? Kenapa malah Peter yang bersamamu?” Clara melemparkan tatapan menohok pada keduanya. “Kau ini tak punya hak untuk mengetahui mau Kyle bersamaku atau tidak, itu bukan sama sekali urusanmu.” Stella kini bangkit dari tempat duduknya sambil memukul keras meja makan tersebut hingga beberapa sudut mata menatap ke arah mereka. 

“Kau berselingkuh dengan Peter, iya?” Clara mengernyit sejenak hingga tampak garis kerutan di dahinya. “Lagipula jika aku berselingkuh dengan Peter, apa urusanmu? Kau tak berhak melarangku, idiot.” Ucapan Stella kini tak kalah menohok dan juga membuat Clara sedikit terkejut. Dengan refleks, tangan kanan Clara mendarat tepat di pipi mulus milik Stella dengan kasar. 

“Apa kau bilang? Aku tentu berhak melarangmu. Kau tahu tidak? Kyle itu sangat-sangat mencintaimu, lebih dari apapun. Kau adalah cinta pertamanya. Kau beruntung bisa mendapatkan ciuman pertamanya. Dan aku bahkan rela melepaskan Kyle hanya untuk kau, dan sekarang kau malah berselingkuh dengan bajingan macam Peter. Kau ini benar-benar gadis tak tahu di untung.” Bentak Clara kasar pada Stella. Stella hanya meringis kesakitan memegangi pipinya yang nampak berubah berwarna merah marun akibat tamparan Clara yang cukup keras. Peter hanya membantu Stella sambil mendekapnya tanpa membalas sepatah katapun pada Clara. 

“Kalian berdua memang sama-sama bajingannya!” Pekik Clara lagi sambil mengarahkan jari telunjuknya itu tepat di bagian tengah-tengah dada Stella maupun Peter dengan tatapan menohok. Peter hanya menunduk sementara Stella hanya menatap Clara penuh dengan kebencian.

“Lihat saja kau nanti!” Ancam Stella pada Clara, “Apa? kau ingin mengancamku, iya? Aku tak pernah takut dengan semua ancamanmu, jalang.” Sahut Clara tak kalah kasar pada Stella.

Peter langsung membawa Stella pergi dari situ sementara Clara, ia batal membeli lasagna atau spaghetti karna ada dua iblis yang menghancurkan moodnya, lagi. Clara keluar dari iHop lalu mulai berlari pulang menuju rumahnya. Sekarang yang harus ia lakukan adalah, menelpon Kyle dan mengatakan apa yang barusan saja terjadi. 

Clara mendial nomor ponsel Kyle dan pada deringan pertama, Kyle langsung menjawab panggilan ponsel dari Clara. Oh syukurlah. 

“Clara, ada apa?” Suara Kyle mulai kedengaran jernih dari dalam telepon. 

“Kau ada dimana, Kyle?” 

“Aku sedang berada di rumah sekarang. Memangnya ada apa?” 

“Kau sedang tidak berjalan dengan Stella seperti biasanya? Biasanya kau sedang bersamanya dan selalu mematikan ponselmu agar aku tidak menelponmu atau mengirimu pesan singkat.”

“Oh ayolah Clara, apa yang ingin kau bicarakan sekarang? Aku tak punya banyak waktu sekarang. Aku sedang kelelahan.” Ujar Kyle yang membuat Clara mengernyit akan tingkah aneh Kyle. Tak biasanya ia seperti ini pada Clara. “Kenapa Stella tak sedang bersamamu?”

“Ia bilang, ia sedang latihan cheers dengan teman perempuannya.” Jawab Kyle cepat, kelewat cepat.

“Apa kau yakin jika Stella sedang ada tugas kerja kelompok dengan teman perempuannya, hm?”

“Tentu saja aku yakin. Kau ini ada apa, tiba-tiba menanyakan soal Stella.”

“Well, tadi aku baru saja pulang dari iHop dan menemukan sosok kekasih tercintamu itu sedang bersama Peter bermesraan. Hmm.” Clara tak mendengar Kyle bersuara kali itu.

“Apa maksudmu ia berselingkuh? Tentu saja tak mungkin. Ia wanita yang baik, tak seperti apa yang kau pikirkan. Dia tak akan mungkin mengkhianatiku.” 

“Kau tak percaya?”

“Untuk apa aku percaya pada omong kosongmu itu? Lagipula tak ada buktinya.”

“Kyle, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Apa kau tak percaya dengan apa yang kubicarakan?”

“Aku tak akan mungkin percaya pada musuh Stella sendiri. Aku ini pacarnya.”

“Baiklah, Kyle. Jika kau tak percaya dengan apa yang aku katakan.” Clara langsung mematikan panggilan secara sepihak. Kyle mendengus keras akan hal itu.

Clara dapat merasakan buliran bening dari balik kelopak matanya kini dengan sempurna meluncur ke bawah sehingga membasahi kedua pipi merah meronanya. Kenapa bisa-bisanya Kyle tak percaya pada dirinya? Ia dan Kyle bahkan sudah berteman baik selama 1 tahun lebih. Mustahil jika sikap Kyle kini memang sudah benar-benar berubah karna Stella. 

Sekarang apa yang harus Clara lakukan agar Kyle percaya padanya akan hal ini? Oh ayolah Clara. Tentu Kyle lebih percaya pada pacarnya sendiri yaitu Stella ketimbang kau yang hanya berstatus sebagai teman dekatnya.

Ia mengacak-acak rambut pirang keemasannya hingga rambutnya kini kelihatan tampak sangat berantakan dan tangisnya makin pecah. Kyle jahat!! Dia sangat jahat! Kenapa dia bisa tidak percaya pada dirinya yang padahal sudah sangat dekat dan sekarang ia tiba-tiba tidak percaya pada Clara? Ini semua pasti gara-gara Stella yang sudah meracuni Kyle hingga ia benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat pada Clara. 

Kyle sudah tak lagi percaya padanya.

 

 

Kyle O’Conell Point Of View

 

Aku sedang membuka lokerku untuk mengambil buku apa yang akan di pelajari pagi ini. Namun dari jarak dekat aku dapat mendengar suara tangisan perempuan yang terdengar begitu familiar di gendang telingaku. Aku menoleh ke arah tangisan perempuan itu dan melihat Stella sedang berjalan menujuku. Ada apa dengannya pagi ini? Tak biasanya ia menangis sesegukan seperti itu saat pagi-pagi begini. Lalu ia menghampiriku lantas memelukku erat sambil nangis terisak di dadaku. 

“Hey, kau kenapa menangis sweetheart?” Tanyaku halus padanya, berharap ia akan berhenti menangis kali ini. “Temanmu yang menyebalkan itu! Dia menamparku kemarin!” Aku tercengang mendengar perkataannya barusan. “Temanku? Siapa maksudmu?” Aku benar-benar tak mengerti apa maksudnya kali ini. “Ya siapa lagi kalau bukan Clara, cewek belagu itu. Dia menamparku kemarin, Kyle!” Ucapannya lirih kali ini. Aku tak tega padanya. Ya ampun, bagaimana bisa Clara menamparnya? Aku tahu memang Clara benci pada Stella, sangat benci. Namun, baru kali ini aku mendengar Clara menampar Stella.

“Kenapa bisa Clara menamparmu, sweety?” Tanyaku lagi pada Stella yang masih nangis sesegukan di dadaku ini. “Entahlah, mungkin dia sebal karena kita telah berpacaran? Kau kan tau sendiri bahwa dia adalah musuh bebuyutanku.” Ujarnya lagi masih menangis. Astaga, Stella kumohon berhenti. Beberapa pasang mata kini tertuju pada kami. Ya, kami sekarang menjadi bahan tontonan.

“Baiklah, aku akan bilang pada Clara sepulang sekolah nanti.” Ucapku padanya masih mengelus-elus rambut cokelat keemasan milik Stella yang panjang itu. “Kenapa harus sepulang sekolah? Kenapa tidak sekarang? Kau harus segera menegurnya! Jika tidak, bisa saja nanti pas aku kembali ke kelas, ia menamparku, bahkan lebih. Oh Astaga.” Pekiknya sambil menangis, lagi. 

“Jadi sekarang aku harus ke Clara dan memberinya teguran?” Tanyaku lagi dan kini gadis itu menengadah, menatap kedua bola mata hazelku dengan tatapan heran. “Tentu saja, Kyle.” Ujarnya seraya memutarkan kedua bola mata biru-aqunya itu. 

“Sekarang?”

“Sekarang!!” Dengusnya lagi lalu aku melepaskan pelukannya dan menghampiri kelas Clara untuk menegurnya.

Aku memang sempat kesal padanya. Aku tahu mengapa ia memfitnah Stella seperti itu, karna ia benci pada Stella dan ia tak suka jika aku berpacaran dengan Stella. Aku tahu itu. Makanya ia memfitnah Stella seperti itu. 

Saat aku sudah sampai di ambang pintu kelasnya, aku dapat melihat Clara yang sedang duduk di bangku pojokan dekat kaca sambil menutup wajahnya itu dengan tangannya yang terlihat menunduk di mejanya. Aku tak tahan melihat tingkah kasarnya tadi dan bahkan emosiku tadi sudah meletup-letup mendengar ucapan Stella yang katanya Clara menampar pacarku. Aku mengepalkan kedua tanganku lalu menghampiri Clara yang ada di pojok sana. 

 

 

Author Point Of View

 

Kyle telah di ambang pintu kelas Clara. Tak sadar bahwa kini Kyle mengepalkan kedua tangannya mengepal hingga urat kebiruan menonjol dari balik sisi kulitnya.

“Clara!!!” Panggil Kyle dengan nada agak sedikit emosi. Clara tak mengubris, masih dengan posisi semula.

“Clara!” Panggil Kyle untuk yang kedua kalinya namu ia tetap tak mengubris.

“Clara! Bangun!!” Kyle mengoyak-oyakan badannya sehingga ia kini benar-benar menengadah menatap lekat-lekat wajah Kyle dengan raut wajah berantakan. Terlihat bahwa ada jejak air mata di pipinya yang kelihatan begitu lengket. Matanya merah seperti sedang menangis. Ia benar-benar terlihat berantakan hari ini.

“Ada urusan apa kau memanggilku?” Tanya-nya dengan raut wajah lesu dan dari nadanya, terdengar bahwa ia kelihatan lelah kali ini. “Apa yang telah kau perbuat pada pacarku?” Kyle balik tertanya padanya dan menegaskan kata ‘pacarku’ padanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Ia mengadu padamu, hah?” Tanyanya lagi pada Kyle. Kyle terdiam kali ini. Tak dapat menjawab pertanyaannya.

“Kenapa?? Dia mengadukan semuanya padamu?”

“Iya, dia mengadu padaku karna kau telah menamparnya tanpa sebab! Tanpa ada alasan yang jelas. Aku tau kau cemburu padanya. Kau tak suka jika aku berpacaran dengan stella, kan?”

“Aku menamparnya karna ia telah―”

“Apa?? Maksudmu ia berselingkuh, begitu? Ia tak mungkin berselingkuh! Dia itu wanita baik-baik. Ia tak akan mungkin mengkhianatiku. Berhenti memfitnahnya! Ia tak seperti apa yang kau pikirkan, Clara!” 

“Kyle, kenapa kau berubah seperti ini?” Tanya Clara dan ia dapat merasakan ada semburan panas mengepul tepat di pipinya dan kini tampak terlihat kemerahan merona.

“Aku tak berubah! Kaulah yang berubah! Intinya, aku kemari untuk menegaskan padamu, jangan kau sekali-sekali berbuat kasar pada Stella. Aku tak habis pikir padamu, Clara. Kau kenapa bisa sejahat ini?” 

“Kyle, tapi aku bisa menjelaskan semuanya―”

“Sudahlah, Clara. Jangan membuat alasan yang kau pikir aku akan percaya pada semua omong kosongmu itu. Aku pikir kau akan mendukung hubunganku dengan Stella, tapi buktinya? Kau malah memfitnah pacarku. Jujur, aku kecewa padamu, Clara. Pokoknya, mulai sekarang, mulai detik ini, jangan anggap aku sebagai sahabatku lagi. Aku tak mau mempunyai sahabat sepertimu.” Lalu Kyle berbalik berjalan jauh meninggalkan Clara yang masih duduk terdiam disana. 

Clara menunduk dan untuk yang kesekian kalinya, tetesan air matanya kembali mengalir bak air terjun. Ia tak dapat berhenti menangis untuk kesekian kalinya semenjak Kyle mencoba menghindarinya, saat ia sudah berpacaran dengan Stella. Sungguh, ia tak habis pikir jika Kyle sudah benar-benar berubah. 

Clara tahu, ini memang semua salahnya. Clara bodoh, benar-benar bodoh. Ia tak seharusnya mengatakan ini semua pada Kyle. Jika saja ia tak memberitahu Kyle akan tentang ini semua, semuanya ini tak akan terjadi.

Clara mengepalkan kedua tangannya, menyeka jejak air mata yang begitu lengket di pipi chubby-nya yang kini keliatan membengkak karna tak henti-hentinya menangis. Ia bangkit dari kursinya lalu berlari keluar kelas. Saat ia berada di ambang pintu kelas, ia dapat melihat Stella disana tersenyum licik, dan terdapat hasrat kepuasan di dalam senyumannya itu.

Clara menunduk lalu berlari sekencang mungkin dengan tenaga yang seadanya ia punya. Ia lelah dengan semuanya ini. Sekarang Kyle tak percaya lagi padanya. Ia telah menganggap Clara bukan lagi sahabatnya. Clara merasa benar-benar bersalah pada Stella. Ia menyesal, benar-benar menyesal. Ia juga sadar kali ini bahwa ia bukanlah sahabat yang baik untuk Kyle dan tak pantas menjadi sahabatnya.

Kini arah tujuannya entah kemana. Clara ingin berjalan menyeberang zebra cross. Clara melangkahkan kakinya dengan kalut dan tak tentu arah. Ia tak berhati-hati dengan melirik kanan kiri. Ia tak menyadari bahwa terlihat mobil ferrari yang hanya berjarak 15 meter darinya, melaju kencang dari arah barat dan menabrak tubuh mungil Clara. 

Tubuh Clara terkapar disana, ditengah jalan dan darah kental mulai mengalir disekujur tubuhnya. Pakaiannya berlumuruan darah kental. Ia mulai pasrah dengan semuanya, ia menggigit bibirnya sekeras mungkin dan menegaskan bahwa ini semua hanyalah mimpi.

 

 

Kyle menggenggam erat-erat tangan Clara. Tangisnya makin pecah saat itu, melihat Clara yang terkapar tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan jarum infus di tangannya dan selang oksigen yang ada di hidungnya. Kyle merasa bersalah sekarang. Ia menarik perkataannya jika Clara bukanlah sahabatnya. Clara akan selalu menjadi sahabat Kyle, selamanya. 

Kyle meremas tangan Clara, dengan kuat. Berdoa agar Clara bangun dari komanya itu. Kyle benar-benar merasa bersalah pada Clara. Ia menyesali semua perbuatannya pada Clara selama ini. Ia juga merasa bersalah karna sudah menuduh Clara karna telah menganggap bahwa apa yang di katakannya jika Stella berselingkuh, ternyata itu memang benar, bukanlah omong kosong. 

Tadi sepulang sekolah, Stella mencium bibir Peter spontan dan Kyle melihatnya sendiri dengan mata kepalanya. Semua apa yang di katakan Clara, benar. Kyle langsung menyudahi hubungannya dengan Stella saat itu juga. Walaupun Stella menolak, namun ia tetap memutuskan Stella saat itu juga. Dan bisa di bilang, kini hubungannya dengan Stella telah berakhir.

Samar-samar iya dapat merasakan tangan Clara bergerak pelan di dalam dekapan tangannya dan Kyle langsung tersenyum lalu menoleh ke arah Clara yang perlahan-lahan membuka kelopak matanya samar-samar. Kyle tersenyum lalu mencium lembut punggung tangan Clara. 

“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya Kyle, dengan intonasi nada yang masih bergetar. Mungkin akibat dari tangisannya yang tak henti-hentinya itu, entahlah. “Kenapa aku bisa disini? Dan kenapa kau juga bisa ada disini?” Clara balik bertanya pada Kyle. Kyle membungkam mulutnya rapat-rapat, untuk kali ini. 

“Erhm―aku kemari, karna Laura dan Steve yang memberi tahuku.” Ujar Kyle yang sedikit tergelagap. “Kalau begitu kemana mereka?” Tanya Clara sambil melihat keadaan ruangan rumah sakitnya bahwa saat ini tak ada bibi dan pamannya. “Mereka sedang membelikan bubur untukmu. Laura mengamanatkanku untuk menjagamu disini.” Jawab Kyle, kini sudah tak tergelagap lagi.

“Oh, dan oh ya aku lupa! Bukankah kau sedang marah padaku? Kenapa kau disini? Kau harusnya bersama dengan―”

“Sstt” Kyle menempatkan telunjuknya tepat di bibir pucat milik Clara, “Aku percaya padamu, Clara. Apa yang kau katakan semuanya tentang perselingkuhan Stella dengan Peter ternyata benar. Maafkan aku.” Kyle mencium punggung tangan Clara lembut berharap permohonan maafnya di terima Clara. 

“Oh, Kyle. Aku sudah memafkaanmu. Malah seharusnya aku yang meminta maaf padamu.”

“Untuk apa kau meminta maaf padaku?” Tanya Kyle dengan tatapan heran.

“Aku sudah menampar Stella, pacarmu itu.” Clara menggigit bibir bawahnya pelan.

“Tidak, dia sudah bukan pacarku lagi sekarang. Aku dan Stella sudah putus.” Jawab Kyle kikuk.

“Benarkah? Kenapa kalian bisa putus?”

“Stella sudah berselingkuh dengan Peter. Itu sebabnya aku memutuskan hubunganku dengannya.”

“Oh, syukurlah kalau begitu. Hmm” 

“Clara, aku ingin menanyakanmu satu hal.” Kyle kini menautkan jari jemarinya pada jari jemari Clara. Clara dapat merasakan sensasi hangat dan juga nyaman.

“Apa?” Clara tersenyum pada Kyle. Ia merasa lega jika Kyle kini sudah kembali percaya padanya dan Clara juga sangat senang jika hubungannya dengan Stella sudah berakhir. Sebuah berita yang bagus.

“Tapi kau harus jujur jika aku menanyakannya padamu.”

“Baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan hm?”

“Kau punya perasaanmu terhadapku, ya?”

“Ahh―Erghm.. Apa maksudmu?” Clara begitu malu luar biasa. Entah apa yang akan dia jawab. Dadanya tiba-tiba berdegup begitu cepat. Apa maksud Kyle barusan? Ia hampir tercekat tak bisa bernapas saat ini padahal selang oksigennya berfungsi dengan baik. Malahan, ia bisa menghirup oksigen lebih banyak dari sana.

“Kau maukan menjawabnya dengan jujur? Aku tak akan marah jika kau memiliki perasaan terhadapku.” Kyle kini makin mengeratkan genggamannya pada jari jemari Clara. 

“Memang kalau aku jawab ‘ya’ kau akan berbuat apa?” Clara menggigit bibir bawahnya pelan. Berusaha mencoba menstabilkan degupan jantungnya yang kini menggebu-gebu.

“Lalu aku mau kau jadi pacarku.” Kyle tersenyum senang kali itu juga, begitupun dengan Clara. Clara dapat merasakan pipinya memanas sekarang. Ia melepas selang oksigennya dari hidungnya lantas mencium pipi Kyle spontan. Kyle dan Clara hanya terkekeh kecil bersamaan.

“Baiklah, sekarang kau harus tidur sekarang. Kau harus banyak istirahat karena kecelakaanmu ini. Maafkan aku juga yang telah membuatmu seperti ini.” Clara hanya membalasnya dengan senyuman lembut pada Kyle yang membuat Kyle mengulum bibirnya sejenak melihat kecantikan Clara kali itu, “Tidak, kau tak perlu begitu. Ini juga salahku karna tak berhati-hati sebelum menyebrang.” Kyle hanya tersenyum haru pada Clara. Ia tak menyangka bahwa Clara sebenarnya benar-benar perempuan yang penyabar dan juga baik.

“Hm, kau harus istirahat, Putri Cantik. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang membawa bubur untukmu. Tapi ngomong-ngomong, mereka lama sekali.” 

“Mungkin di sekitar sini jarang ada yang menjual bubur.” Clara tersenyum lagi. Kyle bersumpah, bahwa senyuman Clara adalah senyuman paling indah yang pernah ia lihat selama hidupnya.

“Kau manis sekali saat tersenyum seperti itu.” Ucap Kyle sembari mencubit gemas pipi Clara. Clara hanya tersipu malu sehingga kini pipinya kelihatan tampak merah merona lagi. Astaga, ini memalukan.

“Baiklah, sekarang kau harus tidur. Kau perlu istirahat yang cukup. Aku tak mau sesuatu yang tak diinginkan terjadi padamu.” Ujar Kyle dengan intonasi nada terdengar tegas.“Siap bos! Tapi, aku perlu sesuatu lagi.” Clara mengulum permukaan bibirnya yang sedikit mengering. “Apa?” Tanya Kyle yang sempat melemparkan tatapan bertanya-tanya.

“Aku perlu kau tidur di sampingku juga. Dengan begitu, aku bisa tidur pulaaaas sekali.” Kyle terkekeh kecil, “Memang boleh ya jika aku ikut tidur di ranjang itu?” 

“Tentu saja boleh.” Jawab Clara enteng dengan kedipan mata. “Apa kau yakin? Bagaimana jika tiba-tiba dokternya datang dan melarangku?”

“Tidak, Kyle. Sekarang kau mau tidur di sebelahku atau tidak?” Clara mendengus kesal kali ini.

“Baiklah, aku akan tidur di sebelahmu, putri cantik.” Kyle beranjak naik keatas ranjang yang merupakan ranjang berukuran besar. Clara tersenyum puas kali ini Kyle menuruti kata-katanya. Kyle kini perlahan membaringkan tubuhnya di sebelah Clara dengan sedikit kikuk dan canggung merasa sedikit malu. 

“Baiklah, Clara. Kau harus tidur, kau perlu istirahat agar kau bisa cepat sehat. Aku tak mau melihatmu menderita di atas ranjang besar ini.” Ujar Kyle menasihati.

“Sudah berapa kali kau mengucapkan kata-kata ‘istirahat’ padaku, Mr. O’Conell?”

“Kau ini, lucu sekali.” Kyle mencubit hidung mancung milik Clara lantas menyanyikan lagu nina-bobo pada Clara layaknya anak kecil.

Well, setidaknya, Clara merasakan perasaan bahagia sekaligus senang mengetahui bahwa Kyle kini adalah miliknya seorang. Ia senang bisa kembali tersenyum karena Kyle.

 

 

 

 

The End

 

 

 

 

 

 

A/N: Hai ketemu lagi sama aku :) Aku balik dengan membawa salah satu oneshot ku disini. Setelah aku edit dan aku baca ulang, ternyata baru sadar oneshot ku ini overdrama nya kebangetan wkwk xD tapi entah kenapa dulu aku yang masih polos pas SMP, saat bikin cerita ini rasanya nyesek aja gitu. Hahaha. Tapi aku harap kalian menikmati cerita receh ini sih sembari ngabuburit ya hehehe :)

Sekian dariku. Terimakasih banyak sudah mau buang-buang waktu kalian untuk baca cerita ini yang sepenuhnya masih belum sempurna. Aku sangat menerima kritik & saran kalian yang membangun :)

 

See you in the next blog!

 

Much Love,

Kalfa♥

11 Komentar

  1. Kyknya bagus kalau dibikin lanjutannya

    1. Xixihana: wahh ini cerita dari 5 tahun yang lalu, ga kebayang kalo di lanjut jadi cerita sesungguhnya. Kapan2 aja nanti kubuat cerita berchapter hohoho :BAAAAAA

  2. farahzamani5 menulis:

    Wow wow wow
    Kmu post cerita lgi toh ini
    Vote ama komen dlu yak, blom baca hihi
    Oia namany Clara Belle td masa aq sekilas baca ny cherrybelle haha, fix lapar tingkat maksimum haha

    1. Iya ka palaahh hehehe semoga suka yaaa :MAWARR

  3. Aku baca judulnya keinget lagunya Justin Bieber yang That Should Be Me :BAAAAAA
    Koment dulu yakkk :LARIDEMIHIDUP

    1. Cerita ini memang terinspirasi dari lagu itu kaaa soalnya aku belieber hehehe dan kebetulan ini juga fanfiction nya Justin cuma castnya aku ubah namanya dari Justin ke Kyle hihihi :3

  4. NellynRichard menulis:

    Cerita bagus… sayangnya hanya one shot sja. Kalau i jd clara, i balas dendam ckit dgn kyle. Setidaknya kyle rasa apa yg pernah clara rasakn sblmnya. Hihi…

    1. Iyaaa hehehe aku masih dalam tahap penulisan yang lebih baik lagi dari ini makanya doain aja supaya aku punya nyali untuk bisa bikin cerita yg berchapter bukan hanya oneshot aja dan bisa di post disini yaaa hehehe :HULAHULA
      Terimakasih jugaaa sebelumnya karna suka dengan cerita ini :MAWARR

  5. Baca tulisanmu membuatku flashback, jadi kangen masa masa smp deh, dulu aku suka bikin JD tentang Justin Bieber, hihi malah curhat :dragonhihihi

    1. Waahhh kamu juga belieber???? salken yaaa :)) Nah iya ini itu oneshot nya justin cuma pas aku post disini aku ubah nama karakter cowonya hehe oneshot yg kemaren juga sama. Aku juga sama pernah bikin jd cuma ga kelar-kelar jadi terbengkalai deh. Makanya beraninya cuma bikin oneshot aja hehehe :HULAHULA

  6. Ditunggu kelanjutannya