Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 11

22 Mei 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 11 – I Like You

Waktu yang ditunggu-tunggu pun kini telah tiba. Michael dan timnya sudah bersiap di pinggir lapangan, dan sebaliknya pun begitu. Alvin pun sudah siap dengan timnya.

Bel pulang sekolah yang seharusnya semua siswa-siswi pulang meninggalkan area sekolah, kini memilih untuk menetap, untuk menyaksikan pertandingan dadakan yang akan dilaksanakan di lapangan sekolah. Bahkan beberapa guru pun memilih untuk tinggal menyaksikan sejenak anak-anak didik mereka mengisi waktu luang.

Di pinggir lapangan Michael sudah berdiri dengan gugupnya, laki-laki itu kini tengah tertunduk mengamati tangan kanannya. Sudah hampir tiga tahun lebih ia tidak menyentuh bola basket, bahkan guru pembimbing olahraganya pun sudah hapal dengan Michael, ketika praktik olahraga yang membahas tentang basket Michael akan selalu meminta izin dan memilih menawarkan diri menjawab soal-soal yang akan diberikan oleh guru pembimbingnya.

Tidak ada lagi alasan Michael untuk memainkan olahraga itu, apalagi harus mengenal dunia basket. Dulu memang ia begitu dekat dengan basket tapi sekarang ingatan tentang dunia itu sudah ia lupakan.

Tepukan di bahu, membuat Michael berhenti mengamati tangannya.

Rayn tersenyum tipis kepada Michael.

Michael pun membalasnya.

“Lo bisa, Mic. Dulu lo adalah kapten kita, walaupun cuma gue dan Roby yang ngerasainnya sekarang. Tapi gue yakin anak-anak yang lain juga bakal  ngerasainnya nanti di lapangan.” Rayn menyemangati Michael dengan memuji Michael sebagai kapten yang terbaik.

Michael menggeleng pelan dan berdecak. “Gue bukan kapten lagi, Rayn.”

“Secara umum, lo nggak pernah ngomong sama kita bahwa lo mengundurkan diri dari tim. Jadi sampai sekarang lo masih kapten bagi gue dan Roby.” Rayn menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum jahil kepada Michael.

Melihat hal itu Michael pun tertawa pelan, lalu Rayn pun melakukan hal yang sama.

Rafi tiba-tiba datang menginterupsi keduanya.

“Kayaknya mereka udah siap.” Kata Rafi menoleh ke arah Alvin dan timnya yang sudah memasuki lapangan.

Lalu ketiganya pun bersiap untuk memulai pertandingan.

Gue bakal menangin lo, ran. Tenang aja, gue udah janji sama diri gue sendiri, kalau apa yang udah gue pilih bakal gue lakuin dengan serius. Dan pilihan gue udah bulat, gue mau ngenal lo lebih dekat lagi dan pingin selalu melindungi lo setiap saat.

**

Rani yang tadinya ingin berniat pulang, terhentikan oleh keramaian orang-orang yang tengah menghalangi jalannya.

“Kenapa pada belum pulang? Tumben.” Herannya berhenti di depan kelas.

“Lo nggak denger kabar, kalau Alvin nantang anak IPS main basket di lapangan.” Kata Ulan menunjuk Alvin yang sudah berada di lapangan.

Rani mengerut dahi bingung, “Anak IPS? Siapa?”

“Nggak tau,” Ulan memotong ucapannya, lalu menunjuk salah satu laki-laki di lapangan, “kayaknya sih, itu orangnya. Gue nggak tau siapa namanya.” Melihat arah telunjuk Ulan berakhir pada Michael, sontak mata Rani membulat lebar.

What?” tanpa pikir panjang. Rani langsung berlari di dalam kerumunan siswa-siswa kelas IPS3 yang memiliki postur tubuh besar-besar.

Di kepalanya saat ini terbayang saat Alvin memukuli Michael bertubi-tubi. Yang ia khawatirkan sekarang, bisa saja Alvin akan melakukan hal yang sama kepada Michael. Rani tidak tau mengapa ia bisa memikirkan hal itu, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus memisahkan kedua laki-laki itu, sebelum kejadian waktu itu terulang kembali.

Napas Rani terengah-engah setibanya ia di pinggir lapangan, dengan cepat Rani menghentikan Rafi yang berdiri tidak jauh darinya.

“Raf, apaan lagi nih?” tanya Rani cepat dan kembali menghirup napas dalam-dalam.

Untungnya Rafi saat ini berada di posisi cadangan, jadi ia bisa menjelaskan dengan Rani kronologi kedua laki-laki itu bertanding. Namun Rafi tidak menjelaskan dengan detail, soal tawaran yang Alvin berikan kepada Michael. Bahwa keduanya tengah memperebutkan Rani. Rafi hanya mengatakan bahwa keduanya tengah saling menunjukkan jati diri mereka masing-masing.

“Urusan anak cowok, Ran. Biasa, kalau udah sekali ditantang, ya gengsi kalau nolak.” Tutur Rafi, asal. Seraya meyakinkan Rani dengan ekspresi wajahnya.

Rani menggelengkan kepalanya, “Gue nggak ngerti sama kalian. Ya udah kalau gitu. Silakan bersaing dengan cara sehat.” Setelah itu Rani menjauh dari pinggir lapangan, langkah perempuan itu kini tertuju ke ruang kelas IPS5.

Ketiga sahabatnya sudah bergabung dengan yang lainnya untuk menyaksikan aksi yang akan terjadi di lapangan.

“Si, nggak balik nih?” tanya Rani duduk di kursi semen pinggir kelas.

“Entar, Ran. Nonton bentar.” Jawab Sisi.

“Yulinar mana?”

“Pulang, udah dijemput.”

Rani mengangguk saja. Lalu dengan sedikit rasa khawatir terhadap Michael, Rani pun ikut menyaksikan pertunjukan yang akan berlangsung di lapangan. Sambil berharap-harap semoga tidak ada yang akan melayangkan tinju ke satu sama lainnya.

**

Pertandingan yang dinanti pun sudah dimulai. Alvin bersama tim basket Karya Bangsa dan Michael bersama tim basket Taruna. Tak ada di antara kedua kubu yang menginginkan kalah. Terutama tim basket Karya Bangsa, setiap kali lomba yang mereka ikuti pada akhirnya akan selalu bertemu dengan tim basket Taruna, dan hasilnya mereka akan selalu berada di juara kedua.

Alvin sebagai kapten sudah berusaha semaksimal mungkin ingin membawa timnya memenangkan juara melawan tim basket Taruna, dan kali ini walaupun bukan lomba seperti pada umumnya. Alvin akan membuktikan kepada semuanya bahwa mereka akan menang melawan tim basket Taruna dan tak ketinggalan memenangkan taruhannya dan Michael.

Berbeda dengan Alvin yang begitu menggebu-gebu dengan pertandingan ini. Michael merasakan kekhawatirannya sendiri dengan bakat yang ia punya di basket. Michael mengkhawatirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bahkan sekarang kepalanya sudah dipenuhi dengan kenangan sang Papa, yang selalu mengharapkannya berada di olahraga ini. Rasa sesal dan sedih itu bercampur menjadi satu, yang bisa Michael lakukan saat ini adalah menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia akan berjuang sebisanya dan jika pun ia di tanya apa harapan yang saat ini ia impikan, ia akan mengatakan ‘Michael harap Papa melihat pilihan yang sudah Michael pilih saat ini. Basket bukan bidang Michael, tapi Michael akan melakukan apapun untuk memenangkan sesuatu yang sudah Michael pilih.’

Pertandingan saat ini berjalan dengan sewajarnya. Alvin begitu agresif dalam gerakkannya. Roby menahan Alvin, setiap kali laki-laki itu bergerak ke sana kemari.

Roby yang juga sudah mengenal cara bermain Alvin pun terlihat begitu santai menghadapinya. Beberapa kali Roby mendengar umpatan kasar Alvin di sampingnya, Roby hanya tersenyum saja mendengar hal itu.

Skor pertama pun berhasil tercetak untuk tim Michael, atas permainan oper yang dimainkan oleh Rayn dan Bagas begitu handal, tim mereka mendapat 3 poin sekaligus.

Sorak-soraian penonton pun bermacam-macam, ada yang berteriak senang dan ada pula berteriak sebaliknya. Mereka tidak tau apa tujuan dari pertandingan ini berlangsung, yang mereka pikirkan saat ini hanya menyaksikan hiburan yang sudah jarang terjadi di sekolah mereka.

Permainan pun dilanjutkan oleh lemparan melambung dari Andre ke arah Alvin, setelah berhasil menangkap bola, Alvin segera mencari cela dari Roby yang sejak tadi menghadangnya. Kemana pun ia berlari, Roby akan terus mengejarnya. Ketika saat ia akan melemparkan bola tinggi ke arah ring, Roby pun langsung menepis bola itu menjauh dan bola pun keluar dari garis lapangan. Dengan kesal Alvin menabrak bahu Roby kasar. Roby hanya diam tanpa berniat membalas perlakuan Alvin kepadanya.

Sepuluh menit kemudian, permainan pun mulai memanas, Rayn yang tak henti-hentinya mencetak skor membuat Alvin bermain kasar. Michael yang berada di posisi bertahan menjadi korban dari aksi Alvin.

“Aaa!” jeritan itu berasal dari Michael. Ini sudah kesekian kalinya ia menahan semua permainan kasar yang Alvin lakukan terhadapnya. Kali ini lengan kanannya menjadi korban aksi kekerasan tersebut.

Serentak semua pemain terutama tim Michael menghentikan permainan mereka dan menghampiri Michael yang berlutut memegangi pergelangan tangannya.

“Lo nggak pa-pa, Mic?” Rayn segera mendekati Michael.

“Gue nggak pa-pa.”

“Pergelangan tangan lo terkilir, Mic. Mendingan lo istirahat sebentar.” Rafi memeriksa pergelangan tangan Michael.

Michael segera menggeleng kepala, “Kita lanjut,” Lalu berdiri dan memulai kembali pertandingan.

Di pinggir lapangan, Rani yang tadinya tidak terlalu memfokuskan pandangannya ke arah lapangan, setelah mendengar rintih kesakitan dari Michael langsung sepenuhnya menoleh ke arah sumber suara. Dari sana ia dapat melihat Michael berlutut memegangi tangannya.

Rani sudah menimbang-nimbang apa yang akan terjadi di lapangan, mengingat kejadian terakhir antara Michael dan Alvin tidak begitu baik. Sebuah keajaiban jika saja salah satu di antara mereka bermain sehat.

“Alvin kasar banget,” kata Wulan yang berada di depan Rani, “Gue tadi liat dia sengaja nabrak cowok itu.”

Rani mendengarnya langsung mengangguk setuju. Ia yakin yang melakukan kekerasan terhadap Michael adalah Alvin. Dan ia harap semoga Michael memenangkan pertandingan itu.

***

Suara peluit tanda permainan berakhir berbunyi begitu nyaring dari salah seorang siswa yang menjadi seorang wasit dalam permainan itu. Senyum kepuasan pun tampak dari mereka yang memenangkan pertandingan.

Michael memberikan pelukan hangat kepada satu-persatu anggota timnya. Kali ini harapan yang Michael buat terwujud dengan kerja kerasnya. Senyum cerah tampak dari wajahnya yang letih.

“Selamat, Mic!” Rafi datang dari pinggir lapangan dan menghambur ke dalam pelukan Michael, “Terharu gue liat perjuangan lo.” Lirih Rafi.

Michael terkekeh mendengar Rafi yang begitu drama.

“Udah kali, Raf.” Michael melepas pelukannya.

Tanpa disadari oleh siapa pun. Alvin datang menerobos Rafi dan langsung mencengkeram baju Michael kuat.

“Ini belum berakhir, Mic. Lo hanya lagi beruntung aja, karena bantuan dari orang-orang suruhan lo.” Belum sempat Alvin melanjutkan perkataannya, Michael sudah menjatuhkan Alvin keras ke lantai lapangan.

“Jangan pernah merendahkan orang-orang di sekitar gue, kalau lo nggak tau yang namanya ketulusan,” Posisi Michael saat ini menduduki tubuh Alvin yang berada di bawahnya, “dan satu lagi, ucapan lo barusan gue anggep sebagai kata nyerah. Sekarang, lo udah nggak perlu deketin Rani lagi.”

Michael melepaskan cengkeraman tangannya dengan keras lalu berdiri mendekati Rayn dan yang lainnya.

Alvin di belakang hanya terdiam dan pergi meninggalkan lapangan dengan kemarahannya.

“Ah, akhirnya selesai juga urusan lo sama Alvin.” Seru Rafi.

Michael mengangguk setuju.

“Gue seneng lo bisa menang dari Alvin.” Seru Rayn memasang jaketnya.

Thanks banget buat bantuan dari kalian.” Tutur Michael menyalami satu-persatu anggota timnya.

“Udah sewajarnya gue dan Rayn bantuin lo, Mic. Santai.” Ucap Roby.

Michael tidak tau bagaimana jika teman-temannya ini tidak ada saat ini, untuk menolonginya. Mungkin ia sudah kalah jauh dari Alvin.

Setelah itu Rayn dan lainnya pamit untuk pulang. Michael dan Rafi mengantarkan mereka ke gerbang sekolah, hingga mobil-mobil itu hilang di balik bangunan.

Saat Michael dan Rafi hendak berbalik, keramaian lantas membuat keduanya menepi. Tak di sengaja pandangan Michael tertuju kepada seorang perempuan yang berada di dalam keramaian itu. Dengan cepat Michael menarik tangan perempuan itu ke luar dari keramaian.

“Mau pulang, ran?” tanya Michael cepat.

Ternyata perempuan yang ditarik Michael adalah Rani.

Rani awalnya kaget saat seseorang menariknya menjauh dari Sisi, namun saat melihat Michael orangnya, ia langsung merasa aman.

“Iya, udah sore juga.” Jawab Rani sambil melirik jam tangannya.

Michael mundur dan berbisik ke telinga Rafi yang berada di belakangnya. Rafi memasang wajah muramnya saat Michael membisikkan sesuatu di telinganya. Akhirnya laki-laki itu hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan keduanya.

“Duluan ya, Ran.” Katanya Rafi terakhir kali.

“Yuk, pulang.” Kata Michael seraya menarik tangan Rani.

“Eh, bukannya lo bawa motor?” Rani mengerutkan dahi dalam.

“Tangan gue lagi sakit,” Ujar Michael menunjukkan pergelangan tangannya yang tadi diperban oleh Rafi.

Mendengar hal itu, wajah Rani langsung terlihat khawatir dan melihat pergelangan tangan Michael, “Lo nggak pa-pa?” tanya perempuan itu.

Michael terkekeh mendengar kekhawatiran Rani padanya. Jarang-jarang seorang perempuan mengkhawatirkannya, apalagi perempuan itu yang ia sukai.

“Nggak pa-pa, cuma terkilir aja.”

“Kalau sakit bilang.” Balas Rani cuek.

Lalu keduanya berjalan menuju halte bus, menunggu bus jurusan keduanya datang.

Michael mempersilakan Rani untuk duduk di kursi halte yang kosong, sedangkan ia berdiri di sampingnya.

Obrolan ringan terjadi antara keduanya, sesekali keduanya tertawa dan sesekali keduanya terlihat serius. Hingga bus yang mereka hendak tumpangi datang. Hal yang sama juga kembali dilakukan Michael, laki-laki itu mempersilakan Rani untuk menempati kursi kosong.

Suasana bus itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pelajar saja yang terlihat berdiri setelah memberikan kursi mereka kepada orang yang lebih tua.

“Jadi, ceritanya lo menang dari Alvin?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Rani.

Michael terkejut mendengarnya.

“Biasa aja kali. Walaupun gue nggak tau motif kalian tanding di lapangan tadi, setidaknya kalian nggak saling melayangkan pukulan ke satu sama lainnya.” terang Rani santai.

“Dia nggak kayak yang lo pikirin.” Michael berujar membuat Rani mendongak menatapnya dalam.

“Siapa? Alvin?” tanya Rani bingung.

Michael mengangguk kepala, “Dia punya kelebihan yang nggak pernah gue miliki.”

Seorang pelajar di samping Rani berdiri dan berjalan turun dari bus, lalu Michael dengan cepat menempatkan dirinya di kursi itu.

“Dia punya keberanian besar buat deketin cewek yang dia suka. Dia juga punya ambisi yang besar buat dapetin cewek itu.”

Rani menggelengkan kepalanya, tidak mengerti maksud yang Michael katakan kepadanya, “Maksud lo apaan sih, Mic?”

“Gue hanya bisa liat orang yang gue suka dari jauh, sambil nungguin dia berbalik dan lihat ke arah gue,” Michael menarik napas dalam, lalu melanjutkan kata-katanya. “Gue suka sama lo, Ran.”

***

Maaf kalau ada Typo…

Yang punya wattpad bisa mampir sebentar ke profil aku @hertinarani, ada ceritaku yang lain di sana.

Terima Kasih.

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 10

19 Mei 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 10 – Long Time No See

Siang itu di sekolah Michael dan Rafi tengah menunggu kedatangan orang-orang yang akan menjadi anggota tim basketnya untuk melawan Alvin. Rafi beberapa kali sempat menanyakan kepada Michael siapa gerangan yang Michael datangkan. Namun, tak satu kali pun Michael menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Michael juga sudah meminta izin kepada guru piket dan wakil kepala sekolah untuk meminjam lapangan sekolah untuk dipakai, alasannya sederhana, mengisi waktu luang setelah ujian. Hal itu langsung disetujui oleh semua pihak.

Lama menunggu di ruang tamu sekolah, mata Michael tidak sengaja terarah ke kelas Rani di lantai atas. Bertepatan dengan itu, Michael melihat Alvin tengah berjalan menghampiri Rani yang berada di depan kelasnya.

Kerutan dalam terlihat di dahi Michael bahwa ia tidak menyukai dengan sikap Alvin yang mendekati Rani dengan tatapan kotornya, menurut Michael. Sebenarnya Micheal tidak pernah memikirkan hal buruk tentang Alvin, namun saat Alvin mendatanginya dan memukulinya semua pemikiran baik itu langsung sirna dan mulailah pemikiran buruk tentang laki-laki itu berdatangan.

“Biasa aja kali liatinnya.” Komentar Rafi yang juga tengah memandangi sesuatu yang Michael lihat.

Michael melipat tangannya di dada, “Setelah gue liat sikap dia ke cewek kayak gitu. Semua pemikiran baik gue sirna tentang dia.”

“Makanya jangan nilai seseorang itu dari luarnya aja, liat dulu dalemnya kalau baik buat lo ya dijaga. Kayak gue.” Rafi menyombongkan dirinya sendiri sambil bergaya tidak jelas. Hal itu membuat Michael berdecak sebal.

Saat pandangan Michael tidak sengaja terarah ke gerbang sekolah, saat itu juga dua mobil pribadi tengah berlalu ke dalam parkiran sekolahnya. Michael pun menyadari bahwa orang yang ia tunggu sudah datang.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Michael berlalu meninggalkan Rafi sendiri.

“Mic, tungguin gue kali!” seru Rafi cepat mengejar Michael ke parkiran sekolah.

Setibanya di parkiran, langkah Rafi yang mengikuti Michael dari belakang terhenti, matanya terpaku ke arah depan.

“Mic.” Panggilnya lirih, membuat Michael ikut menghentikan langkahnya dan berbalik kepada Rafi.

“It… itu Rayn dari SMA Taruna, kan?” tanya Rafi mengecilkan suaranya seperti berbisik.

Michael tersenyum simpul melihat reaksi Rafi saat melihat teman-teman lamanya.

“Iya.”

“Yang kalau main basketnya itu keren banget, kan?” tanya Rafi, lagi.

Michael merapatkan kedua bibirnya menahan tawa mendengar setiap pertanyaan yang Rafi lontarkan.

“Iya.”

“Tim yang selalu lo sama gue tonton di turnamen, kan?”

“Iya, Raf.”

Pandangan Rafi yang tadinya terpaku kini beralih ke Michael. Dengan tatapan horor dan aneh Rafi menatap Michael.

“Gue nggak mimpi, kan?” tanyanya sambil memegangi kedua bahu Michael.

Kali ini Michael tidak bisa menahan tawanya, “Lo itu kayak cewek tau nggak, liat cowok segitunya.” Komentar Michael.

Raut wajah Rafi langsung berubah saat mendengar Michael mengatainya seperti perempuan, lalu tangannya dengan enteng memukul bahu Michael.

“Lo kan tau gue nge-fans banget sama mereka.” Omel Rafi memasang wajah sangar.

“Tau. Sengaja biar bikin lo bereaksi kayak tadi.” Dengan santainya Michael berlalu meninggalkan Rafi dan menghampiri teman-teman lamanya.

Kedatangan Michael langsung disambut oleh laki-laki yang disebut Rafi dengan nama Rayn. Keduanya berpelukan sesaat, sesekali saling menepuk pelan bahu masing-masing.

“Lama nggak ketemu, Mic.” Rayn melepas pelukannya pada Michael.

Keduanya saling berhadapan. Jika saja ada siswi-siswi yang melihat keduanya tengah bersama, mungkin jerit histeris yang akan terdengar. Mengingat pemandangan laki-laki tampan tengah berkumpul bersama.

“Ya, lama banget.” Balas Michael. “Ah, iya, ini sahabat gue, Rafi.” Kenal Michael kepada teman-temannya kepada Rafi.

Rafi mendengar namanya disebut langsung berdiri sejajar dengan Michael.

“Rayn.” Keduanya saling bersalaman ala laki-laki muda lainnya.

“Rafi.”

“Gue turut berduka sama kejadian bokap lo, Mic.” Rayn memasang wajah sedihnya.

Thanks, bro.” Balas Michael.

Roby maju ikut bergabung, “Setelah urusan ini selesai, bisalah kita ngumpul bentar, reunian.” Usul Roby merangkul pundak Rayn.

Michael mengangguk setuju.

Setelah itu mereka mulai merundingkan tentang bantuan yang Michael minta. Rafi yang memiliki riwayat dekat dengan siswa-siswi sekolahnya, membagi cerita tentang fakta tim basket sekolahnya kepada teman-teman Michael. Sebenarnya fakta-fakta itu lebih kepada Alvin dan Andre yang menjabat sebagai orang penting di tim basket itu.

“Emang alasan apa Alvin bisa nantangin lo kayak gini?” pertanyaan itu berasal dari Dika salah satu anggota tim basket Taruna.

Michael terdiam mendengar hal itu.

Rafi di samping Michael sesekali melirik sahabatnya itu, mencari tanda-tanda apakah laki-laki itu akan menjawab pertanyaan itu.

A girl.” Jawab Rafi tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Michael di sampingnya.

Semuanya mengangguk pelan, seolah mengerti kode yang diberikan oleh Rafi barusan. Sedangkan Rayn dan Roby tersenyum saja melihat Michael yang salah tingkah.

“Ok. Jadi, kapan pertandingannya dimulai?” tanya Rayn.

“Hari ini tepatnya sepulang sekolah.”

Rayn dan Roby sontak melirik jam tangan masing-masing, saat itu hari masih terlalu pagi dan jam pulang sekolah masih terlalu dini. Rafi dengan cepat menyarankan Rayn dan yang lainnya untuk menetap di sekolah mereka. Dan Michael pun menyetujuinya. Mereka pun berjalan memasuki gedung sekolah Karya Bangsa ditemani dengan lirik-lirikkan siswa-siswi di koridor.

Pada saat itu kelas dua belas yang tak lagi melakukan aktivitas belajar seperti biasanya, tengah ramai berkumpul di berbagai titik di sekolah. Sontak kehadiran Michael dan rombongan pun menjadi sorotan mereka. Para siswa laki-laki mulai berbisik-bisik, saat melihat kehadiran tim basket dari SMA Taruna. Masing-masing dari mereka mengingat-ingat apakah sekolah mereka tengah mengadakan lomba, seingat mereka tak ada satu lomba pun yang tengah diikuti sekolah.

Alvin masih bersama dengan Rani di depan kelas IPS2. Laki-laki itu masih berusaha melancarkan aksinya mendekati Rani. Namun, saat ia tengah membicarakan sesuatu kepada Rani, mata perempuan di hadapannya saat ini tidak lagi terarah kepadanya, walaupun kenyataannya sejak tadi Rani tidak memperdulikan keberadaan Alvin di dekatnya.

Melihat pandangan Rani yang tak juga berpaling, Alvin pun mengikuti arah pandang perempuan itu. Di bawah sana, sekelompok laki-laki tengah berjalan menyeberangi lapangan. Dalam sekali lirik Alvin langsung mengenali beberapa di antaranya, Michael dan Rafi berada di antara kelompok itu, lalu pandangannya melebar ke arah laki-laki yang merangkul Michael.

Kedua mata Alvin melebar melihat siapa yang berada di samping Michael. Rayn Leonard Putra, kapten tim basket SMA Taruna. Seketika Alvin berkeringat dingin melihat orang yang selama ini menjadi rivalnya di lapangan berada di sekolahnya. Kepalan tangannya sudah mengeras mencoba menahan segala emosi yang tengah ia tahan.

“Alvin, lo nggak pa-pa?” Rani melirik Alvin yang tiba-tiba diam tidak berucap.

Sebenarnya Rani ingin meninggalkan Alvin begitu saja. Namun saat melihat laki-laki itu terdiam secara tiba-tiba, hal itu membuatnya sedikit khawatir. Rani juga dapat merasakan aura Alvin yang berubah saat pandangan laki-laki itu terarah ke bawah sana, Rani dapat membaca tatapan itu tertuju kepada Michael yang tengah berlalu.

Dengan ragu, Rani mengangkat tangannya, mencoba mengembalikan fokus Alvin kepadanya.

Kagetnya, sebuah sentakkan keras melayang dari Alvin, laki-laki itu menepis tangan Rani dengan kuat.

Rani meringis kesakitan setelahnya.

“Oh no. Sorry, Ran. Gue nggak maksud.” Mata Alvin melebar, menyadari kelakuannya yang membuat Rani kesakitan.

“Gue nggak pa-pa. Tadi lo mau ngomongin apa?” ucap Rani sambil mengusap-usap tangannya yang kesakitan.

Alvin merasa bersalah setelah menepis tangan Rani tadinya, tadi itu di luar kesadarannya. Ia pun tidak sadar bahwa emosinya meluap begitu saja, saat melihat orang yang selama ini menjadi saingannya di lapangan.

Alvin menggaruk tengkuknya, “Nggak jadi, Ran. Sorry buat yang tadi, gue nggak sengaja.” Setelah mendapatkan anggukan dari Rani. Alvin pergi meninggalkan perempuan itu begitu saja.

Rani melihat punggung Alvin yang menjauh hanya berdesah tidak mengerti. “Aneh.”

“Baaa!” kaget sebuah suara, mengagetkan Rani.

“Kintan!” Rani mengelus dadanya.

“Ngapain? Melamun.” Tanya perempuan berkaca mata itu.

“Liat cogan.” Jawab Rani asal.

“Siapa?”

“Mmm… Tetangga.” Bohong Rani sambil melirik kelas IPS3.

Kintan mengerut dahi, tidak tau.

“Adik mantannya ketos. Nggak usah pura-pura amnesia, deh.” Rani sengaja menyindir seseorang yang Kintan sukai. Aldi namanya. Secara fisik, laki-laki itu tampan dengan mata tajam dan pembawaan yang pendiam. Namun, Rani tidak terlalu tertarik dengan laki-laki itu, ia hanya usil ingin mengerjai Kintan.

Kintan hanya tersipu malu, saat Rani memberikan kode dengan menyebut ‘adik mantan ketos’, tak ada satu pun yang mengetahui bahwa Kintan menyukai laki-laki itu selain Rani. Pernah sekali Rani tidak sengaja terucap tentang seseorang yang Kintan sukai kepada Ulan dan Masayu. Dengan lugunya Rani memberikan kode nama ‘tetangga sebelah’ dan Ulan pun mengira bahwa tetangga yang dimaksud adalah tetangga rumah Kintan. Rani dan Kintan pun yang menyadarinya hanya mengangguk-angguk saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Udah ah, masuk yuk.” Rani mengajak Kintan kembali masuk ke dalam kelas.

***

Michael membawa rombongannya berkumpul di kantin sekolah, hal itu membuat kantin yang awalnya sepi menjadi ramai dengan kedatangan mereka dan beberapa siswa-siswi yang mengikuti mereka dari belakang.

“Fio, itu Michael bareng Rayn kapten tim basket Taruna, kan?” tanya seorang siswi kepada Fio. Mereka sedari tadi sudah berada di kantin karena tidak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan.

Fio menoleh ke arah lain, tak berapa lama matanya langsung membulat mengikuti gerak-gerik rombongan yang baru saja memasuki kantin. Tanpa disadari tangannya sudah terangkat bersama ponselnya yang sudah siap mengabadikan moment langka di depannya.

“Wah… wah, breaking news, nih.” Komentar Fio tanpa memperdulikan pertanyaan siswi di sampingnya.

Kembali kepada Michael, sebenarnya ia tidak tau harus membawa teman-temannya kemana seraya menunggu waktu bel pulang sekolah nanti. Saran ke kantin pun adalah idenya Rafi. Untung saja ada Rafi pikir Michael, kalau tidak ada sahabatnya itu, mungkin ia akan membawa teman-temannya masuk ke dalam kelas.

“Lo semua mau pesen apa? Biar gue yang pesenin.” Tawar Rafi kepada yang lainnya.

“Kita bisa pesen sendiri, kok, Raf. Santai aja.” Ujar Rayn.

“Ok.”

Selang waktu menunggu jam pulang sekolah datang, mereka pun saling berbagi cerita, terutama Michael, Roby dan Rayn, mereka menceritakan saat-saat berada di bangku SMP tepatnya setelah Michael pindah. Mereka tidak memperdulikan bisik-bisik dari siswa-siswi yang ada di sekitaran kantin. Sampai-sampai suara seseorang yang berdeham pun tak mereka sadari.

Rafi menjadi orang pertama yang menyadari hal itu. Michael di sampingnya pun langsung mendongak dan menemukan Alvin dan Andre berdiri di belakang Rayn dan Roby.

“Apa maksud lo bawa-bawa mereka ke sini?” suara itu terdengar begitu dingin. Alvin sejak tadi sudah menahankan segala macam emosi dalam dirinya.

Dahi Michael mengerut, tidak mengerti. “Mereka berada di tim gue.” balas Michael tak kalah dingin.

“Oh, gue baru ngerti. Wajar sih, lo ngajakin mereka buat gabung, gue baru inget lo kan pernah mengalami patah tangan dan hal itu bikin lo nggak pernah main basket lagi.” Seolah dipanah oleh busur, rasa amarah Michael melonjak. Sungguh Michael menyesal karena pernah menceritakan sesuatu yang penting dalam hidupnya kepada laki-laki di hadapannya saat ini.

Michael juga lupa mengatakan kenyataan ini kepada teman-temannya, Rayn dan Roby hanya terdiam mendengar penuturan Alvin baru saja. Keduanya tidak ada yang membuka suara.

Merasa geram dengan sikap Alvin, Michael sudah bersiap untuk berdiri dan melabrak laki-laki itu, namun Rayn sudah terlebih dulu berdiri dan langsung menghadap Alvin yang berada tepat di belakangnya.

Rayn berkacak pinggang dengan santainya, “Ternyata bener apa yang selama ini gue nilai tentang lo. Untung aja, sepupu gue langsung mutusin lo, dengan alasan ‘mulutnya kayak cewek’.” Di kalimat terakhir, Rayn sengaja mengecilkan suaranya, setengah berbisik kepada Alvin tentang bagaimana sepupunya menilai Alvin.

Tangan Alvin sudah mengepal kuat, urat-urat di tangannya terlihat begitu kuat, ia menggenggam erat genggaman tangannya. Dan hal itu berhasil tertangkap di pandangan Michael.

Se-detik kemudian sebuah tangan melayang keras menghantam wajah tampan Rayn.

Alvin kali ini tidak dapat menahan emosinya, apalagi di hadapannya saat ini terdapat Rayn yang latar belakangnya adalah saingannya di lapangan.

Rayn tidak berniat membalas pukulan Alvin, malahan Roby yang berada di sampingnya sudah bersiap membalas pukulan Alvin kepadanya.

“Silakan! Pukul lagi. Gue pasang badan buat lo. Tapi gue nggak tanggung jawab kalau lo harus berhadapan sama kepala sekolah setelah ini.” Kata Roby lalu maju sedikit ke telinga Alvin. “terlalu banyak mata buat dijadiin saksi.” Bisiknya.

Tentu saja, kerumunan siswa-siswi yang tadinya berbisik-bisik tidak jauh dari tempat Michael dan yang lainnya berada, kini sudah membentuk lingkaran, seolah tengah menonton sebuah pertunjukan gratis dari laki-laki tampan yang tengah berkumpul.

“Berhenti!” suara Michael keras. Lalu menjadi penengah diantara Alvin dan Roby. Michael lalu menatap Alvin tajam, tidak takut dengan laki-laki di depannya. “Lo udah di luar batas, Al. Lo sendiri yang nawarin ke gue, dengan bermain sehat, sekarang apa yang lo lakuin?” suara Michael tajam.

Alvin berdecih, “Lo pikir gue nyerah. Nggak! Gue tunggu lo di lapangan.” Balas Alvin sambil berlalu dengan menumbur bahu Michael kasar.

Michael berbalik kepada Rayn. Belum sempat Michael menanyakan pertanyaannya, Rayn sudah terlebih dahulu menjawab.

“Gue nggak pa-pa. Udah lama gue kesel sama dia. Sekalian aja, selagi ada kesempatan.” Rayn tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.

Lalu mereka pun kembali berkumpul dan keramaian yang tadinya penuh, mulai memecahkan diri.

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 9

19 Mei 2017 in Vitamins Blog

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 9 – Need Help

Malam itu Rani sedang berada di ruang tengah rumahnya, menyibukkan waktu luangnya menonton tv, sekedar melihat-lihat berita yang sedang terjadi di Tanah air. Setelah sekiranya puas menyaksikan berita dari tanah air, Rani mengubah channel tv-nya ke kartun kesukaannya Spongebob. Namun, belum lama ia menyaksikan kartun favoritnya, layar itu telah berganti menjadi serial drama india.

“Ibu,” Keluh Rani, berusaha menarik kembali remote tv dari genggaman tangan Ibunya.

“Jangan ganggu ibu nonton tv,” Jawab Ibunya mulai sibuk menyaksikan drama india itu.

“Hmm…” dengan terpaksa Rani ikut menonton drama itu. Sebenarnya ia ingin meninggalkan ruangan itu dan berlalu ke kamarnya, namun ia tidak tahu ingin melakukan apa.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan menampilkan kakak perempuannya.

“Ayah belum pulang, bu?” tanya kakak perempuan Rani. Mengambil duduk di samping Rani.

Ibu menggeleng, matanya masih memfokuskan kepada layar segi empat di depannya. “Jam sepuluh kata Ayah.”

Sebuah ketukkan pintu membuat mereka menoleh, namun belum sempat menanyakan siapa. Mereka sudah mengetahui dari suara laki-laki di luar sana.

Rani pun bangkit dari duduknya dan membuka pintu, lalu kembali ke tempat duduknya.

Kakak perempuannya sudah tidak ada lagi, perempuan itu sudah kembali lagi ke kamar.

“Minta uang, bu.” Suara itu mendekati Rani dan Ibunya.

Rani tahu siapa yang datang, laki-laki itu adalah kakaknya. Ia ingin pergi dari ruangan itu tapi entah mengapa tubuhnya begitu sulit untuk bangkit dan ingin tetap berada di posisi itu.

“Buat apa?”

“Aku kena tilang polisi.”

Pernyataan itu membuat Rani berdecak keras, Rani sempat berujar kasar bahwa kakaknya itu tengah berbohong dengan mengatas namakan kena tilang. Rani sudah hapal akan segala macam kebohongan yang saudaranya itu ucapkan. Setiap kali laki-laki itu pulang ada saja alasan yang dilontarkan agar mendapatkan uang dari orang tuanya.

“Ngomong apaan lo. Lo itu masih kecil nggak usah ikut campur.”

Bahkan Rani sudah sering mendengar kata-kata itu setiap kali ia akan menyuarakan suaranya walau hanya sekedar umpatan kasar.

Rani tidak tahu lagi bagaimana caranya mengubah pola pikir saudaranya itu. Rasanya ia ingin marah saja, saat melihat wajah saudaranya itu ada di dekatnya.

Sejak kecil ia diperlakukan seperti itu oleh kakaknya hingga kini ia mulai beranjak remaja hal itu pun tidak pernah berubah. Rasanya seperti trauma, namun masih bisa ditahan. Entahlah, sampai kapan pertahanannya itu akan bertahan, mengingat sudah sering ia mengalah dan terus bertahan.

Dengan amarah di dalam dirinya, Rani bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Sesak di dada rasanya setiap kali ia terus melakukan hal ini. Menghindar dari keributan. Ia tidak tahu sampai kapan sesak ini akan berlangsung, jika laki-laki itu tidak berubah.

Mungkin sampai gue mati.

***

“Sisi, buatin gue mozaik. Gue nggak bisa.”

Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, sebelumnya Kintan sudah pamit pulang duluan kepada Rani karena Papanya sudah menunggu di depan gerbang. Dan kini Rani menghampiri kelas IPS5 untuk bertemu dengan sahabatnya yang lain.

“Yey, gue udah.” Sambar Wulan datang dari balik Sisi.

“Tumben lo nggak bisa soal edit mengedit, biasanya jago,” Ujar Sisi. “Eh, emang kelas kalian belum selesai, ini udah selesai UN, loh, Ran.”

Rani mencibir sebal ke arah Wulan, lalu kembali kepada Sisi. “Nggak tau, deh. Gue bingung sama photoshop. Sebenernya juga hari ini terakhir kumpul. Tapi karena banyak anak kelas belum selesai jadi besok terakhir.”

“Bingung apa nggak bisa? Mau gue buatin nggak?” sahut Wulan dari tempat duduknya.

“Nggak. Entar lo banyak maunya,” ucap Rani ke arah Wulan yang disambut sahabatnya itu juluran lidah jahil.

“Ya udah. Mau dibuatin di mana?” tanya Sisi.

“Di rumah lo.”

**

Setelah mengerjakan tugasnya di rumah Sisi, Rani segera pamit pulang. Setibanya di jalan raya, Rani menepi dan menunggu bus jurusan ke arah rumahnya lewat. Rani sesekali melirik jam tangannya, hari sudah sore. Bahkan jalanan di depannya sudah ramai dilalui kendaraan. Ia pun sempat mengurungkan niatan untuk naik saat melihat bus jurusan arah rumahnya yang penuh dengan orang.

Di atas sana pula langit sudah berubah menjadi gelap, menandakan hujan akan segera turun. Pandangan Rani pun menyisir ke sekitar, mencari tempat untuk berteduh. Di belakangnya terdapat mini market dan dengan langkah cepat ia berlari ke sana, mengingat rintikkan hujan mulai berjatuhan.

Saat ia tengah berlari, suara ponselnya terdengar. Setelah berada di tempat teduh, Rani pun mengangkat panggilan di ponselnya.

“Halo?” suaranya sedikit keras, agar orang diseberang sana mendengar suaranya yang tertutupi oleh suara hujan.

“Ran, lo dimana?”

“Hah? Nggak denger? Ini siapa?” suara Rani keras.

“Yeh, dia nanya balik. Sisi. Lo ke hujanan ya?”

“Ah, iya, Si. Gue lagi berteduh di depan mini market. Belum naik bus.”

Rani mengamati beberapa pengendara sepeda motor meminggirkan kendaraannya di mini market ini juga.

“Lo nggak pa-pa? Apa mau gue jemput, teduhan di rumah gue aja dulu,” Tawar Sisi.

“Nggak usah. Gue nggak pa-pa, ini juga rame kok. Thanks ya, Si.”

“Ok, kalau gitu. Kabarin gue kalau udah nyampe.”

“Sip.”

Rani mengakhiri sambungan telpon dari Sisi. Kini pandangannya sibuk mengamati sekitarnya seraya menunggu hujan berhenti.

Ada beberapa pengendara motor yang berteduh sejenak hanya untuk memasang jas hujan, lalu kembali lagi menjalankan laju sepeda motor mereka menembus derasnya air hujan.

Rani tidak sendiri yang memakai seragam sekolah, di samping kirinya tak jauh terdapat beberapa siswa-siswi SMP juga tengah berteduh. Bahkan di samping kanannya terdapat anak SD bersama orang tuanya tengah bercerita di atas motor.

Rani hanya tersenyum mengamati pemandangan yang indah menurutnya.

Bosan menunggu, Rani mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi wattpad, membaca beberapa cerita yang sudah terdapat di perpustakaannya.

Bahkan deru suara motor yang begitu nyaring tidak membuat perempuan itu menghentikan aktivitasnya, sebegitu konsentrasinya Rani. Padahal orang-orang di sekitarnya sudah merutuk suara mesin motor yang begitu nyaring di saat hujan deras sekalipun.

Michael memarkirkan motornya dan berlari ke tempat yang teduh. Ia sempat mendengar omelan seorang ibu kepadanya, dengan segera ia pun meminta maaf dan mengambil tempat yang sedikit jauh dari ibu itu.

Langkah Michael terhenti di samping kedua ibu dan anak yang tengah berpelukan seolah saling memberikan kehangatan, ia pun sempat tersenyum ramah ke arah sang ibu.

Michael melepas helm yang menutupi hampir seluruh wajahnya, lalu dipeluknya helm itu.

“Bu, kakak itu ganteng.”

Walaupun terdengar kecil, suara yang berasal dari anak kecil itu masih dapat didengar Michael, dan membuatnya tersenyum ke arah anak kecil itu.

Sang Ibu pun menoleh dan tersenyum tipis seraya mengusap kepala anaknya. “Kamu ada-ada aja,” Kata Ibu itu.

Anak kecil itu pun mengangguk semangat. Kemudian anak kecil itu mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Michael datang mendekatinya.

Michael yang bingung tanpa menolak maju mendekati anak kecil itu. Namun, saat Michael sudah berada di samping sang Ibu, anak kecil itu masih menyuruh Michael semakin mendekatinya. Lantas Michael pun memajukan kepalanya, tanpa menunggu lama, sebuah ciuman mendarat cepat di pipi Michael.

Michael tersenyum merasakan ciuman dari anak itu. Lalu dengan cepat pula ia membalas mencium pipi anak itu.

“Ibu, kakak itu menciumku,” ucap anak kecil itu kepada ibunya dengan histeris.

Michael dan sang ibu hanya bisa tertawa melihat kebahagiaan anak kecil itu. Lalu sang ibu pun berterima kasih kepada Michael karena Michael telah membuat anaknya kembali tersenyum.

Secara singkat sang ibu menceritakan kepada Michael alasan kenapa ia berterima kasih kepada Michael. Beberapa hari yang lalu, saudara laki-laki anak kecil itu meninggal karena sebuah penyakit, sebelumnya yang selalu mengantar dan jemput anak itu adalah sang kakak. Namun, setelah sepeninggal kakaknya, anak kecil itu menjadi murung dan tidak ingin pulang, bahkan dengan kedua orang tuanya.

Michael hanya mengangguk kepala pelan, mendengari cerita Ibu itu. Walaupun ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang saudara tapi ia juga dapat merasakan bagaimana kehilangan seseorang yang begitu disayang pergi selamanya. Lalu ia pun teringat dengan Papanya.

Dengan semangat, Michael pun membagikan semangatnya kepada anak kecil itu agar tidak murung lagi. Ia merangkai sebuah cerita pendek kepada anak kecil itu.

“Karin nggak boleh sedih lagi. Kakak kamu entar sedih liat Karin juga sedih,” Bujuk Michael, tangannya sudah berada digenggaman anak kecil itu yang bernama Karin.

“Tapi kakak aku udah pergi jauh, kata Ibu, kakak nggak akan pulang lagi. Kakak nggak sayang lagi sama Karin.” Suara anak kecil itu terdengar pilu di telinga siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali Rani yang sudah sejak tadi mengamati pemandangan ibu dan anak serta Michael yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan.

“Karin nggak boleh gitu. Kakak kamu itu sayang sama Karin. Dia pergi biar Karin jadi perempuan yang pintar, mandiri, dan jadi juara kelas,” kata Michael sambil menggenggam tangan Karin ke udara dengan semangat.

Karin pun tersenyum mendengar penuturan Michael. “Kalau gitu, Karin mau belajar terus supaya pintar, biar Kak Deva sayang terus sama Karin,” ujar Karin memegangi pipi Ibunya.

Sang ibu pun mengangguk pelan, di pelupuk matanya sudah terpenuhi dengan genangan air mata, mengamati putrinya yang begitu semangat saat mendengar penyataan-pernyataan yang Michael berikan.

“Jadi, sekarang Karin nggak boleh sedih lagi. Ok!” Michael mengacungkan tangannya berbentuk ‘ok’ kepada Karin. Lalu Karin membalasnya dengan cara yang sama.

Tak terasa hujan yang tadinya deras kini sudah mulai reda, Ibu dan anak kecil itu pun berpamitan dengan Michael. Michael membalas lambaian tangan Karin ke arahnya hingga sepeda motor sang Ibu hilang dibalik bangunan.

“Keren.”

Michael yang masih mengangkat tangannya berhenti di udara saat mendengar suara seseorang di sampingnya. Lantas ia menoleh dan menemukan wajah kecil Rani di dekatnya.

“Rani,” Kagetnya sampai menjatuhkan helm dari genggamannya tadi.

Rani tersenyum kikuk, melihat tingkah Michael yang terkejut.

“Segitu kagetnya, ya?”

Michael menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Jarang-jarang gue liat cowok dekat sama anak kecil,” kata Rani sambil menatap ke arah depan dengan tatapan kosong.

Michael mengamati Rani sejenak. “Kasihan denger cerita Ibunya. Gue nggak tahan kalau ngebiarin perasaan anak kecil itu sedih terus, dan juga Ibunya yang juga terpuruk ngeliatinnya.” Jujur Michael. “Gue nggak bisa ngebayangin kalau gue harus ditinggal sama saudara gue sejak kecil kayak Karin.”

Rani menganggukkan kepalanya pelan masih dengan tatapan kosong.

“Eh, bukannya lo punya kakak ya?” tanya Michael tiba-tiba.

Rani menghembuskan napasnya berat. “Gue punya, tapi gue nggak pernah punya memori indah untuk dikenang bareng dia.”

Michael mengerutkan dahi, bingung mendengar penuturan Rani. Apa maksudnya?

“Ah, udah lupain,” kata Rani tiba-tiba, lalu beralih ke langit luas.

“Kayaknya udah nggak hujan lagi. Gue duluan, ya.”

Namun, belum satu langkah perempuan itu melangkah, Michael sudah menahan lengan Rani.

“Gue anter!” Seru Michael lalu memasang helmnya.

Rani tersenyum tipis. “Kok, lo jadi nganterin gue pulang terus, kayak tukang ojek aja.”

Michael tertawa mendengarnya. “Salah sendiri, kenapa ketemu gue terus. Jadi tukang ojek, deh.”

“Nggak di sengaja,” kata Rani.

“Namanya takdir. Cepetan naik,” balas Michael, menyuruh Rani menaiki boncengan motornya.

Keduanya pun berlalu dengan sejuta perasaan. Dan kali ini langit dan rintikkan hujan menyaksikan dengan seksama bagaimana keduanya menjadi semakin dekat dan mulai menumbuhkan perasaan saling peduli antar sesama.

***

Keesokan harinya.

Saat menemukan Rani tengah berjalan menuju kelasnya, Sisi langsung menarik perempuan itu dan mengulik bagaimana sahabatnya itu pulang kemarin.

“Ah, gue pulang naik angkutan umum,” jawab Rani santai.

Sisi mendelik tidak percaya dengan jawaban sahabatnya itu.

“Terus kenapa lo nggak kasih kabar ke gue kalau udah nyampe rumah?” tanya Sisi lagi.

“Lupa.”

Sisi menggerutu sebal mendengar setiap jawaban yang Rani berikan kepadanya. Bukannya menjawab dengan benar, perempuan itu malah dengan santainya seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Ok. Terus, gimana tugas TIK lo, udah dikumpul?”

“Udah,” Jawab Rani malas. “kok kita belum libur ya. Padahal udah selesai ujian.” Pernyataan Rani tidak dibalas oleh Sisi. Tak ada yang mengetahui kehendak dan keinginan Kepala sekolah selain Kepala Sekolah itu sendiri.

Setelah itu Rani kembali ke kelasnya, suasana kelas tidak terlalu ramai, mengingat Ujian Nasional telah selesai. Berbondong-bondong siswa-siswi meliburkan diri sendiri sebelum mendapatkan jatah libur yang diberikan langsung oleh Kepala sekolah.

Mereka pun memegang teguh alasan bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu dipelajari, jadi buat apa lagi ke sekolah dan hal itu sempat membuat Kepala sekolah marah besar.

Rani menghampiri Masayu dan Kintan di kursinya.

“Kok gue jadi baper ya, akhir-akhir ini,” kata Masayu dengan nada lemah.

Rani melirik Masayu dengan tatapan aneh. “Baperan sama siapa? Sama doi, ya?” jahil Rani.

“Enak aja lo.”

“Mana nih kepala sekolah, kita nggak libur-libur. Butuh refreshing, Barbie.” Pernyataan Kintan sontak membuat Masayu dan Rani melirik aneh kepada Kintan. Lalu ketiganya tertawa bersama mengamati tingkah aneh mereka.

**

“Michael!” panggil sebuah suara dari seberang tempat Michael berdiri.

Michael sejak tadi tengah menunggu seorang kenalannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia bediri di gerbang sekolahnya menunggu kenalannya itu datang. Saat mendengar namanya dipanggil, Michael langsung mengenalinya.

“Hai, Rob. Apa kabar?” Michael memeluk teman lamanya saat berada di bangku SMP.

Orang yang dipanggil pun membalas pelukan Michael begitu erat. “Gue selalu baik, yang lain juga baik.”

Michael tersenyum tipis, membayangkan orang-orang yang dulu berada di dekatnya.

“Wah, beneran nih, ini sekolah lo. Jauh banget, Mic. Gue aja sampe nyasar ke sini.” Terang Roby menepuk bahu Michael.

Roby adalah teman satu tim basket Michael saat SMP. Sampai sekarang keduanya masih saling memberikan kabar walaupun tidak terlalu sering, tapi keduanya cukup dekat saat salah satu di antaranya menanyakan kabar via media sosial.

“Iya, ini sekolah gue. Biar orang rumah sulit cari tau keberadaan gue.” Michael menjawab asal.

Roby tiba-tiba menggelengkan kepala pelan. “Sorry banget, bro. Soal bokap lo. Kita telat dapet kabar waktu itu. Lo juga setelah itu langsung pindah sekolah entah ke mana. Anak-anak juga nggak tau rumah lo di mana jadi kita nggak pernah dapet kabar dari lo selain dari medsos.” Roby mengungkapkan bela sungkawanya kepada Michael, yang kejadiannya sudah hampir tiga tahun berlalu.

“Santai aja kali, Rob. Gue juga udah enjoy di sini, sama pilihan gue,” jawab Michael misterius.

Roby menaikkan sebelah alisnya. “Sepak bola.” Tebak Roby.

Michael mengangguk pelan.

So, karena kita udah lama nggak kete—” ucapan Roby terpotong.

“Lo yang nggak pernah ketemu gue, gue udah sering liat lo di turnamen melawan tim basket sekolah gue.” Sambung Michael cepat.

Roby melotot kaget mendengar perkataan Michael. Lalu ia bertepuk tangan.

“Lo emang kapten paling keren menurut gue,” ujarnya sambil menggeleng-geleng, seolah membanggakan Michael.

“Mana ada kapten yang ninggalin timnya maju sendiri.”

“Terserah lo deh. Jadi, sekarang lo mau ngapain?” Roby kembali menanyakan sesuatu yang sempat terpotong oleh ucapan Michael sebelumnya.

“Gue butuh bantuan kalian.”

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 8

15 Mei 2017 in Vitamins Blog

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 8 – Rival

Setelah merampungkan segala macam tugas yang diberikan oleh setiap guru di berbagai bidang sebagai nilai tambahan akhir semester. Kini siswa-siswi tingkat akhir SMA Karya Bangsa sudah bersiap dengan Ujian Nasional. Mereka pun memiliki berbagai macam ciri saat-saat menjelang Ujian Nasional itu terjadi. Beberapa ada yang menanggapi dengan biasa saja dan beberapa yang lainnya berteriak histeris, merasa takut tidak dapat menjawab soal-soal dengan benar.

Hari berganti hari, keluh kesah dari setiap murid menjadi ritual tersendiri setiap kali keluar dari ruang ujian. Hal itu terjadi hingga hari terakhir ujian.

“Ah!” jerit Rafi merentangkan kedua tangannya.

Di depan laki-laki itu, Michael sudah lebih dulu keluar dan menunggu sahabatnya itu menyelesaikan ujiannya.

“Nggak usah lebay.” Komentar Michael tajam.

Rafi mengerut sebal mendengar suara dingin Michael, “Lo kenapa sih, Mic? Rese banget.” Sebalnya sambil memasang sepatu.

Michael mengamati tingkah sahabatnya yang tengah kesulitan memakai sepatu sambil berdiri. Dengan niatan jahil, Michael mendorong Rafi supaya terduduk di lantai dengan cepat. Sesaat setelah kejadian itu, sebuah jeritan keras keluar dari mulut Rafi.

“Aaa!” jeritnya lagi.

Michael terkekeh melihat raut wajah Rafi yang terlihat kesakitan.

“Parah lo, Mic. Asli! Pantat gue langsung nggak terasa apa-apa.” Komentarnya sambil memegangi bokongnya.

Namun bukannya meminta maaf atau membantu Rafi untuk bangkit. Malahan sebaliknya Michael semakin mengencangkan tawanya setelah mendengar komentar Rafi tentang apa yang laki-laki itu rasakan saat ini.

Tiba-tiba sebuah dehaman keras menghentikan gelak tawa Michael, laki-laki itu langsung berbalik dan langsung menemukan wajah seram dari guru pengawas. Sebelum guru itu membuka suara, dengan segera Michael membantu Rafi berdiri dan meninggalkan daerah itu.

Sesaat setelah keduanya turun ke arah lapangan, mulailah umpatan sebal dan makian kasar dari mulut Rafi keluar.

“Kacau. Parah. Lo. Mic. Argh!” Rafi mengumpat tidak jelas.

Michael mencoba untuk menahan tawanya sambil mengamati sahabatnya itu sejak tadi yang tak henti-hentinya mengelus daerah belakang tubuhnya.

Rafi yang melihat ekpresi Michael, langsung saja bergumam, “Nggak usah ditahan. Ketawa aja sepuas lo. Gue persilakan.”

“Oh… cup… cup, sakit ya.” Jahil Michael, menepuk-nepuk kepala Rafi seperti anak kecil.

Rafi dengan segera menepis tangan Michael di kepalanya.

“Lo kenapa sih, Mic? Tega banget dorong gue.” Tuturnya masih sambil memegangi belakang tubuhnya.

Michael langsung memasang wajah sebalnya dan mengepalkan tangannya untuk menjitak kepala sahabatnya itu, “Biar kita impas.”

Rafi mengerutkan dahi, bingung, “Impas apanya?”

“Nggak usah pura-pura lupa. Kejadian malam itu, yang lo nyuruh gue nyanyi di monas.” Michael melipat tangannya di depan dada, seolah ia tengah menunggu reaksi yang akan Rafi berikan.

Michael memang sengaja tidak membalas kejahilan Rafi pada saat itu, mengingat keesokkannya mereka harus memulai Ujian Nasional. Rasa sebal Michael kepada Rafi, sudah ia tahan sampai seminggu ini. Dan saat inilah bayaran yang harus sahabatnya itu terima.

Tak berapa lama, deretan gigi dari laki-laki itu terlihat, “Ah… itu. Ya ampun, Mic. Lo kayak nggak tau gue aja,” Cengiran Rafi membuat wajah Michael semakin marah, “tapi lo seneng, kan. Bisa deket sama Rani. Bahkan nganter dia pulang. Seharusnya lo terima kasih sama gue.” Sombongnya, lalu berjalan meninggalkan Michael.

“Eit… lo mau kemana.” Susul Michael menarik kerah belakang seragam Rafi.

“Pulang.” Senyum miris Rafi.

“Nggak sekarang.”

Michael menarik Rafi menuju lapangan sekolah, ditemani gumaman tidak jelas dari mulut Rafi.

Keduanya kini menjadi pusat perhatian dari siswa-siswi yang berada di koridor itu. Suara Rafi membuat mereka menolehkan pandangan ke arah lapangan dimana laki-laki itu kini berada.

Michael sebenarnya tidak tau apa yang ingin ia lakukan kepada sahabatnya itu, tidak ada niatannya untuk membalas kejahilan Rafi kepadanya. Namun, melihat raut wajah Rafi yang sudah pasrah, tiba-tiba pikiran konyol itu muncul di kepalanya.

“Mic, kita diliatin orang-orang.” Bisik Rafi mendekati Michael.

“Biarin. Biar lo ngerasa gimana perasaan gue malam itu.” Balas Michael membisikkan ke telinga kiri Rafi.

“Hai, temen-temen. Gue dari IPS, kalian nggak perlu tau gue siapa. Tapi, sekarang gue dan sahabat gue ini, berdiri di sini mau memberikan pertunjukan yang menarik buat kalian semua,” Suara Michael mengitari sepenjuru sekolah. “ini sahabat gue, namanya Ra—” ucapan Michael terpotong saat mendengar bisikan dari Rafi.

“Gue tampol ya, kalo lo kasih tau nama gue.” Bisik Rafi kejam.

Bukannya merasa terancam mendengar ancaman Rafi, Michael malahan tertawa jahil kepada laki-laki itu.

“Namanya Rafid Alamsyah. Dan dia bakalan stand up comedy. Selamat menyaksikan.” Ungkap Michael lalu berniat meninggalkan Rafi di tengah lapangan sendiri.

Michael berdiri di pinggir lapangan sambil bersiap dengan ponselnya untuk merekam kelakukan Rafi, namun saat matanya hendak terangkat untuk bersiap merekam. Dari arah samping kiri Rafi, datang rombongan Alvin yang langsung mendorong Rafi hingga terjatuh.

Melihat sahabatnya tertindas di depan banyak orang, Michael langsung berlari kembali ke tengah lapangan. Dengan keras, ia mendorong Alvin menjauh dari tubuh Rafi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Alvin, Michael membantu Rafi berdiri dan menepuk-nepuk kotoran di seragam sekolah sahabatnya itu.

Dengusan keras terdengar dari Alvin. “Wow… life saver.” Ucap Alvin sambil bertepuk tangan.

Michael melirik Alvin dengan tajam setelah mendengar ucapan laki-laki itu.

“Tadi temen lo mau ngapain? Stand up comedy. Gimana kalau kita ubah sedikit permainan yang lebih menarik ditonton dari pada harus ngelitin cerita temen lo yang bego itu.”

Merasa geram mendengar penghinaan Alvin kepada Rafi, Michael dengan cepat menarik kerah baju Alvin. Tangannya sudah terangkat berniat memukul muka licik Alvin hingga babak belur. Namun, Rafi langsung menahan tangannya dari belakang.

“Jangan disini, Mic.” Ujar Rafi di telinganya.

Michael mengerti maksud Rafi, matanya langsung melirik ke belakang tubuh Alvin, di mana ruang guru berada. Di sana sudah terdapat beberapa guru yang ia kenal tegas. Ia tidak pernah menginginkan masuk ke ruangan itu karena perkelahian yang ia buat. Dengan terpaksa Michael menurunkan kepalan tangannya di udara dan di kerah seragam Alvin dengan keras.

Alvin menyeringai licik.

Michael membalas dengan tatapan tajam.

Alvin maju mendekati Michael hingga tidak ada jarak sedikit pun di antara keduanya.

“Gue bakalan berhenti mengejar Rani, kalau lo terima tantangan gue.” Bisik Alvin di telinga kanan Michael.

Michael tidak membalas ucapan Alvin.

“Basket.”

Satu kata itu berhasil membuat mata Michael membulat sempurna. Ia tau bahwa Alvin sengaja menantangnya dengan olahraga yang tidak ia kuasai. Dulu ia pernah menceritakan kenangan kelamnya tentang basket kepada Alvin, dan sekarang ia ditantang untuk memenangkan olaharaga itu hanya untuk membuat laki-laki di hadapannya ini, menjauh dari perempuan yang kini mencuri hatinya, Rani.

Tangan Michael terkepal keras. Rona merah, marah, dari wajah laki-laki itu membuat Alvin semakin tersenyum menang.

Ketika Alvin akan kembali membuka suara, Michael segera maju dan membisikkan ke telinga Alvin.

“Gue tau rencana lo. Dan asal lo tau, gue nggak pernah takut untuk memenangi orang yang gue sayang dari orang licik kayak lo,” Suara Michael tajam, seolah dibalik ucapannya itu terdapat senjata yang paling menakutkan, “gue terima tantangan lo, dan asal lo kalah gue harap lo menjauh dari Rani.”

Michael mundur, lalu menarik Rafi pergi dari tontonan orang-orang. Ketika hendak meninggalkan lapangan, tak sengaja pandangan Michael terangkat, tertuju ke arah kelas Rani berada. Di sana ternyata perempuan itu sudah menyaksikan semuanya, sejak awal.

Michael merasa sedikit menyesal dengan tindakannya, namun mau bagaimana lagi. Semua ini demi perempuan itu, jika saja Alvin tidak bersikap layaknya badboy, ia tidak akan bertindak maju membela perempuan itu. Ia akan melepaskan Rani kepada Alvin, jika laki-laki itu memperlakukan Rani layaknya putri.

Namun melihat sikap Alvin yang kekanak-kanakan dan egois, Michael tidak akan tinggal diam. Ia akan melindungi Rani dari tindakan kasar Alvin.

Michael tersenyum tipis kepada Rani di atas sana, entahlah apa maksud dari senyumnya itu. Kemudian ia berpaling dan meninggalkan halaman sekolah dengan sorak-sorakkan ramai dari siswa-siswi yang sejak tadi menjadi penonton.

***

“Argh…” jerit Rafi tertahan saat Michael memasang plaster ke pipinya.

“Diem!” perintah Michael.

Rafi mengamati raut wajah Michael dengan intens. Ia tidak pernah melihat sahabatnya itu tersulut amarah seperti tadi. Ia tau Michael memiliki tempramen yang stabil, laki-laki itu akan bisa menahan emosinya jika dalam keadaan terancam. Namun kali ini pertama kali baginya melihat Michael seperti ini.

“Mic, lo nggak pa-pa?” tanyanya.

Michael menyelesaikan tugasnya dan berpaling ke arah lain.

“Mic, maafin gue. Gue tau, gue salah.”

Michael melirik Rafi, “Bukan salah lo.” Ujar Michael singkat.

“Tapi lo nggak pa-pa, kan? Tadi, Alvin ngomong apa sama lo. Dia ngancem? At—”

“Lo bisa diem nggak!” bentak Michael, wajahnya sudah memerah kembali.

Rafi terkejut melihat respon Michael. Michael tidak akan pernah semarah itu. Ada sesuatu yang membuat laki-laki itu berubah seperti ini, dan Rafi tidak tau apa yang mengganggu sahabatnya itu. Ia tidak tau apa yang Michael dan Alvin bicarakan tadi.

“Mic, gue tau lo lagi mikirin omongan Alvin tadi. Tapi lo juga bisa berbagi sama gue. Ceritain apa yang sekarang ganggu pikiran lo.” Rafi menawarkan diri untuk Michael bercerita kepadanya, di saat laki-laki itu tengah tersulut amarah.

“Lo nggak ngerti.” Sinis Michael menatap Rafi tajam.

Mendengar Michael yang sinis, membuat Rafi merasa, ia harus mencoba membuat sahabatnya itu membuka suara. Bagaimana pun juga, tadi Michael telah menolongnya.

“Ok. Gue nggak ngerti apa yang tengah lo pikirin dan rasain sekarang. Gue terlalu bodoh jadi sahabat lo, gue bahkan nggak ngerti perasaan sahabat gue saat ini,” Mulai Rafi dengan nada serius, “gue emang sahabat lo yang bodoh, tapi biarin gue jadi sahabat lo yang perduli. Perduli sama keadaan lo.” Tutur Rafi sambil mengerutkan dahinya dalam. Menunggu respon yang diberikan Michael kepadanya.

Michael mendongak dan menatap sahabatnya yang kini sudah tertunduk lesu. Ada rasa bersalah dalam dirinya saat membentak Rafi beberapa saat lalu. Ia tidak bermaksud melakukan hal itu. Saat ini ia hanya memikirkan tawaran yang Alvin berikan kepadanya dan itu berhasil mengganggu konsentrasinya.

Michael menghela napas berat, “Lo nggak akan ngerti, Raf.” Ulangnya dengan nada datar.

Rafi mendongak dan melirik Michael di sampingnya, “Lo tau caranya jelasin sesuatu yang sulit buat gue ngerti menjadi sesuatu yang akhirnya gue ngerti.” Balas Rafi sambil menatap Michael dengan senyum misterinya.

Michael berdecak sebal mendengar penuturan Rafi.

“Cerita aja ke gue. Gue bakalan kerja keras agar gue ngerti apa yang lo omongin. Cepetan.” Semangat Rafi sambil mengepalkan tangan di udara.

Michael hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

“Dia nantangin gue main basket.”

What? Kenapa basket coba?” ujar Rafi mendesah tidak karuan seolah tengah berpikir keras alasan apa yang tengah Alvin tawarkan kepada Michael.

“Dia tau masa lalu gue.” terang Michael seraya membuka botol air mineralnya.

Rafi termangu mengamati Michael, sambil menggigiti sedotannya.

“Dia bilang, dia bakalan berhenti deketin Rani kalau gue terima tantangannya.” Lesu Michael.

Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rafi, saat Michael mengatakan bahwa Alvin mengetahui masa lalu laki-laki itu.

“Kalau gue boleh tau. Masa lalu apa yang dia tau tentang lo.” Rafi mengatakan dengan pelan dan ragu-ragu, takut Michael akan menghentikan mode ceritanya.

“Waktu SMP, gue berada di tim basket, dengan keinginan bokap. Gue dulu nggak ngerti yang mana yang harus didahului antara keinginan gue dan keinginan orang tua gue. Mungkin sekarang gue bisa menyimpulkan, bahwa gue nggak punya saudara jadi wajar gue lebih dulu mewujudkan keinginan orang tua dibandingkan keinginan gue sendiri.” Michael memulai ceritanya.

Dengan cermat Rafi segera mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Michael.

“Pada dasarnya gue itu orang yang egois, tapi gue berpikir kembali. Kalau orang-orang di sekitar gue harus menanggung keegoisan itu, maka, apakah hidup gue bakalan mendapatkan kebahagiaan yang tulus dari mereka?”

“Sejak saat itu gue berusaha menahan segala keinginan terbesar gue. Bokap selalu berpesan untuk serius di setiap bidang yang gue pilih. Sepak bola adalah keinginan terbesar gue, tapi gue kembali teringat dengan keinginan bokap pada basket dan sejak saat itu juga tanpa memikirkan harapan terbesar gue, gue memilih basket. Berjalannya waktu, gue pun mulai suka sama dunia basket, gue juga sempet jadi kapten. Tapi semuanya nggak berjalan dengan mulus.”

Rafi sampai saat ini dapat mengerti setiap kata yang diucapkan Michael. Hingga ia pun merasakan apa yang sahabatnya itu rasakan dulu.

“Kita kecelakaan. Tangan kanan gue patah dan bokap meninggal di tempat. Sejak saat itu juga gue ngerti alasan kenapa bokap selalu berpesan kepada gue buat serius di bidang yang gue pilih. Mungkin itulah akibatnya gue nggak serius, tangan kanan gue patah dan membuat gue harus berhenti dalam basket.”

Rafi refleks memegangi lengan kanan Michael.

Sorry, karena gue nggak tau masa lalu lo. Gue ikut sedih sama apa yang lo rasain saat itu.”

Michael mengangguk sebagai jawaban.

Kini keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing, mencari solusi dari tantangan yang ditawarkan Alvin kepada keduanya.

“Tapi, Mic. Kalau lo nggak serius, kenapa lo bisa jadi kapten?” tanya Rafi tiba-tiba.

“Itu sebagai bukti ke bokap bahwa gue nyaman di basket, tapi kenyataannya gue nggak pernah merasa nyaman.” Jawab Michael cepat.

Rafi menghembuskan napas lega, karena kali ini ia berhasil membujuk Michael untuk menceritakan masa lalu laki-laki itu.

“Ok. Sekarang kita pikirin solusi atas tawaran Alvin.” Tutur Rafi bergaya seolah ia tengah memikirkan sesuatu yang serius.

Michael terkekeh, melihat tingkat Rafi yang seperti itu, “Udah nggak usah dipikirin, buat apa juga lo mau cari solusi segala. Pada akhirnya juga kita bakalan melawan Alvin, kan.” Pernyataan Michael sontak membuat Rafi melirik tajam ke arah Michael.

“Eh, kita?”

“Iya.” Michael menaikkan kedua alisnya seraya mengangguk kepala santai.

“Yakin lo? Gue nggak pernah pinter dalam basket.” Terang Rafi sambil menunjuk diri sendiri.

No problem.” Jawab Michael singkat lalu berdiri.

Rafi mendongak mengikuti gerak-gerik Michael di depannya.

“Gue cabut. Mau nemuin seseorang.” Kata Michael menaikki motornya.

“Siapa?”

You know him.”

***

Maafkan kalau banyak typo  :cry:

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 7

15 Mei 2017 in Vitamins Blog

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 7 – Singing

“Michael!” panggil Rafi, mengejar Michael keluar kelas.

Michael masih berlalu tidak memperdulikan Rafi yang memanggilnya.

“Ish, ini orang. Michael, gue mau ngomongin sesuatu.” Rafi tak juga menyerah menghentikan langkah Michael. Dengan cara menghalangi langkah laki-laki itu, Michael pun terpaksa berhenti.

Michael melirik Rafi bosan.

“Cepetan!” seru Michael seraya melipat kedua tangannya di dada.

“Lo udah sembuhan?” tanya Rafi.

Michael menghembuskan napas malas, berniat meninggalkan Rafi. Namun kembali Rafi menahannya.

“Apaan sih, Raf?”

“Soal Rani.” ujar Rafi.

Michael langsung terdiam saat Rafi menyebutkan nama Rani di hadapannya. Entah setiap kali ia mendengar nama perempuan itu rasanya ada sengatan kecil yang membuatnya terdiam dan ingin mendengarkan apapun yang berhubungan dengan perempuan itu.

“Dia kenapa?”

Rafi memberikan gerakan kepala, yang mengartikan bahwa mereka harus memiliki ruang sepi untuk berbicara. Michael pun mengerti dengan maksud Rafi, lalu ia mengawali langkah menuju tempat sepi untuk memulai pembicaraan.

Parkiran sekolah menjadi pilihan Michael.

“Lanjutin.” Seru Michael mengingatkan Rafi untuk segera memulai kembali pembicaraan mereka.

“Menurut gue, ada yang beda dari Rani.” Singkat Rafi.

Kerutan samar muncul di dahi Michael, “Maksud lo?”

“Lo tau ‘kan, gue udah deket banget sama anak-anak cewek di kelas kita.” Michael mengangguk cepat, “rata-rata sifat mereka saat berhadapan sama cowok akan selalu sama. Ada yang malu-malu, ada yang genit dan ada yang salting kelewatan. Bahkan menurut gue mereka udah punya sifat dasar setiap kali deketan sama seorang cowok ataupun suka sama cowok.”

“Terus apa hubungannya sama Rani? Jangan bilang lo—” ucapan Michael terhenti saat mendengar Rafi melanjutkan kembali ucapannya.

“Rani beda. Gue udah lama tau dia karena dia sering banget lewat kelas kita, walaupun sekedar nyamperin temen-temennya di sebelah kelas kita. Tapi gue nemuin beberapa fakta akhir-akhir ini, mengingat lo lagi deket sama dia. Salah satu fakta yang gue simpulin adalah dia jaga jarak banget sama cowok.” Jelas Rafi panjang lebar.

Michael diam, tidak lagi berniat memotong ucapan Rafi.

“Gue udah tanyain ke beberapa cowok dari kelas doi, dan mereka semua nggak terlalu kenal sama doi. Ada juga yang bilang, si doi pendiem, misterius dan jarang berinteraksi sama kaum adam.”

Bayang-bayang wajah Rani pun langsung memenuhi isi kepala Michael, secara otomatis ia pun berusaha mengingat segala penjelasan yang Rafi baru saja katakan kepadanya tentang perempuan yang mencuri perhatiannya saat ini.

Beberapa kejadian tiba-tiba muncul ke permukaan. Di mana saat Alvin yang tiba-tiba mendatangi Rani untuk pulang bersama, namun dengan segera sebuah penolakan yang Rani berikan. Lalu kejadian di mana ia berkelahi dengan Alvin, dan Rani juga ada di sana untuk melerai dirinya. Ada gurat emosi yang mendalam dari wajah kecil Rani, seolah kemarahan itu meledak bagaikan semburan lahar panas gunung berapi yang telah lama tidak aktif dan kini kembali aktif.

Michael tidak pernah menyangka akan berpikir tentang seseorang sebegitu detail-nya. Apalagi yang tengah ia pikirkan adalah seorang perempuan dan hal itu tidak pernah menjadi topik utama dalam kepalanya. Namun, kali ini Rani telah berhasil merubah pemikiran Michael tentang cara pandang setiap orang.

“Mic, kok lo diem, sih.” Suara Rafi membuatnya kembali ke kenyataan.

“Enggak.”

“Jadi sekarang lo masih mau kenal Rani?” tutur Rafi.

“Bukan urusan lo. Gue juga nggak ada apa-apa sama dia. Kita cuma sebatas kenalan dan sesekali saling tegur kalau nggak sengaja ketemu.” Bohong Michael pada Rafi.

Rafi menyipitkan kedua matanya, mengamati Michael dengan seksama.

“Sshh… gue ngerasa lo bohong deh.” Tebak Rafi, menyipitkan kedua matanya.

Michael melirik Rafi tajam. Ia tidak suka dengan suasana hati dan sikap Rafi saat ini, yang bergaya layaknya seorang detektif.

“Nggak usah sotoy, deh. Gih, balik.” Michael berjalan melewati Rafi yang masih berkacak pinggang tengah mengamatinya.

Michael berbalik dan menemukan Rafi masih berdiri diam sambil mengamati pundaknya.

“Lo ngapain?”

“Nggak.” Geleng Rafi lalu berjalan menghampiri Michael, mensejajarkan langkahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Michael tak henti-hentinya melirik Rafi di sampingnya. Ada sesuatu yang aneh dari temannya itu sekarang. Tidak biasanya sikap Rafi begitu diam saat tengah bersamanya, biasanya temannya itu akan selalu bercerita apapun kepadanya. Namun kali ini setelah meninggalkan halaman parkir, Rafi tak juga kembali menyuarakan suaranya.

Aneh ini orang, batin Michael.

***

Semilir angin bertiup begitu sejuk untuk waktu di pagi hari. Cahaya sang mentari tengah redup di karenakan awan mendung menghalangi aktivitas sehari-hari sang mentari. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Musim penghujan pun sudah mulai berdatangan membasahi bumi.

Hal yang sama pun berjalan cukup damai, setelah berunding dengan kepala dingin. Tugas-tugas yang awalnya menumpuk kini perlahan terselesaikan. Rani hanya mengikuti alur yang tengah teman-teman kelasnya jalani, jika ia harus profesional maka ia akan melakukannya semaksimal mungkin. Dan hal itu pun berpengaruh kepada anggota tim lainnya.

Masayu, Kintan, Intan, Ulan dan Lala pun melakukan hal yang sama. Mengingat tinggal beberapa hari lagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional, mereka pun mulai bergerak cepat untuk menuntaskan semua tugas-tugas yang sempat terhambat oleh kurangnya komunikasi yang jelas antar anggota, dan salah satunya hubungan Rani, Kintan dan Intan. Tak ada komunikasi yang jelas diantara Rani dan Kintan kepada Intan.

Sebelumnya beberapa fakta sudah Rani ketahui tentang sikap Intan kepadanya maupun kepada Kintan. Sempat ada rasa kesal saat mendengarnya, namun ia kembali menyingkirkan sikap emosinya. Jika ia harus menjalani semua ini dengan keras kepala dan Intan pun melakukan hal yang sama, maka tak ada satu pun yang akan menyelesaikannya dengan cepat.

“Selesai.” Masayu dan Kintan datang dari arah pintu kantor guru.

Rani yang menunggu keduanya di depan kantor menoleh ke arah sumber suara.

“Udah?” tanyanya.

“Yap. Alhamdulillah akhirnya tugas-tugas selasai.” Syukur Kintan bersorak senang.

“Gue udah bilang sama Pak Basyid soal subtitle kita yang nggak kelihatan di videonya. Terus katanya, beliau minta file subtitle-nya aja.” Jelas Masayu.

“Ok. Bisa diatur.” Ujar Rani.

“Huh, susah ya, jadi anak kelas tiga. Tugas udah banyak, kayaknya kita semua lagi diuji. Dari fisik maupun jiwa. Belum lagi hadepin UN nanti.” Tutur Rani.

“Stress.” Komentar Masayu sambil menggeleng-geleng kepala.

**

Bel istirahat, setelah memisahkan diri dari Kintan yang tengah sakit perut di kelas, Masayu dan Rani pergi ke koperasi untuk membeli sesuatu. Keduanya tidak langsung kembali ke kelas, malahan keduanya duduk santai di koridor.

“Mas, tadi gue liat Kak Ilyas.”

Masayu menoleh cepat saat mendengar nama laki-laki yang sempat dijodoh-jodohkan oleh teman-teman kelas sepuluhnya dulu.

“Lah kenapa laporan ke gue? Nggak ada hubungannya.” Sahut Masayu.

Senyum jahil muncul dari wajah Rani, “Serius nggak ada hubungan. Kalau perasaan, ada?” jahilnya.

“Udah kali, Ran. Males gue ngomongin dia.”

“Ok, ok.”

Saat bel masuk sudah berbunyi keduanya mulai bergegas beranjak dari duduk menuju kelas. Setibanya di lantai atas, bertepatan dengan itu, Kintan keluar dari kelas dan menghampiri Intan yang duduk sendiri di teras kelas. Rani dan Masayu yang melihatnya pun langsung datang menghampiri. Sempat Ulan dan Lala ikut bergabung, dan menjelaskan kenapa Kintan bisa seemosi itu.

Setelah mendengar penjelasan singkat Ulan, Rani dan Masayu pun ikut bergabung dan menahan Kintan untuk tidak gegabah dalam keputusannya. Kini setelah Intan menyuruh Ulan dan Lala pergi untuk meninggalkan mereka berempat, belum ada diantara keempatnya untuk memulai masalah yang tengah mereka hadapi.

Dengan berani Intan memulainya dan mengatakan semua alasan yang sampai saat ini belum ketiga temannya tau. Bahkan Intan mengeluarkan isi hatinya selama ini sejak ia berteman dengan ketiganya, dari beberapa ulasan yang dikatakan Intan diantara sudah diketahui oleh Rani, Masayu dan Kintan. Dan hasilnya sangat menggores hati.

Kenyataan kini terungkap, dibalik sebuah hubungan pertemanan, ada perasaan yang tengah tersakiti. Dengan cara tidak di sengaja perasaan sakit itu semakin mendalam menggoresi hati. Tinggal sakit yang tidak dapat lagi terobati.

Ungkapan yang selama ini terpendam dari masing-masing mereka kini hilir mudik tersuarakan. Dimulai dari hal-hal kecil hingga ke hal-hal yang besar, mereka ungkapkan. Agar semuanya jelas dan tidak ada yang perlu di permasalahkan lagi.

Rani pun melakukan tugasnya. Ia meluruskan semua kesalahpahaman yang selama ini Intan tujukan kepadanya, dan Intan pun menerima hal itu dengan wajar.

Masayu pun tak tinggal diam, ia pun sesekali menjelaskan semua sikap yang selama ini mereka lakukan kepada Intan. Intinya hanyalah satu, mereka butuh dihargai. Mengingat sikap Intan yang terlalu cuek setiap kali mereka menanyakan tugas-tugas.

Setelah saling mendengarkan curahan hati masing-masing dan juga alasan-alasan yang dituturkan Intan. Kini keempatnya pun saling berjabat tangan mengakhiri kesalahpahaman yang telah terjadi. Hal itu pun diakhiri dengan tangisan air mata Intan.

***

Jam pulang sekolah sudah tiba, kini Rani tengah menunggu Sisi di dalam kelas IPS5. Menurut Rani kelas ini adalah kelas yang paling sibuk dan pintar dari kelas IPS lainnya. Entahlah dari mana presepsi itu muncul di kepalanya, tapi dengan melihat gerak cepat dan kekompakkan kelas itu, Rani sudah langsung menyimpulkan bahwa pemikiran siswa-sisiwi kelas ini lebih tinggi di antara kelas IPS lainnya.

“Tunggu bentar ya, ran.” Seru Sisi seraya menyelesaikan tugasnya.

“Yap,” Jawab Rani duduk di samping Yulinar. “lo udah selesai?”

Yulinar mengangguk, matanya masih terfokus ke arah bacaan di depannya.

“Baca apaan, sih? Serius banget?”

“Wattpad.”

“Ah…” respon Rani, mengangguk kepala.

Rani mengintip bacaan yang tengah Yulinar baca, dan tak sengaja Rani membaca sebuah tulisan. “Pangeran berkuda putih.”

Yulinar melirik Rani dengan wajah jahil, “Hayo, siapa pangeran berkuda putihnya?”

Pipi Rani bersemu, tiba-tiba wajah seseorang terbayang di dalam pikirannya. Michael.

Kenapa gue mikirin dia, batin Rani.

“Siapa, ran?” sungut Yulinar lagi.

“Ada deh.” Elak Rani.

“Ngomongin apaan sih?” sambung Sisi datang mendekati keduanya.

“Udah selesai?” tanya Rani.

Sisi mengangguk seraya menutup ujung penanya.

“Nggak.” Kompak Rani dan Yulinar sambil tersenyum jahil.

Sisi merengut sebal, “Lo berdua ngobrolin apa?” sebalnya.

“Ih kepo!” jawab Rani berdiri dan menyuruh Sisi membereskan barang-barangnya.

Sisi menggerutu sebal karena tidak mendapatkan jawaban dari kedua sahabatnya.

“Eh, gitu aja ngambek,” Gumam Yulinar sambil menunjuk-nunjuk pipi tembam Sisi. “Rani tadi bilang soal Pangeran berkuda putih. Gue nanya siapa Pangerannya. Dia bilang ‘Ada deh.’ Udah gitu aja.” Jelas Yulinar sambil mengikuti gaya Rani saat menjawab pertanyaan darinya tadi.

Rani tertawa mendengar penuturan ulang Yulinar dengan cara mengikuti ucapannya tadi.

“Oh,” Respon Sisi sambil mengamati Rani. “Kayaknya ada yang lagi seneng nih.” Kontan mendengar penuturan Sisi, Rani langsung terdiam.

“Siapa?” tanya Rani.

“Ya, Lo-lah.” Tunjuk Sisi kepada Rani.

Sejenak Rani terdiam, lalu tanpa disadari perempuan itu sudah terduduk dan menceritakan semua yang beberapa jam lalu telah ia lalui. Dari mulai emosi Kintan yang tiba-tiba mendatangi Intan hingga hubungannya dan Intan membaik.

Sejak awal Rani belum menceritakan permasalahan ini kepada Sisi dan sahabat-sahabatnya karena ia mencoba untuk tidak berbagi kegelisahan kepada orang lain. Sudah cukup ia saja yang merasakan kegundahan pada saat itu.

Sisi juga tidak pernah memaksakan Rani untuk menceritakan masalah yang tengah perempuan itu hadapi. Ia hanya bisa menunggu, waktu dimana Rani sudah siap untuk berbagi cerita kepadanya. Dan kini waktunya sudah datang. Sekarang ia tau alasan kenapa akhir-akhir ini Rani tidak begitu bersemangat.

“Oh gitu. Ya udah ‘kan masalahnya udah clear, jadi udah, nggak usah dipikirin lagi. Yang jelas kalian udah saling minta maaf, dan juga udah saling kasih pendapat satu sama lain. Untuk selanjutnya dijalanin aja.” Saran Sisi.

“Iya tapi gue nggak tau deh bisa deket kayak dulu lagi atau nggak.” Ujar Rani.

“Jalanin aja dulu, Ran. Kalau si Intan biasa-biasa aja, ya di biasa-biasain aja.” Seru Yulinar.

Rani mengembungkan pipinya seraya mengangguk-angguk kepala.

***

Malam harinya Michael dan Rafi kini tengah berada di luar rumah. Keduanya tengah berada di Monumen Nasional (Monas). Awalnya Michael menolak ajakan Rafi, namun saat melihat tingkah sahabatnya itu siang tadi sedikit aneh. Dengan terpaksa Michael pun menyetujui ajakan laki-laki itu.

Sejak tiga puluh menit yang lalu, setiba keduanya di tempat tujuan. Michael tak henti-hentinya menggerutu sebal.

“Kok, lo berisik banget sih, Mic?” sembur Rafi, yang menahan umpatannya setiap kali Michael menggerutu tidak jelas.

Michael melirik Rafi sekilas, “Hah, gue berisik. Nggak salah lo?”

“Ya terus, mulut lo kenapa dari tadi nggak bisa diem.”

“Sekarang gue mau nanya sama lo, ngapain lo ngajak gue ketemuan disini?” tanya Michael dengan nada sebal.

“Nongkrong.” Jawab Rafi cepat, dengan wajah polosnya.

Michael menyangga kepalanya dengan tangan dilipat di atas dengkul. “Nongkrong? Di Monas?”

Rafi mengangguk cepat.

Michael menggarut-garut kepalanya, mencoba menahan emosinya saat ini.

“Lo kenapa, sih?” tegur Rafi.

“Lo lagi nggak sakit, kan?” tanya Michael seraya mengulurkan punggung tangannya ke dahi Rafi.

“Apaan sih, Mic!” Rafi menangkis tangan Michael di dahinya.

“Terus, ngapain kita disini.”

Mata Rafi menyisir ke segala arah, seolah mencari tontonan yang menarik untuk ia pandang, “Sumpek gue di rumah. Orang rumah nggak ada yang bisa diajak kompromi.”

Michael menoleh ke arah Rafi di sampingnya. Jarang sekali ia melihat sahabatnya itu berada di kondisi seperti ini. Terakhir kali ia melihat hal ini pada Rafi sekitar satu tahun yang lalu, saat ia baru mengenal laki-laki itu. Dan kini sepertinya sesuatu yang besar tengah menghampiri sahabatnya itu.

Michael menggarut kepalanya yang tidak gatal, sambil memikirkan solusi agar suasana hati sahabatnya itu kembali seperti semula.

“Ok. Sekarang lo mau ngapain?” suara Michael terdengar serius.

Rafi menoleh dan menemukan raut wajah Michael seolah menunggu jawabannya. Lalu kembali ia berpaling ke arah keramaian di kejauhan.

“Gue nggak mau ngapa-ngapain, kok. Gue maunya lo lakuin sesuatu buat gue.” Terang Rafi sambil menaik-naikkan alisnya.

Sejenak Michael terdiam, menimbang-nimbang apa yang akan sahabatnya itu lakukan kepadanya. Selama ia berteman dengan Rafi, tak ada satu pun pemikiran laki-laki itu yang wajar, menurutnya untuk dilakukan, dan kini lagi, ia harus mewujudkan keinginan laki-laki itu hanya untuk mengubah suasana hati sahabatnya itu seperti semula.

“Apa?” Michael pasrah.

Tatapan Rafi terarah ke sesuatu di kejauhan sana. Lalu berpaling kepada Michael.

“Berhubung gue bawa gitar acoustic, gue pingin lo nyanyi.” Ujar Rafi, memberikan tas gitarnya kepada Michael.

Awalnya Michael menerima keinginan Rafi untuk bernyanyi, namun saat mendengar lanjutan perkataan Rafi.

“Lo mesti nyanyi di keramaian itu.” Rafi sambil menunjuk keramaian orang di dekat monas.

Keduanya kini tengah duduk di trotoar tidak jauh dari monas dan ditemani pedagang ketoprak di samping keduanya.

“Ah, gila lo. Nggak! Gue nggak mau.” Tolak Michael mengembalikan tas gitar Rafi.

“Ayolah, Mic. Gue lagi mumet. Kali ini aja. Please!” mohon Rafi mencoba menarik kedua tangan Michael.

Michael langsung menarik tangannya menjauh.

Lagi, Rafi memohon dengan berbagai cara dan hal terakhir yang laki-laki itu lakukan adalah memasang tampang puppy eyes.

“Iya. Gue mau.” Jawab Michael cepat.

Yes.” Senang Rafi, lalu berdiri dari duduknya sambil membayar makanan yang keduanya makan kepada penjual ketoprak. “Makasih ya, Mas. Ambil aja kembaliannya, saya lagi seneng karena temen saya mau nyanyi.”

“Wah, terima kasih, mas. Sukses buat temen mas, ya.” Balas Pedagang itu.

Lalu dengan cepat Rafi menarik Michael ke arah keramaian di dekat monas. Setelah menimbang-nimbang tempat yang tepat Rafi pun langsung menyuruh Michael mulai melakukan aksinya.

Dengan senyum manis yang dibuat-buat, Rafi mengambil posisi sedikit menjauh dari Michael.

Hal itu pun langsung mendapatkan lirikan tajam dari Michael. “Jangan coba-coba kabur lo. Awas aja lo kabur.” Ancam Michael.

“Nggak bakal. Swear.” Rafi mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke udara.

Tak lama kemudian, Michael pun mulai memetikkan gitarnya. Lagu pilihannya adalah Ed Sheeran, Photograph.

Loving can hurt, loving can hurt sometimes

But it’s the only thing that i know

When it gets hard, you know it can get hard sometimes

It is the only thing that makes us feel alive

Suara Michael terdengar sendu, alih-alih mendongak. Tak sengaja ia melihat senyum jahil Rafi yang tengah mengangkat ponselnya, merekamnya yang tengah berdiri memainkan gitar bersama nyanyian sendunya.

We keep this love in a photograph

We made these memories for ourselves

Where our eyes are never closing

Our hearts are never broken

And time’s forever frozen, still

Rasanya Michael ingin mengakhiri aksinya itu, namun terlanjur, pandangan orang-orang telah terarah kepadanya. Kini berangsur-angsur langkah-langkah mereka mendekat.

So you can keep me

Inside the pocket of your ripped jeans

Holding me close until our eyes meet

You won’t ever be alone, wait for me to come home

Keramaian yang tadinya berada di samping Michael, kini sudah sepenuhnya mengerumuni Michael. Rasa gugup melingkupi Michael, ia tidak berani mendongak melihat pandangan orang-orang terarah kepadanya, yang hanya bisa ia lakukan hanyalah merunduk dan berkonsentrasi pada lirik lagu yang ia nyanyikan.

Loving can heal, loving can mend your soul

And it’s the only thing that i know, know

I swear it will get easier, remember that with every piece of ya

And it’s the only thing we take with us when we die

Sebuah panggilan membuat Michael mendongak, Rafi memanggilnya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang berada di sisi lain tempatnya berdiri. Michael pun menyisirkan pandangannya ke arah telunjuk Rafi terarah. Mata coklat gelap seseorang dan wajah kecilnya kini menjadi fokus pandangan Michael.

So you can keep me

Inside the pocket of your ripped jeans

Holding me close until our eyes meet

You won’t ever be alone

And if you hurt me

That’s okay baby, only words bleed

Inside these pages you just hold me

And i won’t ever let you go

Wait for me to come home

Michael mengakhiri nyanyiannya. Pandangannya masih terfokus pada mata coklat gelap itu, ada rasa yang aneh dalam dirinya. Tepukan tangan ramai orang-orang tak lantas membuatnya berpaling, malah sebaliknya. Mata coklat itu kini tersenyum ke arahnya. Dan hal itu langsung membuatnya membalas senyuman itu.

Tak pernah ia sangka, di tempat ini, ia akan bertemu dengan perempuan yang belakangan ini mengambil fokusnya. Rani masih berdiri di sana sambil menunggu keramaian orang-orang meninggalkan lingkaran yang tanpa disadari telah terbentuk dengan sendirinya.

Rafi menepuk punggung Michael pelan, laki-laki itu juga memanggil Rani untuk datang mendekat.

Dengan segera Michael mengembalikan gitar acoustic Rafi.

“Udah puas.” Mulainya sambil melotot tidak jelas ke arah Rafi.

Rafi menyunggingkan senyum jahil kepada Michael, “Udah.” Balas Rafi memasuki kembali gitarnya ke dalam tas, “Hi, Ran.” Sapanya saat Rani sudah berdiri di hadapan keduanya.

“Hi.” Balas Rani, “Tadi itu keren.” Rani mengacungkan dua jempolnya kepada Michael.

Pipi Michael langsung bersemu saat mendengar Rani memuji aksinya baru saja.

“Ah, thanks. Oh iya, lo ngapain malem-malem disini? Sendirian?”

“Hmm… nggak. Cuma jalan-jalan aja.” Jawa Rani.

Tiba-tiba Rafi memotong obrolan singkat kedua pasangan itu.

“Mic, gue duluan ya.” Sembur Rafi sambil bergerak seperti cacing kepanasan.

Michael merengut sebal dengan sikap Rafi, tadi ia disuruh menyanyi di depan keramaian orang dan kini ia harus di tinggal bersama Rani berdua.

Rafi bergerak kesana-kemari sambil sesekali menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas. “Hm… gue… ah… sakit perut. Ah, iya sakit perut. Duluan ya, bye.” Rafi berlari pergi hendak meninggalkan keduanya. Namun, langkah laki-laki itu tiba-tiba berhenti dan berbalik. “Eh iya, Mic. You know what i mean.” Katanya sambil sesekali melirik Rani dan Michael secara bergantian dan tak ketinggalan dengan kedipan mata tidak jelasnya pula.

Sebelumnya Rafi sudah mengetahui kehadiran Rani di sana. Ia sengaja tidak memberitahukan Michael, sampai tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di kepalanya dan membuat Michael bernyanyi di depan keramaian orang. Ia sudah menjamin bahwa Rani akan tertarik dengan apa yang ia pikirkan, dan ternyata benar. Bahkan saat dirinya memberi kode kepada Michael, sahabatnya itu pun langsung terpaku ke arah perempuan itu.

Kini Michael dan Rani terdiam sambil mengamati punggung Rafi yang mulai menjauh. Michael tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, ada saja hal yang berhasil membuatnya ingin marah dengan tingkah bodoh yang sahabatnya itu lakukan. Dan kini disinilah ia berada melakukan permainan bodoh yang sudah Rafi berikan kepadanya.

“Ah, itu orang, rasanya pingin gue pukul.” Omel Michael sambil berkacak pinggang.

“Gitu-gitu temen lo. Wajar kalau kadang-kadang bikin sebel.” Ujar Rani.

Michael tidak tau harus melakukan apa, yang ia pikirkan saat ini. Ia harus bertanggung jawab dengan perempuan di sampingnya hingga sampai ke rumah dengan selamat.

“Ahm… ran. Habis ini lo mau kemana lagi.”

“Tadinya sih udah mau pulang, karena tadi nggak sengaja liat ada yang nyanyi jadinya di samperin, deh.” Tutur Rani.

Kembali rasanya kedua pipi Michael bersemu panas, mengingat saat ia bernyanyi pandangan matanya tak kunjung berakhir dari Rani.

“Ah, itu. Kerjaan Rafi. Tadinya dia lagi nggak mood, jadinya dia nyuruh gue buat nyanyi. Eh, sekarang dia malah ninggalin gue.”

Rani mengangguk-angguk kepala, bahkan perempuan itu tersenyum geli saat melihat ekspresi wajah Michael saat mengomeli Rafi.

“Kalau gitu sekarang lo pulang bareng gue aja.” Terang Michael. Lalu mengajak Rani berjalan menuju parkiran motornya berada.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 6

12 Mei 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 6 – Beautiful

Di UKS sekolah, Rani masih menunggu Michael yang sampai saat ini tak kunjung sadarkan diri. Beberapa waktu lalu ia menelpon satpam sekolahnya untuk menjemput mereka dan untungnya tempatnya tidak terlalu jauh dari lingkungan sekolah. Entahlah, apa yang ada di kepala Rani sampai-sampai ia harus menelpon satpam sekolah untuk menjemput mereka.

Rani hanya tersenyum saja mengingat tindakannya saat itu.

“Cantik.” Seru suara itu.

Rani mendengarnya langsung terkejut dan menoleh.

“Lo udah sadar?”

Michael mengangguk pelan.

“Kalau gitu, gue pergi dulu ya. Bentar lagi juga temen lo balik kesini.” Rani bangkit dari duduknya, namun sebuah tangan menahannya.

“Tunggu disini aja sampe dia dateng. Gue takut sendirian di UKS,” Tutur Michael masih memegang pergelangan tangan Rani. “sorry.

It’s okay,” Jawab Rani, “kalau boleh tau, kenapa lo bisa berantem sama anak IPA?” terang Rani.

Hal itu membuat Michael kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu. Di mana Alvin memukulnya begitu keras di bagian wajah. Sontak tangannya pun terangkat memegangi wajahnya.

“Argh…” erangnya kesakitan.

“Bodoh, udah tau sakit masih aja dipegang.” Omel Rani sarkatis.

Michael meringis malu.

“Lo tuh ya, kalau mau berantem cari yang selevel. Liat tuh muka lo jadi ancur kayak gitu.” Tunjuk Rani.

“Tapi masih ganteng ‘kan.” Michael percaya diri.

Rani berdecak sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo bisa berada di sana pas kejadian itu,” Michael teringat saat Rani datang melerainya dan Alvin tadi. Ada raut marah dan khawatir di wajah kecil perempuan itu.

“Temen lo yang narik gue. Dia minta tolong bantuan gue. Gue kira minta tolong apaan, eh, pas liat lo yang dipukulin, gue nggak habis pikir sama temen lo. Dia kira gue apaan sampe nyuruh gue yang harus melerai lo sama Alvin.”

Michael tertawa.

“Emang suka bego itu anak.” Tawa Michael keras.

Tanpa disadari keduanya, orang yang tengah dibicarakan keduanya kini muncul.

“Katain aja terus, terus, sampe lo puas,” Rafi datang sambil membawa kantung plastik berisi beberapa obat dan cemilan. “nggak jadi deh gue mau obatin lo.” Rafi pura-pura merajuk.

Michael duduk dari tidurnya. “Oh, sini, sini. Anak pintar jangan marah donk.” Tangan Michael terulur seolah-olah Rafi adalah anak kecil yang baru bisa jalan.

Dengan malas Rafi duduk di sisi ranjang Michael.

“Kayaknya gue harus balik ke kelas, deh. Temen lo juga udah dateng,” Rani menginterupsi keduanya. “byye. Get well soon.” Lalu berpaling keluar dari ruang UKS.

Sebuah tepukan pelan mendarat di kepala Rafi.

“Lo ngapain dateng. Jadinya dia pergi.” Sebal Michael kepada Rafi.

“Gebukin aja terus. Di sini yang sakit gue, bukan lo jadi plester ini buat gue aja.” Rafi merajuk dan memasang beberapa plester di bagian kepalanya yang baru saja dipukul Michael.

Segera Michael meraih tangan Rafi mengurungkan niat laki-laki itu.

“Yey, nggak usah ngambek segala kenapa sih, kayak emak-emak tau,” Michael mengambil kasar plester yang ada di tangan Rafi, “btw, kabar orang yang mukulin gue gimana?”

Rafi menarik kantung plastiknya yang berada di atas meja.

“Masuk BK.”

“Terus?”

“Ya, kena sidang sama Pak Ilyasa.” Sambung Rafi sambil mengunyah cemilannya.

Dengan sigap Michael menarik bungkus cemilan itu. “Terus gue?”

Rafi mengangkat kedua bahunya, tidak tau.

Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepala Michael, lalu ia kembali mengangkat tangannya memukul pelan pundak temannya itu.

“Itu buat kebodohan lo karena udah bawa-bawa Rani ke dalam masalah ini.”

Rafi yang tadinya sudah tenang, kini menjadi berapi-api. Setelah Michael memukulnya, lagi.

“Eh, ini orang udah di tolongin, bukannya bilang makasih.” Sewot Rafi.

Michael melotot, “Ya, elo juga, sih,” Sembur Michael, “gue tanya, kenapa lo narik Rani dari kelas?”

Bukannya menjawab, Rafi pura-pura menggaruk kepalanya, yang tidak gatal. “It… itu—”

“Itu, apa?” tanya Michael cepat.

“Ya, maaf kali, Mic. Gue bingung. Dari depan sekolah gue udah liat rombongan Alvin dateng terus nyusul lo gitu. Jadi gue nggak tau harus gimana. Gue simpulan fakta kalian berdua, dan tiba-tiba gue kepikiran sama Rani.” Rafi menjelaskan tindakannya membawa Rani tadi.

“Kenapa bisa kepikiran Rani?” tanya Michael cepat.

Rafi menghembuskan napasnya, “Karena akhir-akhir ini lo keliatannya lagi deket sama cewek itu, dan juga udah jadi fakta di sekolah, kalau Alvin juga suka sama Rani. Gitu.” Saat mengatakan hal itu Rafi memilin-milin kedua ibu jarinya bersamaan, merasa takut kalau saja sahabatnya itu akan memarahinya.

Michael terkekeh mendengar penjelasan Rafi.

“Kenapa lo?”

“Nggak, lucu aja liat muka lo. Kayak lagi diinterogasi sama kepolisian.” Canda Michael sambil mempraktikkan wajah Rafi beberapa detik yang lalu.

Rafi terperangah mendengar jawaban Michael baru saja. “Wah, parah lo. Kalau bukan temen, udah gue biarin aja lo di pukulin Alvin. Nyesel gue.”

Rafi berdiri dari duduknya, berniat pergi meninggalkan Michael sendirian di UKS.

“Raf, Raf!” panggil Michael.

Rafi sudah berada di depan pintu UKS, tanpa menoleh ke arah Michael yang sibuk memanggil-manggil namanya.

Sorry, sorry. Raf, bantuin gue! Kaki gue sakit, nih!” Michael berusaha menapakkan kedua kakinya, namun rasa nyeri langsung menghampiri.

Dari arah luar Rafi melirik dan berujar, “Kalau gini aja, manggil nama gue. Rempong banget sih lo.” Rutuk Rafi berlalu masuk kembali seraya membantu Michael berdiri.

Michael menyunggingkan senyum, “Thanks, ya.”

Lalu keduanya berlalu keluar meninggalkan ruang UKS menuju kelas.

***

“Dari mana, ran?” tanya Masayu bertepatan saat Rani datang.

“Nggak kemana-mana, kok. Gue keliling aja, liat-liat orang lomba.” Jawab Rani, menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.

“Tadi siapa yang narik lo?”

“Orang iseng.”

Masayu dan Rani yang tengah duduk di kursi mereka, melihat kehadiran Ulan dan Intan masuk ke dalam kelas sambil berbincang dan membawa beberapa makanan di tangan mereka.

Namun, saat keduanya ingin membuat kembali sebuah obrolan, sebuah bantingan botol air minum terdengar di ruangan itu. Beberapa siswa-siswi yang berada di dalam kelas pun ikut menoleh, mencari tau asal suara itu berasal. Dan hal itu berasal dari Intan.

Masayu dan Rani pun terkejut melihat tingkah laku yang baru saja Intan lakukan.

Tak lama setelah melayangnya sebotol air minum itu, suara keras benda dilempar kembali terdengar. Rani yang duduk tepat di belakang Intan, dapat melihat dengan jelas ponsel perempuan itu dibanting dengan keras menemui lantai.

Sesaat Rani terdiam melihat aksi yang tiba-tiba dilakukan Intan dan hal yang sama pun terjadi kepada Masayu di sampingnya. Keduanya terdiam menyaksikan setiap tingkah yang perempuan itu lakukan.

Setelah melempar bebas ponselnya, Intan langsung pergi keluar kelas tanpa ada satu pun yang mengikutinya. Bahkan Ulan yang tadinya bersama dengannya, tidak tau harus melakukan apa.

“Itu kenapa?” tanya Rani sesaat setelah Intan keluar kelas.

Ulan memungut ponsel yang menjadi korban bantingan Intan. Lalu menghampiri Rani dan Masayu.

“Banyakan tersinggungnya dia sama omongan kalian.” Ujar Ulan.

Rani terperangah mendengar ucapan Ulan.

“Ya Allah, segitunya. Kalau gue punya niat nyinggung dia, udah sejak pertama kali, gue bilang di depan muka dia sendiri.” Rani menggeleng kepala tidak percaya dengan sikap Intan yang menurutnya kekanak-kanakan.

“Niat kita itu cuma pingin dia itu menghargai. Kalau dia nggak mau maafin kita, ya udah. Yang jelas kita udah niat minta maaf.”

Rani tidak perduli lagi dengan sikap Intan kepadanya. Ia sudah menyerah dengan kekecewaannya kepada perempuan itu. Ia tau jika pun ia dan Intan harus berbaikan, hubungan pertemanan itu tidak akan lagi sama. Nantinya hanya akan ada kecanggungan di antara keduanya. Dan Rani tidak mau hal itu terjadi.

Ia hanya ingin melupakan kejadian yang pernah Intan lakukan kepadanya atau pun kepada teman-temannya. Ia bukan seorang ahli dalam mengungkapkan kata maaf secara langsung, menurutnya hanya dengan sebuah tindakan itu sudah cukup menunjukkan bahwa ia melakukan semuanya dengan tulus, dan itu semua nantinya juga untuk kebaikan mereka sendiri.

***

Malam harinya Rani merenung sendiri di kamar memikirkan kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini terjadi dalam hidupnya. Tekanan batin, itulah yang Rani simpulkan saat ini. Seolah setiap masalah yang terjadi saat ini tengah membimbingnya, bagaimana cara menghadapi situasi pada saat itu, menahan segala emosi, dan terakhir menilai sebatas mana tingkat kesabaran yang tengah ia miliki.

Rani menghembuskan napas berat.

Jari-jarinya sibuk bergerak naik-turun memainkan layar ponsel dengan bosan. Saat ini ia ingin keluar menghirup udara malam yang sejuk. Semua fokusnya saat ini begitu berat, memikirkan hal-hal yang kadang di luar kepala orang normal.

Jika ia tengah bergunda, semua isi kepalanya menjadi kacau. Kadang ia menggambarkan fisiknya menjadi periang dan kadang pula menjadi pemurung. Hal itu buruk bagi kesehatannya. Saat ini ia tak ingin melakukan kedua hal tersebut. Semangat hidupnya seolah telah redup dan sekarang ia tengah membutuhkan energi yang besar untuk kembali.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 5

12 Mei 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 5 – Bad Things

“Gara-gara lo gue jadi ikut-ikutan deh.” Michael merutuki Rafi di sampingnya.

Tiga jam lalu sebelum jam bel istirahat berbunyi, di dalam kelas keduanya menjadi bahan sorotan guru yang paling di segani oleh semua siswa di sekolah itu. Pak Daud menjadikan keduanya sebagai bahan ceramahannya selama jam pelajaran berlangsung.

Michael awalnya diam dan mendengarkan dengan seksama pelajaran yang guru itu terangkan. Namun, bukan Rafi namanya kalau laki-laki itu belum bereaksi melebihi kewarasan orang normal. Laki-laki itu tertidur sejak pelajaran pertama berlangsung dan terbangun bertepatan dengan suara pukulan meja yang dibuat oleh sang Guru yang tak lain adalah Pak Daud.

Serangkaian omelan pun mulai terbentuk memenuhi ruang kelas itu. Rafi hanya bisa menciut diam menerima segala umpatan dan omelan dari guru itu. Ia tidak dapat melakukan apapun, sampai di sebuah perkataan ia menyahutkan nama Michael. Dan mulai dari situlah keduanya menjadi bahan sorotan sang guru.

“Ya, maaf kali. Nggak seru kalau cuma gue yang diomelin. Sepi tau!” Rafi membalas rutukan Michael sama kesalnya.

“Bodo amat! Mau sepi, mau rame, bukan urusan gue. Lo kalau mau ngajak sesat nggak usah ngajakin gue. Pergi aja ‘ndiri.”

“Eh, si amat nggak usah diajak-ajak ye.” Cibir Rafi mencairkan suasana hati Michael.

Michael menghembuskan napas kesal. Ia tidak habis pikir dengan tingkah laku sahabatnya itu. Kapan laki-laki itu akan berpikir normal selayaknya manusia.

*

Di saat yang bersamaan, di lain tempat,  Rani dan teman kelompoknya tengah termenung memikirkan tugas-tugas kelompok mereka yang tak kunjung terlaksanakan. Kendala utamanya adalah sikap Intan yang acuh tak acuh dan itu membuat Rani, Masayu dan Kintan yang memiliki masalah kepada perempuan itu merasa jengah dengan sikap Intan seperti itu.

Ada tiga mata pelajaran yang mengharuskan Rani, Masayu dan Kintan berada di satu kelompok dan yang terakhir adalah Bahasa Inggris. Kelompok itu terbentuk beberapa saat sebelum hubungan mereka memburuk dan pada saat itu Intan belum mengetahui bahwa Rani dan Masayu mengetahui kebohongannya. Dengan entengnya, ia menawarkan diri untuk masuk ke dalam kelompok Rani dan Masayu.

Awalnya Rani sedikit menghindar dengan keputusan itu, tapi akhirnya ia hanya bisa menerima begitu saja. Dan sekarang ia merasa keadaan semakin memburuk dengan apa yang tengah terjadi diantara teman-temannya.

Bukannya ia mengambil andil sebagai ketua kelompok tapi hanya saja teman-temannya tidak ada yang berniat untuk menyuarakan keputusan mereka secara cepat dan Rani merasa hal itu bukanlah hal yang tepat untuk mengawali tugas-tugas akhir mereka yang mulai padat. Mengingat Ujian Nasional tinggal menunggu hari dan mereka harus menuntaskan semua tugas kelompok itu sebelum hari itu terjadi.

“Jadi adakah yang keberatan sama usulan dari Kintan?” suara Rani mengawali keheningan mereka.

“Gue ikut aja.” Kata Masayu.

“Ya udah kita ikutin usulan Kintan aja.” Lanjut Ulan berdiri dari duduknya.

“Lala?”

“Lala ikutin Rani aja.” Di antara keenam perempuan itu Lala-lah yang dapat mencairkan suasana dengan cepat. Apapun yang perempuan itu lakukan dapat membuat yang lainnya sedikit melepas rasa tegang sewaktu-waktu hal itu terjadi.

“Ok kalau gitu. Gue yang bagian edit, entar kalau udah, kalian tinggal pilih bagian kalian masing-masing. Gue ambil sisanya aja, nggak pa-pa.”

Setelah itu mereka membubarkan diri. Ulan dan Intan sudah lebih dulu beranjak dari kursi mereka. Entahlah, sejak mereka merundingkan hal ini, Rani tidak terlalu bersemangat mengingat hubungannya dan Intan belum kunjung berubah membaik bahkan mereka menghindari kontak mata. Hal itu hanya berlaku kepada Rani.

Yang lebih parahnya lagi, Kintan yang berada di satu bangku yang sama dengan Intan kini begitu cuek dan tidak perduli. Seolah keduanya sangat jelas mengangkat bendera permusuhan di antara keduanya. Hanya Masayu-lah yang sedikit berbeda dari Rani dan Kintan.

Ia masih sering mendapatkan pesan singkat dari Intan, walau hanya sekedar menanyakan pekerjaan rumah (pr) dan Masayu pun masih menghiraukan pesan itu.

“Ran, ada yang pingin gue bilangin sama lo.” Masayu membisikkan sesuatu di samping Rani.

Rani menoleh, dan menemukan gerak-gerik Masayu untuk mengajaknya keluar. Setelah itu Masayu bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Jeda beberapa detik, Rani pun menyusul dan menemukan Masayu sudah menunggunya di kursi teras kelas.

“Semalem Intan kirim pesan ke gue.” Mulainya. “Terus dia bilang hal-hal yang mungkin bikin lo ngerasa sakit.”

About what?

“Sedikit klise memang. Dia ngerasa tersinggung dengan tulisan yang ada di profil medsos lo.” Masayu menunjukkan pesan yang berada di ponselnya.

Sejenak Rani terdiam berpikir. Di benaknya, ia merasa bersalah karena hal itu tapi sejujurnya ia tidak bermaksud menyinggung Intan dengan tulisan dari foto itu.

“Foto itu udah lama ada di handphone gue. Lo juga sering ‘kan liat gue ganti foto itu. Yah, kalau dia ngerasa tersinggung, gue nggak tau.” Jelas Rani mengembalikan ponsel Masayu.

“Iya gue tau. Gue juga udah bilang sama dia kalau lo sering pakek foto itu. Tapi entahlah gue juga nggak ngerti sama itu orang. Capek gue ngurusinnya.” Masayu menyandarkan bahunya lelah.

Rani melakukan hal yang sama, “Yaudah, nggak usah terlalu dipikirin. Sekarang fokus aja dulu sama tugas. Kalau dia masih bertingkah laku sok nggak perduli, yaudah mau gimana lagi.”

Masayu menghela napas keras, “Ya enggak kayak gitu juga kali, Ran. Gue kasihan sama lo, lo udah nulis naskahnya, terus di translate ke bahasa inggris. Terus dia sok nggak perduli pula, nggak menghargai banget coba.” Omel Masayu dengan wajah muramnya.

“Ya jadinya mau kayak mana? Ulan juga udah bilangin ‘kan sama dia. Dan respon dia juga masih kayak gitu aja. Gue males, Mas. Mau ngurusin hal sepele kayak gitu.”

“Gue cuma pingin dia itu menghargai apa yang udah lo lakuin buat kelompok kita. Walau pun kita buatnya bareng tapi hampir keseluruhan itu lo yang kerjain.” Terang Masayu lagi tidak mau kalah.

Rani menghembuskan napasnya berat, “Nggak pa-pa. Selagi gue bisa ngelakuinnya, itu bukan masalah. Gue juga nggak kerja sendiri kok, kalian juga bantuin.”

“Kecuali dia,” Tambah Masayu bermaksud kepada Intan.

“Terserah deh.” Rani menyerah dengan perdebatannya. Ia tidak pernah handal dalam perdebatan yang seperti ini. Jika pun ia bisa mungkin pada saat itu kemarahannya sudah meluap-luap.

Ia selalu menghindari sebuah obrolan yang berdasarkan bentakan ataupun perkataan terang-terangan. Hal itu membuatnya merasa risih, karena ia tau di antara perdebatan itu akan ada perasaan yang terluka. Dan ia menghindari sesuatu yang melukai perasaan orang-orang. Ia tau dirinya saat marah, akan ada cacian yang kejam di dalamnya dan ia tidak ingin orang-orang mendengarnya. Jika pun hal itu terjadi, akan ada sebuah penyesalan yang dalam yang akan didapatkannya.

***

Hari yang ditunggu-tunggu siswa/i SMA Karya Bangsa kini tengah berlangsung. Pensi tahunan yang sudah di jadwalkan beberapa bulan lalu kini terlaksanakan. Serangkaian lomba pun sudah dilaksanakan sejak pagi itu.

Halaman parkir SMA Karya Bangsa pun sudah di penuhi dengan bis-bis dari sekolah tetangga yang berdatangan bersama tim pemandu sorak masing-masing. Tuan rumah pun tak ingin kalah, aksi tim teater sebagai salah satu pembuka acara telah berhasil menghipnotis para tamu dengan atraksi yang begitu memukau dan begitu pun seterusnya.

Para guru pun sudah duduk manis di kursi khusus yang telah dipersiapkan oleh anggota OSIS. Perwakilan guru dari sekolah lain pun menjadi satu di dalamnya agar hubungan antar sekolah semakin dekat.

Mengingat adanya acara Pensi yang tengah berlangsung di sekolah. Michael dan Rafi yang baru saja datang, mereka kini tengah termenung di parkiran sekolah.

What the hell?” umpat Rafi melototi halaman parkir yang dipenuhi kendaraan. Laki-laki itu masih berada di atas motornya, “Mic?” panggil Rafi menoleh ke belakang menemukan Michael pun termangu mengamati parkiran yang penuh dari atas motornya.

Michael menggedikkan bahunya lalu memundurkan motornya.

“Eh, lo mau kemana?”

“Cabut.”

“Seriusan lo? Bu Sundari bakal ngamuk tau pas nemuin kita absen.”

“Bodo!” Michael memutar motor besar kesayangannya, “Gue tunggu di tempat biasa.” Lalu berlalu meninggalkan halaman sekolah dengan cepat.

Rafi hendak menyusul Michael. Tiba-tiba sebuah hentakan suara gas motor di luar sana mengagetkannya. Hal itu bertepatan setelah Michael keluar dari pekarangan sekolah. Rafi mengenal orang-orang itu, salah satunya adalah Alvin yang berada di posisi paling depan seolah memimpin barisan itu.

Mata Rafi melotot sempurna melihat wajah kemarahan dari Alvin yang tidak sengaja terlihat di matanya. Sejenak ia berpikir apakah Michael memiliki hubungan dekat dengan Alvin atau tidak, setahunya Michael dan Alvin sempat satu kelas di tingkat sepuluh dan ia pun tidak tau jelasnya mereka memiliki hubungan yang seperti apa.

Namun pemikiran itu belum cukup membuatnya lega mengingat gurat wajah Alvin baru saja terlihat begitu marah. Rafi kembali berpikir, mengingat-ingat kesukaan atau hobi kedua orang tersebut.

“Alvin hobi basket, Michael hob sepak bola,” Sebutnya sambil menunjuk-nunjuk telapak tangannya. “Alvin suka Rani dan Michael –” perkataannya terputus, “Jangan-jangan!”

Rafi kelabakan sendiri. Sebuah pemikiran bodoh terlintas di kepalanya. Ia menuruni motornya, lalu kembali naik, turun dan naik, hal itu terjadi terus menerus. Di kepalanya ada dua pemikiran yang ingin ia lakukan tapi ia ragu untuk melakukan salah satunya.

Tanpa menghiraukan konsekuensi yang ada di kepalanya, dengan sekuat tenaga ia berlari ke dalam gedung sekolah, menghindari lalu lalang orang-orang di depannya. Setelah menyebrangi lapangan sekolah, segera ia menaiki anak tangga menuju lantai dua gedung IPS. Kembali kepadatan menghampirinya, desak-desakan pun terjadi. Napasnya sudah ngos-ngosan untuk melewati kerumunan itu dan berhasil.

Kini ia tepat berada di depan kelas yang ingin ia tuju. Rafi berhenti berniat menghirup napas sejenak, setelah cukup ia pun mendongak dan menemukan tatapan bingung dari warga kelas tersebut.

“Ahm… sorry ganggu. Gue lagi cari orang.” Serak Rafi.

“Cari siapa, Raf?” suara itu berasal dari Intan. Rafi mengenal perempuan itu, Intan teman satu les-nya.

“Rani.” Terangnya.

Ia pun mengedarkan pandangan ke sepenjuru kelas mencari perempuan yang ia cari. Dan tepat di tengah kelas perempuan itu tengah terduduk menatapnya juga. Namun, sebuah earphone masih tergantung di kedua daun telinga perempuan itu. Langsung langkahnya bergerak mendekat.

“Lo ikut gue!” tegasnya.

Rani mendongak terkejut, melepaskan earphone-nya.

“Lo ikut gue!” ulangnya.

“Kemana?”

Tanpa berniat menjawab, Rafi langsung menarik Rani keluar dari kelas. Meninggalkan tatapan-tatapan penasaran dari semua orang.

Setiba di halaman parkir Rafi langsung menaiki motornya.

“Cepetan naik.” Perintahnya.

“Lo mau bawa gue kemana?”

“Bantuin gue, please!” mohon Rafi lalu menyuruh Rani naik ke boncengannya.

Lalu mereka pergi meninggalkan halaman sekolah.

***

Di tempat yang tengah Rafi dan Rani tuju, kini sudah berkumpul rombongan Alvin dan teman-temannya menghadang lalu lalang jalan motornya Michael.

Tinggal beberapa blok perumahan lagi Michael akan sampai di tempat biasanya laki-laki itu dan Rafi nongkrong, namun laju motornya dihadang dengan sekumpulan anak IPA yang bisa di bilang populer di kalangan para kaum hawa.

Michael mematikan mesin motornya, lalu membuka helm yang hampir menutupi wajah tampannya.

“Lo semua pada ngapain?” tegurnya.

Alvin berada di barisan terdepan turun dari motornya dan menghampiri Michael. Tanpa di duga laki-laki itu langsung menarik kerah seragam Michael.

“Apa-apaan sih, Al?” Michael berniat menarik paksa cengkraman tangan Alvin di kerah seragamnya.

“Lo itu yang apaan.” Mulai Alvin semakin mengencangkan cengkramannya.

“Maksud lo?”

“Gue pikir lo itu temen yang baik, Mic. Tapi ternyata lo itu pengkhianat.” Bentak Alvin kasar tepat di depan wajah Michael.

Michael mengerutkan dahi. Kini rasa kesalnya sudah tidak dapat diajak kompromi.

“Siapa yang lo maksud pengkhianat, hah? Sejak kapan gue khianatin lo?” bentak Michael balik.

Alvin mendengus jengah.

“Bukankah dulu gue pernah kasih tau lo tentang cewek yang selama ini gue suka,” Alvin membisikkan kata itu di telinga Michael, “nggak ada satu pun orang yang tau kecuali lo. Bahkan temen satu kelas gue baru mengetahuinya sejak cewek itu menjadi pusat perhatian beberapa bulan lalu. Mungkin lo sempet lupa siapa orangnya, dan biar lo nggak lupa, gue kasih tau,” Alvin menggantungkan kata-katanya, “Cewek itu Rani.”

Tatapan mata Michael kini terlihat tajam. Saat Alvin mengucapkan nama Rani tepat di telinganya.

Michael ingat pada saat ia dan Alvin masih berada di kelas sepuluh.

Pada saat itu Alvin masih begitu dekat dengan Michael, bahkan laki-laki itu sempat mengatakan perempuan yang tengah ia sukai kepada Michael. Namun dengan berjalannya waktu dan Alvin juga berbeda jurusan dengannya, Michael sedikit melupakan fakta wajah perempuan yang pernah Alvin tunjuk dulu. Dan kini Michael mengerti tujuan dari pencegatan dirinya saat ini. Alvin merasa dikhianati, dan pengkhianat itu adalah dirinya.

“Udah inget?” tutur Alvin kembali berujar di depan wajah Michael.

“Gue rasa lo salah paham.” Jelas Michael dengan nada suara santai.

Tiba-tiba kemarahan Alvin meledak, “Salah paham? Huh, lo bilang salah paham!” bentak Alvin keras, “Apa lo mau salahin mata gue karena udah ngeliat dengan jelas bahwa lo ngaterin Rani pulang bahkan sampe depan rumahnya, huh?”

Michael membelalakan kedua matanya. Tidak percaya bahwa Alvin melihat kejadian pada hari itu.

Dengan tanpa sepengetahuan Michael, Alvin sudah menarik kuat dirinya turun dari motor. Lalu memukulinya dengan keras. Tinju pertama tepat mengenai perutnya, membuatnya berlutut kesakitan di tengah jalan.

“Itu buat bayaran lo mengkhianati pertemanan kita.”

Kembali Alvin menarik kerah seragam Michael agar laki-laki itu berdiri. Sebuah pukulan keras melayang tepat di pipi kanan Michael dan berhasil membuatnya jatuh tersungkur ke atas aspal jalanan.

“Dan itu buat Rani.”

Michael menguatkan dirinya untuk bangkit.

“Lo salah milih gue jadi saingan lo, karena gue nggak bakalan mengalah sama cowok yang nggak pernah ngerti artinya ketulusan.”

Sebuah pukulan keras melayang tepat di wajah Alvin. Michael tidak melepaskan cengkraman tangan lainnya di pakaian Alvin.

“Bener kata lo. Gue lupa sama cewek yang lo tunjuk waktu itu. Dan sekarang gue udah inget. Setelah gue pikir dan liat sikap lo. Gue rasa, gue nggak bakalan mundur begitu aja buat Rani. Karena cowok kayak lo nggak pantes buat dia.” Sinis Michael di atas tubuh Alvin. Michael memukul Alvin di tempat yang sama berkali-kali dan hal itu membuat wajah laki-laki di bawahnya membiru mengeluarkan cairan darah.

Setelah puas Michael bangkit berniat meninggalkan Alvin beserta teman-temannya. Namun hal itu tidak berjalan mulus, Alvin bangkit dan membanting tubuh Michael jatuh mengenai aspal. Serangan balik yang diberikan Alvin semakin membrutal dan Michael hanya diam tidak berusaha membalas pukulan-pukulan Alvin.

“Berhenti!”

Michael mengenal suara itu, laki-laki itu berniat menoleh mencari asal suara itu datang. Namun, pukulan-pukulan telak yang dilayangkan Alvin tak dapat membuatnya bergerak.

Telinga Michael menemukan suara langkah kaki mendekat. Tiba-tiba tubuh Alvin yang tadinya berada di atasnya tertarik ke belakang.

“Stop!” suara itu lagi. Walau pandangannya sedikit kabur, Michael masih dapat melihat dengan pasti bahwa yang tengah berdiri di atasnya saat ini adalah perempuan yang tengah ia dan Alvin ributkan.

Michael berniat bangkit untuk menarik perempuan itu pergi, namun otak dan fisiknya tengah tidak sejalan, dan kini yang laki-laki itu dapatkan adalah pandangannya yang mengabur, gelap.

Rafi yang berdiri di dekat Rani langsung menarik perempuan itu sedikit menjauh dari amukan Alvin.

Rafi sempat mendengar bentakan keras Rani kepada Alvin yang bertindak layaknya orang kesetanan. Dan Rafi merasa takut melihat bentakan perempuan itu kepada Alvin yang masih bisa dikatakan setengah sadar dari kebrutalannya.

Pandangan Rafi kini tidak sengaja terarah pada tubuh Michael yang sudah tidak berdaya karena pingsan. Dengan segera ia menarik Rani ke arah Michael.

“Mic… Michael, bro bangun, bro.” Guncang Rafi.

“Mendingan kita bawa dia ke UKS sekolah.” Saran Rani.

“Tapi gimana bawanya.”

“Tunggu sebentar.”

Rani mengeluarkan ponselnya dan sibuk mendialkan nomor yang tidak diketahui.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 4

11 Mei 2017 in Vitamins Blog

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 4 – Selfish

Pagi itu, bendera perselisihan mulai terbentang di antara Kintan dan Intan yang berada di bangku yang sama. Entah apa yang membuat keduanya bersinggungan di pagi itu. Berawal dari Intan yang seolah bersikap jutek, membuat Kintan yang memiliki sifat yang sensitif merasa ditantang untuk melakukan hal yang sama.

Kejadian itu membuat Rani dan Masayu duduk di belakang keduanya sedikit takut akan ada perdebatan besar antar keduanya.

Rani terus mewanti-wanti Kintan untuk tidak emosi menghadapi Intan. Ia sudah mengerti dengan sikap Kintan yang suka tiba-tiba langsung datang dan menghakimi orang yang berselisih paham dengannya. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi.

Rani memiliki sifat yang tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ia sangat tidak menyukai hal yang berbau terang-terangan di saat bendera permusuhan dikibarkan. Bisa di bilang ia seorang pecundang atau pengecut, yang tidak berani menyelesaikan masalah dengan cepat. Tapi dibalik itu semua Rani memiliki pertimbangan yang jelas, ia memikirkan perasaannya dan orang itu.

Rani paham dengan jelas hubungannya dan Intan tidak akan lagi sama. Ketika suatu saat nanti mereka berbaikan lagi. Kadang ia memudahkan semua masalah dengan cara melupakan masalah yang pernah terjadi seolah hal yang menyakitkan itu tidak pernah terjadi di kenyataan. Sewaktu-waktu cara itu pun berhasil. Namun, sepertinya kali ini tidak.

Rani sudah membaca sifat Intan yang keras kepala. Dan orang seperti itu adalah kelemahannya. Selama hidupnya ia mengalah dengan orang-orang yang bertempramen tinggi atau semacam egois.

Ketika sebuah perasaan peduli mendominan di dalam diri, tiba-tiba setitik rasa ego yang tinggi datang. Semuanya menghilang hanya tinggal pergi melangkah menuju sebuah sikap mengalah.

Kata itulah yang membuatnya selalu mengalah dari siapa pun, tidak peduli orang itu dekat dengannya atau pun hanya sebatas kenal.

***

“Mic, dipanggil Bu Sundari tuh di kantor,” panggil salah satu siswi kelas itu.

Michael yang menyandarkan kepalanya di meja langsung mendongak dan berdiri. “Kenapa?” suaranya serak.

“Nggak tau,” Balas siswi itu singkat.

Dengan malas Michael berjalan menuju kantor melewati lapangan sekolah. Terik mentari membuatnya menyipitkan matanya yang tadinya terpejam oleh tidur. Setelah melewati bakaran sinar mentari, ia pun menemukan wali kelasnya tengah duduk menunggunya.

Langkahnya cepat setelah bertemu dengan Bu Sundari. Ia berniat untuk kembali ke kelasnya dan menyambung tidurnya. Namun, sebuah panggilan menghalanginya.

“Michael!”

Mata Michael yang masih sedikit sayu membulat, mengingat-ingat suara siapa yang memanggilnya.

Rani, batin Michael.

Ia pun langsung berbalik dan menemukan perempuan itu tengah duduk sendiri di samping kantor guru sama seperti waktu ia menemukan Rani dibalik hujan saat pulang sekolah.

“Rani.” Panggilnya juga.

Langkahnya pun mendekat, dan duduk di samping Rani.

“Habis ngapain?” tanya Rani. Ia tidak tau mengapa bisa-bisanya ia menanyakan hal yang bukan urusannya.

Michael sedikit bingung tapi langsung mengerti setelah itu. “Ah, itu tadi dipanggil sama Bu Sundari.” Mengembangkan senyumnya.

Rani mengangguk kepala sebagai jawaban.

“Lo ngapain disini? Sendirian lagi?” pandangan Michael menyisir ke segala arah mencari teman-teman Rani, yah, walaupun ia tidak mengenal orang-orang itu tapi ia mengenal gambaran wajah-wajahnya.

“Mereka lagi sibuk,” Rani menunjuk kelas paling atas di salah satu gedung di depan mereka, yang di mana terdapat siswa-siswi kelas IPS5 tengah berada.

“Ngapain mereka di sana?” Seru Michael mendongak melihat ke arah telunjuk Rani berarah.

“Simulasi TIK.”

“Oh, terus lo-nya ngapain disini?”

“Nungguin temen.”

“Siapa?” Michael tak henti-hentinya membombardir Rani dengan pertanyaan.

Rani tersenyum geli mendengar seluruh pertanyaan Michael.

“Kok ketawa sih?” dahi Michael mengerut. “orang nanya yang bener.”

“Iya, maaf,” Rani membenarkan posisi duduknya. “nungguin Kintan, lagi dipanggil oleh Bu Dewi.”

“Nah, itu baru jawaban yang bener,” Balas Michael sambil tersenyum puas.

Rani pun ikut tersenyum.

Tiba-tiba seorang siswa datang dari belakang Michael.

“Eh ini dia orangnya. Gue cari juga dari tadi!” Suara Rafi keras membuat orang-orang di dekatnya menoleh.

Sebenarnya Rafi tidak tengah mencari Michael, sebelumnya ia berada di koperasi dan tidak sengaja melihat Michael tengah berbincang dengan Rani. Dengan niat jahilnya ia mencoba mengganggu perbincangan keduanya.

Michael terkejut lalu menoleh menemukan temannya itu tengah tersenyum jahil ke arahnya.

“Eh, siapa nih?” Seru Rafi lalu berdiri di depan Rani, “Hai, gue Rafi temen kelas Michael.” Kenalnya spontan sambil mengulurkan tangannya.

Rani yang melihat itu langsung mengangkat tangannya untuk menjabat tangan Rafi. Namun, tangannya langsung ditahan oleh Michael.

“Rani namanya,” Kata Michael sambil melotot ke arah Rafi diam-diam. “hm, Ran. Gue ke kelas dulu yah. Ada yang mau di bilangin sama anak kelas.” Michael berdiri seraya melepas tangan Rani dari pegangannya.

“Oh, iya. Silakan,” Ujar Rani.

“Duluan, ya,” Seru Rafi yang sudah ditarik oleh Michael menjauh.

Mereka berjalan menyebrangi lapangan sekolah.

“Apaan sih, Mic! Orang lagi mau kenalan sama gebetan.” Sewot Rafi pura-pura marah kepada Michael.

Sebuah jitakan pelan melayang di kepala Rafi.

“Aw!” jeritnya.

“Lo itu yang apaan? Mau acara jabat tangan pula,” Sentak Michael.

“Yey. Kan, mau kenalan,” Balas Rafi, “Lo juga tadi apaan coba pegang-pegang tangan Rani segala, orang dia mau balas jabatan gue.”

Michael memutar mata berusaha menghindar.

“Tuh, kan. Lo juga gatel pingin pegang tangan dia.”

Michael meringis, “Gue cuma mau hindarin dia dari makhluk ke PD-an kayak lo.”

Rafi mendelik sebal. “Apa?”

“Emang bener, ‘kan?” tantang Michael berhenti di tengah lapangan.

Rafi menunjukkan deretan giginya. “Bisa jadi.”

Michael mendengus sebal kepada Rafi. Lalu ia berjalan cepat meninggalkan temannya itu.

***

Kadang hidup ini tidak adil. Ketika salah satu di antara sebuah kejadian yang semestinya dinilai benar, dunia seolah menghakimi beserta orang-orangnya. Sedangkan sebaliknya, ketika sebuah kejadian yang seharusnya dinilai salah, dunia seolah tidak peduli akan hal itu.

“Bukan berarti orang mengalah itu akan terus berada di tahap kekalahannya untuk terus bertahan, ingat tidak ada manusia di bumi ini yang sempurna. Akan ada saatnya ia berhenti di tempat dan mengeluarkan semua yang ia lepaskan dulu, dalam waktu singkat dan mengubah pemikiran dunia tentang apa yang selama ini telah dilewatkan.”

Rani meletakkan penanya di samping tulisan itu. Tulisan itu berisi perasaannya saat ini. Benaknya sudah terlalu lama untuk terus bertahan untuk mengalah dari orang banyak. Mungkin bisa diibaratkan, manusia memiliki dua tempat kosong di diri mereka masing-masing, yang di mana masing-masingnya adalah keegoisan dan kekalahan/mengalah.

Dan tempat kekalahan/mengalah Rani sudah begitu penuh untuk diisi terus menerus sedangkan tempat keegoisan, bisa di bilang masih memiliki tempat yang banyak untuk di penuhi atau mungkin tidak akan pernah terpenuhi. Karena ia terlalu mudah untuk mengalah dari orang-orang sampai ia harus melupakan ego-nya sendiri untuk orang lain.

“Dek, sudah makan?” ketukan pintu menghentikan lamunan Rani.

“Belum.” Jawabnya singkat.

“Gih, makan. Hampir jam sembilan belum makan.” Seru Ibunya lalu kembali menutup pintu.

“Iya.”

Saat langkahnya ingin keluar, suara pria beranjak dewasa terdengar dari luar. Rani mengenal suara itu. Kakak laki-lakinya.

Rani tidak pernah dekat dengan saudara laki-lakinya itu. Bahkan bisa di bilang mereka tidak pernah berbincang sedikit pun. Tidak seperti kakak dan adik selayaknya membagi cerita yang telah mereka lewati dengan begitu intim.

Rani tidak pernah menyukai kehadiran kakaknya itu di rumah dan yang paling ia tidak sukai adalah saat di mana laki-laki itu meminta uang kepada Ibunya setiap saat atau pun harinya.

Kakaknya itu sudah memasuki umur dua puluh tahunan dan sampai sekarang kakaknya itu tidak memiliki pekerjaan yang mantap. Setiap kali ditawarkan sebuah pekerjaan, ada saja alasannya untuk menolak. Dan sampai sekarang yang bisa laki-laki itu lakukan hanyalah meminta uang dan uang kepada kedua orang tuanya seolah orang tuanya adalah mesin atm yang setiap waktu bisa ditarik atau pun diminta kapan saja.

Dengan kelakuan kakaknya itu pun Rani kembali mengalah dalam segi keuangan, ia tidak pernah meminta lebih uang jajan pada orang tuanya. Ia mengerti dan mencoba untuk tidak memboros dalam keuangan. Keluarganya hanyalah golongan sederhana dengan berisi sepasang suami istri beserta tiga anak di dalamnya dan Rani adalah anak terakhir.

Dan satu lagi saudari perempuannya. Dari kakak perempuannya inilah Rani belajar untuk mengalah dan bertahan menghadapi keras kepalanya orang di luar sana karena ia sudah paham dan mengerti sikap itu dari kakak perempuannya itu sendiri. Dan lagi ia harus mengalah dari keras kepala atau keegoisan saudaranya sendiri.

Rani melangkah keluar dari kamarnya dan mencoba untuk tidak perduli dengan kehadiran kakak laki-lakinya itu. Memasuki dapur ia pun langsung berniat makan dalam keheningan.

Terlalu lelah ia ingin menghiraukan kakaknya itu. Sudah cukup masalahnya dan temannya di sekolah saja saat ini. Sekarang ia tidak ingin membuat ribut lagi pada siapa pun.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 3

11 Mei 2017 in Vitamins Blog

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 3 – On Rainy Days

Hari minggu pun tiba, Rani sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Intan untuk mengambil bahan-bahan yang telah disiapkan. Sedari tadi Yolanda sudah menelponinya berkali-kali untuk segera datang karena perempuan itu sudah sampai di depan rumah Intan.

“Iya OTW, nih.” Rani mengangkat telpon terakhir dari Yolanda.

Langsung Rani menghentikan sebuah angkutan umum setelah berjalan keluar dari area komplek rumahnya. Sekitar sepuluh menit, ia pun sampai di rumah Intan. Di sana Yolanda tengah terduduk di atas motor RX-King-nya, yang sudah dipastikan motor itu milik kakak laki-laki temannya itu.

“Maaf gue telat,” Ujar Rani mengambil napas dalam, “kenapa nggak masuk? Udah ditanyain belom?”

Yolanda tersenyum kikuk, “Takut.”

“Aish.”

Tak lama, Masayu dan Ulan datang menyusul. Mereka pun memberanikan diri mengetuk pintu rumah Intan. Intan pada saat itu tengah mengikuti Try out yang diadakan bimbingan belajarnya dan ia sempat berpesan untuk mengambil sendiri ke rumahnya.

Di rumah itu terdapat Ibu, Nenek dan adik-adik Intan. Sempat sang Ibu melontarkan beberapa pertanyaan mengenai masakan apa yang akan mereka buat. Dan Yolanda sebagai ketua langsung menjawabnya. Setelah mengecek bahan-bahan dan beberapa peralatan, mereka pun izin pamit untuk pulang menuju kediaman Yolanda.

Rani, Masayu dan Ulan terkejut saat mereka sampai di rumah Yolanda yang sangat jauh dari sekolah. Rani pikir sudah jauh dari jalan raya, jalan masuk ke rumahnya pun lebih jauh. Wajar saja kalau temannya itu selalu membawa motor atau diantar-jemput saat ke sekolah.

*

Tidak terasa hampir seharian mereka berkutik di dapur rumah Yolanda ditemani oleh sang Ibu. Praktik yang mereka buat telah selesai tinggal menunggu hasilnya saja, apakah enak atau tidak. Sekarang mereka tengah beristirahat di kamar Yolanda sambil berguling-guling ria.

“Ada sms dari Kintan.” kata Masayu.

“Guys, gue nggak bisa nyusul, sekarang lagi pada istirahat pertama, sejak dimulai pagi tadi.”

“Coba ditelpon.” Usul Rani.

Masayu langsung menelpon Kintan dan langsung mendapat jawaban.

“Gimana ceritanya baru istirahat?” sahut Rani cepat.

“Iya, udah dari tadi pagi kita nunggu. Ini rame banget dari berbagai macam sekolah jadi satu. Gue aja belum dipanggil sampai sekarang.” Jelas Kintan dari seberang sana.

“Ya udah. Nggak apa-apa.” Suara Yolanda.

By the way, cantik make up-nya.” kata Ulan sambil menunjuk profil instagram Kintan kepada Masayu, Rani dan Yolanda.

“Hahaha, ke salon gue, pagi-pagi buta.” Tawa Kintan. “Udah dulu, ya. Bentar lagi udah mau lanjut. Sorry gue nggak bisa gabung, entar yang bagian jualnya gue deh.”

It’s ok. Good Luck, Tan!” seru Rani.

“Hamasah!” sahut Masayu lalu mengakhiri telpon itu.

“Kata Intan dia juga nggak bisa nyusul. Masih ada satu sesi TO lagi.” Ucap Ulan menunjukkan pesan baru dari Intan.

“Coba telpon.” Usul Rani, lagi.

Dering operator sekali terdengar dan lalu terdengar suara Intan menyahut.

“Halo.”

“Masih lama, tan?” tanya Masayu sambil menekan tombol loudspeaker.

Suara grasak-grusuk terdengar di seberang sana. “Iya, ini baru mau masuk sesi kedua.”

What? Dari pagi sampe sore gini baru masuk sesi kedua. Itu Try Out atau bedah soal.” Sahut Rani kaget mendengar penuturan Intan baru saja.

“Nggak tau, deh.” Jawab Intan. “Kalau gue sempet, gue nyusul.”

“Seriusan nih nggak bisa gabung?” tanya Masayu.

“Iya, Mas. Ini juga baru mau masuk sesi kedua.”

“Ya udahlah. Udah selesai juga kita.” Rani bersuara lagi.

“Maaf ya.” Balas Intan.

“Ok.”

Setelah mengakhiri sesi telpon itu, ketiganya mohon pamit kepada Ibu Yolanda untuk pulang. Rani yang tadinya pergi bersama Yolanda minta diantar sampai jalan raya agar ia bisa menyambung angkutan umum.

***

Malamnya cuaca tidak dapat diperkirakan. Siang tadi matahari sangat terik di atas sana seolah ia tengah berbahagia dengan tugasnya, sedangkan kini langit malam tengah bersedih dengan hujan yang turun ditemani petir menggelegar di setiap saat.

Di waktu seperti itu, Rani hanya berdiam diri di kamarnya, tanpa memainkan apapun di tangannya. Bahkan ponselnya ia biarkan tergeletak di atas meja. Ia tidak berani memainkan barang elektronik ketika gemuruh di luar sana bergelegar, ia takut kalau saja barang-barang itu akan tersambar petir.

“Dek, udah makan.” Seorang wanita dewasa mengintip dari pintu kamar.

“Sebentar lagi, Bu.” Balas Rani kepada wanita itu yang ternyata Ibunya.

Kembali Rani terdiam berniat memejamkan matanya sejenak, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah beraktivitas seharian tanpa henti.

Saat rasanya kantuk itu mulai datang, sebuah suara pesan dari ponsel Rani terdengar. Ia langsung menimbang-nimbang suara hujan di luar sana dan gemuruhnya. Sudah tidak terlalu deras. Ia pun langsung mengambil ponselnya dan membaca pesan yang tertinggal.

“Ran, sebenarnya Intan nggak pernah dateng ke Try Out itu hari ini.”

Mata Rani berulang kali membaca teks itu. Ia tidak mengerti maksud pesan yang dikirim oleh Masayu kepadanya.

Langsung ia mengetik balasan.

“Maksudnya, Mas?”

Pesan kembali masuk.

“Intan bohong soal ikut Try Out, sebenernya dia hari ini ikut tes pramugari sama kayak Kintan. Gue dapet sms dari Kintan sendiri. Besok dia bakal ceritain semuanya.”

Setelah membaca pesan balasan itu, mata Rani membulat kaget. Jantungnya berdegup tiba-tiba.

Kembali ia terpikir soal kejadian sore tadi, saat ia dan teman-temannya menelpon Intan.

“Iya, ini baru mau masuk sesi kedua.” “Kalau gue sempet, gue nyusul.”

Tanpa disadari rasa kecewa datang menghampiri. Rani kecewa kepada Intan yang berbohong. Sore tadi sebenarnya ia mengharapkan kedatangan Intan untuk membantu mereka, tapi saat mereka menelpon, ia pun hanya bisa mentoleransikan hal itu dan tidak memikirkannya lagi.

Namun, saat di hadapkan dengan kenyataan. Rasanya sakit ketika berpikir bahwa seseorang tengah berakting di antara kepedulian kita kepada orang itu sendiri. Seolah kita tidak pernah dianggap penting saat sebenarnya kita peduli kepada orang itu.

***

Pagi ini mendung menghiasi langit, seolah semalam masih bergundah dengan kesedihannya bersama pagi. Genangan air di sekitaran SMA Karya Bangsa membuat beberapa orang menjinjitkan kaki mereka saat melewatinya.

Berbeda dari orang-orang, Rani pagi itu terlihat tidak peduli dengan sekitarnya, bahkan ia tidak mempedulikan genangan air yang membasahi alas sepatunya. Suasana hatinya sedang kacau sejak semalam setelah membaca pesan singkat dari Masayu. Pagi itu ia tidak memiliki humor untuk bersuara sedikit pun. Bahkan ia yang seharusnya langsung menuju kelas kini berdiam diri di depan kelas ketiga sahabatnya.

Sisi yang mengenal sikap Rani hanya bisa diam dan menemani perempuan itu dalam diam. Yulinar dan Wulan pun sempat bergabung, lalu kembali lagi ke aktivitas mereka yang tengah piket.

“Kenapa, Ran?” suara Sisi mencoba membujuk Rani untuk bercerita.

Rani menggeleng pelan. Lalu ia berdiri dan pamit pergi ke kelas.

Sisi hanya bisa diam mengamati pundak sahabatnya itu yang berlalu pergi.

“Rani kenapa, si?” Yulinar datang sambil menggenggam sapu di tangannya.

Sisi menggedikkan bahu tanda tidak tau.

 

Di kelas setiba Rani duduk di kursinya. Masayu, Kintan dan Ulan seolah ikut merasakan suasana Rani saat itu. Mereka tidak ada yang bersuara. Intan yang menjadi latar belakang berubahnya suasana hati Rani, hanya bisa diam tidak tau apa yang tengah terjadi.

Hal itu berlangsung sampai jam pelajaran dimulai hingga memasuki jam istirahat.

Kintan yang merasa berhutang penjelasan pun langsung memberi kode kepada Masayu untuk mengambil tempat lain untuk bercerita.

Masayu menarik Rani yang masih diam di tempatnya.

Mereka berhenti di depan kantor guru dan duduk di sana. Kintan pun mulai menceritakan hal yang sebenarnya kepada Masayu dan Rani.

“Udah dari awal Intan bilang sama gue dia pengen ikut tes itu dan gue hanya bilang terserah dia. Awalnya gue mau cerita ke kalian, tapi dia larang gue buat cerita, katanya kalau lulus seleksi baru deh bilang sama kalian.” Jelas Kintan. “Gue aja nggak tau kenapa dia mau nutup-nutupin hal ini. Karena dia maksa, gue terpaksa tutup mulut aja sampai dia sendiri yang bilang.”

“Gue udah firasat sejak awal dia bakalan ikut tes itu. Tapi saat dia bilang mau ikut Try Out, firasat gue sedikit berkurang. Gue coba untuk percaya. Tapi sekarang gini jadinya.” Suara Rani pertama kali sejak pagi tadi.

Masayu mengelus pelan pundak Rani.

“Maafin gue karena nutupin hal ini dari kalian.” Ujar Kintan lagi.

“Ulan tau.” Seru Masayu cepat kepada Rani. Seolah ia tau apa yang akan Rani katakan selanjutnya.

Rani tersenyum miris lalu menghembuskan napas berat.

Masayu dan Kintan hanya bisa diam mengamati Rani dengan kegundahannya. Tidak lama rintik hujan jatuh dari langit dengan begitu derasnya, seolah langit pun ikut bersedih dengan kegundahan hati Rani saat itu.

***

Sudah dua hari berlalu setelah kejadian terungkapnya Intan yang tidak jujur kepada teman-temannya. Ia pun sudah mengetahui sebab Rani dan Masayu sedikit menjauhi atau mendiaminya dari Ulan. Dan ia merasa bersalah dengan hal itu.

Rani yang biasanya menjahili teman-temannya kini sangat berbeda. Kini Rani yang teman-temannya kenal itu telah berubah menjadi sosok Rani yang belum mereka kenal. Cuek, dingin dan pendiam itulah pandangan teman-temannya saat ini. Namun, dengan sikapnya seperti itu. Ia sesekali masih menjahili dan tertawa bersama.

Sisi tau dengan sifat Rani yang seperti ini. Jika temannya itu telah mengatakan kata andalannya. “Gue nggak apa-apa.” Itu berarti kebalikannya, dan Sisi sangat hapal.

Di setiap kali mereka berkumpul bersama. Ada saja cara Rani menghindari masalah yang tengah ia hadapi.

Kintan pun hanya bisa diam dan membiarkan masalah yang tengah menimpa mereka, tanpa memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya. Ia berpikir biarkan Rani yang menceritakan semuanya pada ketiga sahabatnya itu.

Siang itu pelajaran TIK mengakhiri perjumpaan senin pagi kelas IPS2. Dan lagi, mood Rani menjadi rusak karena guru yang membimbing pelajaran itu memberikan sebuah tugas akhir tahun berkelompok.

Dengan keadaan yang bisa dikatakan canggung, Rani dan Masayu kembali menjadi satu kelompok dengan Intan, di mana kelompok itu sudah disusun sejak kenaikan kelas beberapa bulan lalu, jauh sebelum kejadian dua hari yang lalu terjadi.

Yang membuat Rani bersikap layaknya bermusuhan dengan Intan adalah karena Intan sendiri sampai sekarang belum mengatakan kebenaran dari perkataan-perkataan yang Rani dengar dari Kintan atau pun Ulan, dan hal itu sangat membuat Rani jengah.

Di kelas yang biasanya Rani, Masayu, Kintan, Intan, Ulan dan Lala berkumpul di satu meja yang sama saat beristirahat, kini hal itu sudah tidak pernah terjadi lagi. Jika pun terjadi, hanya ada Rani, Kintan dan Masayu terkadang Ulan dan Lala pun ikut bergabung.

Warga kelas yang biasanya memperhatikan keramaian mereka pun sudah mencium bau kecanggungan antara Intan dan lainnya. Mereka hanya mengetahui sebatas itu tidak lebih sampai ke inti masalah.

Rani menghembuskan napas berat sambil memanggul tasnya lalu berdiri dari bangkunya. Ia selalu keuar kelas saat semua orang sudah seutuhnya keluar.

“Gimana, Ran.” Seru Masayu sembari keluar dari kelas.

“Ya, gimana lagi. Udah terbentuk lama juga kelompok ini,” Balas Rani berhenti di depan kelas sambil bersandar di pagar pembatas. “Bu Maya juga orangnya tegas.”

Siang itu hujan kembali turun mengingat kembali musim penghujan mulai datang di bulan Oktober.

“Jadi, lanjut nih!” Lagi Masayu berseru.

Rani mengangguk kepala malas.

Sejenak mereka terdiam dalam lamunan sambil menunggu hujan yang semakin deras itu reda.

Masayu izin pamit menghampiri temannya untuk pulang bersama. Rani hanya mengangguk dan ikut berjalan turun ke kelas Sisi.

Setelah Masayu mengambil jalan yang berbeda, Rani langsung mengintip ruang kelas ketiga sahabatnya, dan sayangnya mereka tidak ada di sana. Sepertinya sudah pulang sebelum hujan deras tadi.

Akhirnya Rani mengambil duduk di depan kantor guru, yang terdapat beberapa siswa juga tengah menunggu hujan reda. Earphone yang sudah terpasang di kedua telinganya mulai ia sambungkan dengan ponselnya dan memutar sebuah lagu yang cocok dengan suasana hatinya pada saat itu. Judul Loser dari Big Bang menjadi pilihannya. Ia pun mulai kembali menerka-nerka arti lirik dari lagu itu.

 

Di kejauhan seorang laki-laki tidak sengaja menangkap sesuatu yang menarik di matanya, lalu langkahnya pun mulai bergerak untuk menghampiri. Ketika langkah itu semakin dekat, ternyata laki-laki itu adalah Michael. Semenjak berjalan dari kejauhan matanya tetap terfokus pada Rani berharap perempuan itu tidak pergi sebelum ia berada di sana atau pun kembali dari lamunannya.

Michael mengambil duduk di samping Rani dengan kebisuannya.

Tanpa Michael sadari, Rani ternyata sudah kembali ke kenyataan dan langsung melirik sekilas kehadirannya.

Kini mereka terduduk dibalik deru hujan yang deras sambil sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Sudah beberapa hari terakhir Michael tidak menemukan keberadaan perempuan di sampingnya ini. Beberapa hari terakhir, ia selalu duduk di teras kelasnya menunggu Rani melewati kelasnya sebelum ke kelas di sampingnya. Namun sayangnya, perempuan itu tidak menampakkan wujudnya di saat yang ditunggu-tunggunya, ia sempat frustasi karena tidak satu kali pun melihat wajah Rani. Dan sekarang, ia ingin terus berada di dekat perempuan itu walau pun hanya sesaat.

“Belum pulang.” Michael membuka obrolan.

Ada senyum tipis dari perempuan itu, namun ia  masih tidak membalas seruan Michael.

“Nama gue Michael,” Kata Michael lagi sambil mengulurkan tangan kanannya.

Rani menoleh dan melepas sebelah earphone-nya. Tanpa menunggu lama, ia menjulurkan satu tangannya menjabat tangan Michael.

“Rani.”

Michael tersenyum. “Kenapa belum pulang?”

“Hujan.” Jawab Rani cepat.

Michael mengangguk. Ia sedikit gugup berada di samping Rani yang cuek atau bisa dikatakan dingin. Ingin rasanya ia mengutarakan seluruh pertanyaan di kepalanya kepada perempuan ini. Tapi, ia takut kalau saja Rani merasa terganggu atau pun tidak suka dengan sikapnya yang terlalu ingin tau.

“Dari IPS2,  ya?” Michael membuka suara, lagi.

Rani mengangguk, menyandarkan bahunya di dinding agar dapat melihat wajah Michael.

“Lo?” tanya Rani.

Michael menunjuk kelasnya di kejauhan. “IPS6,” Ia lalu menoleh ke arah Rani. “gue sering liat lo duduk-duduk di depan kelas IPS5.”

“Iya. Temen-temen ada di kelas itu jadi sering ngumpul di sana. Mereka males kalau mau ngumpul di atas,” Jelas Rani.

Sejenak Rani merasa nyaman bisa mengobrol dengan seseorang, apa lagi dengan orang lain yang belum pernah ia temui atau ajak bicara. Ia merasa hal ini dapat mengalihkan pikirannya sejenak. Mungkin ini adalah salah satu cara Sang Pencipta agar membuatnya untuk tidak terlalu larut dalam masalah yang tengah terjadi.

“Sekarang mereka kemana? Kenapa lo sendirian?”

Rani tersenyum tipis, “Udah pulang,” Sambil memasukkan earphone-nya ke dalam tas, “nggak apa-apa.” Sambungnya.

“Jadi, lo pulang sendiri?” Michael khawatir.

“Iya.”

Rani mengamati jam tangannya, dan sudah menunjukkan hampir setengah enam. Serta langit yang mendung terlihat seolah hari sudah mulai gelap.

“Boleh gue nganter pulang?” pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Michael.

Rani mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan pertanyaan Michael.

“Maksudnya, bolehkah gue nganterin lo pulang?” ulangnya lagi.

Senyuman menahan tawa terlihat di wajah Rani sesaat setelah Michael kembali mengulangi pertanyaannya.

“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri,” Jawab Rani pelan berusaha menahan tawanya.

Pipi Michael sedikit panas melihat Rani yang menahan tawa saat ia bertanya tadi.

“Udah hampir gelap. Kalau lo nungguin bus, bakalan lama mana lagi hujan juga,” Michael masih mencoba untuk membujuk Rani. “gue anter, ya.”

Sejenak Rani diam menimbang-nimbang tawaran itu. Ada benarnya juga penuturan Michael, bisa saja ia pulang setelah adzan magrib atau mungkin lebih.

“Lo pulang arah mana. Gue takut entar ngerepotin lagi.”

Michael berdiri dari duduknya, membenarkan tas dukungnya, “Nggak usah dipikirin. Yuk!” kali ini dengan keberanian ekstra, Michael menarik tangan Rani dan berlari-lari kecil melewati rintikan hujan yang sudah tidak terlalu deras. Rani di sampingnya tidak memberontak, perempuan itu hanya bisa mengikuti langkah kakinya pergi.

Untung saja hari itu Michael membawa mobil karena motornya masih berada di bengkel. Beberapa hari yang lalu ia berniat untuk membawa pulang motor kesayangannya itu. Namun, kata montir di sana, motornya belum selesai direparasi.

Setibanya di parkiran sekolah, Michael membukakan pintu penumpang di samping kemudi untuk Rani. Lalu ia berputar menyusul masuk dan bergegas meninggalkan pemukiman sekolah yang sudah sepi.

Di perjalanan keduanya sesekali mengobrol ringan, kadang Michael memulainya dan kadang Rani yang memulai. Keduanya saling mengenalkan diri masing-masing. Di antara obrolan itu kadang keduanya tertawa bersama dan kadang saling mendengarkan salah satu di antaranya bercerita.

Hal itu membuat perasaan Rani yang tadinya tidak karuan karena memikirkan tentang hubungannya dan Intan yang rumit, kini sudah tergantikan dengan keberadaan Michael.

Perasaan yang sama pun terasa dari Michael, ia merasa senang bahwa perempuan yang ia kagumi beberapa minggu terakhir ini memberikan sikap positif dari perkenalannya tadi. Dan itu membuatnya semakin bersemangat untuk mengenal Rani lebih dekat.

Michael merasa ada sesuatu yang berbeda dari Rani, saat tadi sebelum ia menghampiri Rani, ia sempat melihat ada gurat letih dari wajah kecilnya itu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin selalu dekat dan menemaninya setiap saat. Ada rasa ingin menjaga dan melindunginya. Ia berharap awal yang baik akan menghantarkan kelanjutan hubungan yang baik pula baginya dan Rani nanti.

Memasuki kawasan komplek perumahan, Michael pun memberhentikan mobilnya di salah satu rumah yang ditunjuk Rani sebagai rumahnya.

Sederhana, batin Michael tersenyum.

“Hmm, thanks ya buat tumpangannya.” Ujar Rani seraya melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.

Michael mengangguk.

Lalu Rani langsung keluar dari mobil itu dan berbalik menunggu Michael pergi.

Kaca mobil itu terbuka dan membuat Rani merunduk sedikit untuk melihat ke dalam.

Thanks juga buat hari ini,” Seru Michael dari dalam. “see you at school.”

Setelah itu Michael langsung membawa mobilnya pergi, sesaat setelah Rani membalas seruannya dengan anggukan.

Sungguh hari itu, hari yang sangat tidak pernah disangka oleh Michael. Ia akan mengobrol dengan Rani bahkan mengantar pulang perempuan itu. Sempat terlintas dipikirannya saat kejadian Alvin menawarkan tumpangan kepada Rani dan perempuan itu langsung menolak. Hal yang sama sempat terbesit di otaknya bahwa Rani akan menolak. Namun, nihil ia tidak mendengar sebuah penolakan yang jelas dari mulut Rani dan itu membuatnya sedikit lebih unggul dari Alvin.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 2

10 Mei 2017 in Vitamins Blog

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 2 – Heart Attack

Suasana pagi di SMA Karya Bangsa, terlihat seluruh siswa-siswi sudah berkumpul di tengah lapangan menantikan pemberian penghargaan atas lomba kemerdekaan kemarin. Piala-piala sudah terpampang jelas di depan sana, menunggu pemiliknya menerima dan menjadi pusat perhatian.

Berbeda dari tahun-tahun lalu yang biasanya kelas dua belas memenuhi deretan pemenang, kali ini berbanding terbalik, kelas sepuluh dan sebelas menjadi dominan dalam perlombaan tahun ini.

Melihat kehebohan kelas dua belas berikan kemarin ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, namun hal itu tidak langsung mereka sesali.

“Bukan kemenangan yang kami inginkan. Tapi yang kami inginkan adalah kenangan untuk di masa tua.”

Sungguh dramatisir mendengarnya.

Apalagi yang mengatakannya adalah anak IPS yang kemarin begitu ramai menyuarakan suara mereka. Walaupun rasa kecewa akan kegagalan itu ada, tapi mereka tetap menghargai kerja keras yang telah diberikan oleh para peserta lomba.

Setelah pemberian piala dan penghargaan. Semua murid diperintahkan untuk kembali ke ruang kelas masing-masing. Hal itu sempat membuat ribut di sepenjuru sekolah, karena mereka harus kembali lagi dengan aktivitas belajar mengajar seperti biasa.

Berbeda dengan kelas lainnya. Kelas IPS2 pada saat itu bertepatan dengan jam olahraga dan membuat seisi kelas keluar masuk untuk mengganti seragam sekolah mereka.

“Mas, cepetan!” Seru Rani berdiri di depan pintu kelasnya.

“Sabar,” Ketus Masayu.

Mereka pun berjalan berdampingan.

“Liat tuh si Kintan cepet banget ganti bajunya,” Rani menoleh ke arah lapangan yang sudah terdapat beberapa teman kelasnya.

“Udah biasa kalau Kintan,  mah.”

Seusai mengganti dan mengembalikan seragamnya ke kelas Rani dan Masayu kembali ke lapangan, dan bergabung dengan yang lainnya.

Praktik hari itu adalah lompat tinggi. Setelah pemanasan sekitar lima menit semuanya mulai serius dengan pembelajaran. Sempat beberapa siswi menjerit frustasi karena tidak berhasil melompati dengan benar. Namun hal itu tidak masalah bagi siswi yang memiliki tinggi sekitaran 160cm, dan Rani berada di salah satu siswi itu.

Dua jam hampir berlalu, mata pelajaran olahraga pun segera usai. Menit-menit terakhir Pak Purwantara mengizinkan para siswa/i melakukan aktivitas mereka masing-masing. Anak laki-laki bermain sepak bola sedangkan perempuan beristirahat atau mengganti seragam sekolah mereka.

Pada saat itu, Rani, Kintan dan Masayu tengah beristirahat sejenak di koridor bawah gedung IPS, sambil menyaksikan permainan sepak bola teman kelas mereka. Kadang mereka tertawa bersama saat melihat aksi kocak dari teman-teman kelasnya di lapangan.

Di waktu yang sama, ruang kelas IPS6 terlihat begitu khidmat dalam pelajaran yang pada saat itu salah satu guru senior tengah berdiri di depan kelas.

Michael tidak terlalu memperhatikan guru di depan sana. Ia sibuk dengan mencoret-coret kertas di belakang bukunya, sedangkan Rafi di sampingnya sudah tertidur dengan pulasnya.

Pak Bakar tipe guru yang sangat cuek. Ia membiarkan siswanya tidur di kelas. Katanya, “kalau sama Bapak terserah kalian, mau tidur, mau main hp, terserah. Kembali lagi nanti siapa yang rugi, yang jelas bukan Bapak.”

Tiba-tiba sebuah suara tawa terdengar tidak jauh dari tempat Michael. Sejenak Michael menyipitkan kedua matanya, memfokuskan indera pendengarannya, setelah itu barulah ia sadar bahwa perempuan yang tengah mencuri perhatiannya saat ini tepat berada di samping tembok kelasnya.

Michael yang tadinya sibuk mencoret-coret buku langsung berhenti, dan memfokuskan obrolan Rani dan temannya di luar sana. Kadang ia tersenyum saat mendengar suara Rani terdengar nyaring, kadang juga ia terdiam saat Rani menceritakan sesuatu.

Tak lama suara bel istirahat berbunyi, hal itu membuat Michael langsung berdiri dari kursinya dan berniat keluar. Setelah mendorong tubuh Rafi yang tertidur dengan kasar, ia buru-buru keluar kelas mencari sosok Rani. Namun, nihil, ia tidak menemukan perempuan itu di mana pun.

Michael berdiri di depan pintu kelas dan langsung mendapat ketukan di kepalanya.

Pak Bakar menggeleng kepala tanpa berujar.

“Maaf, Pak.”

Setelah Pak Bakar berlalu, sebuah jitakan keras kembali melayang di kepala Michael.

“Siapa, sih?” bentaknya.

“Apa? Lo mau marah. Gih, gue dengerin,” Balas Rafi keras. “gue yang mestinya marah sama lo. Orang lagi tidur didorong-dorong sampai jatuh pula. Jahat banget lo, Mic.”

Michael berkacak pinggang, “Ya, sorry. Nggak sengaja.”

“Nggak sengaja, kepala lu!” bentak Rafi.

Michael menghela napas berat, “Terus lo mau apa sekarang?” tuturnya.

“Mau bakso.”

Mereka pun berlalu ke kantin sekolah yang sudah dipadati siswa-siswi yang juga ingin mengisi perut mereka.

Rasa kecewa sempat menghampiri Michael karena ia tidak menemukan Rani di mana pun. Walaupun begitu, ia cukup senang karena dapat mendengar suara perempuan yang ia sukai, walau hanya sebentar.

***

“Vin, gih sana coba deketin cewek lo!” Seru Gerald pada Alvin yang sedari tadi hanya diam di kelas.

Alvin sudah lama menyukai Rani, sejak kelas sebelas ia sudah mengenal Rani dari teman-teman kelasnya.

Sebenarnya Rani bukanlah perempuan yang banyak dikenal siswa-siswi kelas lain. Rani sama seperti siswi-siswi lainnya, ia tidak terlalu membaur atau berteman dengan teman kelas lainnya. Ia hanya dekat dengan beberapa orang saja, dan berhubung ketiga sahabat Rani yang lainnya berada di lain kelas, dan ia juga sering mengunjungi ketiga sahabatnya itu, maka hampir seluruh IPS5 mengenalnya. Itu pun hanya siswi-siswi yang mengenalnya.

“Emang udah istirahat?” jawab Alvin.

“Eh, ini bocah. Suara bel sebesar itu nggak kedengeran. Itu kuping apa, kuping.” Celoteh Gerald.

“Entar deh. Pas pulang, gue mau ngajakin pulang bareng.” Jelas Alvin.

“Wih… good luck, ya.”

Setiba jam pulang sekolah, Alvin sudah duduk santai di atas motor besarnya menunggu perempuan yang dinanti muncul dari keramaian pintu gerbang. Beberapa siswi perempuan sempat menyapanya dan Alvin hanya membalas dengan anggukan beserta senyum ramahnya.

Tidak lama, orang yang dinantinya muncul diantara keramaian itu. Perempuan itu berjalan sendiri ditemani dengan earphone menggantung dikedua sisi telinganya.

Alvin pun langsung turun dari motornya dan menghampiri.

“Hai.” Sapanya menghentikan Rani.

Rani terkejut lalu mendongak, “Ya?”

“Alvin.” Alvin mengulurkan tangannya kepada Rani.

Rani menjabat tangan itu dengan cepat, “Rani.”

“Lo mau pulang, ya?”

Rani mengangguk seraya memegangi tali earphone-nya.

“Gue anter, ya.” Tutur Alvin langsung.

Rani sedikit ragu dengan laki-laki di hadapannya ini. Ia tau yang berada di hadapannya saat ini adalah Alvin. Laki-laki yang banyak disukai oleh siswi-siswi sekolahnya, dan ia tidak ingin berada di antara perempuan-perempuan itu untuk mendekati orang yang mereka sukai.

Serem, batin Rani.

“Ah, nggak usah. Gue bisa pulang sendiri, kok.” Tolak Rani pelan.

“Nggak apa. Bareng gue aja. Kali aja rumah kita searah,” Alvin masih tidak ingin menyerah.

Rani merasa tidak enak dengan penolakannya kepada Alvin. Tapi, mau bagaimana, ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan laki-laki ini. Ia juga tidak memiliki riwayat dibonceng oleh laki-laki.

“Kayaknya kita nggak satu arah, deh.” Rani memasang earphone-nya, “gue duluan, ya. Bye.”

Alvin terdiam ditempatnya sambil mengamati Rani yang berlalu begitu saja melewatinya.

Susah banget ya dapet perhatian lo, pikir Alvin.

Lalu ia berjalan kembali ke motornya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvin menjalankan motornya, ia berinisiatif untuk mengikuti Rani diam-diam.

Setelah suara motor Alvin sudah tidak terdengar, seorang siswa keluar dari pos satpam yang tidak jauh dari gerbang sekolah.

“Gila! Berani banget dia langsung nawarin pulang bareng,” Michael membenarkan tas dukungnya.

Sedari tadi ia sudah berada di pos satpam itu dan mendengar apa saja yang dibicarakan Rani dan Alvin tadi. Sebenarnya ia tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang itu, awalnya ia berada di pos satpam ini untuk menunggu Rafi yang pergi ke toilet.

Michael menggeleng-geleng kepala tak habis pikir dengan sikap Alvin tadi.

Lalu ia berbalik mencari keberadaan Rafi yang tidak juga muncul. Akhirnya ia pun meninggalkan temannya itu, dan berjalan menuju halte bus. Hari ini motor kesayangannya tengah berada di bengkel dan ia berniat untuk mengambilnya setelah pulang sekolah.

Setelah menyebrangi tangga penyebrangan, Michael langsung berjalan kearah halte bus yang sudah dipenuhi siswa-siswi sekolahnya, mulai dari juniornya dan beberapa siswa-siswi satu angkatan dengannya.

Melihat halte yang penuh, Michael pun hanya berdiri di anak tangga sambil menunggu bus jurusannya datang.

Selang waktu, beberapa orang sudah menaiki bus jurusan mereka masing-masing. Yang tersisa hanya tinggal beberapa dan Michael pun menaiki anak tangga berniat duduk di kursi yang ada di halte itu.

Namun langkahnya terhenti ketika matanya tidak sengaja melihat keberadaan Rani yang duduk di samping kursi kosong itu. Rasa gugup menjalarinya, kakinya seolah tidak dapat bergerak maju saat melihat perempuan itu.

Rani menoleh ke arah Michael yang berdiri mematung di tempat.

Merasa diamati, Michael pun langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seolah salah tingkah. Saat ia menemukan seorang ibu tengah berdiri bersama beberapa kantung belanjaan, tanpa menghilangkan rasa hormat, ia pun menyuruh ibu itu untuk duduk di tempat yang tadinya ingin ia tempati.

“Oh, terima kasih, nak.” Seru ibu itu lalu duduk dan menaruh belanjaannya.

Setelah melakukan hal itu Michael langsung membuang muka kearah lain. Ia tidak berani mencuri pandang ke arah Rani. Ia takut kalau-kalau Rani tengah mengamatinya.

Ah jantung gue, batin Michael sambil memegangi dadanya.

***

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 1

10 Mei 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 1 – Her name is Rani 

Di salah satu Sekolah Negeri di Ibu Kota Jakarta terlihat lalu lalang para siswa sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berlarian membawa karton-karton berwarna, ada yang membawa balon berwarna merah, putih dan ada juga yang berlarian untuk segera memasuki kawasan sekolah, mengingat hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.

Hari itu merupakan hari spesial bagi rakyat Indonesia karena bertepatan dengan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Di setiap jalan raya sudah terpampang jelas bendera merah putih menghiasi sudut kota. Menunjukkan bahwa semua orang harus kembali mengingat pengorbanan para pahlawan yang telah berkorban untuk memerdekakan tanah air tercinta.

Beberapa perkantoran pun harus dan wajib melaksanakan upacara khusus untuk memperingati hari itu. Bahkan ada yang menyelenggarakan upacara bersama di salah satu tempat bersejarah di Ibu Kota. Pemerintah pun tak luput dari sorotan. Di Istana Negara sudah menjadi tradisi setiap tahunnya untuk melaksanakan upacara pengibaran Sang Merah Putih dengan diramaikan dengan Paskibraka, TNI, Polri dan warga setempat. Dan tak ketinggalan Pemimpin Negeri, Presiden Republik Indonesia menjadi Pembina dalam upacara tersebut.

Begitu pun dengan SMA Karya Bangsa. Mereka telah menyiapkan acara perayaan 17-an yang bertepatan setelah upacara selesai.

Kembali mengingat waktu telah menunjuk pukul 7 lewat, tak lama kemudian, terdengar bel tanda masuk berbunyi. Para siswa yang berada di kelas ataupun di gerbang, segera mempercepat langkah mereka agar tidak tertinggal dalam barisan upacara.

Suara guru-guru yang memerintahkan para siswa sudah berkumandang di se-penjuru gedung sekolah itu. Agar para siswa segera cepat berbaris di lapangan. Apalagi di bagian gerbang, beberapa guru langsung meneriakkan siswa-siswa yang masih berjalan dengan santainya menuju ke halaman sekolah, seolah tidak peduli dengan teriakan-teriakan para guru yang sudah terdengar di mana-mana.

Setelah sepuluh menit membentuk barisan. Akhirnya upacara pun dimulai. Barisan-barisan setiap kelasnya terlihat begitu penuh tampak tak ada satu pun yang meninggalkan lapangan untuk menyaksikan pengibaran bendera merah putih.

Masing-masing barisan itu terdapat beberapa guru berdiri mengawasi para siswa atau hanya berjaga-jaga jika saja ada yang tumbang atau pingsan nantinya.

Tiba-tiba dari arah belakang seorang guru, terlihat seorang siswa tengah menarik napas terengah-engah. Guru itu pun langsung menoleh dan menegur siswa itu.

“Terlambat lagi, Michael?” tanya Guru itu yang bernama Sundari.

Siswa itu mengadah dan menemukan guru yang merupakan wali kelasnya tengah berdiri berkacak pinggang di hadapannya.

Siswa yang bernama Michael itu hanya tersenyum malu kepada guru itu. “Macet, Bu. Kan, hari ini senin, mana lagi 17-an pula. Ya, ramai, deh, Bu jalanan,” kata Michael membela diri.

“Ya sudah, cepat masuk ke dalam barisan!” Perintah Bu Sundari tegas.

Michael pun menurut dan mencari-cari teman sekelasnya.

“Lagi, Mic?” seru seorang siswa saat Michael memasuki barisan kelasnya.

Michael menoleh dan menemukan teman satu bangkunya berada di sampingnya. “Motor gue mogok. Jadi terpaksa dorong dari lampu merah rumah sakit sampai ke sekolah,” Ujar Michael membenarkan topinya.

“Lah, tadi kenapa lo bilang sama Bu Sun macet. Kenapa nggak bilang aja motor lo mogok?” tanya Rafi nama teman satu bangku Michael.

“Kemarin gue udah pakai alasan itu. Jadi, nggak mungkin gue bilang sama beliau mogok lagi. Yang ada entar panjang ceritanya,” Jelas Michael.

Rumahnya terbilang jauh dari sekolah. Hampir satu setengah jam perjalanan tiap harinya ia berkendara dengan motor kesayangannya.

Setelah mendengarkan alasan yang dikatakan Michael. Tak ada lagi pembicaraan di antara keduanya mengingat di belakang mereka sudah berdiri Bu Sundari mengamati pergerakan mereka.

Bertepatan dengan hal itu. Di depan sana para Paskibraka sudah siap dengan bagian mereka untuk mengibarkan bendera. Mata setiap orang langsung tertuju ke arah depan untuk menyaksikan secara langsung kejadian itu termasuk Michael dan Rafi. Walaupun berada di barisan paling belakang, Michael yang tinggi masih bisa melihat dengan jelas orang-orang di depan sana. Ia dapat melihat siapa saja yang menjadi petugas pengibar bendera hari itu.

Di bagian tengah lapangan, sebagai pemimpin upacara, ia mengenal siswa itu. Aldo namanya. Ia dan Aldo sering bertemu di lapangan saat bermain futsal ataupun sepak bola yang merupakan hobi keduanya. Ia juga mengenal beberapa petugas lainnya.

Petugas pengibar bendera sudah tepat berada di dekat tiang bendera untuk melakukan tugasnya. Ada tiga perempuan yang berada di sana, dan di antaranya tak satu pun Michael kenal.

Namun, di antara ketiga perempuan itu. Salah satunya telah berhasil membuat arah pandangan Michael tak berpaling. Michael mengamati perempuan yang berada di bagian kanan tiang bendera yang bertugas sebagai pengibar bendera. Entah bagaimana selanjutnya fokusnya tak berpindahkan  kepada perempuan itu sampai suara perempuan itu terdengar.

“Bendera siap!”

Tanpa disadari, Michael tersenyum tipis setelah mendengar suara itu. Entah apa yang membuatnya secara refleks melakukan hal itu. Tapi sesuatu di dalam hatinya menginginkan hal itu terjadi.

***

Upacara di SMA Karya Bangsa telah usai sejak lima menit yang lalu. Beberapa siswa terlihat berlalu-lalang di koridor kelas dan ada pula yang masih mengistirahatkan kakinya di kantin sekolah.

Sebuah perbincangan baru terdengar di kalangan siswa IPS yang berada di kantin itu. Mereka membicarakan kejadian yang terjadi di lapangan upacara tadi.

Aldo yang bertugas sebagai Pemimpin upacara menjadi sorotan karena di lapangan tadi sesaat setelah Petugas pengibar bendera menyuarakan bendera siap dengan lantang. Aldo yang seharusnya memberikan tugas hormat kepada sang merah putih terdengar tidak begitu lantang. Hal itu membuat para siswa-siswi merasa kagum dengan sang pengibar bendera dengan suaranya yang lebih kentara dari sang pemimpin.

“Perasaan biasa-biasa aja, deh. Suara gue tadi,” seru Rani sembari meminum air mineralnya.

“Ih… keren tau, Ran!” Seru Sisi yang baru saja datang.

“Aish…” geram Rani.

Menurut Rani orang-orang di sekitarnya terlalu berlebihan membahas tentang apa yang terjadi di lapanan upacara tadi.

Apa yang keren coba, malahan gugup ada, batin Rani merutuki teman-temannya.

“Iya. Keren tau, Jjang!” seru Yulinar mengacungkan kedua jempolnya.

“Ya, ya. Terserah kalian, deh. Kintan ke kelas, yuk!” Kintan langsung menoleh setelah menghabiskan isi botol air minumnya.

“Yuk!”

“Ke kelas dulu ya. Ada pengumuman dari Bu Dewi.” Rani dan Kintan lalu pergi meninggalkan kantin dan menaiki tangga menuju kelas. Mereka berdua berada di satu kelas yang sama yaitu 12 IPS 2, sedangkan ketiga teman lainnya berada di kelas yang berbeda yaitu 12 IPS 5.

Saat sedang menaiki tangga Kintan berujar, “Ran, tugas ekonomi kreatif kita kayak mana?”

Pandangan Rani masih menjurus ke arah tangga di bawahnya.

“Kan, udah sepakat di rumah Yolanda,” ujar Rani.

“Iya, tapi gue belum tau bisa apa nggak. Soalnya kalau mau minggu ini buatnya, gue nggak bisa. Minggu ini ada tes pramugari di Hotel Amaris. Gimana?” ujar Kintan histeris.

“Ya udah tinggal bilangin aja sama yang lainnya. Entar kalau bisa lo yang lebih aktif jualin praktek kita,” Usul Rani.

Keduanya sudah berada di depan pintu kelas. Bu Dewi sudah duduk di singgasananya menunggu siswa lainnya masuk ke dalam kelas. Melihat keberadaan Bu Dewi, keduanya bergegas berjalan menuju kursi mereka masing-masing.

Tinggal beberapa siswa yang belum memasuki ruang kelas itu. Masayu. Teman sebangku Rani masih santai memainkan ponselnya.

“Mas, siapa aja yang ikut lomba dari kelas kita?” bisik Rani mendekati Masayu di sampingnya.

“Nggak tau,” Singkat Masayu, “dari mana aja, Bu Dewi udah nungguin dari tadi.”

Rani tersenyum, “Beli minum,” Masayu mendengus. “ditraktir soalnya. Mana bisa nolak.”

Tak lama setelah itu, Bu Dewi memberikan arahannya tentang lomba 17-an yang akan diadakan sebentar lagi di lapangan sekolah. Ia juga berpesan agar yang mengikuti lomba bermain dengan adil dan sportif. Lalu Bu Dewi pergi meninggalkan ruang kelas dan kembali ke ruang guru.

Setelah itu kebisingan kelas mulai terdengar. Beberapa siswa-siswi berniat keluar kelas untuk melihat lomba yang akan dimulai dan sebagian lainnya memilih tinggal di dalam kelas.

Rani yang duduk di barisan nomor dua dari depan mencolek Kintan yang berada di depannya.

“Tan, gih bilang sama Yolan, kalau lo nggak bisa ikut minggu nanti.” Ucapan Rani membuat Intan dan Ulan yang juga satu kelompok dengannya menoleh dari arah depan.

“Apanya yang nggak bisa, Ran?” tanya Ulan sembari menarik kursinya ke samping meja Rani.

Rani menggaruk pipinya yang tidak gatal, “Itu Kintan. Hari minggu nanti, dia nggak bisa dateng buat tugas Ekonomi Kreatif kita,”

“Tapi kalau sempet gue nyusul kok. Serius.” Potong Kintan cepat.

“Ya udah. Nggak apa-apa lagi. Malahan kalau rame-rame gue nggak yakin bakal selesai tugas kita.” Sambung Yolanda yang duduk bersebrangan dengan Masayu tidak sengaja mendengar penuturan Rani.

“Ok.”

***

Sama dengan kelas-kelas lainnya yang sibuk dengan perayaan lomba. Kelas Michael yang berada di lantai bawah ujung koridor, bersebelahan dengan lorong kantin terlihat begitu ramai karena dilalui siswa-siswi yang ingin pergi menuju kantin. Namun, sepertinya keramaian itu tidak mengusik seisi kelas IPS6. Sampai sekarang hampir seluruh siswa-siswi di dalamnya masih santai dengan kesibukkan masing-masing.

Perbincangan siswi-siswi di depan kelas begitu heboh tentang kejadian di lapangan upacara beberapa waktu lalu.

“Eh, eh, ternyata cewek yang selama ini ditaksir oleh Alvin itu Rani, yang ngibarin bendera tadi,”

“Serius lo?”

“Wih, hot news, nih,”

“Lo tau dari mana kalau cewek itu yang ditaksir oleh Alvin?”

“Gue nggak sengaja denger obrolan Alvin bareng temennya di lapangan tadi. Gue liat Alvin ngangguk pas Andre bilang ‘eh, itu cewek yang lo suka kan?’ yaudah deh gue langsung mikir dan nyimpulin bahwa bener Rani yang selama ini Alvin suka.” Penjelasan Fio di depan kelas terdengar di telinga Michael yang tengah termenung sendiri di kursinya. Ia duduk di barisan belakang, di pojok ruangan.

Ternyata Rani namanya, cantik. Batin Michael tersenyum sendiri.

“Hayo loh! Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” Rafi datang menyikut Michael, “Jangan-jangan lo lagi buka yang gitu-gituan. Ikutan, Mic.”

Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di dahi Rafi.

“Mulut lo tuh ya. Ember banget emang. Mana ada gue buka yang begituan. Yang ada lo kepingin.” Sahut Michael langsung berdiri dan berlalu meninggalkan Rafi yang meringis kesakitan.

Michael berjalan keluar dari kelasnya menuju teras kelas dan mengambil duduk di salah satu tempat kosong.

Pandangannya terarah ke lapangan yang sudah dipenuhi dengan anggota OSIS dengan segudang kesibukkan mereka. Lalu tak jauh dari itu ia melihat beberapa guru pun sudah mengambil posisi untuk menyaksikan lomba. Terakhir pandangan Michael terarah kepada sekumpulan siswa di lantai atas, tepatnya di gedung IPA.

Ia melihat Alvin tengah dilingkupi teman-temannya sambil melirik-lirik sesuatu yang berada di lantai atas gedung IPS.

Michael penasaran, ia segera bertindak dan berjalan sedikit ke arah depan untuk melihat apa yang tengah terjadi di lantai atas gedung IPS, dan ternyata setelah menimbang-nimbang Michael mengerti bahwa Alvin dan teman-temannya tengah membicarakan Rani.

Perempuan itu tengah bersandar di pinggir pagar lantai atas bersama temannya. Sesaat ada guratan kesal dari Michael saat melihat Alvin yang tak henti-hentinya menatap Rani begitu tajam. Rasanya ia ingin menggulingkan kedua bola mata laki-laki itu dari tempatnya. Dengan perasaan aneh, Michael kembali duduk di tempatnya dan sesekali mengamati Alvin di atas sana.

Entah ada apa dengan dirinya, ia pun tidak tau. Sejak mendengar suara Rani di lapangan tadi, ia merasa ingin mengenal perempuan itu lebih. Saat melihat tatapan yang Alvin berikan kepada Rani. Hal itu berhasil membuat rasa kompetisinya meningkat. Ia tidak ingin tersaingi. Apalagi, terhadap Alvin yang latar belakangnya adalah teman satu kelasnya saat kelas sepuluh.

Pandangan Michael tidak sengaja terarah ke pintu kelasnya, di sana ada Rafi berdiri mengamati lingkungan sekolah dengan khas ke-PD-annya, sambil berkacak pinggang dan sesekali menjahili seorang siswi yang tengah duduk tak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri.

Michael hanya bisa menggeleng kepala, melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak pernah berubah.

Namun, saat pandangan Michael ingin berpaling. Di belakang Rafi muncul perempuan yang beberapa saat tadi ia lihat. Perempuan itu baru saja turun dari tangga dan berbelok ke arah kantin sekolah. Saat ia sedang melihati kepergian Rani. Rafi yang berada di antara pandangannya menoleh ke arahnya.

Desahan sebal muncul dari mulut Michael saat melihat Rafi sudah melangkah mendekatinya.

“Ngapain, bro? Kangen ya sama gue? Sampe segitunya liatin.” Usil Rafi duduk di lantai teras kelas.

Malas menghiraukan ucapan Rafi, Michael mengibas-ibaskan tangannya tanda terserah apa yang sahabatnya itu pikirkan.

***

“Bakso gue nggak pakai bawang, ya.” Seru Rani kepada Kintan. Lalu ia mengitari pandangan mencari tempat kosong di sisi lain kantin yang dipenuhi orang-orang.

Tepat di bawah tangga ia melihat ada tempat kosong, lalu ia langsung menghampiri tempat itu.

“Ini punya gue, yang ini punya lo, nggak pakai bawang, kan?” Masayu datang membawa mangkuk baksonya dan juga milik Rani.

Yes.”

Tak lama Kintan menyusul di belakangnya. “Bete banget deh, gue. Udah di bilang nggak usah pakai mie, eh malah dimasukin.” Gerutunya.

“Ya udah kali, tan. Siniin mie-nya, buat gue aja,” Sambut Rani menggeser mangkuk baksonya.

“Ran, entar hari minggu lo pergi ke rumah Yolanda bareng siapa?” tanya Masayu sambil menyeruput kuah baksonya.

Rani mengedikkan kedua bahunya. “Nggak tau. Bukannya Yolanda bilang ketemuan di rumah Intan dulu, sekalian ngambil bahan-bahannya,”

Masayu hanya ber ‘oh’ ria.

Setelah perut terisi, ketiganya kembali ke kelas untuk menyaksikan perlombaan yang sudah di mulai.

*

Sorak-sorakan ramai terdengar dari masing-masing kelas, upaya menyemangati perwakilan kelas mereka masing-masing. Anak-anak IPS yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, sibuk dengan teriakan dan nyanyian-nyanyian mereka. Hal itu kini terjadi di samping kelas Rani, tepatnya di kelas IPS3. Beberapa siswa-siswa di kelas Rani pun ada yang ikut bergabung di dalamnya. Sebagian kelas IPS2 dan IPS1 yang bertetangga melihatnya hanya bisa menggeleng-geleng kepala.

Namun seolah tidak ingin kalah ramai dengan aksi anak IPS, gedung IPA pun semakin mengencangkan teriakan-teriakan mendukung mereka. Seolah kedua kubu itu saling memberikan efek setiap kali menyuarakan suaranya masing-masing.

Di lain pihak, siswa-siswi tingkat sepuluh dan sebelas hanya bisa menyaksikan senior-senior mereka dari kelas masing-masing, seolah mereka mengalah dengan keramaian yang tengah terjadi.

“Nggak ada malu-malunya anak IPS.” Sembur Masayu melihat kekacauan siswa-siswa IPS3.

“Buat kenang-kenangan, Mas.” potong Rani.

“Liat tuh, padahal Pak Daud udah melirik, masih aja nggak habis-habis.” Sambung Ulan mengamati guru Geografi di bawah sana.

Tidak ada yang menyahuti perkataan Ulan baru saja. Mereka kembali sibuk menyaksikan perlombaan yang tengah terjadi.

Namun tiba-tiba Rani mendapatkan pesan di ponselnya, dari Sisi.

Ran, kenapa nggak ke kelas?

–yulinar-

Sebelah alis Rani terangkat membaca isinya. Tertera kontak nama Sisi di sana namun isinya dari Yulinar. Rani tersenyum melihati pesan itu.

Lalu ia mencolek pundak Kintan.

“Ke kelas Sisi, yuk.”

Kintan pun mengangguk.

Setelah sampai di lantai satu dengan kesusahan saat melewati kelas IPS3, keduanya menemukan ketiga sahabatnya yang lain tengah duduk di teras kelas sambil menyaksikan lomba di hadapan mereka.

Rani dan Kintan pun ikut bergabung.

Saat Rani dan Kintan melewati IPS6 terlebih dahulu. Michael yang masih duduk di tempatnya tidak sengaja melihat Rani melewatinya. Pandangannya pun langsung mengamati perempuan itu hingga perempuan itu bergabung dengan teman-temannya.

Ada guratan senyum di wajahnya. Hal itu ternyata berhasil terlihat di pandangan Rafi di samping Michael.

“Cie… Michael naksir cewek. Cie…” jahil Rafi sambil menunjuk-nunjuk pipi Michael.

Michael menghela napas kesal. “Berisik lo.” Sembur Michael.

Tiba-tiba Fio datang membuat Michael dan Rafi mendongak.

“Eh, Fio. Ada apa? Mau ngomong sama aku ya?” ujar Rafi dengan logat aku-kamu kepada Fio.

Mulai deh, batin Michael.

Fio yang mendengarnya hanya mendengus, tidak peduli.

“Gue tadi denger lo bilang Michael naksir cewek? Siapa, Raf?” bisik Fio sedikit merunduk.

Michael memutar matanya sebal.

“Itu cewek yang tadi ngib—” ucapan Rafi terpotong karena Michael sudah membekap mulut laki-laki itu.

“Nggak usah dengerin omongan Rafi. Lagi nggak enak badan, ini anak.” Ujar Michael masih membekap Rafi.

Sesaat terdiam, akhirnya Fio berlalu pergi meninggalkan keduanya. Setelah itu Michael melepaskan tangannya dari mulut Rafi.

“Bahhh…” Rafi terengah-engah. “Gila lo ya, Mic. Mau ngebunuh gue ya lo? Nggak kayak gitu juga kali, bro. Tinggal bilang, kalau lo mau bunuh gue, entar gue ambilin pisau.” Omel Rafi keras.

“Ya, lo juga. Mulut kok ember banget.” Sahut Michael.

“Kan, bener gue. Fio nanya siapa cewek yang lagi lo taksir? Ya udah gue jawab. Yang mana coba yang embernya?”

Michael mengernyit, “Kan, lo tau, Fio mulutnya kayak mana. Gue males berhubungan sama itu cewek. Yang ada entar gue kelewat emosi sama dia.”

Rafi mencibir, “Oh… berarti bener dong, yang barusan gue bilang.”

Michael langsung menoleh kepada Rafi dengan kaget.

“Udah deh, nggak usah ditutup-tutupin. Gue tau, lo baru aja liatin Rani, kan?” terang Rafi menunjuk Rani yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Ye… nggak usah ditunjuk juga kali.” Michael menurunkan jari Rafi.

Rafi ingin tertawa rasanya melihat teman sebangkunya tengah jatuh hati dengan seseorang. Sekarang ia hanya bisa menahan tawanya, saat ia tak sengaja menangkap gurat tersipu dari wajah Michael.

“Mau gue bantuin nggak?” usulnya.

Michael menggeleng kepala, “Nggak. Gue nggak mau dengerin usulan lo. Yang ada entar lo yang tebar pesona.”

Rafi tersenyum jahil, ia meraih kedua tangan Michael. “Serius nggak mau? Kesempatan langkah ini, dibantuin oleh Rafid Alamsyah.” Serunya masih memegang tangan Michael.

Michael membulatkan kedua matanya, “Ih… apaan sih, Raf? Geli gue liat lo,” Gerutu Michael lalu pergi meninggalkan Rafi.

“Woy… tungguin gue.” Jerit Rafi.

*

Jeritan itu terdengar di telinga Rani yang tidak jauh dari sana. Ia sekilas melirik seorang siswa tengah berlari mengejar temannya yang berada di depan. Lalu ia kembali berpaling kepada teman-temannya.

Sedari tadi Rani merasa ada seseorang yang membicarakannya. Namun, ketika pandangannya menyisir ke segala arah tak ada satu pun yang ia temukan tengah memandanginya ataupun menatapnya.

“Eh, entar liat Sisi bareng Miranda ikut lomba bakiak!” seru Yulinar.

Kintan dan Rani mendongak, “Wih… tumben ikut lomba. Biasanya jadi pemandu sorak.” Kata Rani.

“Tadi Miranda maksain ikut. Nama gue juga udah ditulis di pendaftaran bareng yang lain.” Terang Sisi.

“Lo ikut?” tanya Kintan menunjuk Wulan.

Wulan mengangguk sambil tersenyum menunjukkan kedua lesung pipinya.

Lalu mereka kembali sibuk bersorak-sorak ramai ke arah lapangan, menyemangati perwakilan kelas masing-masing.

***

 

DayNight
DayNight