“Apa kamu yakin, Dik dengan keputusan itu?” Surya menatap Lastri dengan raut wajah memerah menahan rasa yang juga mengilatkan pengharapan.
Terlihat Lastri memeluk lututnya dengan menghela napas. Tatapannya tampak kosong ke arah sawah-sawah yang masih menghijau di depan mata.
“Ya, aku yakin, Mas Sur.” Lastri menunduk hingga wajahnya tak terlihat lagi, tertutup kedua lengannya yang memeluk lutut. Perempuan itu menangis.
Napas Surya pendek-pendek. Hatinya seperti dicabut paksa dari tempatnya mendengar keputusan kekasihnya itu. Lebih dari itu, hal paling menyakitkan saat ini adalah melihat Lastri menangis. Surya tahu jika sebenarnya Lastri pun terpaksa menyetujui permintaan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di luar kota, meski itu cita-cita Lastri sendiri.
“Mungkin ini memang belum waktunya, Dik.” Surya berkata menguatkan hati.
Tangis Lastri semakin menjadi-jadi.
“Kau tahu aku masih harus menjadikan diriku lelaki yang layak menikahimu. Aku masih harus berjuang agar bisa lebih siap menghidupimu nanti, Dik.”
Lastri mengangkat kepala dengan wajahnya yang penuh air mata.
“Meskipun Mas Sur sadar jika keputusan Bapak sebenarnya adalah untuk memisahkan kita? Bagaimana jika ternyata aku di kota seberang dikawinkan dengan lelaki lain?” Lastri berseru hingga dadanya kembang kempis menahan tangis.
Perempuan itu sungguh berharap jika Surya akan bersikukuh menahan dirinya dengan menghadap sang ayah dan memohonkan Lastri agar tidak pergi. Namun, siapa tidak kenal Purwadi, bapaknya. Tak ada yang berani melawan, bahkan jika seseorang itu berniat baik untuk membetulkan kumisnya yang miring.
Surya menggeleng. “Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi,” sergahnya lantang. “Izinkan Mas untuk bekerja lebih keras lagi dan kau selesaikanlah pendidikanmu. Kita akan bertemu lagi di waktu yang lebih baik dari ini.” Surya memasang senyum menghibur meski itu tak membantu Lastri sama sekali. Sebelah lengannya tampak merangkul perempuan itu.
Lastri tak bisa berkata-kata. Ia turut merangkulkan tangannya ke punggung Surya. Ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum kepergian Lastri.
***
Purwadi membenarkan letak kacamata di atas hidung saat diketahuinya Lastri memasuki rumah. Hari menginjak petang. Purwadi tahu pasti dengan melirik sekilas wajah anak perempuannya yang sembap jika pastilah Lastri baru saja bertemu dengan bocah laki-laki itu. Tak perlu bertanya, Purwadi sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan ketika bertemu tadi.
Senyum terkembang di bibir Purwadi. Surya dan Lastri terlalu polos untuk bisa mengetahui rencana liciknya yang sesungguhnya. Sepertinya, rencananya kali ini akan berhasil.
***
Pagi buta Surya dikagetkan oleh suara deru kendaraan roda empat yang tak berhenti melintas di depan rumah. Siapa lagi pemilik suara mobil di desanya ini jika bukan Purwadi bapaknya Lastri. Dia satu-satunya tuan tanah dengan begitu banyak kekayaan yang tenar di seantero kabupaten.
Dada Surya bergetar, tenggorokannya serasa tercekik dengan gemuruh emosi yang mendadak meluapi tubuhnya.
Lastri diberangkatkan pagi ini juga ….
Bergegas Surya berlari keluar rumah. Ia melihat sosok Jono yang tengah berdiri di sisi jalan sembari tangannya bergerak lincah memberi aba-aba kepada para supir mobil yang melintas untuk terus melaju.
Ada lima mobil yang melintas. Entah Lastri berada di mobil yang mana. Pandangan Surya tak berkedip mengantarkan kepergian mobil-mobil itu hingga tak tampak lagi terhalangi debu jalanan.
“Surya!” Jono menghampiri. Lelaki itu tahu persis apa makna tatapan sendu yang ditampakkan Surya tanpa tahu malu itu.
“Lastri dibawa ke mana?” Dengan cepat Surya bertanya.
“Bandung, Sur. Juragan ingin Lastri belajar teknik, biar jadi insinyur,” jawab lelaki berkulit sawo matang itu dengan mata memicing. “Apa rencanamu, Sur?”
Surya seperti baru saja diguyur air sejuk dari langit. Tatapan sayunya berubah cerah seketika dan tatapan matanya kembali ke ujung jalan. “Aku akan menyusulnya.” Surya mengangguk-angguk mendengar kalimatnya sendiri. Lelaki itu lantas berlari masuk kembali ke dalam rumah.
“Oi, Surya! Memangnya kau sudah punya bekal?” Jono berseru dari teras rumah. Suaranya nyaring mengalahkan ayam jantan yang berkokok di berbagai sudut kampung.
“Belumlah. Nanti kujual kambing Bapak buat ongkos naik bus.” Surya berkelakar sambil terbahak dari dalam rumah.
“Dasar bocah malas! Ngarit sana! Cinta wae kauurusi. Memangnya istrimu nanti mau kaukasih makan rumput.” Bapak Surya turut menyahut sembari menyabet sarung yang dipegangnya ke punggung Surya dengan gerakan jenaka, membuat Surya dan Jono tertawa.
Surya melangkah cepat ke dalam kamar, mengambil topi lantas melangkah ke belakang rumah bersiap merumput, menyapa ibunya yang sedang sibuk memasak di tungku.
Senyum lelaki itu tampak yakin dengan semangat yang menyala di kedua matanya.
Dia akan mengumpulkan uang untuk menyusul Lastri!
***
Lastri duduk di salah satu sisi kabin penumpang. Mobil Landcruiser J80 milik bapaknya melaju tenang di jalanan berdebu. Sepanjang perjalanan itu, Lastri hanya menatap kosong pada pemandangan sepanjang perjalanan. Sesekali perempuan itu tampak tertidur tanpa sadar, lalu terbangun lagi dengan kening berkerut, seolah tak sabar ingin segera tiba di tujuan. Lebih tepatnya, ia bosan dan duduk termenung seperti itu hanya membuatnya mengingat Surya.
“Mbak Lastri.” Sang supir menyapa sembari memiringkan badannya sedikit ketika mobil berhenti di lampu merah. Suara cempreng pengamen dengan genjrang-genjreng alat musik mini mulai riuh memadati jalan. Lastri sekilas mengamati beberapa pengamen yang mulai mendekat sebelum membalas sapaan supirnya. “Masih berapa jam lagi kira-kira perjalannya?”
“Sudah dekat, Mbak. Mbak Lastri mau saya berhenti dulu di tempat istirahat? Atau langsung melanjutkan perjalanan?” tawarnya sembari melirik ke sisi lain kabin penumpang di mana rantang makanan yang dibawakan Pak Purwadi sama sekali tak tersentuh.
Lelaki paruh baya itu menghela napas pelan lantas mengangguk patuh, duduk tegak kembali dengan tangan kirinya memainkan kopling. Mobil kembali melaju meninggalkan matahari yang kian tumbang ke barat.
Angin mulai bertiup sepoi-sepoi menciumi kulit. Kendaraan itu melesat dengan kecepatan rata-rata. Kemacetan di beberapa titik membuat perjalanan mereka harus terlambat hingga berjam-jam lamanya, terimpit kendaraan-kendaraan besar yang membuat Lastri harus menahan kuat keinginannya untuk meloncat dari jendela mobil dan kabur.
Lastri tidak tahu di kota ini ia akan tinggal di mana. Kata-kata bapaknya yang sungguh manis nan menjengkelkan itu membuatnya tak bisa apa-apa lagi selain menurut. Purwadi berkata jika ia telah mengatur semua yang terbaik untuk Lastri. Perempuan itu hanya perlu mengikuti arahan Danang, ajudan serta supirnya saat ini.
Jalanan lebar dengan pohon-pohon mahoni nan rindang tampak menyambut. Jantung Lastri berdebar kencang tetapi wajahnya kali ini tak sedikitpun menampakkan kegundahan. Danang memelankan laju kendaraannya ketika perlahan mereka memasuki area perumahan dengan rumah-rumah bergaya klasik modern.
Perempuan itu mengamati sepanjang sisi perumahan dengan kening berkerut mengingat-ingat. Sepertinya ini bukan dejavu karena Lastri memang tahu dan pernah berkunjung ke tempat ini di masa kecilnya. Entah bagaimana bulu kuduknya tiba-tiba meremang dan sontak duduknya berubah tegak tepat saat mobil yang ditumpanginya berhenti.
Danang keluar dari kursi kemudi dan berjalan membukakan pintu untuk Lastri. Perempuan itu tak membuang waktu lagi dan bersegera keluar. Sebelum ia terkejut oleh kebenaran ingatan lampaunya tentang tempat itu, hal pertama yang membuat ia ternganga dan jantungnya seolah jatuh dari rongganya adalah lelaki yang berdiri di depannya.
Lelaki yang sejak pagi tadi mengantarnya sejauh ini bukanlah Danang, putra ajudan ayahnya, melainkan Irawan, putra rekan ayahnya yang sering disebut-sebut oleh ayahnya itu sebagai calon suami terbaik untuk Lastri.
Lastri mengepalkan tangannya erat.
Irawan menengok sisi kiri sejenak ke arah rumahnya yang mentereng dan mengembuskan napas penuh kelegaan menyebalkan di mata Lastri. “Selamat datang di rumah, Dik Lastri,” sapanya.
Napas Lastri memburu, terlebih ketika kedua matanya membaca tanpa sengaja tulisan berwarna perak yang berada di belakang Irawan. Regency 21, Surabaya.
***
Beberapa tahun berlalu ….
Surya membolak-balik amplop surat di tangannya sembari menimbang-nimbang. Ini adalah surat keempat yang akan dikirimkannya kepada Lastri, tetapi urung. Surya mengembuskan napas panjangnya dengan wajah masam. Kekasihnya itu tak pernah membalas surat-suratnya selama ini. Padahal berkali-kali sebelum Surya mengirim surat, Surya selalu mengecek betul-betul alamat tujuan suratnya melalui buku-buku alamat yang tak bosan ia beli di pasar loak.
Surya mendadak menjadi manusia yang gemar membaca demi mencari-cari informasi tentang kota tujuan Lastri yang juga akan menjadi tujuan perginya kelak. Bandung. Sesekali Surya pergi ke kota sebelah dengan merelakan sebagian uang sakunya untuk pergi ke warung-warung internet dan menghubungi teman-teman sekampungnya yang tinggal di kota itu.
Kali ini, dengan bekal yang dirasa cukup, Surya memutuskan untuk pergi merantau, mencari penghidupan yang lebih layak serta memastikan sendiri bagaimana keadaan Lastri di luar kota.
“Surya.” Sang Ibu memanggil. Surya yang telah berpakaian rapi dengan celana gombroh dan kemeja rayonnya itu menoleh dan tersenyum. Satu tas ransel penuh berisi pakaian serta sekardus kecil bekal yang disiapkan ibunya telah siap ia bawa. Surya memasukkan surat yang ditulisnya itu ke dalam tas, lalu berdiri menghadap ibunya.
Sang ibu tampak berusaha keras menguatkan hatinya saat berbicara kemudian, “Jaga dirimu baik-baik. Niatkan semua yang kaulakukan ini untuk sesuatu yang baik,” pesannya sambil menepuk-nepuk lengan Surya.
“Iya, Bu,” jawab Surya mantap diikuti tangan kanannya yang menggapai tangan sang ibu lantas menciumnya. “Surya berangkat,” pamitnya lalu pergi ke arah sang bapak dan membisikkan kalimat berpamitannya yang sama.
“Bekerjalah dengan baik. Lakukan hanya hal-hal baik, Sur, maka kebaikan juga yang akan datang kepadamu,” pesan sang bapak saat Surya menciumi tangannya.
Surya mengangguk pasti dengan keyakinan yang tampak cerah di wajahnya lalu berjalan menghampiri mobil pikap milik tetangganya. Surya akan menumpang sampai terminal bus. Tak hanya orangtuanya saja yang mengantar kepergian Surya, para tetangga turut berdiri berjajar di depan rumahnya dengan mata berkaca-kaca.
Hari itu tibalah Surya merantau berniat menyusul cintanya.
***
Petugas pos itu turut tersenyum kecut saat melihat ekspresi Lastri yang tampak kecewa. Perempuan itu telah pergi ke kantor pos tiga kali dalam seminggu ini dan tak mendapatkan apa pun. Lastri mengeyel dan terus menanyakan jika barangkali ada surat untuknya yang terselip atau lupa terbawa oleh kurir pos. Namun sekali lagi, petugas pos itu menggeleng. Semua surat sudah dikirim ke tujuan dan tak ada satu pun surat untuk Lastri. Lastri bersikukuh. Apakah jangan-jangan suratnya tidak sampai di tempat tujuan. Petugas pos dengan tetap berusaha menahan kesabaran menjelaskan kembali jika ada surat yang tak sampai tujuan, maka surat itu akan kembali ke kantor pos ini, tetapi nihil.
“Saya yang akan mengantar sendiri jika suatu saat nanti ada surat untuk Mbak Lastri.” Petugas itu menatap wajah manis Lastri dengan kalimatnya yang meyakinkan. Berharap urusan ini segera selesai.
Terlihat Lastri mendesah dan mengangguk pasrah. “Baiklah, Pak. Saya permisi,” tuturnya kemudian diiringi langkah kakinya yang lesu keluar kantor pos.
“Pacarmu itu tahu tidak kalau kau pergi ke Surabaya?” Ajeng, teman kuliah Lastri bertanya. Kali ini mereka terduduk di bangku panjang di bawah pohon Linden.
“Pak! Dawet ayunya dua ya.” Ajeng berseru. Dari tempat yang tak begitu jauh, penjual dawet ayu itu mengacungkan jempol dan segera membuatkan pesanan.
Panas terik. Awan mendung mulai menyelimuti langit Surabaya.
“Aku yakin dia tahu,” jawab Lastri dengan pandangan menerawang. “Mas Surya orang yang suka menepati janji. Aku percaya dia saat ini pasti sedang berusaha entah bagaimana caranya untuk menemuiku.”
“Irawan? Dia juga lelaki baik. Malah di depan mata. Tidak membuatmu menunggu dan sengsara seperti ini. Hei, jangan sampai koe mburu uceng kelangan deleg.” Ajeng bersedekap.
Kurang baik apa Irawan sebenarnya. Lelaki itu dengan sabar membiarkan rumahnya menjadi tempat tinggal Lastri selama di Surabaya. Menyediakan apa pun yang Lastri butuhkan tanpa diminta dan yang pasti, Irawan adalah sebenar-benarnya calon suami idaman di mata Ajeng.
Lastri menoleh cepat. Biasanya, jika sampai Ajeng mengeluarkan kata koe, Ajeng benar-benar sedang kesal.
“Esnya, Mbak.” Sang penjual membawa nampan mengantar es, meredam sejenak obrolan Lastri dan Ajeng.
“Irawan tidak bisa dibandingkan dengan Mas Surya, Jeng. Ini soal komitmen. Bahwa aku dan Mas Surya akan menyelesaikan urusan kami terlebih dahulu sebelum pergi ke jenjang lebih jauh. Kamu tidak paham, lantas dari mana kamu bisa membandingkan mutiara dengan batu kerikil?” Lastri mengotot, membuat Ajeng menelan ludah.
***
“Surabaya katamu?” Surya menggeram. Wajahnya memerah. Dadanya kembang kempis bersiap memuntahkan seluruh emosi. Namun, ternyata tidak. Surya justru membungkukkan tubuh dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perasaannya campur aduk membuatnya hampir menangis.
Ia baru saja tiba di Bandung pukul tiga dini hari tadi dan langsung datang ke tempat Kusno, teman sekolah menengah pertamanya dulu yang kini telah pindah ke kota ini. Begitu beberapa hari lalu Surya mengabari jika hari itu ia akan tiba, Benu, teman yang selama ini berkomunikasi dengannya melalui telepon pun menginap di rumah Kusno, bermaksud menyambut kedatangan Surya.
“Bagaimana bisa kau tidak tahu, Sur? Kukira kau bersemangat datang kemari karena betul-betul ingin menemuiku dan bekerja di sini. Aku tak sampai hati membahas soal Lastri karena aku tahu kau pasti sedih. Kupikir kau kemari karena ingin menyembuhkan patah hatimu. Tapi ternyata ….” Benu tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Temannya ini telah tertipu. Apakah Purwadi benar-benar telah merencanakan skenario ini untuk menjebak dan menjauhkan Surya dari Lastri?
Kusno yang hanya menyimak pembicaraan pun turut menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan ekspresi sama marahnya yang tak habis pikir.
Surya mengusap wajah. Tatapannya tertuju pada pintu ruang tamu milik Kusno yang masih terbuka. Menampakkan pemandangan pagi kota Bandung yang ramai oleh hilir mudik orang-orang yang hendak berdagang.
Surabaya. Perasaan Surya hancur saat hatinya berkali-kali menyebut nama kota itu, seolah-olah selain jarak tempat ini ke kota Lastri yang begitu jauh, Lastri terasa kian tak tergapai.
Aduhai, apakah Lastri masih menantinya di sana? Ataukah jangan-jangan perempuan itu telah dipinang dan menikah dengan lelaki lain?
Surya menunduk putus asa bercampur rindu yang membuat dadanya sesak.
***
Irawan menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo.”
“Ha, Irawan. Calon mantu terbaik. Bagaimana kabar Surabaya?” Purwadi menyapa dengan aksen suaranya yang serak.
“Tak begitu baik, Pak Pur. Harus sampai kapan saya menunggu? Lastri masih saja keras kepala. Pak Pur tentu ingat dengan perjanjian itu, bukan?”
Purwadi terdiam sejenak. “Sepertinya aku harus betul-betul menjalankan rencana ketiga,” ujarnya parau.
“Apa itu?” Irawan mengerutkan kening ingin tahu.
“Menghabisi anak tengik itu.” Purwadi menjawab dengan wajah beringasnya yang keriput.
Tampak Irawan menyeringai. Kedua matanya menyipit dan sebelah lengannya mengetuk-ngetuk meja.
“Surya sudah berangkat ke Bandung. Nanti biar orang-orangku yang mengeksekusi,” ujar lelaki tua itu.
“Tidak perlu. Biar aku saja, Pak Pur. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana bocah itu tersungkur tak berdaya sambil memohon-mohon ampunanku,” kelakar Irawan diikuti tawanya yang menyeramkan.
Purwadi di seberang telepon turut tertawa.
***
Seperti pesan ibu bapaknya, meski keadaan Surya kala itu sangat memprihatinkan, Surya tetap memaksakan diri untuk berangkat bekerja. Dia yakin jika niatnya baik, maka ia akan mendapat jalan keluar. Maka, dengan terseok-seok, Surya menguatkan diri untuk tetap menjalani harinya seperti biasa. Beruntung ia memiliki teman-teman baik yang mau menampungnya tinggal untuk sementara waktu dan memberinya pekerjaan. Bekal Surya sudah habis. Mau tak mau, ia harus berjuang kembali, apalagi, perjalanan Bandung-Surabaya membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Waktu beranjak siang, Surya berjalan gontai hendak kembali ke toko tempatnya bekerja setelah mengantar berkardus-kardus pesanan pelanggan. Benu menawarinya sepeda, tetapi Surya menolak. Sudah baik Benu mengizinkannya bekerja di toko kelontong miliknya, Surya tak mau kian merepotkan.
Beberapa meter sebelum tiba di pintu gang, mendadak dari arah belakang ada seseorang yang menutup mulutnya dengan kacu, tubuhnya diseret dengan kedua tangannya disatukan di belakang badan. Surya yang tak siap akhirnya kalah. Orang-orang tak dikenal membawanya ke sebuah rumah tak berpenghuni, menghajarnya habis-habisan, memukulinya tak kenal ampun sampai pada titik kesadaran Surya yang mulai menipis lalu hilang ditelan kesakitan tak tertahan.
***
Lastri menangis tersedu-sedu di sudut kamarnya yang remang. Perasaannya hancur berantakan. Petugas pos yang biasa dititipinya surat itu mendadak datang ke kampusnya, memberinya informasi mengejutkan.
Surat-surat yang dikirim Lastri kepada lelaki bernama Surya Darmadi itu sesungguhnya tak pernah ia kirimkan. Ia diancam oleh Irawan agar mau menuruti perintahnya untuk memberikan surat-surat itu kepadanya. Tempo hari, saat ia berkunjung ke kantor tempat Irawan bekerja, ia tak sengaja mendengar pembicaraan Irawan dengan seseorang melalui telepon bahwa Irawan dan orang itu sedang merencanakan sesuatu yang buruk kepada seseorang. Petugas pos itu berkata bahwa percakapan telepon berakhir dengan kalimat Irawan akan pergi Bandung.
Sudah sejak bertahun-tahun lalu petugas pos itu sesungguhnya memendam rasa bersalah dan tak tega tiap kali melihat Lastri terpuruk bahkan marah-marah karena rasa tak percayanya kepada kantor pos yang tak beralasan. Namun kini, ia sudah tak tahan lagi. Biarlah ia dipecat dari pekerjaannya asal ia telah melakukan hal yang benar.
Lastri termangu pucat pada awalnya, hingga setelah petugas pos itu pergi, Lastri tak bisa lagi menahan tangisnya yang tak terbendung.
“Mas Surya ….”
***
Surya dibawa ke rumah sakit terdekat oleh Benu dan Kusno. Beruntung seorang anak jalanan yang sering mengamen ke toko Benu itu hapal wajah Surya, sehingga ketika ia berteduh dari hujan lebat di rumah kosong itu dan melihat ada manusia bersimbah darah tak sadarkan diri, ia langsung berlari tunggang langgang menuju ke toko tempat Surya bekerja untuk mencari pertolongan.
Tulang iga Surya patah beberapa, dadanya tersayat senjata tajam hingga tembus ke paru-paru, kepalanya bocor, belum lagi seluruh tubuhnya yang lebam terkena pukulan. Hingga beberapa hari dirawat, Surya belum juga menampakkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Napasnya begitu lemah dibantu oksigen.
Benu menunduk dengan wajah memerah. Hatinya terenyuh menyaksikan bagaimana nelangsanya Surya. Ia telah duduk di kursi dalam ruang perawatan itu dua jam lamanya. Tadi siang, ia telah mendatangi kantor polisi dan sampai saat ini ia belum menerima kabar apa pun. Informasi sementara, pelaku kemungkinan adalah gerombolan berandal kota yang sering meminta uang kepada korbannya dan mengancam tindak kekerasan jika tak dituruti.
Sebagai teman baik, Benu berjanji akan membantu temannya itu sampai sembuh benar dan siap bekerja lagi, kalau perlu, ia akan menjebloskan ke penjara, siapa saja pelaku yang telah melukai temannya hingga seperti ini.
Lamunan Benu pecah saat Kusno memasuki ruangan.
***
Lastri terlihat panik. Berkali-kali ia melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Ini adalah hari keempat sejak ia menerima kabar dari petugas pos itu. Lastri memutuskan untuk pergi menyusul Surya ke Bandung. Ajeng memaksa mendampingi Lastri pergi. Maka saat ini, setelah menghubungi Danang dan mencercanya habis-habisan, Danang akhirnya mau memberi tahu di mana Surya berada. Sebagai tangan kanan Darmadi yang memata-matai gerak-gerik Surya, Danang tahu semuanya.
Mobil angkutan yang ditumpangi Lastri terasa lambat. Supir berkata bahwa ia terbiasa menunggu ibu-ibu pulang dari pasar dan akan berhenti sebentar di sisi gerbang pasar. Lastri hampir-hampir meledak marah. Ajeng memutuskan mengajak Lastri turun dan berganti kendaraan. Setelah berdebat, akhirnya mereka menaiki ojek hingga tiba di depan sebuah toko.
“Terima kasih, Pak.” Lastri memberikan sejumlah uang kepada pengendara ojek, begitu juga Ajeng.
Tubuh lelah setelah menempuh perjalanan hampir semalaman dan sepagian ini tak mereka rasakan. Sebelum memastikan jika mereka berada di tempat yang tepat, hujan deras mendadak turun membuat Lastri dan Ajeng berlari-lari kecil mencari tempat berteduh.
Kening Lastri berkerut ketika menoleh ke arah kiri dan kanan di mana toko kelontong tujuan mereka ternyata tertutup rapat begitu juga toko-toko lainnya di sekitar tempat itu. Menyisakan pemandangan kosong dengan hati Lastri yang berkecamuk.
Ajeng menoleh. “Kita mencari tempat tinggal dulu saja, Lastri.” Ajeng memberi saran. Lastri mengangguk.
“Mbak.” Suara seorang anak lelaki kecil mengalihkan perhatian keduanya. Tampak seorang anak berumur sekitar delapan tahun dengan pakaian kumal menyapa. “Mbak mau beli di toko ini, ya? Baru aja tutup,” celotehnya.
Lastri tersenyum simpul, menoleh ke arah Ajeng dengan pengertian yang sama. Anak ini adalah petunjuk.
Lastri mengangguk. “Iya. Adik tahu pemilik toko ini siapa?”
“Tahu, dong. Aku hapal semua orang di kawasan ini, Mbak.”
Mata Lastri berbinar. Belum sempat bertanya, anak itu sudah berceloteh lagi, “Pemilik toko ini namanya Mas Benu, pegawainya ada banyak. Ada Mbak Lusi, Mbak Resmi, Mas Bujang, Mas Surya-“
“Mas Surya.” Lastri berjongkok sembari mengusap kedua lengan anak lelaki kecil itu. “Kamu tahu di mana dia tinggal?” napas Lastri memburu, tak sabar bertanya.
“Mas Surya kata Mas Benu sekarang tinggal di rumah sakit, Mbak. Mas Surya keluar darahnya banyak tuh di rumah kosong.” Kepala bocah itu mengedik, menunjuk arah ketika dia menemukan Surya bersimbah darah.
“Rumah sakit apa namanya, Dik?” Ajeng turut bertanya.
Anak kecil itu menggeleng. “Mas Benu yang tahu.”
“Oke. Oke. Terima kasih.” Dengan tergopoh-gopoh Lastri merogoh sakunya dan memberi anak kecil itu uang, lantas berlari disusul Ajeng yang berteriak-teriak memanggilnya.
“Kita ke rumah sakit terdekat terlebih dulu.” Lastri memutuskan diikuti suara nyaringnya saat memberhentikan mobil angkot yang hendak lewat. Ajeng tak bisa apa-apa lagi selain mengiyakan dan mengikuti apa pun keputusan Lastri.
Hujan sepertinya belum ingin mereda dan Lastri tak peduli lagi. Dia sudah kian dekat dan tak ingin kehilangan kesempatan. Lastri menggigit bibir, berharap tak ada sesuatu pun yang mengkhawatirkan dari keadaan Surya.
Ajeng tak henti-henti mengusap lengan Lastri untuk menenangkan. Ia sungguh belum pernah bertemu dengan lelaki bernama Surya itu sebelumnya, tetapi melihat bagaimana Lastri begitu kacau dan kalang kabut mendengar berita buruk ini, sepertinya Ajeng tak bisa menganggap remeh lelaki itu.
Surya pastilah lelaki istimewa.
***
Nasib mempertemukan kembali Lastri dan Surya. Perempuan itu berusaha tenang dan mengusap air mata yang makin deras mengaliri pipi tirusnya. Tubuhnya hampir roboh kalau-kalau Ajeng tak menjaganya.
Surya tampak bukan Surya saat ini. Hampir-hampir Lastri mengelak jika laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri di depannya ini adalah kekasihnya. Kepalanya tertutup perban, separuh lebih wajahnya tertutup ventilator, seluruh tubuhnya tampak pasrah dengan selang infus serta beberapa baret luka yang menyayat kulitnya.
Perlahan Lastri berjalan mendekat, menguatkan diri. Benu berdiri di sisi lain ranjang, tak kuasa turut menitikkan air mata antara terenyuh sekaligus tersentuh melihat Lastri datang dengan sekujur tubuh penuh basah air hujan, mendatangi kekasihnya yang sedang sekarat.
Benu telah menceritakan semuanya. Lima hari ini Surya tak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Kening Lastri mengernyit. Kali ini, tubuhnya benar-benar kalah. Perempuan itu jatuh tersungkur dari kursi di sisi ranjang perawatan Surya membuat Ajeng dan Benu terkejut bukan main. Ajeng berusaha memapah temannya itu sementara Benu berlari memanggil perawat.
Dari semua kejadian mengejutkan yang tak dinyana akan terjadi hari itu, hal paling mengejutkan dari semuanya adalah ketika tiba-tiba saja Surya terbatuk-batuk dengan napasnya yang tersengal mengeluarkan cipratan darah dari mulut dan hidungnya.
Situasi mendadak tegang dengan datangnya beberapa perawat yang memeriksa Surya serta memberi pertolongan kepada Lastri yang tak sadarkan diri. Tubuh Ajeng turut bergetar, begitu juga Benu yang berdiri kaku dengan mata berkaca-kaca dan jantung yang seolah diremas melihat pemandangan memilukan di depan matanya itu.
***
Keadaan genting terjadi di rumah Irawan. Sudah sejak kemarin pagi ia tak melihat Lastri keluar rumah, rekan-rekannya di kampus juga berkata bahwa Lastri absen, begitu juga Ajeng, teman dekatnya.
Ke mana perempuan itu?
Irawan menggebrak meja penuh amarah. Semua anak buahnya tak ada satu pun yang terlepas dari kemarahan lelaki itu. Tak ada yang mengetahui di mana Lastri berada. Sepertinya perempuan itu mencari kesempatan pergi di saat semuanya sedang lengah.
Irawan memejamkan mata, berusaha menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Ia merasa bersalah dan tak berani menghubungi Purwadi, hanya hatinya yang terus bertanya-tanya, Apakah perempuan itu nekat pulang ke Yogyakarta?
***
Surya masih tak berhenti terbatuk-batuk hingga beberapa hari kemudian. Dokter berkata jika itu adalah proses pembersihan darah yang masuk ke paru-paru. Lastri dan yang lainnya memakluminya meski terasa ngeri. Tak tega rasanya melihat Surya kesulitan bernapas.
“Dik Lastri.” Surya berkata serak.
Lastri tersenyum kecil. “Ya. Mas Sur,” jawabnya sembari menggapai sebelah tangan Surya.
“Aku tak pernah menyesal atas apa pun. Kau jangan pernah merasa bersalah karena ini bukan salahmu.” Surya memandang Lastri dengan mata berkaca-kaca.
“Seharusnya aku tidak pergi.” Lastri berucap sengau. “Aku tak akan pergi lagi setelah ini, Mas. Aku berjanji. Aku akan menemani Mas Surya sampai sembuh,” janjinya dengan wajah kuyu.
Surya memejamkan mata. “Ah, sungguh saat ini aku merasa sangat sehat dan damai, Dik,” ucapnya dengan ekspresi berseri-seri meski wajahnya pucat seperti mayat. “Ternyata, obat yang mujarab itu engkau,” imbuhnya lagi.
Wajah Lastri memerah. Senyumnya tampak malu-malu. “Karena memang Mas harus sehat. Aku tak peduli keadaan Mas Surya seperti apa pun, Mas selalu layak untuk Lastri.”
“Astaga, Dik. Jantung Mas berdesir seperti mau copot mendengar ucapanmu.” Surya berpura-pura memegang dadanya erat sembari tersenyum penuh cinta ke arah Lastri. “Mas berjanji, hari Mas pulang dari rumah sakit ini adalah hari pernikahan kita. Mas akan mengurus semuanya secepat mungkin.”
Lastri terbelalak. Benu dan Kusno yang sedari tadi menulikan telinga atas percakapan Lastri dan Surya itu menoleh bersamaan dan bersorak.
“Siapa dulu yang mengompori?” Benu bersedekap.
“Hus!” Surya mengepalkan tangan erat-erat. Wajah pucatnya bersemu.
Lastri menutup mulutnya menahan senyum, Benu dan Kusno saling pukul menyalahkan dengan nada bercanda lantas tertawa meski dalam hati mereka terharu. Teman mereka yang paling malang akhirnya bahagia.
Lastri menggenggam rapat tangan Surya, tak ingin berpisah lagi.
TAMAT
*Koe : kamu (aksen kasar untuk menyebut lawan bicara dalam bahasa Jawa)
*Mburu uceng kelangan deleg : (peribahasa Jawa) artinya : memburu sesuatu yang kecil hingga kehilangan hal besar
Fuck “di jahati balas dendam”
My all Javanese homies use
“Wong asor ora bakal dlosor , wong sabar rejekine jembar”
But we use ” Gusti Allah mboten sare or titenono “
Bagus ka Bin cerpennya. ❤
Ceritanya sederhana tapi bagus 👍👍 romannya dapet , konflik nya juga dapet .
Baca cerpen nya bin bin ini berasa kembali jaman baca cerpen di Mading ato perpus sekolah.
Makasih dah baca @nike @selinokt18
Ngerasa kayak baca majalah jaman SMA
Berasa balik ke jaman sekolah