Vitamins Blog

Rattleheart Part 1 : Arti Dari Dunia

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

4 votes, average: 1.00 out of 1 (4 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

  • Arslan adalah seorang tentara bayaran yang mencari arti dari dunia. Baginya dunia tak lagi sama semenjak dia menjadi tentara bayaran, peperangan, rasa sakit, hubungan antara manusia. Apa sebenarnya itu semua? Dalam usia dewasanya ia terus menanyakan arti hidup.
  • Hingga suatu hari ia bertemu dengan seorang penyihir perempuan bernama Alz yang meminta Arslan untuk memberikan makna hidup kepadanya.

Part 1

Arti dari Dunia

Lagi, tubuh ini telah terbiasa. Menusuk, menghindar, membunuh, menebas, berjalan cepat, menghunus dan menjatuhkan lawan dengan pedang.

Dunia seakan membencimu dalam perang, tiada lawan, tiada kawan. Trauma sudah hilang, menyatu dengan dada, membekas, membelenggu, namun terbiasa. Rasa takut telah hilang, getaran jiwa telah pergi. Tak berdosa, tangan mengayun, menebas lagi, memotong kepala orang, menusuk dada. Membunuh dengan ekspresi yang datar.

Jauh, pandanganku jauh, tak lagi peduli dengan semua, tak lagi tau apa arti dunia. Terbiasa, jika nyawa semurah itu, untuk apa aku hidup. Jika nyawa dapat direnggut dan ditukar dengan mudah, untuk apa aku bertahan? Ini semua salah dan tak benar. Apa arti dari kehidupanku yang sebenarnya?

Mata tak bisa melepaskan pandangannya dari cahaya matahari, ia terbenam, menguning dan membawa segala kesedihan hilang ditelan oleh dunia. Berhenti, semua pertempuran ini telah usai, meninggalkan diriku sambil terdiam tanpa arah, hanya bisa menatap kosong, lalu mempertanyakan, apa yang selama ini kulakukan di hidupku.

Tubuh yang sedari tadi berdiri di ujung tebing, mulai menurunkan tatapannya dari lembah yang diselimuti cahaya keemasan. Merasa cukup, membalikkan badan, dan mulai berjalan perlahan ke tengah hutan. Tak lama dari belakang ada suara yang menggapai telinga, pelan namun terdengar ramah dan menenangkan.

“Sudah mau pergi?” katanya, hanya kubalas dengan senyum. Kaki melanjutkan langkah menuju kegelapan, meninggalkan pria paru baya itu sendirian.

Aku tak ingin merepotkannya. Nampak, desa mereka telah benar-benar kehabisan uang untuk menyewa berbagai tentara bayaran sepertiku. Sehingga, menerima kebaikan itu mungkin akan mengganguku sedikit.

Namun dalam perjalanan aku kembali bertanya…

Untuk apa kehidupan itu ada?

Aku tak mengerti, aku tak tahu. Mata tak bisa menghindar maupun berbohong. Suara dan pemandangan itu masih terbayang, 10 tahun telah berlalu, dan aku masih tidak mengerti. Untuk apa semua ini terus terjadi?

Berjalan, kaki menyusuri hutan, dan menghilang diantaranya. Ingin berkemah, namun tidak memiliki apa-apa untuk dipegang. Hanya sedikit koin emas dan perunggu yang kubawa. Tubuh ingin beristirahat, namun entah kenapa ia menolak. Seharusnya aku bermalam di desa tadi. Tetapi aku sudah memutuskan, tiada istirahat untuk hari ini. Sungguh aneh, sungguh tidak konsisten. Nampaknya, aku benar-benar butuh istirahat.

Cahaya rembulan menyinari penjuru hutan, tenang, redup namun cukup untuk membuka pandangan. Hanya jalan setapak yang berada di hadapanku. Hewan-hewan hutan mulai menampakkan suaranya. Serigala melolong kencang sepanjang jalan, burung-burung berterbangan, ular dan mamalia-mamalia kecil mulai menyebrang dari pinggir jalan.

Benar-benar sebuah suasana yang bisa kau temukan di hutan mana saja.

Hari ini semua berjalan baik, dan aku mulai bertanya kepada diriku atas apa yang terjadi.

Apakah ini semua sudah cukup?

Apakah ini semua telah memenuhi tujuan dari hidupku?

Tidak, seharusnya bukan jalan ini yang kutempuh selama ini.

Cita-cita? Aku bahkan telah lama lupa atas itu, menjadi seorang penyihir nomor satu di Desa? Ah, desaku bahkan telah hilang dari peradaban. Aneh, namun inilah kenyataan pahit yang harus kuterima.

Berjalan, menyusuri jalan setapak yang nampak tak ada hentinya. Gelap, penuh siaga, cengkraman tanganku semakin menguat. Siap menyerang kapan saja. Aku tidak tahu mahluk buas seperti apa yang akan menyerangku. Mata ini cukup terlatih, tak perlu lagi membawa obor seperti dulu.

Pengalaman telah menjadi guru, tak mau meninggalkan jejak, dan tak mau menunjukkan kemana diri ini melangkah. Bagai pembawa obor di malam hari, kurasa diri ini telah benar-benar menutup pintu hatinya.

Obor…

Tenang, menghangatkan. Memberi pandangan di tengah malam, cahaya hangat menuntun perjalanan, ditemani secubung asap kecil yang mengudara diatas bara apinya. Bagai harapan, obor adalah penuntun manusia.

Namun dengan cahaya hangat itu juga manusia akan mati, namun dengan cahaya hangat itu juga manusia akan kehilangan segala yang ia punya. Cahaya itu menarik orang lain datang untuk ikut bernaung dalam hangatnya api kecil itu.

Terkadang mereka baik, terkadang mereka jahat. Siapa yang tahu itu semua? Niat mereka satu, datang dan bercengkerama. Mungkin seperti itu, mungkin. Dengan bodohnya anak kecil itu tersenyum, membuka diri kepada siapa saja yang ingin menghampiri obor itu. Menghamparkan selebar-lebarnya pintu hati dan tata krama kepada orang-orang yang tidak ia kenal.

Bodoh, jangan lakukan itu, engkau sesungguhnya telah menggali lubang kuburanmu sendiri. Engkau telah membangun monumen kematian bagi dirimu sendiri. Bodoh, apa yang kau lakukan. Sadarlah, jangan gegabah. Jangan buka hati dan kebaikanmu pada orang-orang itu, jangan!

Mataku kembali terbuka, tanpa sadar aku telah berjalan jauh dengan hanya mengandalkan alam bawah sadarku. Ujung dari hutan, kini telah nampak di depan mata, berhenti, dengan ditemani cahaya rembulan purnama yang sangat pucat sebuah pemandangan kini terpampang di hadapanku.

Reruntuhan panjang mulai terlihat, dengan hamparan tanah lapang di sekitarnya. Hati terasa sakit, benar-benar terasa sakit. Familiar, tak ingin tahu, dan tak ingin mengakuinya. Tanpa sadar aku telah kembali, aku benar-benar telah kembali ke tempat ini. Ke tempat dimana semuanya dimulai, ke tempat dimana aku menaruh harapan untuk pertama kalinya. Ke tempat dimana seharusnya aku tidak memutuskan kesalahan yang telah ku perbuat itu.

Milten, sebuah desa yang telah hilang dari peradaban dunia, kini berada di hadapanku.

Tak ada yang peduli dengan tempat ini, aku bisa merasakannya. Tak ada yang berusaha untuk menempati daerah ini lagi, aku bisa melihatnya. Berbagai reruntuhan, masih terasa sangat jelas. Kenangan, aku bisa mengingatnya. Jalan kecil ini, dimana aku pernah bermain dulu. Ah, memori mengalir di sekujur tubuhku, meringis dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.

Kepalaku sakit…

Tanpa sadar, aku mulai kehilangan kesadaran atas diri sendiri.

***

Terik matahari mulai menggapai kelopak mata, menyengat, dan membangunkan secara perlahan dari tidurku. Kepala terangkat, pelan, dan mulai menengok ke sekitar. Tak lama, kaki kanan mulai mengambil ancang-ancangnya, menopang, berdiri dan kini kedua tangan membersihkan baju yang sedikit terkena debu.

Aneh, bangunan-bangunan disini tidak sepenuhnya terjamah oleh semak belukar. 10 tahun telah berlalu namun tak ada rerumputan maupun pohon tinggi yang tumbuh diantara bangunan.

Rumah ini sangat familiar, aku bisa merasakannya, bau hangatnya masih tercium jelas. Siapa yang tidak tahu tempat ini. Kelezatan sup dari Ibu Anna, dan riuh anak-anak kecil yang setiap hari datang dan menyapa dirinya masih terekam jelas. Jalan-jalan kecil yang selalu dipadati oleh pedagang, serta taman desa yang terus dihinggapi oleh para penyair-penyair dari penjuru benua masih bisa terbayang.

Di tempat ini, banyak orang berkumpul untuk bermain satu sama lain, menyanyi dan menari, saling berbagi makanan dan melakukan pertunjukan. Sebuah kebahagiaan yang sudah jarang ditemukan di benua ini, dengan teganya harus berakhir begitu saja ditangan orang-orang yang tak bertanggungjawab dan tak bermoral. Setidaknya begitulah pikiranku. Namun kini, aku tak memiliki hak untuk mengatakannya.

Langkah kaki terus berjalan, mengitari desa, menemukan sebuah reruntuhan besar yang masih terjaga bentuknya. Hitam, bekas lalapan api masih terukir jelas di dindingnya. Namun, semua masih dapat teringat, tempat ini. Tempat dimana aku mendapatkan cita-cita untuk pertama kalinya.

Perpustakaan desa, tak salah lagi, atapnya jatuh ke bawah tanah, menimpa pondasinya. Namun tangga melingkar itu masih sama. Dahulu, tumpukan buku tersimpan diantara tangga melingkar itu, seorang wizard desa, Pak Rudolf sering menjaga perpustakaan dan melayani warga desa. Meski sudah tua dan sering mengeluh atas banyaknya pekerjaannya, Pak Rudolf adalah orang yang baik, ia tersenyum kepada anak kecil yang kesakitan, meski setelah itu memarahinya karena kesalahan mereka. Ia membantu berbagai macam proyek desa dengan niatnya, dan masih banyak lain.

Suatu hari, penasaran aku menatap jauh ke rak-rak penuh buku sihir di dalam perpustakaan. Namun aku selalu dimarahi olehnya, katanya buku sihir itu mahal, anak kecil tidak boleh mendekatinya. Tetapi meski begitu, setiap hari aku datang, dan datang lagi. Tidak menyerah, mengintip dari sana dan sini. Sampai akhirnya Pak Rudolf menyerah, dan membiarkanku untuk membacanya, meski aku sendiri tak tahu apa isi darinya.

Hingga tiba waktunya aku menjelaskan cita-citaku padanya, ingin menjadi seorang Wizard yang menyelamatkan banyak orang, membantu tugas warga desa seperti Pak Rudolf, bagiku melihat benda-benda besar dan berat dengan mudahnya berterbangan atau diciptakan oleh seorang wizard seperti pak Rudolf adalah hal yang menarik. Bagai pahlawan, sejak saat itu aku ingin, aku benar-benar ingin menjadi seperti dirinya.

Pak Rudolf menyerah, dan akhirnya sedikit tersenyum saat mendengar cita-citaku. Ia kemudian memberikan sebuah selembaran kertas, dan menyuruh memberikan itu kepada ibu. Aku tersenyum mendengarnya, aku masih ingat, diri ini berlari dengan kencang melalui blok-blok perdesaan, mata melihat kesana kemari, dan mulut mulai berteriak dengan kencangnya. Memanggil ibu yang saat itu sedang membersihkan piring di belakang rumah.

Heran, ia menatapku, dan tangan ini dengan seksama memberi kertas itu kepada ibu. Ibu bingung, namun setelah membaca ia memahami semuanya. Matanya menatap kearahku, memberiku senyuman dan kini terlihat sangat bahagia mendengarnya.

Menjelang beberapa hari, ibu membawaku lagi ke perpustakaan, katanya sebagai usaha pertama dalam melihat potensiku sebagai seorang Wizard. Harum wangi buku tercium dari jauh, memikat, dan membuat diriku ingin segera bertemu dengan Pak Rudolf, terlihat Pak Rudolf menatapku dengan pelan dari mejanya. Kemudian ia terlihat berbincang sebentar dengan ibu. Sebuah lambaian tangan ditunjukkan kepadaku, tanda harus mengikuti mereka kesana. Pelan, berjalan aku mengikuti gerak mereka berdua.

Tak lama aku tiba di ruangan yang sangat bercahaya, katanya ini tempat Pak Rudolf menyimpan alat-alat sihir. Dengan lembut ibu menunjukkan jarinya ke arah sebuah benda yang berada di ujung ruangan, bentuknya bulat dan terbuat dari kaca. Ia bilang bahwa itu adalah alat pendeteksi sihir.

Ibu dan Pak Rudolf melihatku dengan seksama. Tanganku, dibimbing lalu direntangkan keduanya menuju bola kristal itu.

Namun….

Tidak terjadi apa-apa.

Suasana menjadi hening, tidak ada yang berbicara sepatah katapun kepadaku.

Hingga, Pak Rudolf menatap sambil menggelengkan kepalanya ke ibu. Pertanda sesuatu telah terjadi, sesuatu telah diputuskan.

Aku….

Tidak memiliki energi sihir sama sekali…

4 votes, average: 1.00 out of 1 (4 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

4 Komentar

  1. Semangat lanjutkan :lovelove

  2. semangattttt

  3. Indah Narty menulis:

    Mangatzzz :lovelove

  4. Bagus