Vitamins Blog

Cerpen | Mawar Terakhir

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Senja di ufuk barat. Langit memerah dengan aura kelam mendung yang kian pekat. Dapat kulihat bagaimana rimbun pepohonan berubah gelap karena mentari yang berpamit di langit sana.

Aku menarik napas panjang. Suasana dalam bus yang kutumpangi ini sepi. Sebagian besar penumpang memilih untuk memejamkan mata sebelum nanti tiba di tempat tujuan.

Kepalaku menoleh ke sana kemari. Entah bagaimana seolah hanya aku yang terjaga, sementara orang-orang yang berada di kursi penumpang itu duduk dengan mata mengatup, bahkan ada yang terduduk membungkuk karena tertidur.

Ini adalah Jumatku ke sepuluh setelah hari itu. Orang bilang, Jumat adalah hari terbaik untuk menabur bunga di persemayaman orang terkasih. Dan aku telah berjanji, bahwa seminggu sekali, aku akan datang mengunjungi Yoga.

Yoga …. Kedua mataku terpejam menyebut nama itu, sambil hatiku tak berhenti menasbihkan huruf-hurufnya dengan perasaan campur aduk.

Kepalaku tertunduk dan pandangan mataku yang mulai berair tertuju pada setangkai mawar merah di pangkuan.

Maafkan aku, Yoga. Sepertinya, hari ini tidak bisa menjadi hari terakhir aku mengunjungimu. Entah kapan hatiku ikhlas. Entah kapan aku bisa menerima ini semua.

Air mataku menganak sungai di pipi. Benakku tak putus mengingat hari itu.

Seharusnya ….

Ah, bolehkah aku berkata seharusnya?

Seharusnya … hari itu menjadi hari paling bahagia yang bisa kudapatkan. Hari di mana aku menjadi pengantin dengan Yoga yang menyebut namaku sebagai mempelainya. Namun, itu semua tidak terjadi.

***

Satu hari sebelum akad, Yoga menghubungiku dengan nada suara tak biasa. Aku yang sedang dimabuk bahagia, tak begitu memperhatikan dan menganggap Yoga hanya sedang gugup menghadapi pernikahan kami esok hari.

Selanjutnya, dia mengeluh sakit kepala, tapi, dengan berbagai cara, Yoga berusaha menenangkanku dengan berkata bahwa ibunya telah memberi obat dan dia baik-baik saja.

Satu jam lamanya kami berbincang melalui telepon malam itu, sebelum kemudian, Yoga mengajakku bertemu.

“Ra, aku punya obat mujarab selain yang diberi ibu,” ucapnya.

Mataku membesar, antusias dengan apa yang dia katakan. “Oh, ya? Apa?” Aku bangkit dari posisiku berbaring.

Hening. Lama sekali lelaki itu tak menjawab pertanyaan sederhanaku.

“Yoga? Kamu masih di sana?” Aku tergesa bertanya.

Terdengar suara dehaman di seberang telepon. “Sarra, bisakah kita bertemu?” ajaknya terdengar ragu, mungkin dia sedang melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya.

“Baru pukul setengah delapan malam. Kita bertemu di taman terdekat rumah kamu, ya. Nanti akan kutunjukkan seperti apa obatnya,” lanjutnya dengan penuh teka-teki.

Aku turut menengok ke arah jam dinding dan tersenyum. “Baik. Belum terlalu malam. Ibu pasti mengizinkan. Aku bersiap-siap dan langsung berangkat, ya. Sampai jumpa sebentar lagi.” Aku menutup telepon dan bergegas menyeret tas selempang di atas meja.

Setelah berpamitan, aku keluar rumah dengan jantung berdegup kencang. Kuembuskan napas melalui mulut untuk mengusir rasa berdebar di dada.
Sudah dua tahun ini kami berkenalan dan tentu malam ini bukanlah malam pertama pertemuan kami. Tapi entah bagaimana, perasaanku terasa lain.

Sepi malam itu. Hanya terdengar sayup-sayup suara angin yang menyapa kulit. Mendadak aku teringat lagi pembicaraan via telepon tadi tentang Yoga yang tengah sakit kepala.

Tidak biasanya.

Kuhela napas panjang. Langkah kaki membawaku semakin dekat dengan taman kota.

Dan apa?

Yoga telah tiba terlebih dahulu. Entah dengan kecepatan berapa km/jam dia melajukan kendaraannya. Aku menggeleng pelan dengan senyum terlukis di bibir.

Yoga melambaikan tangannya begitu melihatku dari kejauhan.

“Sarra!” serunya dengan bersemangat.

Langkahku semakin cepat.

“Hai,” sapaku begitu kami berdiri berhadapan.

“Kamu bilang sakit kepala tapi tetap saja mengebut, bagaimana jika kamu terjatuh?” celaku dengan wajah cemas.

Yoga mengusap pipiku lembut. Dan seketika, tangannya yang terasa dingin itu menebarkan rasa sejuk yang aneh ke dalam hati.

Kucoba menggenggam tangannya. Dan lagi-lagi … ah, apa yang kupikirkan?

“Jadi, obatnya apa?” Aku berkata mencairkan suasana.

Yoga tersenyum, sebelah tangannya tampak bergerak ke belakang tubuhnya, mengambil sesuatu dan menunjukkannya padaku.

“Kauhitung jumlah tangkai dari seikat mawar ini dan berjanjilah untuk memberikannya padaku satu per satu. Baru kau akan menemukan jawabannya,” ucapnya serak.

Keningku mengernyit. Bunga mawar itu terlihat merah dan segar, aromanya semerbak, menusuk dalam-dalam ke indra penciuman.

“Apa maksudmu?” Aku bertanya dengan senyum tak mengerti dan hati tak menentu.

“Berjanjilah dulu kau akan melakukannya,” pintanya lagi.

Aku menghela napas. “Memberikannya padamu? Setiap kali bertemu, aku harus memberimu satu?” tanyaku memastikan.

Yoga mengangguk. Aku menerima seikat mawar itu dengan kedua tangan.

Tanpa aba-aba, lelaki itu mendongakkan daguku. Bisa kulihat wajahnya yang memerah dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

“Yoga ….” Keningku tak henti-hentinya berkerut melihat semua keganjilan yang ada.

“Aku mencintaimu, Sarra,” tuturnya lalu mengecup ringan bibirku.

Dadaku berdesir. Kedua mataku tertuju pada bibirnya yang melengkungkan senyuman. Lantas, dengan penuh perasaan, aku berkata pula, “Aku pun … sangat mencintaimu … Yoga.”

“Pulanglah, tidurlah dengan nyenyak,” pintanya lantas mencium keningku.

“Ya … kamu … berhati-hatilah, jangan mengebut.” Aku menasihatinya lalu memundurkan tubuh. “Aku pasti akan melakukannya.” Kuacungkan seikat mawar di tangan dengan tekad yang bergemuruh di dada.

Yoga melambaikan tangan sebelum aku berbalik dan berjalan cepat menuju rumah.

Kuletakkan mawar merah itu di vas kecil yang kosong di dalam kamar, setelah sebelumnya aku menghitung jumlah tangkainya.

Sepuluh.

Malam itu aku mengantuk luar biasa, sehingga baru sebentar saja aku meletakkan kepala di bantal, mimpi langsung menyambar kesadaranku.

***

Hari bahagiaku tiba. Namun, entah mengapa aku justru dibangunkan oleh suara ibu yang menangis tertahan.

“Sarra! Sarra! Nak, bangun. Cepat bangun.” Ibuku berseru yang membuatku langsung membuka mata lebar-lebar.

“Ibu?” tanyaku dengan tak mengerti. “Ada apa?” Kutengok waktu pada jam yang berdetik di dinding.

Pukul empat subuh.

“Yoga, Nak. Yoga.” Ibuku berkata dengan meracau sembari mengeluarkan air mata.

“Yoga? Kenapa?” Aku menggenggam tangan ibu untuk menenangkannya.

“Yoga meninggal dunia tadi malam pukul tujuh.”

Seketika jantungku seakan meloncat dari tempatnya. Ucapan ibu seakan bergaung tanpa henti, membuat jantungku seperti diremas.

“Tad-tadi malam? Pukul … pukul tujuh?”
Aku kehabisan kata-kata.

Bukankah tadi malam kami bertemu?

Kepalaku menoleh cepat ke meja di mana bunga mawar itu masih utuh di sana.

Ya Tuhan ….

Pandanganku berubah gelap.

***

Tahukah?

Ini adalah tangkai mawar terakhir yang aku punya. Sesuai dengan janjiku, aku datang ke tempat peristirahatan terakhirnya hingga ke sepuluh Jumat hari ini.

Aku mencintai Yoga dan semakin hari aku semakin mencintainya. Bagaimana ini?

Air mataku mengalir lagi, membuat mataku memejam.

“Sarra.”

Aku seakan baru saja tersadar dari lamunan dan mengerjap karena panggilan itu.

“Sarra,” panggilnya lagi.

Suara itu ….

Aku membalikkan badan dan ternganga dengan apa yang kulihat.

Yoga.

Lelaki itu berdiri santai dengan tubuhnya bersandar pada dinding. “Aku tahu kamu pasti datang,” ujarnya menyambut.

Perlahan, tubuhnya yang jenjang itu mendekat.

Astaga. Mengapa ia semakin tampan?

Dan pakaiannya itu …. Yoga memakai jas pengantin berwarna putih seperti yang kami rencanakan dulu.

Lelaki itu menggenggam tanganku yang masih memegang erat setangkai mawar.

“Mawar terakhirku.” Yoga tersenyum, mengambil mawar itu dari tanganku dan meletakkannya sebagai sumping di telingaku.

“Tahukah kamu, Sarra? Sekarang aku sudah tidak sakit lagi. Akhirnya kamu datang dan kita akan menikah,” sambungnya yang membuat tubuhku gemetar dan tak tahu harus berkata apa saking senangnya.

Astaga … aku bahagia. Sungguh bahagia. Ternyata, aku hanya harus bersabar saja dan aku bisa mendapatkan lagi kesempatan itu.

“Sarra! Sarra!” Teriakan histeris itu membuatku menoleh.

Ayah?

Aku kebingungan sesaat. Seperti baru kembali dari alam mimpi, aku melihat keramaian kendaraan di jalan itu. Dan yang membuat keningku mengernyit adalah ayah yang histeris dan berkali-kali melongokkan badannya ke sisi jalan. Memanggil-manggil namaku.

Yoga merangkulku dan meremasnya lembut, berusaha menenangkan ketika kami berjalan mendekati sisi jalan itu.

“Sarra ….” Suara ayah semakin parau bercampur isakan.

Begitu memastikan apa yang terjadi, aku ternganga. Ternyata bus yang kutumpangi tadi mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang. Polisi dan petugas SAR tengah terjun ke tebing untuk melakukan evakuasi.

Padahal aku di sini.

Oh … aku telah mati!

“Sarra, ayo kita pergi.”

TAMAT

 

 

22 Komentar

  1. Cinta dan air mata..
    Yah… hal yang tak terpisahkan..
    Entah airmata bahagia ataupun
    Air mata luka
    Luapan rasa yang bisa menenangkan perasaan hati..
    Cinta memiliki ikatan yang suci
    Entah harus bersama atau tercerai takdir
    Keikhlasan adalah pondasinya
    Keikhlasan menerima atau melepasnya…..
    Karna cinta akan menemukan dengan jalannya sendiri…

    Ka binnn ini ga ada horrornya…malah miris ia :habisakal :habisakal
    Sedikit mirip cerita kawan🤗🤗

    1. Bintang Timur menulis:

      Wkwkwk padahal aku nulisnya merinding² manjaaahh :awaskubalasnanti

  2. setidaknya mereka bersatu…. dalam kematian

  3. Pikiran negatifku penuh tanda tanya.
    1. Apa maksud Yoga ngasih bunga itu?
    2. Apa dia tahu apa yang akan terjadi pada Sarra?
    3. Apa dia sengaja ngasih bunga itu dan merencanakan kecelakaan itu untuk bisa bersatu kembali dengan Sarra?
    4. Pada hari Jumat apakah Sarra meninggal? Jumat kliwon kah?

    Pikiran positifku: Akhirnya mereka bersatu kembali walau bukan sebagai manusia tapi setidaknya mereka bisa tetap bersama di alam sana. Bahagia bersama. :habisakal

    Btw, makasih untuk update-nya. Ditunggu karya selanjutnya. :kisskiss

    1. Bintang Timur menulis:

      Kuncinya ada di keterangan waktu pas mereka bertemu malam hari itu.
      Disitu sengaja kutulis, Yoga berkata bahwa “Masih pukul setengah delapan malam.” Padahal di keterangan selanjutnya, ibu Sarra memberi tahu Sarra bahwa Yoga meninggal tadi malam, “Pukul Tujuh.” Sudah ada keterangan ganjil juga bahwa ketika Yoga menyentuh Sarra, tangan Yoga ini terasa “dingin.”
      So, Yoga sudah meninggal ketika bertemu dengan Sarra, yang datang itu hantunya :awaskubalasnanti
      Coba Panda bayangkan, bagaimana mungkin ada bunga mawar yang awet segar sampai 2,5 bulan? Plis jangan jawab ada dong, bunga plastik :happy
      Maksud Yoga memberi bunga itu adalah Yoga memberi tahu secara isyarat, meminta Sarra untuk “melayat” ke kuburannya, karena dia telah meninggal.
      Tentu saja Yoga (yang telah meninggal itu) tahu bahwa Sarra akan meninggal juga, karena aura kematian seseorang katanya semakin dekat dengan waktunya, semakin jelas terasa, apalagi meninggal di hari Jumat, hari baik, heheh
      So, sepuluh bunga itu adalah hitungan mundur bagi pertemuan mereka selanjutnya, sebagai obat, karena sakit kepalanya Yoga disitu kuartikan sebagai suatu kesedihan mendalam yang hanya bisa disembuhkan oleh Sarra sendiri, ketika Sarra turut menyusul ke alam keabadian.
      Eh, anggap aja Sarra meninggal Jumat Kliwon karena Jumat kemarin pasarannya itu, wkwk
      Begitu Pan,
      Makasih dah baca ya
      Nih, mawar untukmu 🌹🌹🌹 :malumalutapimau

      1. Emiliey menulis:

        Kan kan jumat kliwon lagi…berasa hororkan..kasian kali si kliwon ini ..didiskriminasi wkwkwkwk

    2. Suka dengan koment nya

  4. Uwahh dijemput kesayangan TT.TT

  5. Sepasang… :habisakal :habisakal :habisakal

  6. Sedih

  7. Agak2 gimana gitu baca nya. Suka happy ending bagi mereka berdua. Bagi yg di tinggal sadending

  8. ini adalah kisah yang bersambung di alam ini, lalu dilanjutkan dengan part happy ending di alam lain , sungguh kisah cinta yang indah dan tanpa cela, mampu menyayat hati sekaligus memberdirikan bulu kuduk
    :habisakal :habisakal :habisakal :habisakal

    1. Bintang Timur menulis:

      Uwah, salam hormat untuk shifu :malumalutapimau
      Terima kasih telah berkenan membaca :NGAKAKGILAA 🌹

  9. 🌻SERAFINA MOON LIGT🌙❤💡 menulis:

    Sedih aku liat kisah mereka…
    🥺🥺🥺🥺.
    kisah ny singkat tp bisa bikin aku hampir mo nangis :habisakal
    Semangat selalu kaBin :kisskiss

    1. Aku juga sesenggukan

  10. Sedihh😭😭

  11. Tks ya kak udh update.

  12. Bersatu dalam keabadian :NGAKAKGILAA :banjirairmatahuhuhu

  13. Safliza Murdani menulis:

    Jejak koment

  14. astaga mewek aquuu :berikamiadegankiss! :berikamiadegankiss!