Vitamins Blog

MERITOCRACY 7 : Aphorism

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

31 votes, average: 1.00 out of 1 (31 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Pakaian ini milik siapa?” 

Jemari Anna yang sibuk mengikat tali-tali sepatunya mendadak berhenti mendengar pertanyaan tersebut. Gadis itu menoleh ke sumber suara sambil menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinganya.

“Bisakah kau tidak mempertanyakan segala hal?” Jawab Anna setengah kesal.

“Apakah ini milik bedebah tadi?” 

Anna menghela napas kasar, mengikat tali sepatunya asal dan berdiri menghadap Eric. “Rei adalah sahabatku, dan satu-satunya bedebah di sini adalah dirimu. Tolong pahami itu,” 

Eric menipiskan bibir sambil mengedikkan bahu. “Pemuda itu terlihat seperti penjahat.” 

“Dan apakah seharusnya aku khawatir tentang hal itu?” Sahut Anna malas.

“Aku yang khawatir akan hal itu.” Jawaban Eric terdengar seperti pembelaan untuk dirinya sendiri.

“Maka, kau juga harus khawatir dengan diriku. Karena pemuda yang kau sebut terlihat seperti penjahat itu sudah seperti saudara untukku.”

Setelah perdebatan mereka yang sedikit tak penting itu, akhirnya Anna memimpin jalan mereka untuk berangkat ke tempat tujuan. Langkahnya tegas, bahkan Eric sempat heran melihat perempuan itu bersikap biasa saja saat dirinya manghalau ranting dan daun pepohonan di sekitar mereka. 

“Menurutmu kita ada di arah yang benar?” Ucap Eric membelah kesunyian di antara mereka. 

“Ya,” sahut Anna singkat.

Eric sedikit sangsi akan hal itu. Ia memandang ke sekeliling, dan sejauh mata memandang hanya ada pohon dan beberapa hewan kecil seperti tupai dan burung-burung yang menemani langkah mereka. Tatapannya pun beralih ke tanah dan ia tidak melihat ada bekas apa pun kecuali daun kering yang berserakan. 

“Tidak ada jejak apa pun, kau yakin kita tidak tersesat?” Eric kembali bertanya.

Anna menghela napas dan tanpa berhenti melangkah ia menjawab. “Itu karena aku tidak pernah menggunakan rute yang sama untuk datang dan pergi. Dan, aku mengenal hutan ini hampir setengah umur hidupku.” 

Pemuda dengan iris biru itu menatap punggung perempuan yang berjalan di depannya. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai separuh, dan separuhnya lagi digulung kemudian disematkan dengan besi panjang kecil. Tatanan rambut yang cukup aneh menurut Eric. 

“Memangnya berapa usiamu?” 

“Apakah itu sebuah pertanyaan?” Sahut Anna. 

Alis pemuda tampan itu mengerut. Kenapa gadis ini selalu membuatnya berpikir untuk membalas perkataannya?

“Mungkin?” Terdengar keraguan dalam nada bicara Eric.

“Kau terlalu banyak bertanya.” Anna menjawab dengan lalu.

Eric mendengus kesal. “Baiklah, lupakan saja.” 

Mereka melewati sungai, yang kalau Eric lihat mungkin aliran sungai yang sama dengan sungai yang berada di dekat pondok gadis yang ia anggap sebagai bandit itu. Tidak ada jembatan, tetapi banyak bebatuan besar dan kecil yang membuat sungai itu cukup dangkal dan mudah dilewati. Dan beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah rumah. 

Anna mendekat dan memanggil Sezya yang sedang menjemur kain. Gadis dengan perawakan mungil itu sedikit terkejut kemudian tersenyum melihat siapa yang memanggilnya.

“Nona, kukira kau tidak akan datang lagi hari ini.” Ujar Sezya. Senyumnya sedikit menghilang ketika melihat sosok lelaki di belakang Anna. Ia sedikit bertanya-tanya, tetapi memilih untuk diam. 

“Maaf, aku tidak bisa datang kemarin,” Ujar Anna dengan sedikit penyesalan. “Apa aku sudah bisa mengambilnya?”

“Sepertinya tertumpuk dengan yang lain, kau ingin menunggu di sini atau ikut denganku ke dalam rumah?” Jawab Sezya sambil mengingat-ingat. 

“Ya,” Anna menoleh dan berucap ketus pada Eric. “Kau, diam di sini.” 

“Memangnya aku bisa ke mana,” Sahut Eric dengan memutar kedua bola matanya. 

Anna mengikuti langkah Sezya ke dalam rumah. Sesampainya di sana, ia melihat gadis yang baru beranjak remaja itu mencari sesuatu di tumpukan pakaian. 

“Aku baru tahu kau punya teman selain Tuan Rei,”

Pandangan Anna yang sebelumnya fokus pada pakaian yang menumpuk di dalam rumah keluarga Sezya langsung beralih. Ia memandang Sezya penuh tanya sebelum berkedip menyadari arah pertanyaannya. “Oh, ia bukan temanku.” 

“Tidak diragukan. Apa pakaian ini milik pemuda itu?” Sezya menyerahkan pakaian Eric ke tangan Anna sambil menatapnya dengan penuh arti.

“Apa?” Anna sedikit risih dengan tatapan Sezya. “Berhenti memandangku seperti itu, ia bukan siapa-siapa.” 

Sezya tersenyum hingga memeperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Kau tidak menjawab pertanyaanku, Nona.” 

Anna memutar kedua bola matanya malas dan lebih memilih untuk melemparkan sebuah kantung kecil ke arah Sezya hingga isinya berdencing. 

“Nona, kupikir ini terlalu banyak.” Sezya membulatkan kedua matanya mencoba membayangkan ada berapa banyak uang di dalam kantung itu. 

“Anggap saja itu biaya perbaikan,” Anna membalas dengan santai. “Dan, ada hadiah untukmu di dalamnya.” 

Sezya tercengang mendengar itu, dengan cepat ia membuka kantung itu dan mengeluarkan isinya ke atas telapak tangannya. Ia terkesiap melihat isinya, itu bukan hanya uang. Anna memang memberikan uang lebih, tapi benda mengkilap lain di atas telapaknya ini bukan uang. 

“Terakhir kali aku kemari, ibumu berkata bahwa kau berniat membuat gaun mewah. Saat aku pergi beberapa waktu lalu, aku tiba-tiba teringat akan hal itu. Kemudian aku berpikir, untuk membuat gaun mewah, kau harus menambahkan sesuatu yang berkilau, kan?” Anna menjelaskan. “Meskipun itu tidak seberapa, tapi aku harap kau menyukainya.” 

Benda itu adalah kulit kerang yang dipoles dan diberi warna hingga mengkilap. Sezya berkaca-kaca menatap benda itu, ketika menatap Anna, binar kebahagiaan sangat terpancar dari kedua matanya. 

“A-aku tidak tahu apa aku layak menerimanya. Nona, ini terlalu banyak.” 

Anna tersenyum dan memandang Sezya lembut. “Kau sangat layak untuk menerimanya, aku memberikan itu khusus untukmu.”

“Te-terimakasih, Nona. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa.” Sezya berucap dengan suaranya yang serak, ia hampir menangis. 

“Mungkin aku bisa dapat pelayanan cuci bebas biaya untuk satu bulan ke depan?” Sahut Anna penuh canda. 

Mereka tertawa akan lelucon itu. Ya, mungkin Anna akan benar-benar mendapatkan itu untuk satu bulan ke depan. Ia berpamitan pada Sezya sebelum berjalan ke arah Eric yang sedang melakukan sesuatu dengan lengannya. 

“Ada apa dengan lenganmu?” Celetuk Anna. 

Pemuda itu menoleh pada Anna yang sudah berdiri tak jauh darinya. “Hanya melakukan peregangan. Aku harus sering melakukannya agar tidak terlalu sakit lagi nantinya.”

Anna menatap pundak Eric sebelum menatap matanya. “Sekarang masih terasa sakit?” 

Eric menggeleng sambil menatap balik Anna. Gadis itu telihat seperti tidak peduli, tetapi semua percakapan terkait lukanya sangat berkebalikan dengan ekspresi dan nada suaranya.

“Ini,” Anna melempar pakaian Eric kepada pemiliknya. “Satu lagi utangmu padaku.” 

Eric menatap pakaian di tangannya dengan heran. “Aku kira kau membuangnya.” 

“Sempat terpikir hal itu,” Anna mengedikkan bahunya acuh. “Masukkan ke dalam tas bodoh itu, aku tidak menyuruhmu membawanya tanpa alasan.” 

Meskipun perintah Anna terdengar menyebalkan di telinganya, Eric tetap patuh melaksanakannya. Perempuan itu memang menyuruhnya membawa sebuah tas berbahan kulit, ia tidak tahu apa isinya hingga ia meletakkan pakaiannya ke dalam sana. Eric mengernyit ketika menemukan kain berwarna gelap. 

“Apa kain ini tidak sengaja tertinggal di dalam sini?” Tanya Eric.

Anna menggeleng. “Aku sengaja membawanya.” 

“Untuk apa?” Eric kembali mengernyit merasa kebingungan. 

Dengan sabar Anna menjawab, “kau akan tahu sendiri nanti.” 

Eric kembali berjalan mengikuti Anna yang sudah lebih dulu melenggang di depannya. Ia sibuk memandangin sekitar hingga akhirnya suara Anna terdengar menegurnya.

“Hei, apa kau pesuruh?” Tanya Anna.

“Apa?” 

“Apa kau pesuruh?” Anna kembali bertanya dengan tegas. 

“Tentu saja bukan,” elak pemuda itu. Harga dirinya tercoreng disebut seperti itu.

“Kalau begitu percepat langkahmu, jangan berjalan di belakangku.” Anna berucap datar penuh penekanan.

Pemuda itu terkekeh menyadari maksud Anna. Perempuan itu selalu punya cara aneh untuk menyampaikan sesuatu. Kemudian ia berlari kecil menghampiri Anna sebelum perempuan itu berbalik kembali melanjutkan langkahnya. 

Senja merajai langit, tak jauh dari tempat sebelumnya kini mereka sampai di pemukiman desa. Eric tidak pernah melihat sebuah pemukiman kecil seasri ini. Mengapa perempuan itu lebih memilih untuk membangun pondok dan tinggal di tengah hutan?

“Apa desa ini terletak di pinggiran ibu kota?” Tanya Eric.

Anna mendengus sambil menyeringai kemudian menatap Eric di sebelahnya. “Tidak, kita berada sangat jauh dari ibu kota.” 

Di depan sana, terdapat hiruk pikuk yang memanjakan mata. Ada para pedagang yang baru menjajakan barang dagangannya, kemudian para pembeli yang lebih banyak berdiskusi, dan masih banyak lagi. 

“Apakah kau tidak pernah melihat desa semacam ini, wahai Tuan Bangsawan Utara?” Tanya Anna dengan tujuan menyindir Eric.

“Ya, sedikit aneh.” Jawab Eric pelan karena masih merasa takjub. 

“Ini bukan hal aneh di Dienvidos.” 

“Dienvidos?” Cicit Eric. Ia kembali melihat ke sekeliling dengan cepat sebelum menoleh ke arah Anna. “Kita berada di Dienvidos?” 

Anna menatap Eric penuh antisipasi. “Sebenarnya ini Empuma, tapi seingatku desa ini masih milik Dienvidos. Jadi…” ia mengangkat sebelah alisnya. “Ya, kita berada di Dienvidos.” 

Eric membelalak. “Aku berada di selatan?” 

“Ya, sangat jauh dari rumah, bukan?” Anna menyeringai. 

Eric mengerjap dengan cepat dan menghela napas panjang. Anna sedikit bertanya-tanya dalam hati, jadi selama ini pemuda itu tidak sadar bahwa ia ada di wilayah selatan? 

Mereka sampai ke penjual lilin yang selalu Anna datangi. Setelah memilih banyak, Anna meminta kain yang sebelumnya ada di dalam tas dan menunjukkan fungsi sebenarnya dari kain tersebut. Lilin-lilin itu ditumpuk di atas kain, kemudian tiap ujung kain tersebut disatukan dan diikat hingga Anna bisa membawanya dengan tangan. Untuk Eric yang baru melihat hal tersebut, ternyata sangat praktis.

“Masih takjub dengan keadaan sekitar?” Tanya Anna ketika melihat Eric yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sekitar.

“Aku tidak melihat ada satu pun yang merasa tertindas.” Eric berucap ragu. Kondisi pasar benar-benar damai tanpa ada keributan. 

Anna terkekeh. “Tidak ada budak di Dienvidos.” 

“Apa?” 

“Kenapa kau terus membuatku mengulang kembali kata-kataku?” Dengus Anna.

“Aku hanya sedikit meragukan pendengaranku. Bagaimana mungkin tidak ada budak di suatu wilayah? Apakah itu juga berlaku di ibu kota?”

“Itu berlaku di semua wilayah kekuasaan Dienvidos.” Anna berujar dengan bangga. “Bangsawan di tiap daerah melakukan tugasnya dengan baik, menaungi masyarakat kecil, memberi mereka pekerjaan dan memberi mereka upah. Jika mereka sudah memiliki cukup kekayaan untuk membuka usaha sendiri, mereka diizinkan untuk melakukannya. Seperti yang kau lihat di tempat ini, rata-rata usaha milik keluarga. Dan kerajaan bertanggung jawab untuk membuat segalanya tetap stabil.” 

Eric mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Anna. “Bagaimana dengan yang tidak mampu bekerja? Dan juga apakah mereka semua membayar pajak pada kerajaan?” 

“Tergantung,” Anna mengedikkan bahu. “Pertanyaannya adalah, apakah orang itu benar-benar tidak mampu atau hanya malas untuk bekerja. Untuk lansia dan anak-anak yang hidup sebatang kara, ada orang-orang khusus yang bekerja melayani mereka. Intinya, semua orang di kerajaan ini bekerja dengan semestinya tanpa perlu ada perbudakan.” Jelas Anna. 

“Seperti Arathra,” gumam Eric. 

“Apa kau bilang?” Tanya Anna memastikan. 

“Aku bilang, Dienvidos sama seperti Arathra.” 

Anna menatap Eric penuh sangsi. “Bukankah kau terlalu muda untuk mengetahui Arathra?” 

“Sudah kukatakan, aku lebih tua dari yang terlihat.” Balas Eric kesal. 

Anna terkekeh pelan. “Arathra jauh lebih menakjubkan dari Dienvidos. Dari yang aku dengar, bahkan seorang pedagang kue di sana jauh lebih pintar daripada cendekiawan di Voreia.” 

Eric ikut terkekeh meski terlihat sedikit meringis. “Yah, bukan salah mereka. Bakat itu tidak dimiliki semua orang” 

“Voreia…” Anna memandang lurus sambil berucap, “angkuh terbawa, tampan tinggal.” Seringai penuh ejekan muncul tanpa bisa ia tahan. 

“Maaf?” Kata Eric.

Anna menoleh pada Eric dan mendengus pelan dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. “Ah, aku lupa kalau kau si lintah utara. Jangan tersinggung, aku hanya asal bicara.” 

————

MERITOCRACY©️2021

15 Komentar

  1. Bagusss👍👍👍

  2. Aaaaaaaaaaaaa Rindu!!!!!!

  3. 😍

  4. Akhirnya :semangatsemangat!!!!

  5. oviana safitri menulis:

    akhirnya setelah menunggu sekian purnama….. up juga akhirnya. makasi kak udah up. ditunggu lanjutannya :lovely

  6. Tks ya kak udh update.

  7. SERAFINA MOON LIGT🌙❤💡 menulis:

    Baguss

  8. Dinda Amalia Ranti menulis:

    Sering sering update & tolong lebih dp panjangin cerita per chapternya
    Kyknya makin kesini makin sedikit
    Fighting author
    Cepetan update hehe

  9. vara azzahra menulis:

    :mimisankarnamu :sukanicerita

  10. ArinaRisaDewi menulis:

    Semoga mbak authornya rutin update ceritanya + partnya kalo bisa diupdate keroyokan..hehe :sebarcinta