Vitamins Blog

My Ghost – Bab 5

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

38 votes, average: 1.00 out of 1 (38 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


“Oke, sudah cukup. Aku menyerah!” seruku pada ruangan kosong itu dengan mata berkaca-kaca.

Sudah tiga hari sejak dia menghilang tanpa jejak. Benar-benar tak ada jejak. Aku sudah melakukan semua yang biasanya dia benci tapi dia tetap tidak muncul.

TV sudah kumatikan. Tirai jendela kubuka lebar dan membiarkan matahari masuk menerangi ruangan yang sudah mulai terasa pengap ini. Guling dan bantal yang biasanya di sofa kupindah ke dalam kamar. Dan aku menyalakan semua lampu saat malam tiba.

Tapi geraman marah yang kuharapkan tidak pernah terdengar. Kalau orang normal mungkin akan bersorak gembira mengetahui sosok yang menghantui kediamannya akhirnya pergi. Tapi tidak denganku. Kepergiannya menorehkan rasa sakit di dadaku yang tidak bisa hilang. Dan aku terus menerus merasa sesak. Jelas bukan karena rasa bersalah telah membuatnya pergi. Tapi karena—akh sial! Aku bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa kepergiannya terasa begitu menyakitkan.

Akhirnya dengan pasrah, aku menutup tirai jendela, tak peduli saat itu sudah malam. Kuambil guling dan bantal dari kamar lalu membawanya ke sofa. Tak lupa tv kunyalakan sebelum berbaring di tempat biasanya dia berbaring nyaman.

Cahaya tv menyilaukan mataku. Saat itu kusadari, ruangan ini tak pernah segelap sekarang. Selalu ada cahaya yang masuk meski suasana tetap remang. Tapi sekarang, kekontrasan antara ruangan gelap dan cahaya terang dari tv membuat mataku sakit.

Namun aku tak beranjak. Tetap berbaring di sana dengan pandangan mengarah ke tv. Padahal tidak ada satupun yang menarik perhatianku.

Otakku berkelana, mulai memikirkan apa arti hantu itu bagiku. Tidak lebih dari bahan cerita, tapi mengapa kepergiannya menyakitiku sampai seperti ini?

Ah, jangan bilang aku mulai menyukainya, atau bahkan memiliki perasaan khusus lebih dari sekedar suka. Bisakah seseorang jatuh cinta semudah itu? Hanya selang waktu sekitar dua minggu? Dalam novel mungkin saja. Tapi kenyataannya, apakah bisa?

Perlahan air mataku mengalir dan aku memeluk guling lebih erat. Seperti inikah rasanya berpisah dan tidak tahu cara bertemu kembali? Aku tidak merasa sakit saat berpisah dari orang tua karena aku tahu betul di mana mereka berada dan aku bisa menemui mereka kapanpun ingin. Tapi dengannya—aku tidak tahu bagaimana mencarinya dan meredakan rasa sesak di hati ini.

CTAARRR!

Aku tersentak kaget saat suara petir terdengar menggelegar di luar sana. Tak lama kemudian, diiringi hujan yang mengguyur deras. Belum cukup sampai di situ, mendadak tv mati yang menandakan listrik padam.

Seketika kegelapan nan pekat menyelubungiku. Aku menggigit bibir sambil memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelanku.

Seperti inikah yang dia rasakan selama ini? Bagaimana dia bisa bertahan? Hanya ditemani kegelapan. Hanya ditemani kesendirian.

Hatiku terasa teriris membayangkan posisinya. Memang benar dia bukan manusia. Mungkin dia ‘hanyalah’ hantu. Tapi dia juga memiliki perasaan. Dia juga bisa tertawa saat senang. Kesal saat merasa terganggu. Dan sedih saat terluka. Jadi, bagaimana aku bisa tidak bersimpati padanya?

Sepertinya aku sudah berada di antara alam mimpi dan alam nyata saat tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang. Tapi itu tak membuatku terjaga. Aku malah bergelung dan menikmati hawa dingin menyejukkan yang terasa membungkus tubuhku.

Beberapa saat kemudian kurasakan sesuatu yang empuk di belakang punggungku. Disusul kemudian lengan dingin yang perlahan semakin terasa hangat memeluk pinggangku. Aku menggeliat, menempelkan tubuhku lebih dekat pada apapun itu yang membuatku merasa hangat dan nyaman. Lalu aku mendesah nikmat dan tidur semakin lelap.

***

Aku menggeliat sambil menggeser tubuhku mendekati sesuatu yang hangat. Lengan dan kakiku melingkarinya seperti guling. Tapi itu terlalu besar, dan terlalu keras untuk menjadi guling.

Rasa penasaran berhasil menarik kesadaranku dari alam mimpi. Perlahan mataku terbuka dan aku berkedip bingung melihat leher seseorang di depan wajahku.

“Selamat pagi.”

DEG.

Suara itu—suara yang kurindukan tiga hari ini. Dengan jantung bertalu-talu di dada aku mendongak, dan mendapati sorot mata hitam yang kini terlihat lembut.

“Kau—” suaraku serak. Air mataku kembali mengalir. Aku heran kenapa stok air mataku masih banyak padahal aku sudah menumpahkannya sejak tiga hari lalu.

“Ya, aku.” Dia tersenyum manis seraya mengusap pipiku untuk menghapus air mata.

“Jahat,” kataku dengan isak tertahan. “Kau jahat sekali pergi seperti itu.” Kali ini aku mengatakannya diiringi pukulan lemah ke bahunya

“Aku tidak pergi.”

“Ah, jadi begitu. Kau sengaja membiarkanku mencarimu seperti orang gila. Biar kutebak. Kau pasti tertawa keras melihat tingkahku.” Aku semakin terisak.

“Tidak. Kupikir kau akan terbiasa tanpaku hingga dua bulan mendatang.”

“Setelah kau membuatku terbiasa dengan kehadiranmu, kau menghilang dan berharap aku terbiasa tanpamu?” Aku kembali memukul-mukul bahunya dengan lemah. “Kau benar-benar kejam.”

CUP.

Aku membeku merasakan kecupannya. Tatapan kami beradu. Aku dengan mata basahku dan dia dengan sorot menyesal.

“Maaf,” ucapnya lembut, sarat akan permohonan.

Aku tak bisa menahan diri lagi. Aku menerjangnya hingga dia jatuh telentang lalu aku memeluknya erat. Awalnya dia tampak kaget. Tapi lalu terkekeh geli. Pelukanku semakin erat. Wajahku terbenam di lekukan lehernya.

Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau bisa membuatku sekacau ini padahal kita baru saling mengenal?

“Aku juga tidak mengerti,” bisiknya. Seperti biasa menjawab pikiranku. “Kau bahkan sudah memikatku di hari pertama masuk ke apartemen ini.”

Ucapannya membuatku mengangkat kepala, menatapnya lekat. “Benarkah? Tapi waktu itu kau berniat membunuhku.”

“Sejak kau datang melihat apartemen, bagiku kau sangat menarik. Tapi itu tak menghentikan tekadku membuatmu pergi dan merasakan aura ketakutanmu. Bagiku ini rumahku dan manusia hanyalah pengganggu. Jadi kalian harus pergi—dalam keadaan takut seperti yang kusukai.

“Sayangnya kau berbeda. Bukannya takut, kau malah membayangkan hal-hal konyol tentang kita. Itu membuatku kesal. Dan aku semakin kesal begitu menyadari bahwa perlahan aku mulai penasaran. Penasaran jika yang kau khayalkan menjadi nyata. Lalu aku berhasil mencuri ciuman darimu dan kupikir—tidak ada salahnya membiarkanmu tinggal lebih lama. Toh kau bilang tidak akan menggangguku.”

“Apa itu ciuman pertamaku?” bisikku penasaran. Kini kedua tanganku terlipat di atas dadanya sementara daguku bersandar di atas punggung tanganku. Mataku menatap lekat ke wajahnya. Memperhatikan segala ekspresi yang melintas di wajah sempurna itu saat dia bercerita.

“Ya. Aku menciummu sambil menekan lehermu ke ranjang. Kau pingsan saat bibir kita baru bersentuhan. Mungkin karena kesulitan bernafas atau karena pukulanku ke dadamu yang sangat keras.”

“Pantas saja aku tidak ingat. Lagipula kau memang sangat kasar waktu itu. Kau membuat dadaku lebam.”

“Benarkah? Coba kulihat!”

Aku melotot seraya menutup bagian atas kaus yang kukenakan hingga membuatnya terkekeh geli. Lalu kedua lengannya melingkari pinggangku sementara aku menyandarkan pipi di dadanya, agak terkejut karena mendengar detak jantung.

“Jantungmu berdetak,” kataku takjub.

“Mungkin karena wujudku terlalu solid sekarang,” katanya lalu mengecup puncak kepalaku sekilas sebelum melanjutkan, “Kau harus makan.”

“Aku tidak ingin beranjak,” kataku, makin menempelkan tubuhku.

“Apa itu kode agar aku memasak untukmu?”

Aku terkekeh. “Kau mengerti kode manusia juga? Ya, anggap saja begitu.”

“Baiklah. Beri aku waktu beberapa menit.”

Lalu dia menghilang dan membuat tubuhku terhempas ke atas ranjang dengan posisi telungkup.

“Ugh! Hei, bilang-bilang kalau kau hendak menghilang!” seruku lalu terdiam sambil mengerutkan kening. “Ngomong-ngomong kenapa kau tidak mau memberitahuku namamu? Namaku Syafira. Kau bisa memanggilku Fira.” Kataku tanpa meninggikan nada bicaraku. Aku tahu dia bisa mendengarku dengan jelas.

Tidak ada sahutan, membuatku mengerucutkan bibir kesal.

“Baiklah, terserah.” Aku menggerutu kesal sambil menutup kepala dengan bantal lalu memejamkan mata.

Mungkin aku tertidur lagi karena aku tersentak kaget saat dia mengguncang pelan bahuku.

“Waktunya makan. Tapi di dapur hanya tersisa mie instan. Kau benar-benar harus pergi berbelanja.”

Aku menggeliat seraya duduk bersandar di kepala ranjang. “Ya, aku akan pergi berbelanja setelah mandi. Kau ingin kubelikan sesuatu?”

Dia tertawa geli mendengar pertanyaanku.

Aku merengut. “Memangnya kenapa? Toh kau bisa menonton tv. Jadi kupikir kau ingin membeli buku komik, novel, atau yang lain.”

Dia terdiam dengan raut serius, sepertinya memahami maksudku. “Aku ingin baca novelmu.”

“Hah?” Mendadak aku merasa tidak nyaman.

“Belikan aku novel yang kau tulis. Kau tidak bawa satupun novel karanganmu sendiri.”

“Kau memeriksa barang-barangku?” tanyaku penuh tuduhan.

Dia mengibaskan tangan. “Jangan mengalihkan perhatian. Belikan aku salah satu novelmu.”

Aku jadi gelisah. Memang, aku bukan penulis novel erotis. Tapi selalu ada beberapa adegan dewasa dalam novelku. Dan itu membuatku merasa tak percaya diri dan malu jika dibaca oleh lelaki yang kuanggap cukup dekat denganku.

“Aku akan carikan novel lain,” putusku kemudian seraya meraih mangkuk mie yang dia letakkan di atas nakas.

“Memangnya apa yang salah dengan novelmu? Kalau orang lain boleh membacanya, mengapa aku tidak?”

Aku mengabaikan pertanyaannya dan berpura-pura sibuk meniup mie yang sebenarnya sudah tidak terlalu panas.

“Padahal aku ingin baca novelmu,” katanya dengan nada sedih. “Terutama yang paling hot.”

Uhuukk!

Aku tersedak dan bukannya bersimpati, dia malah tertawa keras. Buru-buru kuambil gelas air putih di nakas dan meneguknya banyak-banyak.

“Aku tidak menulis novel seperti itu,” bantahku tegas setelah melegakan tenggorokan.

Dia masih tergelak. “Lucu sekali kau berusaha berbohong pada orang yang bisa membaca isi pikiranmu. Padahal tidak ada yang lebih tahu dariku bahwa isi otakmu penuh sampah.”

“Hei, novelku bukan sampah!” seruku tak terima.

“Kalau bukan sampah, seharusnya kau tidak malu menunjukkannya pada siapapun. Bahkan padaku.” Dia tersenyum manis, membuatku menatap curiga. “Oh, ayolah. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin mencari hiburan.”

Akhirnya aku mengalah. Tampang polosnya sangat menggemaskan dan membuatku tak sanggup menolak. “Akan kucarikan nanti.”

————————-

♥ Aya Emily ♥

Aya Emily

HIDUP untuk MENULIS dan MENULIS untuk HIDUP

23 Komentar

  1. Akhirnya yang ditunggu-tunggu up juga :lovely makasih kak :ayojadian

    1. Akhirnya punya mood buat otak-atik karyaku lagi, Kak… pelan-pelan mau coba aktif lagi. Udah pada ditanyain soalnya :lovely

      1. R-langga menulis:

        Hayu semngat kak… Aku mendukung mu… 🥰🥰🥰

  2. Thanks thor,, aku slalu menanti novelmu 😍😍

    1. Srmoga kali ini gak ada halangan lagi buat post :menor

  3. Tks ya kak udh update.

  4. Alya Rekha Anjani menulis:

    :mimisankarnamu

  5. Salsa Nabila Ramadhani menulis:

    awalnya aku cuman iseng krn aku liat judulnya horor karna aku pecinta horor tp aku makin suka krn ada romance nya jg..baguss bangett..semangat buat inspirasinya yah thor

  6. SERAFINA MOON LIGT🌙❤💡 menulis:

    :ayojadian :ayojadian

  7. semangat kak :ayojadian

  8. oviana safitri menulis:

    seru kak novelnya, awalnya aku iseng karna penasaran sama judulnya :ayojadian

  9. Luluk Sholehati menulis:

    Menarik, Kak Othor.. lanjut donk story x…

  10. oviana safitri menulis:

    kakkk,,,,,ku tunggu selalu update an mu :lovely asli keren banget ceritanya kak gak pengen berhenti baca. kayak sesuatu yang baru gitu buat aku :lovely

  11. AyukWulandari2 menulis:

    Semakin manarik :sebarbenihcinta
    Lanjut lagi kak :menantiadegankiss

  12. kaka author kings queen bukan sih?🤔 kayakny iya deh😏

  13. nurul ismillayli menulis:

    Unik thor

  14. Indah Narty menulis:

    Seru juga