Vitamins Blog

[Sci-fi] Lintasan Bermuda

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

“Claire, tunggu, buru-buru banget, sih!” gerutu Beta di belakangku, sedikit berlari menyamakan langkahku setelah melewati prosedur keamanan di Airport.

Aku putuskan untuk tak menanggapinya, fokusku hanya sampai ke loket secepat mungkin agar nantinya tinggal santai menunggu penerbangan. Beta memang seperti itu, tidak di kosan, di kampus, selalu saja santai dalam situasi apapun, inilah alasan aku mengabaikannya kali ini. Setelah kudapatkan cetakan boarding pass, ponselku tiba-tiba berdering menghadirkan suara tegas seorang pria yang menanyakan keberadaanku dan Beta.

“Iya, kamu di mana? Aku baru selesai check in di Future Airport, nih.”

“Kita ada di dekat pintu Gate F, ya.”

Aku dan Beta lekas melangkah ke pintu Gate F menghampiri Alva dan Sean yang sudah sejak satu jam yang lalu berada di sini. Ya, kami berencana traveling ke Palm Beach, mungkin hanya beberapa hari saja, sekadar refreshing setelah rutinitas padat di kampus. Lagi pula, kami bukan orang kaya raya yang punya uang tak habis-habis hingga tujuh turunan.

“Hei, kok lama banget sih sampainya, macet?” ledek Alva padaku dan Beta.

“Biasa, Beta susah banget dibangunin.”

Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya pesawat kami tiba tepat waktu. Sengaja kami menunggu di dekat pintu gate, supaya nanti tidak terlalu antri untuk masuk. Kami menunjukkan KTP dan boarding pass untuk memasuki pesawat untuk kemudian mendaratkan bokong sesuai nomor kursi yang tertera. Selepas pramugari memberikan berbagai intruksi keamanan, aku terkaget oleh cubitan di hidungku.

“Aww, kamu apa-apaan sih, Va?” gerutuku sambil memegangi hidung.

“Gemas sama hidung mancungmu itu Claire, ya … walaupun pramugari itu lebih mancung dan cantik, sih.” Rasanya mau kutinju saja gigi pendekar jahil ini, tanpa dosa sekali dia nyengir meledekku.

“Ah, terima kasih Alva atas pujianmu yang sangat-sangat membuatku melting!” kutarik kedua ujung bibirku sekitar satu detik.

“Lebih baik jujur kan Claire daripada diboho … ”

“Haduuh, Va. Jangan gitu, perempuan tuh sensi kalau dibanding-bandingin.” potong Sean.

“Habis, Claire tuh ya serius banget orangnya, susah dibercanda …”

Alva tersedak tisu yang aku sumpel di mulut pedasnya itu. Biarlah, tahu rasa dia itu, meledek saja bisanya. Aku lekas pura-pura tidur, menutup mata. Alih-alih membalas, ternyata Alva tak melakukan apapun, baguslah. Dengan mata terpejam, kuabaikan tawa Beta yang langsung terbahak melihat Alva disumpel tisu olehku.

Tak lama hanyut dalam mimpi, aku terbangun oleh informasi bahwa ada perubahan rute penerbangan, alasannya karena, diprediksi akan terjadi badai. Awalnya aku kira, ini hal yang lumrah terjadi, setiap maskapai berhak untuk mengubah rute sesuai situasi yang sedang dihadapi demi keamanan dan kenyamanan para penumpang. Tapi, perkiraanku pun dipatahkan oleh peristiwa setelah itu. Beruntung aku duduk di kursi bagian kiri sayap pesawat sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di luar pesawat. Kuarahkan mata ke jendela, terdapat awan kabut seperti donat yang memiliki lubang pada bagian tengahnya, kira-kira berdiameter 48 km.

Pesawat ini, sedikit demi sedikit terhisap oleh kabut medan magnet itu. Aku panik, semua orang di pesawat pun sama denganku. Kupikir inilah akhir hidupku, teringat mata kuliah geografi tentang Bermuda Triangle. Apakah ini tempatnya? Semua ciri dan kisahnya pun mirip seperti yang kudengar dari dosen kala itu. Kisah hilangnya awak kapal, pun pesawat yang terbawa oleh Gulf Stream di wilayah Bermuda Triangle.

Takut-takut kulirik lagi jendela di sebelahku, aku tak melihat batasan antara langit dan laut, semuanya benar-benar gelap. Seisi pesawat kalang kabut, termasuk aku, barang-barang kami terlempar ke sana ke mari akibat ketidakseimbangan pesawat yang terhisap menelusuri lorong yang cukup panjang. Megap-megap dadaku, sesak rasanya. Tapi Alva di sebelahku bersusah payah membantu memakaikanku masker oksigen. Payah sekali aku ini, akibat panik aku sampai lupa memakainya.

“Thanks, Va. Dan … Maaf tadi …”

“Sssst … Tak apa, aku yang salah” Alva mengusap rambut di kepalaku.

Sekilas kulihat Beta yang dibantu oleh Sean memakai masker oksigen juga. Aku tahu bahwa oksigen di masker ini tak tahan lama, mungkin hanya beberapa menit saja bisa habis, penumpang lain sudah ada yang terkapar, aku tak tahu dia masih hidup atau tidak, yang pasti mereka mengalami decompression sickness. Bahkan terlihat penumpang yang di dekat pintu pesawat yang terbuka, ikut terlempar ke luar.

Oh, Tuhan. Diriku ini hanya menunggu giliran. Suhu kabin ini semakin menurun, pintu-pintu pesawat satu persatu copot dari badannya, tak lama lagi pesawat akan meledak. Alva memegang erat tanganku, dan sebelah tangannya lagi memegang Sean yang sudah menggenggam Beta juga. Ya, Alva benar, bagaimanpun situasinya kami harus selalu bersama.

DUARRR!!!

Beberapa detik setelah ledakan pesawat itu, aku masih merasakan tanganku digenggam dan tubuhku terasa masuk ke dalam gelembung. Kami berempat mengapung di udara dalam keadaan terkapar, di mana ini? kucoba mencubit hidung Alva yang berada di sampingku untuk memastikan.

“Balas dendam, heh?”

“Begini ya rasanya meninggal, Va? Aku masih bisa nyentuh kamu, apa karena kita sudah sama-sama jadi setan?”

”Kamu ngawur banget sih, Claire? Sepertinya otakmu ada yang korslet ya, sini biar aku cek otakmu!”

“Aduuh, Va. Ngapain, sih? Kamu tuh kalau sudah jadi setan tambah nyebelin, ya!”

“Sepertinya kita berada di dimensi lain, sungguh aneh kita tidak jatuh sama sekali ke tanah, malah mengambang di udara seperti ini” timpal Sean

“Ya, sepertinya kita sudah meninggal, lalu masuk ke dimensi lain dunia ini, dan itulah alasannya kita tidak merasa sakit setelah terjun berpuluh-puluh ribu kaki” sambung Beta.

“Kita harus turun, untuk memastikan bahwa kita berada di mana sekarang

Alva benar, tapi bagaimana caranya? jawabku sambil melihat pemandangan di bawah, banyak bangunan yang didominasi warna kuning keemasan, dan tanah yang berwarna oren. Kemudian mataku terhenti pada seseorang yang sepertinya berusaha berkomunikasi padaku, dengan bahasa yang cukup lama untuk kupahami.

“Turun untuk itu jarimu jentikkaan, Hei”

Lama, aku mencerna kata-kata itu, akhirnya aku melakukan seperti perintahnya, dan ya, ini bekerja. Aku berhasil menapak di tanah. Ketiga temanku pun mengikuti caraku untuk turun. Tak lupa aku mengucap terima kasih pada seorang pria yang sudah memberitahu kami tadi.

“Apa? bicara kamu”

Oh iya, aku lupa. Sepertinya peradaban di tempat ini berbahasa terbalik dari bahasa sehari-hari di bumi. Pemikiranku ini pun terlihat pada bangunan di sekitarku, atap rumah yang terbuat dari emas ini berada di tanah, sedangkan rumahnya ada di atas. Entah bagaimana jika hujan turun di sini, dan aku semakin terkejut oleh pohon-pohon yang ada di sini, semuanya berdaun uang dan berbuah permata. Sepertinya orang-orang hidup di sini tak perlu susah payah bekerja untuk mendapatkan sesuatu.

“Kasih terima. Mmm … ini? tempat dari keluar jalan menunjukkan Anda bisakah.”

“Budak Mulia Yang istana ke kuantar mari.”

Kami berempat saling berpandangan, memutar otak, sejak kapan budak punya istana? Ah, sudahlah. Pertanyaan ini akan segera terjawab setelah kita sampai ke istana itu dan bertatap muka dengan Yang Mulia Budak. Pria ini bernama Adi, entah benar atau tidak aku membaca di kartu nama yang bertengger di bajunya, karena di sini identik dengan yang ‘terbalik’, boleh jadi namanya Ida, bukan? Kini, dia merapalkan kode-kode yang kuyakin itu adalah alamat istananya, dan seketika kami sampai di ruang pertemuan istana. Hebat! Teknologi di sini, tidak ada macet-macetan untuk sampai ke tempat yang diinginkan.

Dahiku semakin berkerut ketika Yang Mulia Budak duduk di singgasananya, wajahnya sangat jauh berbeda dengan pria baik yang menolong kami tadi, bisa dikatakan Yang Mulia Budak ini sungguh jelek, kucel, dan lusuh tapi, para penduduk di sini begitu tampan, menawan dan rupawan. Sungguh peristiwa ini menyentuh relung hatiku, bahwa kecantikan dan ketampanan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menghargai seseorang.

“Pulang? hendak yakin kalian asalnya. tempat dibanding hidup menjalani mudah lebih sini di alasan dengan pulang kembali ingin tak dan ini tempat di hidup merasakan mereka kemudian. sini di tersesat yang manusia banyak sudah ini akhir-akhir. Ini? tempat dari keluar hendak berempat kalian bahwa kudengar.”

“Yakin!” Jawabku serempak dengan Alva dan Beta di sampingku, duduk.

“Tidak.” Sean menimpali setelah itu sontak membuatku menoleh ke arahnya. Lalu, ada pelayan membawa nampan yang terdapat gelas berlapis emas di atasnya. Yang Mulia Budak mempersilakan kami untuk meminumnya.

“Menua pernah akan tidak muda selalu akan kalian meminumnya kali setiap. sini di abadi hidup kalian membuat akan ini kehidupan Air. Diminum silakan.”

Sean meraih gelas itu hendak meminumnya, namun Beta menahan tangannya dan membujuknya untuk berpikir kembali atas keputusannya yang hanya memikirkan kesenangan hidup semata. Dan kalau aku tak salah dengar, Beta juga mengungkapkan perasaannya pada Sean. Mungkin hal itu yang paling menyentuh hatinya hingga merubah keputusan Sean untuk hidup di sini. Syukurlah, setidaknya kami akan segera pulang setelah ini.

“Caranya menunjukkan Budak Mulia Yang bisakkah, kami asal tempat ke kembali untuk sepakat telah berempat kami” tanyaku sopan. Tak lama Yang Mulia Budak menggerakkan tangannya untuk kemudian memunculkan empat kantong berlapis emas di hadapan kami.

“Setelahnya muncul yang mantra rapalkan lantas udara ke serbuk itu tebarkan ajaib, emas serbuk berisi kantong buka silakan baiklah,”

“Ini? semua untuk dibayar harus yang ada apakah” tanya Alva.

“Sekarang kuberitahu bisa tidak yang efek merasakan akan hanya kalian padaku, apapun membayar perlu tidak.” Alva memandangku, aku tahu maksudnya, dia menanyakan persetujuanku, aku mengangguk. Masalah nanti, biarlah nanti diatasi, yang terpenting sekarang adalah kembali pulang secepat mungkin. Bersama-sama kami membuka kantong serbuk emas ajaib yang mengambang di hadapan kami lantas melakukan sesuai perintah Yang Mulia Budak tadi. Lantas kami merapalkan tulisan yang mucul dari serbuk itu ‘Em Bek Hem’. Seketika kami terhisap ke dalam lorong gelap dengan kecepatan super cepat, tapi mengapa yang kudengar hanya teriakan kami bertiga? ke mana Sean?

Entah bagaimana caranya kami bertiga sampai di posko korban kecelakaan pesawat yang kami tumpangi. Tak ada yang sadar akan kehadiranku, Alva, dan Beta. Dan yang kuingat hanya pada saat pesawat mengalami ledakan. Setiap kali aku berusaha mengingat apa yang terjadi setelah itu justru kepalaku terasa pening. Esok harinya aku membaca daftar korban yang tidak selamat, dan begitu terkejutnya saat nama Sean terpampang jelas di sana, Beta pasti sangat terpukul jika tahu.

1 Komentar

  1. Waduh