Vitamins Blog

Ekspedisi Cinta

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

“Ini Bu Asiah, nama dan nomor ponselku yang bisa dihubungi kalau-kalau kurirnya bingung menemukan alamat penerima paketnya. Terima kasih ya, Bu. Rima pamit.”

Samar-samar kudengar bosku Bu Asiah sedang berbincang dengan pengirim paket, kakiku terus meyeretku masuk. Terkejutnya aku saat berpapasan dengan gadis rupawan dengan balutan gamis dan hijab menjuntai lebar. Entah sejak kapan aku terpesona dengan gadis macam ini. Tapi yang pasti gadis itu ramah, dia tersenyum padaku dan menganggukkan kepalanya. Spontan kubalas dengan anggukan linglung padanya, ada apa dengan tingkahku? Memalukan. Satu persatu kumasukkan paket-paket ke dalam mobil ekspedisi untuk kukirimkan ke alamat tujuan. Tepat saat itu benakku meronta untuk mencari paket yang hendak dikirimkan gadis tadi. Tapi dari sekian banyak paket, punya gadis itu yang mana? “Ah iya Rama, ini satu lagi paketnya punya gadis tadi. Hampir saja lupa.”

Deg! Jantungku bersorak gembira sambil menahan semburat di wajahku yang pasti sudah terlihat sejak tadi oleh Bu Asiah. Segera kuambil paket itu darinya dan berjalan memasuki mobil, lantas kulihat nama gadis itu, ternyata Rima namanya. Pikiranku terus terbayang-bayang bahkan terus mendengungkan namanya, memutar kembali pertemuan tadi pagi menjelang siang. Aku tak bisa melupakannya walau sedikit, hingga malamnya aku tertidur bersama wajahnya yang berhiaskan lesung pipit di mimpiku.

Hari ini libur, kunaiki motor matic keluar rumah, mencari makan siang. Aku membatin ini kenapa ramai sekali masjidnya. Kulihat baliho yang menjelaskan bahwa ada kajian dengan salah satu ustadz, yang sama sekali tak kukenal. Maklum aku tak menaruh minat di bidang agama. Tak sengaja aku nyaris menabrak seorang gadis bergamis pink, mendadak kuhentikan motorku. Gadis itu lantas meminta maaf, ternyata itu Rima.

“Mataku yang salah jelalatan melihat baliho sampai-sampai tak nampak kalau ada gadis rupawan macam Rima ini. Mari Mas Rama antar pulang saja, hitung-hitung permintaan maaf dari Mas. Aku sedikit menggombal sambil menawarkan tumpangan yang berujung penolakan. Oh ini Mas Rama yang kemarin di rumah Bu Asiah ya? Tak apa kok Mas Rama, biar Rima jalan sendiri saja. Lantas aku menjawab bahwa diriku tambah merasa bersalah jika dirinya menolak, akhirnya Rima mengubah keputusannya.

Tak banyak obrolan yang berkicau antara kami, hanya tersisa deruan angin dan pembatas tas Rima anatara kami sepanjang jalan. Tak apalah, begini saja diriku sudah cukup senang. Sesampainya di rumah Rima, aku tak langsung pulang, kuputuskan untuk mendengarkan apa yang ibunya Rima ucapkan tentang diriku. “Rima, kenapa kamu diantar sama anak berandal itu? Dia terlihat seperti tak paham agama. Ya walaupun dia memang tampan, tapi mamah enggak suka kamu berteman dengan anak berandal. Nanti kamu terbawa lagi.”

“Ya ampun Mah, Mas Rama itu karyawannya Bu Asiah. Dan lagi pula kita enggak bisa menilai keimanan seseorang hanya dari penampilannya saja kan, Mah?”

Percakapan itu cukup membuatku hampir mati terhujani oleh ribuan pisau di jantungku. Apa? Berandal? Tak paham agama? Memang sejak lama aku tak belajar agama,ikut kajian pun tak pernah, pakaian muslim hanya satu dua, salat masih bolong-bolong, wudu asal-asalan, tak pernah berinfak, puasa apalagi. Tak terima rasanya, tapi boleh jadi perkataan itu benar? Di rumah, perkataan itu tak berhenti menghantui otakku. Kuputuskan untuk mencari jawabannya di Google dan Youtube, tentang bagaimana seorang muslim yang sesungguhnya. Seorang muslim yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah, di sinilah yang menjadi titik balik hidupku. Sudah bertahun-tahun aku di dunia, kenapa baru sekarang aku sadar bahwa diriku ini salah. Apa ini teguran dari Sang Pencipta? Kalau memang iya, aku benar-benar berterima kasih. Hatiku semakin mantap untuk berubah menjadi yang lebih baik lagi, supaya ibunya Rima dan terutama Rima bisa menerimaku.

Baru sehari ini aku sudah merasakan banyak perubahan dari rutinitasku sebelumnya. Subuh yang biasanya selalu terlewat, tapi pagi ini tidak, dan salat lima waktu pun tak berani kutinggal satupun. Aku juga mulai merutinkan untuk membaca al-Qur’an selepas salat, memang sih bacaanku tak begitu bagus tapi setidaknya bacaanku bisa kupastikan sesuai tajwid. Karena sejak kecil memang aku sudah belajar itu, hanya saja setelah dewasa jarang kulaksanakan.

Di jalan pulang kunaiki motor menyusuri gelapnya malam yang berhias jutaan bintang dan seorang bulan yang cantik nan indah. Sambil terus terbayang paras rupawan Rima yang memaksa bibir ini tersenyum pada diri sendiri. Tapi, dari kejauhan aku melihat sosok Rima di taman, bersama lelaki sedang bercekcok. Apa mungkin mataku salah lihat? Kuputuskan untuk berhenti, memastikan. “Tenang saja, nanti juga kita akan menikah.” Ujar lelaki yang langsung dijawab “Tapi tetap saja hal itu enggak benar, Aldi.” Gadis itu tak salah lagi adalah Rima.

Lelaki itu mulai, lebih tepatnya memaksa Rima untuk memeluknya. Rima meronta-ronta berusaha menghindar, aku langsung menghampiri mereka dan kutinju lelaki itu hingga terkapar. Aku mengumpat pada lelaki itu dan mengancam akan berteriak jika dirinya tak segera pergi. Sakit rasanya hati ini melihat orang yang kusayangi menangis dan diriku hanya bisa diam tak kuasa berbuat apa-apa. Kuambil posisi duduk di sebelahnya, ingin rasanya diri ini dijadikan sandarannya, tapi bukan sekarang waktunya. Sudah satu jam Rima menangis dan aku masih mematung di sebelahnya. “Ayo, Mas antar pulang, Rima?” Akhirnya kupecahkan keheningan malam itu, yang berisi isak tangis Rima. “Rima enggak bisa pulang dengan mata sembap gini, Mas.”

“Gimana mau enggak sembap, dari tadi kamu enggak berhenti nangis Rima.” Kusodorkan sapu tangan padanya, Rima tersenyum mengiyakan.

“Dia Aldi, lelaki yang sedang ta’aruf sama Rima. Niatnya kami hanya ingin membeli makan, tapi Rima sama sekali bingung kenapa semuanya menjadi seperti ini.” Aku terperangah atas ungkapan Rima, tanpa perlu ditanya dia memberi tahuku seolah dia tahu otakku tak berhenti bertanya sejak tadi, tentang siapa lelaki yang bersamanya tadi.

“Sudahlah tak perlu dibahas. Ah iya, sampaikan terima kasihku pada ibumu ya Rima” Ujarku yang sontak menghadirkan kerutan di keningnya, bertanya-tanya. “Karena berkat kata-kata ibumu, aku mulai berubah dan lebih belajar memahami agama.”

Dan terutama karena kamu Rima, kamu tak tahu betapa berpengaruhnya dirimu di hidupku sekarang. Seakan paham dengan apa yang dikatakan batinku, Rima menasihati untuk tidak berubah karena dan untuk selain Sang Pencipta. Jika berubah hanya karena makhluk, maka sejatinya perbuatan itu takkan pernah abadi, perubahan itu pun akan hilang bersama makhluk yang tak abadi itu. Lagi, kali ini teguran yang kedua untukku, langsung dari perkataan Rima, setelah ibunya lebih dulu secara tak lansgung menegurku.

Ucapan Rima pada malam itu selalu terlintas dalam benakku, tentang berubah menjadi pribadi yang lebih baik haruslah diniatkan dengan ikhlas. Akhir pekan ini aku mengikuti kajian rutin di masjid yang sama saat aku mengantar Rima kala itu. Sama sekali aku tak berharap akan bertemu dengan Rima, kali ini aku murni hendak hadir di kajian untuk belajar karena Sang Pencipta. Selepas kajian berakhir perutku menuntut minta makan, jadilah aku mampir ke penjual bubur pinggir jalan. Alangkah bahagianya diriku saat tampak raga yang kudamba sedang makan bubur di sana juga.

“Rima, Mas boleh nanya-nanya seputar agama sama kamu?”

“Eh Mas Rama, boleh-boleh” jawab Rima sedikit terkejut akan kehadiranku.

“Memilih pasangan hidup yang baik itu dari apanya sih dalam Islam?”

“Dari agamanya Mas, kalau agamanya baik in syaa Allah pribadinya akan ikut baik.”

“Kalau dilamar sama orang itu harus diterima atau enggak?”

“Itu sih tergantung, kalau memang agamanya baik lantas orangtua juga merestui, ya enggak ada alasan lagi buat ditolak, Mas.”

Kujawab dengan anggukan paham sambil melanjutkan makan bubur yang tak kunjung habis di depanku. Aku juga bingung sendiri mengapa seporsi bubur ini terasa banyak sekali pagi ini, bersamanya. Iseng-iseng aku bertanya kepanjangan dari hari Rabu, Rima menggeleng tak tahu, dia hanya menjawab hari Rabu tak ada kepanjangannya, Rabu itu nama hari. Aku jawab Rabu itu punya kepanjangan yaitu, Rama Ada Buat kamU. Rima tersenyum lepas padaku, dan kubalas dengan cengengesan. Senyumnya begitu cerah, bahkan cerahnya pagi ini pun sirna digantikan parasnya yang begitu menawan.

Kembali pada rutinitasku biasanya, menjadi jasa antar jemput barang (ekspedisi) memang tak ada yang perlu dibanggakan. Tapi, sungguh ini adalah pekerjaan yang menyenangkan. Terutama karena pekerjaan ini yang menjadi pengantar pertemuanku dengan Rima. Namanya selalu bersenandung di pekatnya malam-malamku. Namanya akan selamanya terucap di bibirku. Rima. Hingga hari-hari terasa berjalan begitu cepat membuatku mantap untuk mampir ke rumahnya hendak melamar. Detik ini aku sudah di depan rumahnya, tanpa mengabari Rima sama sekali. Kupikir aku akan bicara dahulu pada ayah dan ibunya, apapun yang terjadi aku akan siap menerimanya.

“Om tak pernah membeda-bedakan setiap orang yang ingin melamar anak Om. Tapi ada satu hal yang paling penting untuk Om pertimbangkan, yaitu agama.”

Kami membicarakan banyak hal setelah itu dan semuanya tak seburuk yang kupikirkan sebelumnya. Obrolan seputar kehidupan setelah pernikahan dan tindakan apa yang akan kuambil nantinya, semua obrolan itu menghabiskan sekitar dua jam hingga muncul pertanyaan terakhir.

“Benar kamu orang yang menolong Rima ketika Aldi hendak menyentuhnya di taman malam itu? Kalau benar Om berterima kasih padamu. Dan Om harap kamu tidak melakukan hal yang sama pada anak Om.”

“Benar Om, saya janji tak akan melakukannya.”

Tepat aku menjawab pertanyaan itu, ibunya Rima datang bersama anak perempuannya. Hati ini semakin berdebar saat sosok yang kulamar mulai tampak di sana. Rima begitu terkejut saat melihatku di rumahnya lantas duduk di sebelah ayahnya. Aku bisa lihat matanya yang bertanya-tanya tentang alasanku berada di rumahnya, namun pertanyaan itu perlahan sirna dari matanya kala ayahnya menjelaskan semua maksud kedatanganku. Rima sangat tersentak saat ayahnya bertanya akankah dirinya menerima lamaranku. Harusnya aku tak perlu khawatir karena Rima pernah bilang bahwa dirinya takkan menolak lamaran seseorang jika orangtuanya sudah setuju. Detik-detik yang menegangkan menanti jawaban Rima, aku mulai melepas napas lega kala Rima menganggukan kepalanya, Ya! Tak sadar sejak tadi napasku tertahan, menunggu.

***

Kupeluk istriku erat-erat seakan tak ada seorang pun yang boleh memisahkan jarak antara kami. Bertahun-tahun telah berlalu kami mengarungi sepak terjang hidup ini, ditambah lagi dengan hadirnya kedua malaikat kecil keluarga kami yang begitu melengkapi kebahagiaan kami. Bahkan tahun pun tak dapat memudarkan paras rupawan istriku yang benar-benar berbeda dari sosok yang kudamba dulu, Rima. Ya, nama Rima selalu kukenang dalam doa agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Masih jelas tersimpan di memori dan benakku bagaimana diri ini berhasil berubah menjadi lebih baik melalui dirinya, Rima. Seseorang yang pernah hadir dan mengisi relung hatiku yang paling dalam dengan cintanya. Dia diekspedisikan oleh Sang Pencipta untuk menyampaikan cinta-Nya padaku. Aku yang dulu berlumuran dosa, miskin pahala, masih saja Sang Pencipta peduli bahkan cinta padaku, sebab itulah yang membuat-Nya mengekspedisikan Rima ke sisiku untuk menyadarkanku bahwa aku harus berubah, dan mendekat pada-Nya. Maka setelah misi Rima sudah selesai, yaitu merubah diriku menjadi lebih baik, lantas Sang Pencipta memanggilnya kembali. Pergi dari sisiku sebelum sempat aku menikahinya dan hidup bersamanya.

Aku tak pernah menjadikan perempuan yang kini sedang kupeluk erat-erat sebagai pelampiasan atas kepergian Rima. Sungguh aku mencintai Rara lebih besar dari cintaku pada Rima. Tapi posisi Rima sebagai malaikat kala aku tersungkur dalam lumpur dosa tak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun dan sampai kapanpun. Bagaimanapun dia adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidupku hingga kini aku menjadi seorang suami yang lebih paham agama dibanding saat muda dulu. Bisakkah kamu temaniku sebentar lagi, Ra? Aku bertanya manja sambil membenamkan wajahku di lehernya yang jenjang. Kurasakan anggukan kepalanya di pucuk kepalaku lantas jarinya mulai berlarian melintasi tiap helai rambutku.

1 Komentar

  1. Alhamdulillah ada jalannya